BoBoiBoy © Monsta

Takhta Hastinapura © Roux Marlet

Indonesian Alternate Universe, COVID-19 endemic

.

.

.

.

.

Bab 1: Tirakat

.

.

.

.

.

"Mas Gempa, sudah punya pacar?"

Gempa Mahitala Arjuna, yang pagi itu sedang menghirup teh hangat di dapur, tersedak parah mendengar adik sepupunya bertanya demikian.

"Uhuk-uhuk-uhuk …."

"Kayaknya belum, ya, kalau lihat reaksinya begitu." Dan adik sepupu kurang ajar tadi bukannya membantu menepuk punggungnya atau apalah untuk membantu pernapasannya, malahan mulai mengaduk isi lemari mencari selai roti.

"Solar! Uhuk-" Gempa menepuk-nepuk dadanya sendiri, berusaha mengeluarkan air yang telanjur masuk ke paru-paru. Dia terbatuk keras satu kali dan akhirnya napasnya lega. Si adik sepupu yang dipanggil Solar mengolesi roti panggangnya dengan santai seolah baru saja Gempa tidak sedang berjuang antara hidup-mati. Orang tersedak itu bukan kasus ringan, tahu.

"Aku tanya gitu tadi bukan untuk ngejek, Mas. Cuma mau minta saran, tapi berhubung dirimu ternyata sama jomblonya denganku, nggak jadi, deh."

"Saran apaan?" Gempa bertanya balik sambil ganti mendekati lemari, mencari telur untuk sarapan mereka kali ini.

"Ini." Solar menyodorkan gawainya. "Gimana caranya ngadepin cewek fanatik dan nyeremin kayak gini? Ini cewek ketiga yang stalk aku dan spam DM-ku dalam sebulan terakhir."

Gempa membungkuk dan membaca layar ponsel Solar sekilas dengan kedua tangannya memegang telur masing-masing dua butir. "Astaghfirullah," ucapnya kaget. Salah satu telur di tangan kanannya teremas sampai pecah. "Aduh, mubazirlah …." Gempa meratapi cairan kuning lengket yang menetes dari sela jarinya sampai ke lantai lalu cepat-cepat mengamankan tiga telur yang tersisa. "Ngeri memang. Kalau kamu risih, blokir aja akunnya, dong, Solar. Gampang."

"Tapi, masa cewek ini sampai cerita padaku, dia ngelihatin fotoku sebelum tidur sambil mastur—"

"BLOK. SELESAI," Gempa memotong, tak ingin mendengar apa yang sudah dibacanya tadi.

"Itulah risiko jadi seorang idol," sahut seseorang yang masuk ke dapur sambil membawa tumbler berwarna hijau lumut.

"Hei, pagi, Duri," sapa Gempa yang sudah mengambil kain pel untuk membereskan telur yang berantakan.

"Pagi, Mas Gempa."

"Ceh, padahal mukaku dan Mas Duri, 'kan, sama persis," gerutu Solar. "Tapi, fansnya Mas Duri nggak ada yang seekstrem ini."

"Orang bilang, tergantung amal dan ibadah," sahut Duri, menjulurkan lidah ke arah adik kembarnya, lalu mengisi botolnya dengan air dari dispenser.

"Amal dan ibadah. Gaya betul," komentar Solar.

"Memang lah bergaya. Bukan macam impersonator artis Korea sok bling-bling."

"Idih. Dikira lebih keren situ yang kayak kolor ijo—"

"KALIAN BERDUA!" seru Gempa yang sudah siaga di depan penggorengan untuk mendadar telur yang selamat (oh, dia ambil satu lagi telur dari lemari untuk menggantikan yang pecah tadi). "Jangan berantem pagi-pagi. Sana, mending bangunin Blaze dan Ais. Keburu telat upacara, nanti."

"Salah sendiri mereka begadang main, padahal udah pulang kemaleman habis tirakatan."

Gempa sudah hampir membalas lagi tapi Duri, yang bicara barusan, sudah menghilang dari dapur. Dia mengerling ke arah Solar yang tengah menikmati roti panggangnya sambil berdiri, pandang bertanya.

"Main apa?" Gempa menyuarakan pertanyaannya. Masalahnya, adik kembar Gempa sendiri, Blaze dan Ais, itu suka ambigu kalau berurusan dengan kata "main".

"ML, Mas." Roti Solar sudah habis dan dia beranjak ke wastafel untuk cuci tangan.

"Hah?" Pasalnya, ML dalam pikiran Gempa sudah macam-macam artinya.

"Mobile Legend. Itu, si Frostfire dan Sori juga demen banget. Saingan push rank, tuh, mereka."

.

.

.

.

.

Hari itu adalah tanggal 17 Agustus 2024. Ais menguap lebar-lebar di meja makan, kentara sekali belum mandi, tak perlu dinilai dari piyama biru lautnya yang kucel itu. Blaze sudah ganti baju seragam, tapi sepertinya dia tadi mandi kilat ala ayam dan lupa menyisir rambut.

"Ais, mandi dulu baru makan," tegur Gempa terang-terangan. "Blaze, sisir rambutmu."

"Yes, Moooom," keduanya menjawab kompak tapi tak ada yang beranjak dari meja makan. Gempa mengurut dahinya lelah. Pagi-pagi begini belum apa-apa dan dia sudah lelah, bagaimana nanti saat dia bertugas memimpin paduan suara saat upacara di kampus? Duri melahap telur dadarnya dalam hening sementara Solar makan sarapan keduanya sambil scrolling ponsel.

"Aku bukan Bunda Kuputeri, ya, kalian berdua," protes Gempa pada kedua adiknya. "Berhenti memanggilku 'Mom'. Kalian ini kalau kangen sama Bunda, kenapa liburan kemarin nggak stay di Jakarta?"

"Nggak mau! Jakarta gerah!" Blaze langsung menyalak.

"Mas Gempa juga tahu sendiri, kita ada touring," sambung Ais dengan mulut setengah penuh.

"Kalian, 'kan, sempat touring ke Jakarta juga, tapi malah langsung ke Bandung tanpa nginap di rumah. Sampai dicariin Mas Taufan, tahu," balas Gempa sambil berdecak ketika mendapati rasa janggal di dalam mulutnya. Celaka, telur dadarnya agak keasinan, meski sudah bertabur onclang dan seledri. Dia menoleh pada Duri. "Duri, telurnya terlalu asin, ya? Maaf, ya … kamu mau dibuatin yang baru?"

Yang ditanya menggeleng dan tersenyum simpul, membenarkan pendapat Gempa tentang rasa yang kelewat asin. "Nggak usah, Mas. Nanti kita telat."

"Ya, ini ada juga orang yang belum mandi. Pasti kita telat," komentar Solar pedas, dengan sepasang mata keperakan di balik visornya terpaku pada layar gawai.

"Aku bisa mandi secepat kilat," bantah Ais. "Biarkan aku nikmati sarapanku dulu, Dek Solar."

Solar mendengus. Dia paling benci dipanggil "Dek" meski faktanya dia memang yang paling bontot di antara empat anak SMA itu dan Ais tahu itu. Sengaja memang si abang sepupu.

"Nah, makanmu sudah habis, bagus, Ais. Mandilah sana," sela Gempa sebelum terjadi adu mulut jilid kedua. Ais pun minum, memberesi piringnya lalu bergegas ke kamar mandi.

"Mas Gempa telurnya bener keasinan, apa kebelet kawin?" Sekarang komentar dari Blaze.

"Eh? Apa hubungannya telur keasinan dengan kawin?" Duri bertanya. Entah betulan belum tahu atau pura-pura tidak tahu. Solar mendengus lagi, kali ini menahan tawa. Matanya masih terpancang ke ponsel seolah dia akan mati kalau sedetik saja tidak melihat ke sana, sementara Blaze dengan semangat empat-lima berusaha menjelaskan kepada Duri hasil seluncurnya di situs-situs Primbon.

"Asemmm tenaaaan," desis Gempa sambil memberesi piring juga, dia memang sudah selesai makan.

"Hah?" Solar terperanjat, lepaslah jangkar mata itu dari ponsel. "Mas Gempa barusan bilang 'asu'?!"

"Viralkan!" seru Blaze heboh. "Mas Gempa misuhhh!" Dan dia mengulangi kata yang bermakna sama dengan anjing itu, padahal Solar yang salah dengar.

"SOLAR! BLAZE!" Gempa berbalik. "Watch your language!"

Blaze masih tertawa-tawa, tak paham salahnya di mana. "Kalau almarhum Ayah dengar, Mas Gempa pasti disuruh kerja romusha."

Duri masih meneruskan makan telur dadarnya yang terlalu asin, sesekali mengernyit karena membayangkan tekanan darahnya akan jadi agak naik, sambil mengingat-ingat berapa butir sisa obatnya sampai dengan jadwal kontrol ke dokter.

.

.

.

.

.

Malam sebelumnya, empat orang dari mereka memang ikut tirakatan jelang tujuh belas Agustus. Yang tiga karena job, yang satu karena tugas negara. Pemilik nama Gempa Mahitala Arjuna di daerah itu adalah ketua karang taruna, sedangkan Blaze, Ais, dan Solar mengisi acara dengan penampilan band mereka. Duri sebetulnya juga anggota band, tapi kondisinya yang sedang kurang sehat membuatnya harus tinggal di rumah.

Adik sepupu Gempa yang bernama lengkap Duri Sasana Jenggala itu punya kelainan daya tahan tubuh sejak lahir. Kelainan itu membuat ginjalnya memburuk seiring waktu, dan sejak SMP Duri harus cuci darah setiap minggu. Belakangan ini, sejak akhir tahun keduanya di SMA, cuci darahnya jadi dua kali seminggu. Kalau nantinya butuh lebih dari itu, satu-satunya cara adalah transplantasi ginjal. Miris sebetulnya hati Gempa kalau teringat Duri waktu kecil adalah anak yang lincah dan suka ke mana-mana berdua dengan adiknya, Solar Suryadana Baskara, berburu ulat bulu untuk diamati metamorfosisnya atau memungut benih tanaman liar untuk melihatnya bertumbuh.

Sejak TK sampai SMA, Duri dan Solar sudah satu sekolah dengan Gempa dan kedua adik kembarnya: Blaze Agni Nakula dan Ais Tirta Sadewa, ke mana-mana juga pasti berdua. Bahkan meski Blaze kini di jurusan IPS dan Ais di IPA, mereka seperti sudah saling tahu (atau memang janjian) akan ketemu di mana saat jam istirahat.

Suatu hari di waktu dulu, saat Gempa sudah lulus kelas 3 SMA tapi belum masuk kuliah dan mereka berempat masuk kelas 1 SMA, ada acara pentas seni sekolah dan mereka berlima iseng membentuk band. Ternyata video penampilan mereka sempat jadi trending topic bahkan di luar sekolah. Jadilah band itu terus dilanjutkan sampai liburan semester. Lulusnya Gempa dari SMA tidak membuat mereka bubar. Satu orang baru mereka rekrut sebagai bassist, menggantikan posisi si mahasiswa. Tentunya orang ini adalah kawan SMA mereka juga, Fang namanya. Seperti Solar, pakai kacamata hanya untuk gaya dan bukan untuk koreksi mata. Tapi, tidak berlebihan macam Solar, warna mata Fang memang aslinya merah dan kacamata perseginya berlensa bening. Solar saja yang sok ide suka pakai softlens warna keperakan ditambah kacamata visor yang jingga mentereng. Memang posisi Solar sebagai lead singer teramat vital, penampilannya tentu harus top markotop. Harusnya kalau ini hari biasa di sekolah, Solar tidak memakai softlens silver itu. Tapi hari ini agenda sekolah hanya upacara dan pentas seni—yang mana band mereka juga diminta mengisi acara.

"Duri nanti ikut tampil di sekolah?" Gempa bertanya dari kursi kemudi sembari menyalakan mesin mobil. Adik sepupu yang ditanya duduk di sampingnya, sedang memasang sabuk pengaman. Duri hanya menggeleng.

"Duri belum latihan, sih," komentar Blaze sambil naik ke kursi penumpang. Ais sudah duduk di tengah dengan nyaman, sedangkan Solar naik dari sisi satunya.

"Jadi, masih Solar yang pegang gitar?"

"Iya, Mas."

Kalau Solar dulunya hanya vokalis dengan Duri sebagai gitarisnya, kini Solar merangkap tugas. Sementara Fang memegang instrumen bas, Blaze yang penuh energi tentunya lebih senang menggebuk drum selain juga jadi back vocalist. Ais, yang lebih suka irit gerak dan mengeluh jarinya sakit saat belajar main gitar, memilih instrumen keyboard.

Untuk menghemat waktu menjelang upacara pagi ini, Gempa memundurkan mobil dari garasi dengan manuver cepat lalu—DUK! Sesuatu dari bagasi menabrak kursi penumpang.

"Eh?" gumam si pengemudi, mengenali suara benturan yang familier.

"Mas Blaze! Tadi gitarnya nggak kamu ikat, ya?" Solar buru-buru turun dan memutar ke bagasi. Blaze merutuki kealpaannya dan ikut turun, membetulkan posisi instrumen yang mereka bawa di bagasi itu.

Duri berdecak pelan. Ais menguap lebar-lebar. Blaze dan Solar kembali ke kursi dan membanting pintu. Yang tadi paling terlambat justru bukan Ais yang mandi terakhir, melainkan Gempa, Blaze, dan Solar yang mengangkut peralatan musik dari gudang transit tirakatan semalam ke dalam mobil. Sejurus kemudian, Gempa tancap gas sambil melirik arloji. Jangan sampai keempat anak itu terlambat untuk upacara terakhir mereka dengan seragam putih abu-abu. Gempa, sih, upacara di kampusnya masih satu jam lagi.

Jalan Kaliurang—atau lebih dikenal sebagai Jalan Persatuan—tampak lengang. Sepagi ini di tanggal merah ini, yang berada di jalan pastilah hanya anak-anak sekolah yang wajib upacara atau orang tua atau keluarga yang mengantar. Gempa sudah melewati kampusnya sendiri barusan di daerah Bulaksumur, tapi dia harus jalan terus untuk menuju SMA almamaternya.

"Topi seragam sudah bawa semua?" Solar bertanya, mengecek. Duri dan Blaze mengiyakan, sedangkan Ais hanya mengangguk terkantuk-kantuk di sampingnya. Gempa mengulum senyum. Solar itu yang paling kecil di antara mereka berempat tapi kadang-kadang dia sudah seperti abang tertua (yang seharusnya Blaze).

Tahun depan, kalau semuanya lancar, anak-anak itu akan meneruskan pendidikan tinggi sesuai passion masing-masing. Mungkin juga akan ada yang keluar Yogyakarta, bahkan mungkin luar Indonesia. Semua demi impian dan cita-cita.

Atau begitulah setidaknya yang diucapkan di depan banyak orang, meski sesungguhnya Gempa juga sedikit tahu dan diam saja tentang kebenarannya.

Ah, sudahlah. Nanti di kampus hari ini, dia akan berdiri di depan barisan paduan suara dan bisa dengan jelas memandangi Soprano yang manis itu yang tentu akan balas memandanginya lekat-lekat karena dia dirigen. Dalam tirakatan semalam, tak hanya berdoa untuk tanah air Indonesia yang 79 tahun merdeka, Gempa juga memohonkan satu hal ….

"Mas Gempa, nanti mau ketemu gebetan, ya? Kok, senyum-senyum sendiri?"

Nyaris menabrak kendaraan lain karena komentar Solar barusan yang disambut sorakan riuh Blaze, Gempa hampir kelepasan misuh betulan. Ais, yang dari tadi tidak diketahui sedang merenung atau tidur lagi, malah kini ikut-ikutan dengan bernyanyi yang segera diikuti duo vokalis di kursi penumpang,

"Akulah Arjunaaa~ yang mencari cintaaa~"

Tepat sasaran: Gempa memang anak nomor tiga dari lima saudara dan punya nama Arjuna dan bisa dibilang termasuk kategori tampan rupawan macam anak tengah Pandawa itu, tapi jangan begitu juga, dong. Niat hati Gempa menurunkan anak-anak itu di jalan, tapi ternyata mereka sudah sampai di gerbang sekolah.

Gempa melirik ke samping. Di hiruk-pikuk keributan yang ditimbulkan ketiga anak SMA di kursi belakang, Duri terus saja diam seribu bahasa di balik maskernya. Duri dan Solar memang masih parno dengan COVID-19 padahal pemerintah sudah menyatakan endemi sejak tahun lalu, meski Solar selalu melepas maskernya kalau bernyanyi di panggung. Mereka memang pernah kena COVID-19 dan Duri bergejala lebih parah, tidak berlebihan kalau dikatakan dia sempat hampir mati karenanya.

Duri yang kelewat diam—seperti hari ini—biasanya tidak berarti baik (belakangan ini kesehatannya terus memburuk) dan Gempa, sekali lagi naluri keibuannya muncul ke permukaan, bertanya dengan cemas, "Duri, kamu kuat ikut upacara?"

Yang ditanya tersentak, seolah buyar dari lamunan. Bisa-bisanya Duri melamun ketika tiga suara di belakang bernyanyi sekeras itu untuk meledek Gempa? Tapi Gempa segera ditanggapi tanpa Duri balas melihat ke arahnya, "Kalau nggak kuat, Solar bisa menggendongku."

"Eh? Apa-apaan itu?" protes adiknya, tapi Duri sudah melepas sabuk pengaman dan turun dari mobil. Blaze dan Solar segera menyusul, sementara Ais memilih untuk bergerak sehemat mungkin. Gempa menoleh memandangi Ais, yang mengangkat bahunya sebelum abangnya menyuarakan pertanyaan. Duri mungkin senewen karena tekanan darahnya naik atau sakit lupusnya berulah, tapi Gempa berharap Ais tahu sesuatu yang lain yang mungkin jadi penyebabnya. Penuh harap Gempa menantikan Ais bicara,

"Sudah dibilang, telur dadarnya Mas Gempa tadi keasinan."

"Ya, lain kali kalian nggak usah sarapan aja, gimana?!"

.

.

.

.

.

Bersambung.

.

.

.

.

.

Catatan Penulis:

Kali ini bau-baunya angst Duri. Tapi sesungguhnya tokoh utamanya adalah Gempa (ingat siapa tokoh sentral di prolog/prawayang? Tak lain adalah Arjuna si anak tengah). Dan Roux nggak bilang kalau Solar (si sulung tapi bukan sulung 'pihak Kurawa') nggak akan dapat jatah angst mwahaha.

Perkenalan para tokoh utama baru singkat saja dan ringan diseling humor karena temanya akan makin berat. Oh, ada yang mau nebak siapa gebetan Gempa? XD

Komentar, kritik, dan saran sangat diterima!

[11 Oktober 2024]