BoBoiBoy © Monsta

Keping Kisah Asmaradana © Roux Marlet

The author gained no material profit from this work of fiction.

Alternate Universe, Historical, Family, Spiritual/Supernatural

#Octoberabble Day 15: Sacrifice

Bab 15: Netra

.

.

.

.

.

Leiden, 1918.

.

Sakit yang paling membuat menderita adalah saat kau jauh dari rumah. Seluruh rasa meriang dan ngilu yang mendera akibat demam terasa berkali-kali lipat parahnya saat tidak ada keluarga yang mengurusi, apa-apa harus dijalankan sendiri, kendati badan nyeri tak terperi.

Untungnya, Duri punya Ais di negeri orang tempat mereka menimba ilmu. Abang kembarnya itu sudah mondar-mandir mengurusinya sepanjang hari di kamar pondokan mahasiswa yang mereka tinggali. Kelopak mata Duri terasa panas dan berat, tapi melihat Ais yang hilir mudik membuatnya gelisah juga. Apalagi dengan Mas Mawas yang ikut bergerak seiringan tuannya, membuat pusing Duri makin menjadi.

"Kuganti kain kompresmu, ya?" Belum sempat Duri bertanggap, Ais sudah meraih kain dari dahinya dan berpindah lagi.

"Ais," gumam Duri susah payah. "K-kamu sudah m-makan?"

"Nanti saja, setelah ini."

Duri menghela napas, rasanya sangat lemas. Sayang sekali di pondokan ini, tiap mahasiswa diberi kamar sendiri-sendiri. Akan lebih mudah kalau Duri bisa sekamar dengan Ais, jadi Ais bisa istirahat juga sembari menungguinya. Tadi Ais sudah menyuapinya makan siang dengan bubur hangat, karena menelan apa pun rasanya sungguh tidak enak. Duri rasanya jatuh tertidur sebelum kain kompres yang baru menyentuh dahinya.

Sebetulnya ada satu hal positif dengan Duri tidak sekamar lagi bersama Ais. Duri masih sering bermimpi kembali ke laut selatan, tempat dirinya nyaris hilang terseret ombak, waktu dia umur tujuh tahun dahulu. Dia melihat makhluk-makhluk ganjil serta istana raksasa yang seharusnya tidak ada di bawah laut. Sudah umur segini, Duri sudah lama tahu bahwa seharusnya ular naga hanya ada dalam mitos dan legenda. Kalau sudah begitu, dia bisa terbangun mendadak dengan berkeringat dingin, barangkali didahului dengan mengigau keras—entahlah yang ini benar atau tidak, tapi rasanya Duri berteriak-teriak dalam mimpinya.

Kali itu pun, demamnya membuat angannya kembali ke laut selatan yang gelap. Duri melayang-layang di tengah pusaran ombak, bermeter-meter di bawah permukaan air. Tiba-tiba, dia melihat sosok yang berbeda kali ini. Ada ibundanya yang berenang perlahan ke arahnya dari istana besar bersepuh emas itu. Duri mencoba berenang mendekati sang bunda yang tersenyum tanpa sempat memikirkan bagaimana mungkin Bunda ada di bawah laut—segala hal yang tidak masuk akal bisa terjadi dalam mimpi, bukan?

Namun, tiba-tiba, Duri merasa ada yang merenggutnya ke belakang. Duri meraih, menjangkaukan tangannya ke arah Bunda, tapi dia ditarik semakin menjauh. Sosok jelita itu tiba-tiba menyeringai, sanggul rambutnya yang indah terurai lepas dan melayang-layang di air seperti Medusa. Dia berubah rupa menjadi ular naga berwarna hijau seperti yang sudah-sudah. Duri mau berteriak tapi suaranya tidak keluar; dia juga lupa bahwa seharusnya di bawah air dia tidak bisa bernapas. Mendadak, Duri ditelan kegelapan yang basah, seperti terkurung dalam mulut suatu makhluk hidup yang besar, dan dia bisa mendengar suara-suara yang saling beradu di luar sana.

Apa yang terjadi?! Duri panik di dalam mimpi. Hal seperti ini belum pernah terjadi dalam mimpi-mimpi sebelumnya. Biasanya selalu berakhir pada pemandangan ular naga hijau di depan istana yang membuatnya terbangun dari mimpi buruk.

Saat kemudian Duri melihat cahaya lagi, sosok nelayan tua telah ada di sisinya.

"Toktaroka!" pekik Duri yang langsung memeluk pria berkulit gelap itu. Tentu saja Duri masih ingat nama penyelamatnya. Mereka ada di atas perahu si nelayan yang kemudian diketahui meninggal setelah Duri ditemukan tim pencarinya. Tahu-tahu, Duri menangis, teraduk antara ketakutan, lega, dan terharu bisa bertemu si penyelamat sekali lagi.

"Tak apa, Nak … menangislah sepuasmu."

"Terima kasih sudah menolongku waktu dahulu, Tok." Setelah puas menangis, Duri menyadari bicaranya tidak gagap di alam mimpi.

"Apa yang membawaku ke sini?" Duri akhirnya menoleh ke sekeliling. Makhluk apa yang tadi menolongnya dari si ular naga? "Dan di mana dia sekarang?"

"Dia harus tetap berada di bawah laut," sahut si nelayan dengan nada sendu. "Dia berkorban untukmu."

Duri tertegun sejenak. "Seperti apa wujudnya?" Dia tahu bahwa khodam milik Ais berwujud kera besar yang mereka juluki Mas Mawas dan setia menjaga mereka berdua sejak insiden Duri hanyut dulu itu.

"Aku tidak melihatnya," jawab Toktaroka.

Duri tidak terlalu kecewa mendengarnya. Hatinya terasa ringan di alam mimpi ini.

"Dan Atok ini sesungguhnya siapa? Kenapa bisa menolongku di tengah laut begini?"

Wajah renta itu tersenyum lembut.

"Raden Mas Baiduri, kau sudah besar."

"Apa kita pernah bertemu sebelum waktu itu?" Duri keheranan mendengar nada bicaranya yang terasa hangat, seolah mereka sudah saling mengenal untuk waktu yang lama.

"Aku adalah yang pertama kaulihat."

"Atok, aku tak paham." Duri menggaruk kepala.

"Kau akan tahu setelah bangun nanti. Kau dianugerahi mata batin yang luar biasa, sebagai ganti pengorbanan yang dilakukan oleh pelindungmu. Dan bukan hanya melihat sosok saja yang kau bisa."

Kemudian, Duri tertidur lagi. Begitu tiba-tiba kantuk itu melandanya, seolah ada daya magis di luar nalar yang menyihirnya. Ketika membuka mata sekali lagi, Ais ada di depannya, wajahnya pucat.

"Duri?! Kenapa menangis?!"

Duri butuh waktu untuk merespon dengan linglung. Pandangannya kemudian jatuh pada Mas Mawas yang juga membungkuk di samping Ais.

"A-ais belum lapar?" Duri bertanya karena belum juga melihat perangkat makan selain miliknya di atas meja.

"Belum," jawab saudara kembarnya itu, dan Mas Mawas mendadak melompat-lompat gelisah.

Duri meraih tangan Ais dan meremasnya. "J-jangan b-bohong, Ais."

Kembarannya terperanjat, matanya terbelalak, tampak seperti tertangkap basah. "Eh?"

Duri terkikik pelan. "Ternyata s-selain khodam, a-aku b-bisa melihat k-kebohonganmu."

.

.

.

.

.

Catatan Penulis:

Ais & Duri brotherly love! Dengan selingan unsur spiritual tentu saja.

Terima kasih sudah membaca!

[15 Oktober 2024]