Everything I Need

.

Desclaimer : Naruto by Masashi Khisimoto

Pairing : Kiba/Ino

Chapter 2 : When We Meet Again.

.

.

"Kakimu kenapa?"

Serius, bukan pertanyaan itu yang ingin Ino dengar dari Sakura ketika ia pertama kali membuka pintu. Ayolah, ia agak malas menjelaskan soal insiden stiletto cantiknya yang membuatnya cidera hingga seperti ini. Dan setelah semalaman berdebat dengan diri sendiri, ia akhirnya memilih absen kuliah. Tidak bagus juga berjalan tertatih dengan perhatian banyak mahasiswa di kampus.

"Terkilir." Ino mempersilahkan Sakura masuk dan menutup pintu kembali.

"Itu pasti menyakitkan." Sembari berujar prihatin, ia membantu Ino berjalan hingga mencapai sofa. "Aku tadinya mau mengajakmu nonton futsal, tapi keadaanmu sepertinya tak memungkinkan."

"Yeah, aku nggak mungkin bisa datang." Lagipula ia tidak siap bertemu Kiba setelah insiden memalukan yang kedua kali kemarin, ya Tuhan, kenapa pertemuannya dengan Kiba tak pernah terjadi dengan momen yang lebih baik? Selalu saja ia merepotkan lelaki itu.

"Sudah diobati?"

"Sudah, aku sudah tiga kali mengolesinya salep, dan Kiba juga sudah membelikanku anti nyeri." Baru beberapa detik kemudian ia sadar, ada sesuatu yang salah dalam kalimatnya dan membuat Sakura terdiam dengan kening berkerut.

"Kiba?" Ekspresi Sakura menampakkan kombinasi heran dan ingin tersenyum disaat bersamaan, seolah kalimat 'kau nggak bilang kalau sekarang dekat dengan Kiba' tampak jelas dalam sorot matanya. "Jadi Naruto benar, kau dan Kiba-"

"Nggak seperti yang kau bayangkan." Ino menarik napas dalam-dalam ketika si lawan bicara justru tertawa melihatnya panik. "Dia menolongku, entahlah kenapa bisa tepat waktu begitu. Sepertinya dia baru saja pulang kuliah, dan aku nggak berani tanya."

Sakura duduk lebih dekat ke arah Ino, menatap wajah cewek pirang itu yang tampak ragu-ragu. "Kronologi nya bagaimana? Ayolah Ino, aku bisa menyimpulkan yang tidak-tidak kalau insformasi darimu hanya setengah-setengah."

Kalau sudah begini, Sakura tidak akan pulang sebelum mendapatkan penjelasan dengan detail. "Aku sedang ikut kencan buta, oke." Ia mengamati respon Sakura, yang ternyata hanya menaikkan alis tanda terkejut namun tak berkomentar apapun. "Intinya semua sudah ku siapkan dengan baik, stiletto cntik dan gaun terbaik yang ku punya. Dan sialnya cowok itu nggak datang." Ino sudah memblokirnya semalam, dan nyaris membanting ponselnya karena kesal.

"Dan Kiba yang datang?"

"Bukan seperti itu, dengarkan aku dulu dan jangan menyela." Adegan saat ia tersungkur hingga kakinya terkilir dan hak sepatunya patah pasti tampak konyol sekali. Semoga saja tak ada CCTV atau rekaman apapun tentang kejadian itu. "Dan tiba-tiba Kiba ada disana, menawarkan bantuan untuk sampai ke halte." Bukan cuma sampai ke halte saja sih sebenarnya.

"What? Menawarkan bantuan sampai ke halte?" Berusaha meyakinkan diri dengan pertanyaan ulang, Sakura seolah melewatkan satu hal. "Dia bawa mobil?"

Ino menggeleng.

"Lalu?"

"Dia menggendongku." Oh astaga, untuk kesekian kali Ino menyesali keputusan untuk tetap bicara jujur. Setelah ini entah apa yang dipikirkan Sakura, dia pasti akan selalu mencari kesempatan untuk memasangkannya dengan Kiba.

"Hah?"

Respon Sakura tidak seperti yang Ino bayangkan, cewek Haruno itu hanya diam selama sekian detik dan tersenyum, senyum yang mengandung tawa tertahan.

"Tak ku sangka."

Serius Sakura tidak meledeknya? Lagipula kalau diingat-ingat ia pada akhirnya lebih kasihan dengan Kiba dibanding dirinya sendiri, padahal sepanjang jalan yang mereka lewati kemarin ia tak berhenti merutuk soal nasib sialnya. Cowok itu rela menggendongnya, menemaninya naik bis, dan menggendongnya lagi untuk sampai apartemen. Yang luar biasa Ino syukuri, apartemennya memiliki lift, jadi itu agak meringankan beban Inuzuka kan? Selain itu, ia kaget total ketika Kiba kembali lagi dan menyerahkan anti nyeri serta salep bengkak untuknya. Yang benar saja deh. Sudah begitu, Ino justru lupa mempersilahkan mampir atau sekedar mengembalikan jaketnya yang waktu itu ia pinjam. "Yeah, pokoknya dia berjasa sekali kemarin."

"Keren."

"Apa sih maksudmu?" Terlalu banyak mengobrol membuatnya lupa untuk menyiapkan sesuatu untuk Sakura. Tapi keadaannya tidak memungkinkan, biar saja Sakura pergi sendiri ke dapur jika ingin makan atau minum sesuatu.

"Dia bukan siapa-siapa loh, tapi effortnya untuk menolongmu sungguh luar biasa, iya kan?" Tangannya mengambil ponsel, dan membuka obrolan grup. "Sudah lihat percakapan Naruto dan anak-anak yang lain?"

Ino menggeleng, tak ada waktu untuk membuka grup yang satu itu. Terlalu banyak grup yang ia ikuti, terlalu banyak informasi baik yang penting maupun tak penting.

"Anak-anak yang lain sibuk menggoda Kiba, mereka menduga Kiba naksir padamu. Tapi cowok itu nggak merespon apapun."

"Yang benar saja." Ada perasaan aneh yang merambati dadanya mendengar kalimat Sakura barusan. Debar jantung yang aneh. Bukannya ia suka dengan fakta itu, tapi ayolah memangnya kau bisa percaya pada guyonan Naruto yang semua hal seolah nyata dalam imajinasinya? Lagipula kalau benar Kiba suka padanya kenapa cowok itu tidak mengikuti instagramnya balik?

.

.

Rasanya lelah sekali, tapi ia bahkan tak bisa menolak ketika Naruto, Gaara, dan teman-temannya yang lain membawanya ke sebuah restoran pizza dekat kampus. Futsal kali ini saja sudah bikin pundaknya mau patah, ditambah lagi harus duduk selama beberapa jam ke depan demi sebuah loyalitas persahabatan.

Kiba duduk paling ujung, dekat Karin dan Naruto dan yakin jika Ino tidak bakal hadir kali ini. Ia jelas tahu alasannya, dan meskipun itu tidak akan mengurangi suasana apapun di tempat itu tapi tetap saja sesuatu seolah tak pada tempatnya.

Ia kemarin pulang lewat tengah malam, dan pundaknya seolah patah jadi beberapa bagian. Tidak bermaksud mendramatisir, tapi demi Tuhan ia nyaris ingin tidur di paving jalanan karena nyeri luar biasa pada beberapa bagian tubuhnya.

Naruto mentraktir mereka pizza kali ini, dan setengah merutuk karena banyak dari teman-temannya yang tak hadir. Kiba ingin menyampaikan jika Ino sakit, dan itulah yang menghalanginya datang. Tapi urung, ia jelas bakal jadi bully-an disana kalau sampai membongkar rahasia kecil antara ia dan Ino tadi malam.

"Aku sudah mengirim pesan pada Ino dan Sakura agar datang tepat waktu, tapi mereka bahkan tak membaca pesanku." Naruto mengambil ponsel dari saku jaketnya usai memesan pizza nya. Sepertinya ia bakal melakukan panggilan atau sesuatu dengan salah satu dari Ino maupun Sakura.

'Bip'

'Ting'

'Drrt'

Masing-masing ponsel mereka berbunyi.

Kiba salah perhitungan, Naruto lebih memilih mengirim pesan di grup ketimbang telfon.

.

Naruto : Sakura, Ino, berapa lama lagi kami harus menunggu kalian?

Karin : aku yakin Sakura nggak bakal datang, Sasuke kan nggak ada. Dan Ino, sudah ku bilang kau harus melupakan mantanmu

Gaara : Hinata bahkan meluangkan waktunya untuk ini, Sakura, Ino, kalian sedang merencanakan apa?

.

Kiba membaca obrolan grup tanpa tahu harus mengetik apa disana, lagipula kalau pun kali ini Ino membalas, jawabannya bisa jadi lebih marah ketimbang sekedar kerut bibir kesal Naruto.

Balasan Sakura ternyata adalah sebuah foto. Dengan tulisan yang menyertainya 'kaki Ino terkilir, dia kesakitan dan aku sedang menemaninya. Lagipula Karin benar, tak ada Sasuke, tak menarik.'

Lebam merah kaki Ino kini tampak lebih bengkak ketimbang kemarin, tapi tampilannya sedikit lebih keunguan. Cewek itu kemarin sampai menangis, apa sekarang dia masih menangis?

'Coba dikompres pakai es batu, tapi es batunya dilapisi kain' Kiba sudah nyaris menekan tombol kirim, tapi menghapusnya lagi. Astaga, lebih baik ia tak mengirim sekumpulan kata saran itu di grup.

"Hei Kiba, kenapa kau tak jadi mengetik?" Gaara yang sadar lebih dulu membuat yang lain ikut menoleh ke arah si lelaki Inuzuka.

"Apa yang mau kau ketik tadi?" Karin mengulas senyum menggoda, dan membuat sasarannya jadi bingung harus menjawab bagaimana.

"Aku hanya mau menyarankan agar Ino mengolesi salep ke lebamnya, tapi dia juga pasti tahu harus melakukan itu kan?" Dia berusaha berkata sedatar mungkin agar tak membuat yang lain berpikir aneh-aneh.

Naruto tertawa, sedikit menyelidik. "Ku rasa Ino kadang-kadang tak tahu apa yang harus dilakukan, jadi kenapa kau tak mengetikkannya saja?"

.

Naruto : Ino, kau habis ngapain? Main futsal juga tidak. LOL

Ino : Naruto, tidak lucu

Hinata : Ino, turut prihatin, aku akan mampir ke apartemenmu besok.

Ino : Hinata, aku nggak apa-apa kok, tapi kalau kau mampir ke sini boleh sekali.

Karin : Ino, Kiba memberi saran, coba diolesi pakai salep anti nyeri dan bengkak

.

Kiba tertawa tak ikhlas sembari menatap ke arah Karin, sialan. Bisa kacau kalau Ino mengaku tentang apa yang mereka lakukan kemarin malam.

.

Ino : Kiba, uhm, terimakasih, sedang ku coba.

.

Tawanya mendadak luntur. Ia kira setelah insiden malam itu Ino bakal bingung bagaimana cara memulai obrolan dengannya, lagipula hubungan diantara mereka canggung, ditambah lagi dengan drama teman-teman mereka yang seolah ingin menyatukan keduanya dalam berbagai situasi.

"Nah Inuzuka, sudah ku wakilkan, lagipula kenapa kau takut dengan Ino? Dia tidak menggigit." Kalimat Karin mendapat sambutan tawa dari yang lain, dan Kiba ikut tertawa meski enggan.

Mengabaikan obrolan di grup, Kiba mencoba menyimpan nomor Ino dan mengetikkan pesan singkat disana.

'Sepertinya lebamnya jadi lebih parah, coba dikompres pakai es batu.'

Kirim.

Eh, sepertinya ada yang kurang.

'Es batunya dilapisi kain'

Kirim.

Kiba tidak tahu ini opsi yang bagus atau tidak, ia hanya tidak tega melihat tangisan Ino kemarin. Dan berharap cewek itu bisa beraktivitas dengan baik lagi. Tidak lebih. Tidak lebih?

'Trims Inuzuka, akan ku coba. Nyerinya masih luar biasa.'

Lama Kiba membaca ulang balasan itu, dan tak tahu lagi apa yang ingin ia sampaikan, jadi ia menyudahinya begitu saja. Lagipula pizza pesanan Naruto sudah datang, dan antusias saling mengobrol lewat ponsel tergantikan dengan keinginan untuk menikmati makanan.

.

.

Golden hour milik JVKE sudah terputar lebih dari lima kali di ponselnya, namun Kiba masih belum ingin menyudahinya dan membiarkan earphone tetap bertengger di telinga sementara ia melangkah pelan di paving jalanan. Hari ini pertemuan bersama Naruto dan yang lainnya berakhir lebih cepat dari biasanya, dan ini terasa lebih baik. Sebab, ia bisa beristirahat lebih awal atau menonton pertandingan bola sampai dini hari.

Sembari menggulir instagramnya ia menemukan nama im_ino mengikutinya, dan tak perlu dua kali berpikir untuk mengikutinya balik. Dengan sedikit penasaran yang bergelayut dalam dada, ia mengunjungi sosial media cewek itu dan menyimpulkan soal betapa ekspresifnya Yamanaka Ino. Dia nyaris mengabadikan setiap momen hidupnya dan mengunggahnya. Tidak ada yang salah dengan itu, tentu saja, tapi sepertinya jadi agak merepotkan jika harus berurusan dengan orang-orang seperti Ino. Tidak semua orang harus tahu senang dan sedihmu kan?

Dia menaiki undakan tangga depan apartemen, dan menemukan Shikamaru-si tetangga apartemen-tengah terburu-buru, dan nyaris menabrak Kiba, andai saja Kiba tak segera bergerak ke samping.

"Hati-hati Bro." Ia melepas salah satu earphonenya, dan mendapati Shikamaru hanya mengangkat salah satu tangannya sebagai permintaan maaf. Ekspresinya kaku, kerut keningnya serius, dan tidak berada dalam mood yang bagus untuk bercanda.

"Sorry." Kata Shikamaru pada akhirnya sebelum kembali berjalan cepat meninggalkan tempat itu.

Kiba mengamatinya sejenak hingga si pemuda Nara berbelok di tikungan. Kira-kira apa yang membuat Shikamaru tergesa-gesa seperti itu? Padahal seingatnya terburu-buru tidak pernah ada dalam kamus Nara Shikamaru.

Ketika ia kembali menatap layar ponselnya, postingan Ino yang diabadikan tiga minggu lalu manarik perhatiannya. Berpose di bawah sinar matahari awal musim semi, dengan rambut pirang tergerai serta angin yang menerbangkan beberapa helaiannya. Senyumnya barangkali secerah cuaca saat itu, dan hamparan bunga mawar serta bunga matahari tampak menawan berada di sekelilingnya. Kiba memuji seseorang yang mengambil gambar itu, tapi lebih dari apapun ia mengakui jika tanpa Ino disana gambar itu juga tak lengkap indahnya.

.

I don't need no light to see you

shine

It's your golden hour

You slow down time

In your golden hour

.

Sembari berjalan pelan melewati pintu masuk, lantunan suara JKVE masih menemaninya menggulir setiap foto Yamanaka. Diam-diam ia jadi penasaran, apa alasan mantan pacar Yamanaka meninggalkannya?

.

.

Sayang sekali, Kiba tidak hadir di latihan futsal esok hari. Padahal Ino sudah menguatkan diri untuk datang menonton dan mengabaikan nyeri di kakinya yang masih terasa begitu pekat, meski tidak separah kemarin. Lagipula ia hanya ingin mengembalikan jaket, dan mengucapkan terimakasih dengan lebih layak.

"Masih sakit?"

Hinata yang baru datang, mengulurkan jus dingin. Dan meskipun Ino enggan meminum apapun, ia tetap menerima pemberian itu tanpa protes. "Sedikit, tapi aku lebih dari oke."

Sakura sejak tadi sibuk mengambil gambar, entah Sasuke atau keseluruhan tempat itu yang dia foto, dan Ino tak terlalu peduli. Mereka menyepakati satu hal kemarin, bahwa rahasia Ino bersama Kiba harus disimpan rapat-rapat, tidak boleh ada yang tahu, dan semoga saja Kiba tidak usil mengatakannya pada Naruto atau yang lainnya. "Karin kemana?"

Hinata mengedikkan bahu.

"Bersenang-senang dengan pacar barunya." Setelah menyimpan ponselnya kembali, Sakura merasa perlu untuk bergabung dalam obrolan.

"Pacar baru?" Ino mengernyitkan kening, ia pikir dua minggu lalu Karin baru saja punya pacar baru, seorang pria mapan dari perusahaan otomotif dan cukup kaya untuk bisa mengajakmu berbulan madu ke London. "Bukannya mereka sudah jadian dua minggu lalu? Masih bisa disebut baru?"

"Kalian benar-benar ketinggalan berita ya? Astaga, sulit dipercaya." Jemari lentiknya membetulkan tatanan rambut sebahunya sebelum kembali bicara. "Karin dan si pria tampan mapan itu sudah putus."

"Eh? Yang benar?"

Pertanyaan Hinata mewakili sebagian apa yang Ino pikirkan. "Tapi, kenapa?"

"Karin nggak siap diajak nikah. Oh ayolah, kita masih muda, dua puluh adalah masa paling indah untuk berpetualang kan?"

Kendati itu benar, Ino yakin jika Karin memang bukan gadis yang suka dengan istilah ikatan. Dia memiliki jiwa yang bebas, terlalu bebas malah, dan itu agak merawaskan. Entah berapa pria yang pernah diciumnya, atau bahkan tidur dengannya, dan Karin juga pasti tak bisa memberikan jawaban yang signifikan. "Karin cerita padamu?"

Sakura mengangguk, dan membuat Ino agak khawatir.

"Oh astaga, dia baru datang ketika permainan hampir selesai." Arah tatapan Hinata mengarah pada pintu masuk Futsal Center, dan mendapati Kiba baru saja menutup pintu dan berjalan ke tepi lapangan.

Ino mengerutkan kening, dan meskipun itu tidak berarti besar baginya, tapi tetap saja ada kelegaan kecil yang menyebar dalam dadanya. Paling tidak kedatangannya kemari tidak sia-sia, dan ia bisa tenang tanpa memikirkan jaket milik Kiba lagi.

"Dia tidak ikut main?"

"Ku rasa tidak." Sakura mengarahkan tatapannya pada Sasuke yang berebut bola dengan Naruto, dan binar antusias di iris hijau zamrud nya tak bisa disembunyikan. Dia seolah ingin memuji sang pacar, tapi sedikit enggan dengan cebikan bibir Ino ataupun rutukan jengkel dari Hinata, maka hanya senyum yang ia torehkan sebagai bentuk kepuasan. "Kata Sasuke, jadwal kuliahnya cukup padat, dan kalau aku jadi Kiba sepertinya lebih memilih istirahat dari pada nongkrong bersama Naruto. Maksudku, ayolah kadang-kadang menghabiskan waktu bersama Naruto lumayan menguras tenaga."

"Dia kuliah jurusan apa?" Ino tak tertarik Sakura mengutip beberapa bagian kata yang pernah disampaikan Sasuke soal Naruto, karena ia justru lebih penasaran dengan topik soal Kiba.

"Farmasi."

"Wow." Hinata berkomentar pendek, dan tak lagi fokus dengan pembicaraan mereka ketika ponselnya berdering. "Ayah."

Ketika Hinata berjalan menjauh, Ino serta Sakura sudah bisa menduga jika Hinata tak akan kembali ke tribun lagi. Lihat saja, dia pasti bakal keluar dari Futsal Center dan langsung pulang. Sang ayah pasti menelfon untuk menyuruhnya pulang.

"Mau ikut nonton?"

"Nggak." Yang benar saja, sementara Sakura dan Sasuke bermesraan di bioskop, ia dibiarkan jadi obat nyamuknya? Ogah parah. Lebih baik pulang, dan sementara ini istirahat dulu sebelum bisa jalan-jalan lagi kemanapun ia mau. Tatapannya lekat pada Kiba yang ikut bersorak saat Naruto berhasil menjebol gawang lawan dan permainan selesai. Antusias cowok itu kadang tampak begitu menggebu-gebu, tapi ada saat tertentu Inuzuka jadi begitu serius, susah diajak bicara, di sisi lain juga dia orang yang baik dan lembut. Entah bagian mana yang membuat Ino penasaran. Tapi setiap bagian dari sikap itu seolah terjalin jadi satu, lagipula Inuzuka tetaplah manusia biasa, jadi sikap apapun yang kadang agak membuatnya mengernyit heran, hanya sebagai perwujudan bahwa dia masihlah manusia.

Ino nyaris tersedak ludah sendiri ketika tatapannya yang setengah melamun mendadak mendapat sambutan dari Kiba. Cowok itu seolah merasa diperhatikan, dan mendongak ke jajaran kursi tribun. Tatapan keduanya saling membeku selama sekian detik, sebelum Kiba menyudahinya dengan senyum tipis dan mulai bicara dengan Sasuke.

Bukan kegiatan yang menakjubkan, memang. Tapi nyaris membuat jantungnya meledak, dan perutnya jumpalitan. Astaga, harusnya ia tidak terang-terangan menatap begitu kan? Nanti Kiba mengira ia naksir beneran. Selain malu, rasanya ia lebih ingin bersembunyi.

.

.

"Inuzuka." Mengabaikan deru napasnya yang tak teratur akibat rasa canggung, Ino tetap berusaha tampak sebiasa mungkin. Tak peduli dengan senyum konyol Naruto dan tatapan heran Kiba.

Sasuke dan Sakura sudah pergi sejak lima menit lalu, film yang bakal mereka tonton akan tayang dalam tiga puluh menit ke depan. Tak ada waktu untuk memperpanjang obrolan dengan yang lain.

"Ya?" Kiba menghentikan langkah, mendadak melupakan topik seru soal pertandingan bola kemarin malam.

"Trims." Ino mengulurkan jaket Kiba yang terbungkus dalam paper bag ungu muda. "Jaketmu."

"Oh." Inuzuka diam-diam bisa merasakan tatapan mengamati dari Naruto, apa yang diharapkan si Uzumaki dari momen aneh ini? "Sama-sama."

"Kakimu sudah sembuh?"

Demi Tuhan, untuk pertama kalinya ia lega ketika Naruto mengajaknya bicara dan melelehkan kecanggungan diantara dirinya dan Kiba. "Lumayan, sudah bisa dipakai jalan normal."

"Lain kali jangan banyak tingkah."

"Apa-apaan sih?" Ino memutar bola mata, sementara tawa pelan Kiba mengiringi rutukannya.

"Ya sudah Bro, aku duluan. Aku duluan Ino." Setelah tepukan bersahabat di pundak Kiba dan lambaian yang ia arahkan pada Ino, Naruto berlalu pergi. Membawa serta suasana ceria yang baru saja merebak diantara mereka.

"Kakimu, benar sudah sembuh?" Kiba mengawali pembicaraan, dan keduanya mulai berjalan pelan keluar dari futsal center. Ia tidak menyangka keadaan bakal membuat mereka ditinggal berdua begini, dan Ino juga tidak seheboh biasanya.

"Kurasa begitu." Ayolah jangan bahas soal itu lagi. Nyeri kakinya selalu membuatnya teringat pada momen paling memalukan yang ingin ia lupakan seumur hidupnya. "Kau, baru pulang kuliah?"

Kiba membetulkan letak ranselnya, ransel yang kali ini terlihat lebih ringan dari beberapa hari lalu. "Sebenarnya sejak dua jam lalu, tapi ada sedikit urusan." Kalau saja teman-teman kuliahnya tidak memaksanya makan bersama di restoran yang baru buka seminggu lalu, ia pasti tak akan ketinggalan main futsal hari ini.

Ino cuma mengangguk sebagai tanggapan, tidak tahu lagi apa yang ingin ia katakan. Dan ia baru sadar telah mengikuti Inuzuka sampai parkiran.

"Mau pulang bareng?" Ekspresi terkejut Ino barangkali menjelaskan jika itu bukan tujuannya mengikutinya sampai parkiran. Selama beberapa detik berikutnya, jawaban gadis itu tak kunjung terdengar.

"Apa boleh?"

"Yeah, why not." Kiba mulai membuka pintu honda civic silver nya, dan membiarkan Ino memilih kursi mana pun yang ingin didudukinya.

.

tbc

Am. Inzaghi: Thanks untuk review and supportnya, dan thanks juga selalu ninggalin jejak di tiap kesempatan

Kchi77327 : Thanks ya udah mampir dan ninggalin jejak, sejujurnya aku nggak bisa move on dari crack pair ini. Sekarang udah langka banget.

.

Lin

19 April 2024