BoBoiBoy © Monsta

Keping Kisah Asmaradana © Roux Marlet

The author gained no material profit from this work of fiction.

Alternate Universe, Historical, Family

#Octoberabble Day 14: Damage

#IFA2024 #rubrikIFA2024: Perang

Bab 14: Karma

.

.

.

.

.

Banda Aceh, 1915.

.

Halilintar Saifullah Sulaiman bin Amato adalah seorang pemuda 'rusak'.

Bedil di tangannya tak lagi terasa berat, dentum di telinganya tak lagi terdengar menyakitkan. Ini sudah tahun ketiga dirinya menjelajah tanah Aceh. Sudah tahun kesembilan sejak dia resmi menjadi tentara KNIL*.

Hati nurani Halilintar sudah 'rusak'. Saudara sebangsanya sendirilah yang dia tembaki, pribumi seperti dirinyalah yang bertumbangan dekat kaki. Orang-orang Aceh yang melawan penjajahan Belanda ini sudah bergerilya lebih dari tiga dekade hanya bermodal parang dan bambu runcing, tapi hari-hari ini adalah akhirnya; insting Halilintar berkata demikian. Dari balik pepohonan, perlawanan mereka semakin melemah. KNIL semakin merangsek maju. Habisi semuanya, maka perang ini bisa diakhiri. Jika perang ini selesai, Halilintar akan bisa pulang ke rumah. Kembali ke Jepara di tanah Jawa, mencium tangan Ibunda dengan tangan yang sehari-harinya berlumuran darah ….

Satu orang Aceh melompat dari atas pohon, menerkam Halilintar dengan tangan berparang. Pemuda itu berkelit, refleksnya menyelamatkan leher dari ditebas musuh. Lawannya ramping dan kecil, dia berusaha mengayunkan parangnya ke kaki Halilintar dan segera saja bedil diacungkan.

Sosok lawannya memekik, mundur sembari mengangkat tangan. Serban di kepalanya terlepas dan Halilintar terbelalak menyaksikan apa yang ada di balik kain. Bentuk wajah feminin, rambut kelabu panjang, sorot mata nyalang nan menantang.

Halilintar agak terhenyak. Bagaimana mungkin para lelaki Aceh membiarkan ada perempuan di garis depan pertempuran?

Perempuan itu masih diam, menatapnya waspada; tajam sorot matanya seolah menghakimi Halilintar: Siapa kau, anak muda, berani membunuh kami?

Serusak apa pun Halilintar, dia tak akan membunuh perempuan. Apalagi perempuan itu sudah tampak berumur, dinilai dari gurat keriput di wajahnya.

Wanita ini mungkin seumuran ibunya sendiri. Ujung bedil di tangan Halilintar bergetar sedikit dalam kebimbangannya.

"Halilintar!" Seorang lelaki berseru.

Letusan meriam terdengar di kejauhan. Ada yang menyerukan takbir. Wanita di depan Halilintar menebas bagian depannya dan membuatnya terdorong mundur. Halilintar melotot, kewaspadaannya meroket dan dia tidak berpikir panjang ketika menarik pelatuk.

DOR!

Halilintar kemudian berlari bagai kesetanan, menembaki tiap sosok selain yang berseragam yang menghadangnya di depan.

Bunyi meriam tadi mestinya pertanda serangan gerilya rakyat Aceh telah dimulai kembali. Orang-orang ini ternyata masih punya perlawanan.

"Nek Pi!" Seseorang berseru histeris. Sepertinya dari dekat wanita tua yang ditembak Halilintar barusan. Halilintar berbalik dan menembak kembali.

"Kurang ajar!" seru suara-suara marah di sekitar. Teman-teman Halilintar mulai menyusul muncul seiringan munculnya penduduk lokal.

Mereka akan memenangkan perang ini. Tindakan Halilintar menyulut amarah orang-orang Aceh itu hingga mereka jadi terlalu emosi dan ceroboh. Parang-parang itu terluput sedangkan bedil-bedil KNIL mengenai sasaran.

Kemudian, ada satu ledakan besar di dekat Halilintar, tubuhnya terlempar, lalu segala sesuatunya menjadi kelewat menyilaukan sebelum kemudian padam. Hanya ada gelap. Kesadarannya berputar, tersedot dalam pusaran gelap yang memusingkan. Rasanya seperti kembali ke latihan militer ekstrem di awal kariernya: Halilintar dan kadet lainnya harus menyelam di laut sebelah utara Batavia yang arusnya deras dan palungnya begitu dalam itu.

Lebih dalam lagi, Halilintar seolah dihadapkan pada kenangan akan malam-malam kelam yang telah berlalu semasa di asrama tentara, jauh dari hutan Aceh: ketika dia tak lagi perjaka lantaran hasutan rekan-rekannya, ketika dia melanggar aturan agama untuk menjauhi apa pun yang haram karena mereka bilang "ini hal yang biasa di Eropa sana", ketika dia perlahan-lahan meninggalkan salat lima waktunya karena tak banyak lagi kawannya yang bisa diajaknya berjamaah. Ketika pembunuhan pertamanya diawali dengan membunuh hati nuraninya yang menjerit-jerit memperingatkannya. Padahal ibundanya memberinya nama yang bermakna 'pedang Allah'. Apa saja yang sudah diperbuat 'pedang Allah' ini sepanjang hidupnya yang belum genap tiga dekade?

'Tobat, bertobatlah, Halilintar … sebelum semuanya terlambat. Sebelum semuanya jadi terlalu rusak.'

Apakah sudah terlambat? Rasanya … dingin.

Sembilan tahun menjadi tentara, Halilintar belum pernah merasa sedekat ini dengan kematian. Apakah membunuh seorang wanita tua adalah karma baginya?

'Ya, Allah, ampunilah aku … kumohon, aku akan bertobat, berikan aku satu kesempatan lagi agar bisa bertobat ….'

...

'Kalau ada satu kesempatan lagi, umat-Ku, apa yang mau kauperbuat?'

'Aku akan berjuang agar seluruh tanah ini merdeka dari Belanda. Bukan hanya Kesultanan Aceh dan Sumatra, tapi kampung halamanku, tanah Jawa, semua lainnya ….'

...

Halilintar tersentak bangun. Langit-langit kelabu kusam yang catnya terkelupas, mengisi pandangannya. Tubuhnya terasa remuk dan dia melihat banyak perban di badan, tapi dia hidup. Tempat ini seperti rumah sakit darurat, banyak erangan dan bau obat di sekitar.

"Apa kita menang?" Adalah pertanyaan pertama Halilintar pada rekannya yang kebetulan lewat. Pria itu berkulit putih.

"Aceh sudah tunduk."

Mereka saling bicara dalam bahasa Belanda. Ternyata bahkan perempuan dan anak-anak ikut serta dalam gerilya di Aceh, tak hanya para lelaki saja. Halilintar menunduk, menatap kedua tangannya yang tertutup perban. Masih layakkah dirinya hidup setelah semua itu? Dia jelas sudah membunuh satu wanita tua. Anak-anak? Mungkin saja ada yang jadi korbannya juga. Perempuan? Mereka semua memakai pakaian longgar dan serban, Halilintar tidak tahu mana yang lelaki dan mana yang perempuan. Bagaimana bisa dia tetap hidup setelah membunuh orang-orang tak bersalah?

"Yang lain … apa yang terjadi?" Halilintar belum menemukan wajah lain yang dikenalnya di sekitar. Para tentara yang selama tiga tahun hidup bersamanya di Aceh.

"Rentetan bom terakhir adalah taktik bunuh diri dari pihak lawan. Orang-orang Aceh itu mengira seluruh pasukan kita sudah dikerahkan ke lokasimu. Satu batalion memang gugur di pihak kita, tapi sisa-sisa Aceh sudah ditumpas."

"Satu batalion?"

"Kau sendirian ditemukan di bawah tebing. Mungkin terlempar saat ledakan pertama. Yang lain tewas karena bom selanjutnya."

Halilintar mendadak teringat doa ibundanya yang agak konyol,

"Ya, Allah … jangan biarkan Halilintar mati dulu sebelum memberiku cucu."

Ada yang namanya kekuatan doa seorang ibu. Pastilah ibunda Halilintar masih mengulang-ulang doa yang sama setiap malam hingga Tuhan mereka mungkin bosan mendengarnya, dan senantiasa menjaga Halilintar di setiap jejak pertempurannya, seburuk apa pun; serusak apa pun jadinya sulung sang bunda kini.

Halilintar belum bisa bangun sampai lima hari selanjutnya. Ketika akhirnya dia mengonfirmasi sendiri kebenaran tewasnya seluruh grup batalionnya, bahwa dia satu-satunya tentara yang selamat dari serangan terakhir KNIL di Aceh dan akan mendapatkan kenaikan pangkat karena itu, Halilintar tersungkur di lantai tegel yang kotor.

Takbir yang diserukan sebelum rakyat Aceh menemui ajalnya yang terhormat, kini terucap lirih di bibir si pendosa yang menangis pedih,

"Allahu Akbar …."

.

.

.

.

.

Catatan Penulis:

KNIL: het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger, angkatan perang kolonial Hindia Belanda.

Ini kisah Halilintar di akhir Perang Aceh. Tentunya sebelum bertemu tokoh yang lainnya di Delanggu ….

Terima kasih sudah membaca!

[Dipublikasikan di Twitter: 14 Juli 2024]

[Dipublikasikan dalam Keping Kisah Asmaradana: 14 Oktober 2024]