Author notes : I am back writting smut lagi. lama gak nulis berasa kaku banget kalimat-kalimatnya. I hope pembaca terhibur

Warning : Mengandung adegan 21, BDSM, F dom/ S sub, Pegging dan Switch.

Ino x Gaara

if this not your cup of tea, please don't read

Part I

Introduce : The Dark Side


"Selamat datang di Eden," sapa salah satu pelayan kepada member yang baru saja tiba.

Lenguhan, bisikan, tawa dan teriakan membaur dengan getaran dawai Biola yang memainkan Paganini capirce 24. Tempat ini terlihat seperti bagian dari sebuah kastil yang dihuni para vampire. Gelap, misterius dan penuh dengan hal-hal aneh.

Karpet berwarna merah disandingkan dengan dinding batu hitam kelam dan patung-patung gargyole di ceruk-ceruknya memberikan nuansa seram. Langit-langitnya yang tinggi dan melengkung dipenuhi asap tembakau dan marijuana. Di sepanjang dindingnya terpajang berbagai alat penyiksaan dari abad pertengahan. Bahkan di dekat pintu masuk berdiri sepasang baju zirah lengkap dengan pedangnya membuat pengunjung merasa terlempar ke masa lalu.

Gedung ini adalah tempat komunitas rahasia berpesta, Neraka di atas dunia. Tempat dimana moral, status dan realitas hidup tidak lagi relevan begitu mereka memasukinya. Pemandangan pasangan bersengama di belakang pillar, sepasang lelaki berciuman, wanita yang melayani lebih dari setengah lusin lelaki tidaklah mengherankan.

Ketika kenikmatan badaniah dirasa tak cukup untuk memberikan kesenangan, obat terlarang pun menjadi pilihan. Sejumlah kecil orang terkapar di sofa terlihat setengah hidup diantara bubuk heroin dan jarum suntik yang tergeletak di lantai. Asa seakan terbang dari tubuh mereka atau kesadaran mereka terjebak dalam halusinasi bahkan tak jarang ada yang benar-benar mati karena over dosis di sudut kamar gelap bangunan ini.

Di tengah semua kegilaan itu Seorang wanita duduk dengan kaki bersilang. Gaun hitam dengan belahan tinggi menampakan kaki jenjang yang ramping dan mulus . Asap tipis mengembus dari bibirnya bergincu merah, tanpa rasa tertarik ia mengedarkan pandangan di tempat yang penuhi maksiat sementara di bawah kakinya terpekur seekor anjing yang dengan sengaja dia abaikan.

Sang anjing mengangkat kepala, berusaha mendapatkan atensi dari Masternya dengan menjilat ujung sepatu bertumit tinggi yang terlihat mahal. Tanpa ragu, wanita berambut pirang itu membalikan isi pipa rokoknya. Abu yang masih panas dengan sedikit tembakau menyala menimpa punggung yang telanjang. Lelaki itu mengernyit meski apinya padam seketika, tetap saja kulitnya merasakan perih sesaat. Kaki wanita itu mendorong bahunya, hak sepatu yang lancip menekan dada, memberi isyarat untuk menegakkan tubuh. Dia pun bersimpuh dan menunduk dengan patuh hingga jari lentik dengan kuku panjang meraih wajahnya. Memaksa untuk mendongak guna menatap mata berwarna aquamarine yang terlihat gusar.

"Kenapa kau menyentuhku?"

"Aku hanya ingin menghibur anda yang terlihat bosan."

Wanita pirang itu mengencangkan gengaman. Ujung kuku merahnya kini menancap di pipi sang lelaki. "Bukankah aku menyuruhmu menunggu. Apa kau merasa diam dan menjadi alas kakiku tidak menyenangkan?"

"Saya tidak punya waktu semalaman untuk bersabar dalam pengabaian anda. Perintahkan saya untuk melakukan sesuatu."

"Hm…Jadi kau ingin diajak bermain? Anjing kecilku apakah kau tak tahu hari ini suasana hatiku sedang buruk?"

Benar, hari ini dia kesal karena masalah perjodohan yang direncanakan ayahnya. Dia tak punya alasan lagi untuk menolak. Di usia tiga puluh tahun dia dianggap terlalu matang dan ayahnya merasa akan lebih baik jika dia memiliki suami yang akan melindunginya. Ino mendengus, Dia memamg bunga yang tumbuh di rumah kaca, tapi ia tidak butuh orang lain untuk merawatnya. Selama ini dia hanya memamerkan keindahan kelopaknya dan berhasil menyembunyikan semua duri. Duri-duri yang tajam itu hanya terlihat di sini. Ketika ia memakai topengnya dan menjadi orang lain. Bukan Ino Yamanaka. Putri dari Inoichi Yamanaka, Pemilik dari jaringan departemen store Fleurs.

"Oh, Lampiaskan saja kekesalan anda padaku.", ujar si lelaki berambut merah dengan berharap.

Pertanyaan itu dibalas dengan senyum sadis yang menyeruak di wajah cantik lawan bicaranya.

"Baiklah, Jangan menangis bila kau rusak." Ino melepaskan lelaki itu. Lelaki yang dia tak tahu nama aslinya meski mereka cukup lama terikat dalam hubungan yang tidak normal ini.

Tempat ini adalah Eden, sebuah klub esklusif dimana semua orang bebas menjukan preversinya tanpa perlu diadili oleh opini orang lain. Orang-orang ini seperti dirinya hanya mengejar hasrat dan kepuasan amoral yang tak bisa diterima oleh norma di luar sana.

Lihat saja lelaki ini. Dengan tubuh yang tinggi dan tegap rasanya tak mungkin seorang wanita mampu merundungnya, tapi nyatanya dia bersujud, bersimpuh dan bahkan menggongong di bawah perintahnya. Dia ingin diperintah, disiksa, dan dihancurkan martabatnya. Diperlakukan tidak sebagai manusia. Ino mengakui mereka yang ada disini adalah orang-orang sakit tapi fungsional. Dia wanita yang baik budi tapi sisi gelapnya menikmati pemujaan dan dominasi. Berada di Eden dan memperbudak laki-laki ini memberinya secuil kekuatan di tengah-tengah dunia patriaki. Dia sendiri tak tahu siapa dia sebenarnya. Dari sekian banyak topeng yang harus dia kenakan identitasnya perlahan menghilang. Melahirkan berbagai alter ego yang diberdayakan sesuai dengan situasi disekitarnya. Ino Yamanaka harus sempurna, tapi sebagai Hana dia bebas merdeka. Meski hanya dibalik dinding tempat terkutuk ini.

"Master, apakah saya masih harus bersimpuh?" lelaki berambut merah itu kembali bertanya. Mata hijau jade nya menatap penuh harap. Sudah dua minggu dia tak berjumpa Masternya. Kesibukan membut dia tidak bisa mengunjungi Eden dan ketika dia bisa datang Wanita itu tak ada di sana. Kerahasiaan membuat hampir mustahil bagi anggota untuk berkomunikasi di luar klub ini dan memberikan kontak pribadi berarti mengekspos identitas mereka. Jadi dia hanya bisa datang dan menanti.

"Hm..m, apa yang harus aku lakukan padamu?" Ino membelai pipi budaknya dengan lembut sembari berbisik di telinga.

Tubuh sang budak bereaksi dengan sentuhan ringan itu. Semua indranya aktif penuh antisipasi, tak terkecuali bagian bawah tubuhnya perlahan mulai bangun dan mengeras. "Anda bisa merlakukan apa saja, Saya adalah milik anda sepenuhnya", ujarnya parau.

Seringai Ino melebar menyaksikan kemunculan seseorang yang dia kenal. Wanita dengan rambut sebahu berwarna merah jambu. Wanita itu berjalan ke arah mereka.

Ino pun berkata, "kali ini, aku hanya akan menjadi juri. Wanita itu yang akan menjadi eksekutor mu." Sudut mata Ino melirik ke arah wanita berambut merah jambu yang baru saja tiba.

Sakura Haruno melengang dengan gaun spandek merah di bawah dan topeng dengan warna senada, melihat seorang dengan rambut pirang ia segera mendekat untuk menyapa Ino, "Wah, Kenapa kalian di hall? Apa kalian akhirnya berniat untuk ikut menikmati orgy?"

"Orgy? Aku tak pernah berbagi, tapi karena dia agak keras kepala kali ini kau boleh memberinya sedikit pelajaran."

"Wow, Terima kasih. Aku sudah mengincarnya berkali-kali, tapi dia hanya menunggumu."

Ino tersenyum kemudian membungkuk dan menepuk-nepuk pipi lelaki itu dengan senang. "Anjing yang aku pelihara selalu setia."

Lelaki itu terdiam masih dalam posisi berlutut memperhatikan kedua wanita yang membicarakannya seakan dia hanyalah sebuah barang yang mudah dipindah tanggankan.

"Sejauh mana aku boleh menggarapnya?" tanya Sakura.

"Apapun selain intercourse."

Sakura Haruno alias Rose mengangguk. Ia menatap tubuh si budak naik turun kemudian menarik collar dan rantai yang dikenakan lelaki itu "Tak masalah, Itu sudah cukup. Sudah lama aku menanti kesempatan untuk menyentuhnya. Hey, tunjukan seberapa cakap dirimu."

Sang budak terlihat tidak nyaman dan Ino sebagai Masternya sadar tentang itu, tetapi dia tak peduli dan meminta pelayan membawakannya tali dan cambuk berkuda.

"Apa kau mau melakukan ini" Ino menyempatkan diri bertanya karena dia tidak ingin melakukan sesuatu yang tidak disukai. Menjadi master bagi seseorang tak berarti dia bisa memaksa mereka untuk mengikuti kehendaknya tanpa persetujuan karena aturan permainan ini hanya satu memahami dan menghormati batas masing-masing.

Tak ingin membuat wanita itu kecewa, budak berambut merah itu pun mengangguk. Masternya dengan cekatan mengikat tangan dan tubuhnya dengan lihai. Tali yang terbuat dari serat tumbuhan itu menekan kulitnya dengan ketat dan jika dia mencoba bergerak, gesekan tali hanya akan membuatnya merasakan nyeri yang lezat.

"Kai, aku mengawasimu."

Masternya menyerahkan cambuk pada wanita yang dipanggil Rose. Apakah dia akan dipukuli sekarang?

Sang budak menelan ludah, Kai hanyalah alter egonya. Di luar Eden dia punya kepribadian lain yang sama tidak lurus dan tercela tapi secara sosial diterima. Menjadi play boy, mempermainkan hati wanita dan tukang pesta pora merupakan gambaran gaya hidup yang wajar dan diharapkan dari pria dengan kedudukan sepertinya, sebab itu juga dia menjadi patron di Eden. Dia salah satu dari pengejar kenikmatan, tapi dunia yang dia tahu dijungkirbalikkan oleh wanita berambut pirang ini. Ketika ia hendak berburu malah dia yang menjadi mangsa.

Misteri dari rasa frustasi dan tidak puasnya terjawab. Ternyata selama ini dia hanya berpura-pura menikmati penaklukan. Ia tak pernah bisa puas dengan sekedar kekaguman. Ia tak bisa merasakan euforia dari dominasi meski sejak kecil dia diajarkan untuk berada diatas orang lain. Untuk datang dan menang dan mengambil segalanya. Keegoisan hanya itu yang ditanamkan. Memanipulasi untuk mendapatkan keuntungan. Dia manusia yang culas.

Saat pertama kali berkunjung ke Eden, dia langsung merasakan sesuatu untuk Masternya. Tatapan pertama wanita itu, membuatnya meremang karena dipenuh cibiran dan rasa jijik meski tak pernah saling menyapa. Tatapan itu membuatnya tersinggung, ingin tahu dan terangsang. Entah bagaimana wanita bertubuh mungil itu bisa memperlakukan orang seperti keset dan bagi dirinya yang terbiasa disanjung. Tidak dianggap dan dinistakan seperti ini memberikan sensasi lain yang tidak ia pahami. Semua orang ingin mendekatinya, berharap untuk bisa mendapatkan keuntungan. Tapi wanita pirang itu tidak menjilat, tapi dia muncul dan mengigit. Menjadikan dirinya yang seorang pemain sebagai mainan. Merendahkan dan menghancurkan setiap ego yang membangun identitasnya sebagai Sabaku Gaara. Anehnya dia menyukainya dan menyenangkan menemukan sisi lain dari dirinya yang jujur dan polos. Niat awal untuk menguasai menjadi awal dari kejatuhanya dan dia tak keberatan menjadi tawanan sang sang ratu.

"Apakah kita akan membuat pertunjukan." Sakura bertanya.

"Tak ada yang peduli. Mereka pada sibuk sendiri. Lakukan sesukamu Rose dan aku akan menonton dari sini."

Ino kembali ke kursinya dan meminta pelayan mengambilkan segelas wine.

"Hm.. kau spesiesmen yang sempurna." Sakura menyusurkan jari-jemarinya di dada yang telanjang dan lelaki itu sontak merinding. Ia berusaha untuk mengabaikan sentuhan Rose dan hanya fokus menatap sang master yang menonton dalam diam.

"dan juga punya paket yang besar," ujar Sakura memasukan tangan ke dalam celana boxer hitam sembari memainkan benda itu dalam gengamannya.

Belaian itu membuat Kai merasa jijik. Ia ingin mendorong Rose menjauh, sentuhannya berasa seperti oli yang diMastergkan ke atas kulit, licin dan kotor membuatnya ingin cepat-cepat membasuh dan menggosok tubuh hingga tidak meninggalkan sisa. Dia menahan diri dan diam tanpa menunjukan reaksi, tapi rasa marah itu sirna karena dari sini pun dia bisa melihat Masternya sedang menikmati kesengsaraan dan ketidaknyamanan yang ia rasakan.

Wanita itu benar-benar sadis. Menontoni budaknya tengah dilecehkan. Dia jadi menegang bukan karena jari Rose yang mencubit putingnya, tapi keacuhan Masternya.

Sial, bagi Nona Hana dia hanyalah budak tak berarti yang dengan mudah dipindah tangankan ke orang lain. Bisa dipinjamkan dan dipakai begitu saja. Di hadapan sang master dia bukanlah Sabaku Gaara. Lelaki yang kelak memimpin perusahaan multi nasional. Dia hanya Kai, lelaki masochist yang kebahagiaanya datang dari menjadi keset wanita sadis itu.

Dia secara sadar menyerahkan ego, pilihan dan kesadarannya pada wanita itu karena di luar dinding bangunan ini dia tidak diperkenankan untuk bersandar pada orang lain. Dia harus membuat semua keputusannya sendiri dengan penuh kalkulasi yang melelahkan, sedangkan di sini dia bisa membiarkan wanita itu mendikte dan menuntunnya. Kepasrahan itu memberikannya kebebasan. Satu moment untuk tidak membuat keputusan apa pun.

"Berlutut!"

Kali ini Sakura memberikan perintah, tapi Gaara tidak menurut. Ia tak mau diperintah orang lain selain Masternya. Cambuk pun mendarat di sisi kanan pahanya. Meski kulitnya memerah ia tak bergerak.

"Kau kenapa tak mau menurut padaku." Sakura melayangkan cambukan lain di sisi tubuh Kai. Ia tetap diam membatu, menatap sang wanita pirang yang kini tak lagi terlihat senang melihat propertinya terancam rusak. Rasa posesif menyelimuti Ino. Hanya dia yang boleh melukai miliknya dan membuatnya berdarah.

"Masterku hanya Nona Hana."

"…,dan Hana yang kau junjung itu memberikanmu padaku."

Sekali lagi Sakura melecuti pria itu dan Kai menatap Ino sambil mengernyit.

"Hentikan, Kau akan melukainya."

Sakura melemparkan cambuk itu ke lantai. "Kau bilang aku boleh melakukan apa saja."

"Dia berdarah," ujar Ino agak kesal.

"Yah kita sudahi saja. Reaksinya sangat membosankan. Kau harus mengajarinya dengan lebih baik." Sakura melemparkan cambuk di tangannya kemudian pergi mencari mangsa lain.

"Apakah sakit?" Ino bertanya sambil mengamati bilur-bilur merah di paha dan pinggul lelaki berambut merah itu.

"Dia tidak memukul lebih keras dari anda."

Jawaban Kai membuat Ino lega. Sakura pernah bertanya pada Ino. Apakah dia memiliki hubungan khusus dengan Kai? Ino menjawab yang terjadi di Eden berakhir di Eden. Apa yang terjadi di sini bukanlah realitas dan identitas mereka adalah rahasia.

Di luar Eden, Dia dan Kai sudah pasti dua orang berbeda. Di dunia nyata ia sedang dihadapkan oleh tekanan untuk menikah, sebagai putri satu-satunya ia harus tunduk pada pilihan sang ayah. Jika ia menikah ia tak akan bisa datang ke Eden lagi. Ia tak akan bisa bermain lagi, Calon suaminya tak akan menerima perversi seperti ini. Mereka mengharapkan wanita lembut yang akan melahirkan banyak anak. Hal itu menyulut amarahnya dan Kai adalah outlet yang tepat untuk menyalurkan emosi buruk ini.

Tiba-tiba Ino menuangkan wine di atas kepala Kai dan menamparnya tanpa alasan. "Kau mempermalukanku."

"Master saya mainanmu, bukan mainan orang lain. Saya tidak mau merendah padanya."

"Kau bilang tidak suka, tapi lihat kau masih bereaksi dengan sentuhan orang lain. Apa ini namanya kesetiaan?" Tangannya menyusup ke celana dan meremas penis lelaki itu dengan keras. Kali ini Kai terpaksa mengigit bibir demi menahan ringisan yang nyaris terlontar.

"Saya minta maaf, karena terangsang oleh orang lain."

Ino malah menyukai wajah yang mulai memerah di balik topeng. Ia menjilat bibirnya.

"Sebaiknya. Aku akan mengajarimu cara untuk menahan diri."

Ino membimbing lelaki itu melintasi koridor dengan menarik rantai yang terkait pada collar nya. Tak lama mereka berdua sudah berada di ruang private. Dari atas meja Ino meraih chastity belt dan membuat Kai mengenakannya. Benda serupa celana dalam dari besi itu mengurung kelaminnya, membuatnya tak mungkin untuk menyentuh bagian itu.

Ino berdecak senang, Kai meski tak menunjukan wajahnya sungguh enak di lihat. Perut berotot dan tubuh altetis dibarengi sepasang mata berwarna jade yang indah. Oh apalagi bokong nya begitu menggugah untuk ditampol.

Dengan tangan terikat, Kai dipaksa duduk di lantai. Ino pun melepaskan celana dalamnya melemparkan renda berwarna hitam itu ke wajah budaknya. Ino kembali menuangkan wine untuk dirinya dan duduk di sofa sembari merentangkan kakinya.

"Apa lagi yang kau tunggu?"

Gaara menelan ludah, ia beringsut dan mendekatkan wajahnya. Sungguh hal yang indah, lipatan-lipatanya bagaikan kelopak bunga berwarna merah jambu. Tanpa pikir panjang ia menjulurkan lidah. Membelai dari atas ke bawah berharap untuk menemukan nektar tersembunyi.

Wanita itu tidak tersipu, tidak merintih. Meski terasa nikmat saat mulut basah menyesap dan menghisap tonjolan mungil yang tersembunyi diantara bibir bawahnya, ia tetap berwajah datar. Kai harus berupaya lebih dari ini untuk membuatnya puas.

Menyeruak padang tanpa ilalang, lidah sang budak memasuki liang yang panas dan licin. Ino merapatkan kaki, menyilangkan kedua betisnya di belakang kepala Kai, membuat lelaki itu sesak dengan hidung terbenam pada kewanitaannya.

Kai menutup mata, menghirup aroma feminim yang terpancar begitu dekat.

"Jangan berani berhenti!"

Gaara hampir tidak bisa bernafas, tapi ia tak bisa berhenti menjilati hal yang baginya begitu lezat. Membayangkan bagaimana kejantananya melesak memasuki lubang yang licin dan sempit itu membuatnya hampir gila. Masternya tidak pernah mengizinkannya untuk melewati batas itu. Entah mengapa? Selama ini dia hanya bisa berkhayal untuk bisa merasakan tubuh wanita itu seutuhnya. Kadang terasa tidak adil karena dia menyerahkan seluruh tubuhnya tapi Masternya hanya memberikan secuil dari dirinya. Ya mereka bukan kekasih dan budak harus berterima kasih. Bahkan kesempatan untuk mejejakan mulut dan lidahnya disini bisa dianggap bagaikan sebuah berkah. Tangannya terikat dan penisnya terkekang dalam kurungan yang sempit membuatnya kesakitan, tapi ia tetap fokus untuk membuat Masternya senang. Mungkin dengan begitu dia akan punya kesempatan.

Lambat laun Ino mengeliat dan merintih. Tangannya menekan kepala Kai semakin dalam hingga lidah lelaki itu mencapai titik yang dia inginkan. Lidah Kai mulai kelu, tapi ia tak ingin berhenti menyenangkan Masternya. Stimulasi yang panjang dan penuh kesabaran akhirnya membuahkan hasil. Kenikmatan yang dinanti memerciki wajahnya bagaikan berkah. Jika ia beruntung hari ini mungkin ia akan mendapatkan lebih banyak hadiah.

"Apakah anda puas?" tanya Gaara dengan segera.

Masih dengan nafas sedikit terengah Ino menperbaiki posisi duduknya. Memikirkan hampir setengah jam budaknya terikat dan duduk bersimpuh di lantai yang tentunya tidak nyaman. Ia melepaskan semua simpul yang mengikat tubuh lelaki itu.

"Mengapa anda melepaskannya?"

Ino menunjukan pergelangan tanggan Kai yang mulai berwarna unggu. "Peredaran darahmu terhambat aku membuat simpulnya begitu ketat, tidak kah kau merasakan tali ini menekan kulitmu?" Ino berlutut di lantai menyamakan tinggi mereka. Perlahan jarinya menyusuri guratan-guratan tali tambang yang membekas di tangan dan tubuh Kai. Bibirnya di telinga lelaki itu, sebelah tangan memeluk dan tangan lainnya berada di leher. "atau kau lebih suka aku mencekikmu seperti ini?" ujarnya lirih "Kai, kau hanya seorang lelaki cabul dengan kelainan" lanjutnya sembari menjilat telinga kanan sang budak.

Kai gemetar, Jantungnya berdebar karena antisipasi. Rasa sakit, sesak dan kenikmatan berbaur. Burungnya tumbuh menjadi terlalu besar dari kandangnya. Ia mengigit bibir tak berdaya. Perasaan ini membuainya. Pelepasannya berada dalam ditanggan orang lain.

Gigitan keras terasa di telinganya, ia pun melontarkan desahan. Tangan Masternya tak lagi mencekik leher tapi meremas buah pelirnya seakan berupaya mengeluarkan sarinya.

"Master, Bolehkan saya menyentuh anda!" Kai terisak dan tersiksa

"Tidak boleh." Ino terus meraba-raba dan meremas "Hm..kantong ini terasa berat dan penuh. Katakan padaku apa yang sedang kau pikirkan?"

"Tolong lepaskan kekangan ini!"

"Bersabarlah. Ini adalah hukumanmu Kai, karena kau tak bisa menahan hasratmu. Apa kau diam-diam menyukainya? Ketika rose memecutmu dan meninggalkan luka?"

"Master, saya hanya menikmati sentuhan anda dan saya hanya bisa menerima penghinaan dari anda." Kai bicara dengan tulus dan memang benar sejak bertemu wanita ini, wanita lain terasa hambar dan membosankan.

"Oh, aku merasa tersentuh. Bagaimana kalau kita bermain di sana?" Ino menunjuk tempat tidur. "Hm…lebih baik kau tidak melihat apa yang akan aku lakukan." Ino memakaikan penutup mata kemudian menyuruh lelaki itu tidur telungkup kemudian memborgol tangannya di kepala tempat tidur. Wanita itu lantas meraih sarung tangan lateks dan mengenakannya. Sembari melihat-lihat benda apa yang bisa dia gunakan untuk menyiksa budaknya. "Angkat bokong mu, Kai! Kau harus menebak benda apa yang menyentuhmu. Jika kau salah, kau akan menerima konsekuensinya."

Dari posisinya Ino mengamati otot punggung Kai yang lebar, kemudian menyempit dipingang. Ia meraih sehelai bulu dan menyusurkan helaian lembut itu disepanjang tulang belakang sang budak.

Halus dan memberikan rasa geli. Ia menahan desahnya, "Sehelai bulu?" Jawab Gaara

"Benar, Bagaimana dengan yang ini?" Ino melempar bulu ditangannya dan meraih salah satu cemeti di dinding dan mengunakannya untuk membelai punggung lelaki itu.

Gaara mengenali tekstur bahan kulit dan dengan ujung yang banyak , benda itu masih terasa lembut dipungungnya. "Leather flogger?"

"Hm..tidak seru kau bisa menebaknya. Bagaimana dengan ini?" Ino mengambil pecut rotan kali ini dan menepuk-nepuk dengan pelan

Gaara tak bisa menebak, karena yang dipunggungnya terasa padat keras berbentuk silinder. Bisa jadi tangkai pecut kuda karena cukup fleksible. Dia menjawab dengan percaya diri. "Pecut kuda? Ach!!" Gaara memekik merasakan kebas di bokongnya.

Ino terkekeh dan menggunakan rotan itu untuk mencambuk Gaara, "Kau salah. Sepertinya gurumu tak pernah memukulmu dengan yang ini. Dulu jika aku duduk dengan posisi yang salah, pelatih akan memukul kakiku dengan ini." Ino tanpa sengaja menceritakan kepingan masa kecilnya. "Apa kau menyukainya?"

"Uh, perih!" Keluh Gaara, tapi Ino malah mencambuknya sekali lagi dan kemudian menghujani pungungnya dengan belaian lembut dan ciuman. Masternya terkdang bisa menjadi begitu lembut seperti sekarang, tapi dia merasa curiga saat merasakan cairan dingin dituangkan di atas bokongnya.

"Ahn.." Lelaki itu mengeliat Satu jari masternya sudah berada di dalam sana, Ini bukan kali pertama sesuatu masuk di lubang yang tak seharusnya dimasuki. Dia yang biasanya hanya tahu prihal menyodok kini harus belajar disodok. Awalnya terasa aneh dan membuatnya mempertanyakan kemaskulinannya. Apakah dia masih merasa menjadi laki-laki? Yah, fakta itu tidak berubah. Yang berubah hanya dia yang selalu menjadi pelaku sekarang menjadi penerima. Jari-jari wanita itu memijat kelenjar prostat yang hanya bisa dicapai dari dalam rectum. Ia tak bisa menahan rasa nikmat, tapi ia tak bisa ejakulasi karena chastity belt sialan itu masih belum dilepas.

"Apa kau tidak malu mengeliat seperti itu? "

"Tolong Master biarkan aku keluar."

Ino hanya tersenyum melihat lelaki itu belingsatan. "Nah aku tidak akan membuatnya mudah untukmu. Ino menarik jarinya keluar dari tempat itu dan Gaara merasa kehilangan.

"Master??"

Ino melepaskan chastity belt dan Gaara merasakan kelegaan tiada tara. Rasa sakit yang menekan burungnya menghilang dan dia bebas merentangkan sayap, tapi dia sangat terangsang. Lebih mengejutkan lagi Ketika penutup mata dilepaskan dia menemukan masternya berdiri dengan benda silicon hitam mengantung diantara kedua kakinya yang jenjang. Lelaki itu menelan ludah karena tuanya meradiasikan aura autoritas.

"Sudah berbulan-bulan aku melatihmu, seharusnya kau bisa mengatasi ini."

Gaara melirik dildo hitam yang ukurannya jauh lebih kecil dari penisnya sendiri, tapi tetap saja lebih besar dan tebal dari dua jari masternya, Dia agak ngeri tapi juga penasaran bagaimana rasanya bila disodok sampai dalam. Jika para homoseksual melakukannya dan baik-baik saja, sepertinya dia juga akan baik-baik saja. "Lakukan apa yang anda mau."

Ino menggunakan banyak lubricant memastikan semuanya licin dan meluncur dengan mudah. Dia tak ingin melukai Kai dengan menggunakan dildo ukuran besar. Meski otot rectum bisa dilatih tapi tidak akan sama elastisnya dengan vagina. Lagi pula tujuan penetrasi ini hanya untuk merangsang prostat gland yang terletak di sana.

Dengan pantat terangkat tinggi dan disodok cukup dalam, Sang budak hanya bisa mengerang. Sensasi ini sangat berbeda rasanya dari kenikmatan friksi yang dihasilkan oleh penis yang bergesekan dengan dinding vagina. Sial ia ingin menyentuh dan mengocok penisnya tapi tangannya masih tebelenggu.

Meski ino tak mendapatkan rangsangan seksual apa pun pada tubuhnya, ia merasakan euphoria. Bagaimana tidak, meski tak ada yang menyentuhnya tapi visual seorang lelaki pasrah, mengeliat, merintih dan memohon padanya memberikan rangsangan mental. Dalam waktu dekat ia akan berada di posisi budaknya, tapi yang membelengunya bukalah borgol, tali atau rantai melainkan cincin pernikahan. Uh rasanya memuakan, Dia hanya bisa berdoa semoga calon suaminya tidak setipe dengan ayahnya dan mungkin jika dia sedikit berusaha memperbudak suami bukan ide buruk.

Penis silicon hitam itu bergerak maju mundur di liang dubur yang sempit. Sesekali Ino mengampar dan mencubit pantat budaknya yang keras nyaris tanpa lapisan lemak. Normalnya wanita yang digenjot, tapi ini adalah Eden hal normal tidak berlaku. Tak lama berselang, bahkan tanpa sentuhan apapun lelaki itu mengalami ejakulasi. Cairan putih tumpah mengotori seprai sementara sang pemilik penis terkulai. Anusnya terasa kebas, akan tetapi orgasmenya luar biasa dan sekarang dia membayangkan bagaimana rasanya jika penis dan prostatnya distimulasi bersamaan.

Ino tak memberi kesempatan pada budaknya untuk bernafas. Begitu ia melepaskan borgol dan Gaara berbalik terlentang. Dia langsung mengangkangi pinggul lelaki itu dan menggesekan kewanitaannya di penis yang masih licin dan Kembali keras. Dia bergoyang-goyang di atas tubuh atletis Kai. Karena dia wanita yang sangat sensitive, sedikit gesekan saja cukup untuk membuatnya merasakan kenikmatan. Praktis dia menggunakan budaknya sebagai alat masturbasi.

Gaara tidak puas, sejujurnya dia ingin menyelipkan kejantanannya dalam lubang diantara kelopak itu, Penasaran dengan apa yang bisa dia dapatkan jika dia bisa masuk lebih dalam. Sayangnya selama mereka bermain. Sang master tak pernah membiarkan siapapun menyentuhnya seperti itu. Kadang ia menduga masternya membenci lawan jenis dan permainan ini adalah perwujudan dari balas dendamnya.

Ia hanya bisa menatap perubahan ekspresi wajah masternya yang mendekati pelepasan. Mata yang biasa memancarkan kekakuan yang dingin berbinar dalam pengaruh gairah. Dalam posisi seperti ini pun masternya masih memiliki kontrol. Terpikir olehnya seperti apa sikap wanita ini di luar Eden. Gaara membayangkan seorang wanita tegas yang tak akan membiarkan dirinya disetir oleh siapa pun. Wanita yang tak punya masalah untuk berdiri sendiri. Typikal independent women yang tentunya tak pernah dia kencani karena pendirian mereka yang tegas membuat masalah menjadi lebih problematic

"ah…ahn…ah.. ah,"

Wanita pirang itu mengerang. Di bawah perutnya ia merasakan tekanan berkumpul dan lama-lama mendesak ke luar. Sensasi yang dari tadi merangsang organ intimnya mengirim sinyal kenikmatan ke otak. Ototnya berkedut dengan spasmic meluncurkan leleran cairan bening. Perlahan dia membaringkan tubuhnya di atas lelaki itu sembari menikmati gelombang orgasmenya

"Kai, Aku tak akan muncul di Eden lagi."

"Maksud Anda?"

"Carilah tuan yang baru." Ino melihat jam dan segera merapikan diri. "Aku harus pulang. Selamat tinggal anjingku."

Gaara merasa sangat-sangat buruk. Ia menatap pintu di mana masternya menghilang meninggalkannya dengan kekosongan dan sejuta pertanyaan. Inikah rasanya ditelantarkan? Sungguh emosi yang tak menyenangkan. Berasa seperti karma karena dia sering menghosting wanita-wanita yang berkencan dengannya setelah tidur bersama, tapi dia tak menyukai wanita itu secara romantis. Sial siapa sekarang yang akan memuaskan sisi masochist nya? Gaara mengusap wajah. Jika Nona Hana tidak ada maka Kai juga tidak ada. Dia hanya perlu menjalani hidupnya seperti biasa.

Sepertinya dia sudah terobsesi dengan masternya, Seks rasa vanilla terasa semakin hambar sampai-sampai dia berhenti melakukannya. Sebulan lamanya dia masih menunggu di Eden dan benar Masternya tak pernah muncul dan akhirnya dia menyerah ban berhenti menjadi member klub laknat itu. Sekarang dia hanya menyibukkan dirinya dengan pekerjaan sampai ayahnya bingung. Sungguh aneh kalau dia merindukan orang yang dia tidak kenal selain berbagi kegilaan. Yap. Dia harus melupakan wanita itu demi kebaikannya.

Gaara dipanggil ke rumah untuk makan malam Bersama ayahnya. Biasanya hal ini jarang terjadi terkecuali ada hal penting yang harus mereka bahas dan Gaara tersedak mendengar permintaan orang tua itu.

"Menikah?"

"Iya Gaara kau harus menikah. Keluarga kita perlu penerus."

"Dengan siapa? Ayah tak pernah menyukai wanita yang aku kencani."

"Karena aku tahu kau juga tak pernah menyukai mereka. Aku sudah menemukan calon istri yang cocok untukmu."

"ayah, kau tak bisa memutuskan sepihak begini. Aku belum ingin menikah."

"Anakku, kau sudah lama jadi anak durhaka. Apa kau tak kasihan dengan lelaki tua ini. Aku selalu membiarkanmu berbuat sesuka hati, tapi kali ini tolong penuhi permintaanku atau aku akan mencoretmu dari daftar ahli waris dan kita akan melihat apakah kau bisa hidup tanpa uang dan nama keluarga sabaku."

Gaara malas berdebat, sementara ini dia akan mengiya-iyakan permintaan ayahnya sampai menemukan Solusi lain.

"Siapa wanita malang yang akan dinikahkan denganku?"

"Dia putri Tunggal Inoichi Yamanaka. Wanita yang cantik, anggun dan lemah lembut sama seperti ibunya. Oh dia mungkin bukan tipemu tapi aku yakin dia akan menjadi menantu yang baik untuk keluarga kita."

"…tapi, apa kau yakin dia akan suka pria sepertiku? Jika dia mendengar semua rumor tentang percintaanku dia pasti tidak akan setuju." Gaara meminum wine nya dengan santai. "Jujurlah padaku ayah. Selain calon menantu yang cantik, dengan latar belakang baik. Benefit macam apa lagi yang kau dapatkan dengan memaksa putramu menikah?"

Gaara melihat ekspresi tidak nyaman di wajah sang ayah. Persis seperti bocah yang ketangkap basah menyembunyikan kue. "Ehem, Kau tahu seberapa besar bisnis keluarga Yamanaka kan? Sebenarnya aku sudah menolak perjodohan itu dan menjabarkan betapa buruknya sikapmu dan aku tak bisa menjamin putrinya akan Bahagia harus menikah denganmu, tapi Inoichi bersikeras, katanya dia sudah menyelidiku sejak lama dan melihat kau cukup brillian dengan mengembangkan usaha kita. Sepertinya ia ingin menyerahkan pengelolaan Fleurs pada orang yang menikahi putrinya."

"Aku mengerti ayah tidak bisa menolak kesempatan utuk mendapatkan capital gain dan ekspansi bisnis jika kita bisa mengelola fleurs juga. Tapi kenapa Inoichi tidak mengajarkan putrinya untuk melanjutkan usaha keluarga?"

Ayah Gaara mengangkat bahu. "Mungkin saja dia tidak tertarik. Kau tahu kan aku juga berupaya mendidik Temari dan Kankuro untuk melanjutkan bisnis keluarga kita, tapi mereka memilih jalan lain. Temari memutuskan membuka Dojo dan Kankuro menjadi pemain teater. Aku agak kecewa mereka tidak mengikuti jejakku."

"Aku satu-satunya yang mengikuti ajaranmu dan kau masih menganggapku durhaka." Gaara meletakkan gelas. Begitulah ayahnya, selalu menganggap anak-anaknya penuh kekurangan dan tak pernah benar.

"Gaara, Aku akan sangat berterima kasih jika kau menikahi gadis itu."

"Belum tentu gadis itu mau menikah denganku, tapi terserah ayah saja. Apa aku sudah boleh pergi?"

Ayahnya mengangguk. "Gaara kosongkan waktumu akhir minggu. Kau akan bertemu dengan gadis itu dan aku tak akan mentoleransi jika kau menunjukan sikap buruk dan mengacaukan segalanya."

Pelayan memberikan jas nya, Gaara menoleh "Ayah, Kapan aku pernah gagal menjalankan rencanamu?"

"Karena itu kau jadi anak favoritku."

Gaara tahu dia tak akan pernah menikah karena cinta. Dia juga tak pernah jatuh cinta pada siapa pun dan dari persfektif ekonomi sangat logis dan menguntungkan untuk menerima perjodohan ini. Ia hanya menghkawatirkan wanita seperti apa Ino Yamanaka, tapi dari deskripsi ayahnya dia terdengar seperti tipe nona besar yang kalem. Wanita seperti itu tidak akan menjadi sumber sakit kepala kan?

Gaara yakin, menikah atau tidak hidupnya akan baik-baik saja.