Everything I need

Chapter 3 : One Step Closer

Desclaimer : Naruto by Mashashi Khisimoto

Pairing : Kiba/Ino

.

Kiba tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana ketika mobil mulai meninggalkan pelataran parkir futsal center, dan Ino juga tidak menunjukkan tanda-tanda memiliki topik bagus untuk dibicarakan. Jadi ia mulai memutar lagu. Golden hour milik JVKE berada di urutan atas lagu favoritnya. Meski tidak sepenuhnya mencairkan suasana, mendengar Ino mendengungkan lagu yang sama membuatnya diam-diam tersenyum. Suara Ino kacau, dan dia tetap percaya diri, sesuatu yang membuat Kiba lumayan kagum.

"For the love of my life

She's got glow on her face

A glorious look in her eyes

My angel of light."

Pelan Kiba ikut menirukan lagu itu, dan mereka saling tatap canggung sebelum tertawa bersama.

"Suaramu bagus." Tepuk tangan Ino dan binar bahagia matanya membuat Kiba lebih tak berkutik selain tersenyum dan benar-benar berhenti tertawa. "Kurasa kau bisa jadi penyanyi tanpa bergabung dengan The Sky." Naruto tak pernah berterus terang kenapa dia dan yang lainnya menamai bandnya The Sky, terlalu biasa dan... seperti kurang pemikiran matang.

"Tapi aku suka The Sky." Tatapannya sekilas mengarah pada Ino, sebelum kembali ke depan. Pura-pura fokus dengan jalanan malam yang agak padat. "Dan sepertinya aku beruntung mengenal kalian semua."

Ternyata Kiba bukan salah satu orang yang menerima mentah-mentah sebuah pujian, berbanding terbalik dengan dirinya. "Apa benar begitu?" Ino tertawa pelan, meski tak benar-benar tahu apa yang ia tertawakan. "Oh ya, kau tinggal dimana? Rasanya nggak fair kau tahu tempat tinggal ku tapi aku nggak tahu tempat tinggalmu."

"Apartemen ku di daerah Nihonbashi." Jawabnya singkat. "Kenapa? Kau mau kesana?"

Tidak terlintas sama sekali untuk pergi ke apartemen Kiba, apa yang ia harapkan dengan datang kesana? "Kau serius menawariku begitu, padahal aku kan cuma tanya."

Kiba tersenyum lagi, gurat-gurat lelah yang semula menggantung di tiap otot tubuhnya seolah mereda sedikit demi sedikit. Cara Ino mencairkan suasana ternyata lumayan juga ketimbang pertemuan tak menyenangkan mereka beberapa hari lalu, ini jauh lebih baik. "Kau yakin tak perlu bantuan untuk sampai di lantai apartemenmu?"

Ino mengerjap pelan ketika gedung apartemennya sudah terlihat jelas beberapa meter dari pandangannya, dan meskipun Kiba mungkin tak bermaksud menggodanya, itu masih kedengaran agak aneh? Oh ayolah Ino, cowok itu mungkin cuma sedikit khawatir. "Sepertinya tak perlu, aku bisa berjalan dengan baik lagi sekarang."

Kiba mengangguk, sedikit ragu dengan jawaban lawan bicaranya. Cara jalan Ino tak meyakinkan. Jadi ia tetap berada di sana, mengamati, hingga cewek itu masuk ke gedung apartemennya. Menyisakannya sendirian dengan lagu yang kini tengah memutar fix you milik cold play.

.

.

Ino tak bisa mengendalikan debar jantungnya, astaga sialan, apa-apaan sih ini. Ia yakin tidak sedang naksir Kiba, tapi pertanyaan sederhana barusan sudah mampu membuat pembuluh darahnya seperti bergetar. Dan apa maksudnya tidak langsung pergi ketika menurunkannya di depan apartemen? Apa Kiba berharap ia persilahkan masuk dan menemaninya?

Kacau, dan semoga saja sikapnya tak tampak aneh tadi.

Eh, ia lupa mengucapkan terimakasih. Ya ampun, Ino, kau benar-benar tidak tahu diri.

Sembari berusaha menguatkan langkahnya menuju lift, Ino baru melihat honda civic milik Kiba mulai meninggalkan halaman apartemen. Sepertinya ia harus mengirim pesan singkat ucapan terimakasih.

.

.

Rambutnya yang sedikit basah masih meneteskan air ke lantai ketika ia mulai duduk di sofa dan tayangan Real Madrid yang tengah melawan Manchester United disiarkan di channel favoritnya. Rasa segar usai mandi membuatnya terbuai, merasa nyaman, sekaligus agak ngantuk.

'Bip'

Notifikasi pesan masuk ke ponselnya, bukan pemberitahuan grup sepertinya, tapi siapa yang nyaris tengah malam begini mengirim pesan? Tak membiarkan pertanyaan mengambang lebih banyak di otaknya, tangannya mulai meraih ponsel di atas nakas. Dari Ino.

'Well, thanks tumpangannya tadi.'

Benar juga, si pirang itu lupa mengucapkan terimakasih tadi. Dan bukannya Kiba berharap mendapatkan kata pendek itu, karena tidak dapat pun tidak berpengaruh banyak pada hidupnya. Tapi tetap saja, tidak bisa dipungkiri jika ia berharap dianggap berjasa.

'You're welcome.' balasnya singkat. Apa ini terlihat terlalu cuek?

'Kenapa kau belum tidur?' Kiba ragu untuk mengirim pertanyaan itu, dan selama beberapa detik jemarinya masih dalam mode akan menekan tombol kirim namun tak jadi.

Kirim.

Balasan Ino lumayan cepat, bahkan Kiba yakin ia belum tiga kali menarik napas ketika ponselnya menyala lagi.

'Aku sedang marathon nonton serial misteri thriller Amerika sambil mengerjakan tugas.'

Kiba mengernyit, nonton sambil mengerjakan tugas? Ada ya manusia seperti ini? Apa fokus Ino tidak terganggu? Ketika jemarinya hendak membalas pesan itu, bel pintunya berbunyi. Siapa yang malam-malam begini bertamu? Sebab, selama ini belum pernah ada kejadian semacam ini. Ada debar halus yang menjalari kulitnya, ia yakin itu bukan hantu, dan apartemen ini juga aman dari para pencuri atau perampok.

Ia berdiri, meletakkan ponselnya di sofa dan berjalan pelan ke arah pintu depan. Bahkan lupa mengenakan baju, membiarkan dadanya telanjang sementara celana trainingnya terlipat ke atas sebelah.

"Shikamaru?"

"Bro, boleh pinjam mobilmu?" Ekspresi kalut Shikamaru lebih dari kemarin, bayangan gelap di bawah matanya seolah menjelaskan dia belum tidur semalaman. Apa yang terjadi?

"Yeah." Kiba menyipitkan mata, tak sopan rasanya bertanya untuk apa Shikamaru malam-malam begini meminjam mobil. Apalagi keadaannya seolah tak bisa didefinisikan baik-baik saja.

"Pacarku kecelakaan beberapa hari lalu, dan sekarang kritis," ia tampak menelan ludah, susah payah merangkai kalimat dan mempertahankan agar air matanya tak keluar. "Jadi aku-"

"Ya Tuhan, Bro," semilir dingin angin malam menerpanya, pori-pori kulitnya meremang, meski tidak sampai membuatnya menggigil. "Atau kau perlu bantuan untuk sampai kesana? Biar ku antar."

Shikamaru menggeleng, "aku tahu kau lelah Inuzuka, jadi istirahat saja." Dia menghela napas. "Aku masih bisa pergi sendiri."

Tidak perlu penjelasan kedua bagi Kiba ketika ia masuk lagi ke dalam untuk mengambil kunci dan menyerahkan nya pada Shikamaru, dan ketika si pemuda Nara sudah berjalan pergi ia mengunci pintu kembali.

Jarum pendek nyaris menunjuk pukul satu malam ketika Kiba kembali, dan mendapati pesan terakhir Ino terkirim sekitar lima belas menit lalu.

'Kau sendiri ngapain belum tidur?'

Ia tidak berpikir panjang ketika mengambil gambar TV yang tengah menampilkan pertandingan sepak bola, lalu menekan tombol kirim dengan tulisan 'sedang nonton bola.'

.

.

Kelas paginya dimulai pukul delapan, tapi Ino punya cukup waktu untuk bersiap-siap pergi kuliah. Rasa lega membanjirinya usai menuntaskan serial yang membuatnya penasaran sepanjang minggu kemarin, sekaligus menyelesaikan seluruh tugas kuliahnya dalam waktu bersamaan. Dan sepertinya kemarin ia ketiduran menunggu balasan pesan dari Kiba. Apa pria itu juga ketiduran? Atau justru mengabaikan pesannya? Lagipula tak penting juga untuk tahu apa yang dilakukan Kiba tengah malam sampai membuatnya tak bisa tidur.

Ia memeriksa ponsel, dan menapati pesan terakhir Kiba dikirim pukul 00.49. Dia mengirim foto layar TV yang tengah menayangkan pertandingan sepak bola. Khas laki-laki pada umumnya, itu bukan sesuatu yang membuatnya heran. Eh, tunggu dulu. Ino menyipitkan matanya, melihat dengan lebih teliti gambar yang dikirim Kiba. Ya Tuhan, Kiba sadar tidak ya kalau kaca lemari di sebelah TV memantulkan separuh dirinya yang telanjang dada.

Oke, itu bukan pemandangan terlarang, tapi kenyataan bahwa ia pernah penasaran soal tubuh Kiba dibalik kaosnya membuat napas Ino menderu tanpa bisa dicegah. Itu fantastis, dia seksi, kulit tan dengan tubuh ramping namun berotot. Perpaduan yang pas, bukan kekar yang berlebihan dan itu menawan. Astaga, astaga. Ino yakin pipinya bersemu dan merasa lega bahwa ia sendirian di tempat itu.

.

.

Kiba rela pergi kuliah naik bus dan berdesakan dengan puluhan orang yang memiliki kepentingan berbeda disana ketika Shikamaru belum kembali keesokan harinya. Itu bukan masalah, tentu saja. Keadaan pacar Shikamaru jelas belum membaik, dan Kiba tak enak jika harus mengirim pesan pada Shikamaru atau lebih tepat jika disebut enggan. Lagipula, ia juga terbiasa naik bus jika jalanan agak macet dan tak memungkinkan baginya untuk berkendara secara pribadi. Tapi jelas bukan opsi yang bagus jika ia harus lari-lari di trotoar dan menatap panik arlojinya saat menunggu bus, sementara jadwal latihan bersama The Sky lima belas menit lagi dimulai. Ia ragu, apakah bisa sampai tepat waktu tanpa mengecewakan salah satu dari teman nongkrongnya.

Ia sudah sering terlambat untuk acara apapun yang diadakan Naruto, dan meskipun Sasuke selalu bilang jangan khawatir karena itu bukan masalah besar tetap saja Kiba merasa tak enak.

Tenggorokannya terasa sekering gurun ketika sampai di tempat latihan, lebih tepat disebut apartemen kosong yang sepakat mereka sewa sebagai tempat latihan. Para tetangga apartemen disitu selalu sibuk tiap siang, dan tak seorang pun berada di apartemen masing-masing sebelum pukul sembilan malam, jadi latihan sepanjang siang tak akan mengganggu siapa pun. Setidaknya begitu.

"Hai, kau seperti habis dikejar anjing saja." Gaara yang sedang duduk di kursi dekat TV dengan sekaleng cola menyapa ketika Kiba baru saja membuka pintu. Sementara Naruto sibuk menatap ponselnya, sebelum mengulas senyum dan mulai berdiri.

"Sudah lengkap, Sasuke. Sebaiknya kau cepat dengan ramenmu kalau tidak mau ketinggalan latihan." Naruto setengah berteriak pada Sasuke yang sibuk dengan alat masak. Suara ribut alumunium yang tak sengaja terantuk, bunyi mangkok yang beradu dengan meja dapur porselen, dan suara ketukan sendok berpadu jadi satu.

Suasana hangat ini mendadak membuat Kiba merasa sebanding dengan perjalanan menyebalkannya barusan.

"Apa kau sudah sempat makan siang, Inuzuka?" Sasuke sepenuhnya mengabaikan perintah Naruto, dan lebih memilih melanjutkan sesi membuat ramennya.

"Ku rasa itu bisa ditunda nanti." Kiba berjalan ke arah Gaara. Melepas ranselnya, serta jaket denimnya yang mendadak terasa gerah. "Sorry ya, apa kalian sudah lama disini?"

"Sebenarnya aku juga baru datang," cengiran Gaara membuat Kiba agak lega.

"Nggak masalah Kiba." Naruto mulai berjalan ke arah jajaran alat musik yang bakal mereka mainkan dalam beberapa menit ke depan. "Sasuke, kami perlu menunggumu berapa menit lagi."

"Ada apa denganmu? Kau selalu saja terburu-buru." Sasuke kembali dengan semangkuk ramen yang menguarkan aroma rempah yang lezat, dan tak peduli pada Naruto yang tampak jengkel dengan ulahnya. "Ayolah Bung, aku lapar dan belum sempat makan sejak pagi. Setidaknya beri aku sedikit waktu untuk mengisi tenaga."

Gaara tertawa, dan berusaha menghabiskan colanya dalam sekali teguk.

.

.

Sasuke memetik senar gitar dan mendengungkan it will rain milik Bruno Mars di akhir sesi latihan mereka. Suaranya yang sedikit serak berpadu dengan alunan gitar, entah kenapa terdengar cocok ketimbang versi aslinya, dan sementara Kiba menyandarkan punggungnya pada sofa, Naruto berkomentar.

"Ngapain nyanyi lagu itu, kisah cintamu jauh lebih mulus dibanding siapapun disini," dia menawari Kiba sekaleng keripik kentang favoritnya, dan hanya disambut gelengan dari si cowok Inuzuka.

Gaara mendengus, "bilang saja kalau aku yang paling nggak beruntung diantara kalian."

Dan alih-alih melanjutkan lagu itu, Sasuke justru tertawa. "Oh shit, itu semua salah Naruto."

"Kau nggak perlu khawatir, aku justru tidak memiliki pacar saat ini." Ucap Kiba pendek, dan mulai mengecek ponselnya. Notifikasi pesan dari ayahnya dikirim sejam lalu, dan ia merasa belum memiliki waktu yang pas untuk membacanya.

Naruto menepuk pundak Kiba, ikut tertawa bersama Sasuke. "Tapi bukan itu intinya, dan Gaara berada di fase paling sulit tentang mendapat restu orang tua."

Inuzuka mengernyit, ia adalah orang baru yang tak tahu banyak seluk beluk urusan masing-masing. Dan kisah romansa Gaara tak pernah jadi bagian yang membuatnya penasaran.

"Lupakan saja Inuzuka," Dia memutar bola mata. Tapi Sasuke justru mengacau.

"Ayah Matsuri tak merestui hubungannya dengan Gaara, lagipula kalau aku jadi Gaara aku pasti minder total. Cowok yang mau dijodohkan dengan Matsuri anak CEO, sedang ambil kuliah kedokteran di Seoul National University College of Medicine. Keren kan?" Nada bicara Sasuke tanpa dosa, seolah tak peduli dengan ekspresi jengah si pemuda Sabaku.

Ketimbang ikut meledek, Kiba justru kasihan. Tapi paling tidak, Gaara mungkin bisa cari pacar lain dengan wajah tampan cueknya yang mengagumkan itu. "Aku pernah berada di posisimu, Bro."

"Oh iya?" Binar mata Gaara lebih menarik perhatian ketimbang kerut kening heran Sasuke maupun Naruto. "Dan akhirnya?"

"Kami putus."

Tawa Naruto dan Sasuke meledak jadi satu, dan meskipun jawaban Kiba benar adanya, Gaara benci mengetahui kenyataan itu.

"Dipikir-pikir memang nggak akan ada jalan keluar kecuali kau kawin lari," Si pirang Uzumaki mengedikkan bahu. "Tapi kurasa itu bakal sulit, kata orang-orang kehidupan pernikahan tak seindah kelihatannya."

"Jadi kapan?" Sembari bergeser dan meletakkan gitarnya, Sasuke menatap tepat ke arah Naruto.

"Apanya?" Itu jelas perubahan topik yang Naruto sendiri tak tahu apa yang sedang dibahas.

"Kau nembak Hinata." Kali ini tawa Sasuke diiringi tawa Gaara, yang senang sekali jika ada orang lain yang bisa dibully selain dirinya.

"Oh ayolah, aku sedang berusaha." Ekspresi tak senang Naruto mendadak jadi asyik untuk ditonton. "Kau sendiri bagaimana Kib?"

"Aku?" Seluruh tawanya lenyap, digantikan kebingungan, oh jangan lagi. Dan sementara Sasuke serta Gaara jadi mengernyitkan kening ke arahnya, Kiba yakin mereka tak sepemikiran dengan si Uzumaki.

Sambil merebut keripik dari tangan Naruto, Sasuke memutar bola mata, "kau serius menjodohkan Ino dengan Kiba?" Mengabaikan raut tak terima Naruto, seolah idenya dari awal adalah yang paling brilian. "Ino cantik, sangat seksi, dan apa? Sangat absurd? Aku pernah naksir padanya sebelum jadian dengan Sakura. Dan asal kau tahu saja, dia susah move on dari mantannya."

"Bukannya kau nggak jadi mendekati Ino karena waktu itu dia masih jadian dengan Sai?" Seperti tak tepat waktu sekali pertanyaan Gaara, karena Sasuke mendadak memelototinya. "Kau bilang Sai cuma bajingan yang terlalu menggilai mimpinya."

"Bajingan yang menggilai mimpinya," Tawa Naruto lagi-lagi terlontar, dan dia seolah menertawakan banyak hal. Suasana hatinya berubah baik secepat kau membalikkan telapak tangan, "dan aku nggak menyangkal soal itu. Dia agak sombong, seolah terlalu alergi bergaul dengan orang-orang seperti kita." Tangannya kini menepuk bahu Kiba, yang tidak tahu harus berekspresi bagaimana.

"Tapi tidak apa-apa Bung, kalau kau mau mendekatinya. Aku sudah nggak punya rasa padanya, dan well, jangan pernah bilang Sakura soal ini ya." Kalimat seriusnya nyaris membuat Kiba ingin lari dari sana.

Yeah, apapun itu, fakta soal Yamanaka yang cantik memang tidak bisa disangkal, tapi itu bukan poin utamanya. Kiba masih enggan menjalin hubungan apapun yang melibatkannya dengan seorang gadis yang minta disayang setiap hari. Jelas bukan waktu yang bagus untuk menjadikan Ino sebagai pacarnya atau apapun. Hubungan Kiba dengan para mantannya memang tidak bisa dianggap harmonis, tapi mereka selalu putus tanpa adanya dendam. Acara reuni, dan acara-acara lain yang melibatkan mereka selalu berjalan lancar tanpa adanya canggung. Ia dan para mantannya tetap berkomunikasi dengan baik sebagai seorang teman. Dan sepertinya itu tidak akan terjadi padanya dan Ino jika mereka mengikat satu sama lain, dan kemudian putus. Ino tampak seperti cewek yang suka mengungkit-ungkit masa lalu dan agak enggan berhubungan lagi dengan sang mantan meski ingin. "Tapi, Ino kelihatannya baik." Kalimat itu ia sesali dua detik kemudian ketika tatapan heran Sasuke dan kernyit kening Naruto tampak jelas di wajah masing-masing.

"Tapi Kiba memang cocok dengan Ino, cowok baik hati yang rela mendengarkan celotehan si gadis mabuk tentang mantannya, lalu berakhir muntah di jaketnya." Gaara menertawakan habis-habisan momen itu, dan sepertinya seluruh orang yang hadir waktu itu tak bisa melupakannya.

"Ya Tuhan, jangan diingatkan lagi. Aku yakin Ino nggak bakal suka dengan bagian yang itu." Sejujurnya ia juga tak suka kejadian itu diungkit, sepertinya tidak begitu bagi ketiga temannya, mendadak saja topik bullyan berganti padanya.

.

.

'Nenekmu sakit, teleponlah kalau sempat. Dia sepertinya merindukanmu.'

Pesan itu baru dibaca Kiba menjelang tengah malam, ketika ia mencoba berbaring untuk mengistirahatkan punggungnya yang lelah. Matanya yang nyaris terpejam kini terjaga lebih dari yang bisa dibayangkannya, dan ketika ia melihat jam di ponselnya sekali lagi, ada keraguan yang membuatnya tak jadi menekan tombol panggil ke nomor sang ayah.

Setelah ibunya meninggal sejak usianya lima tahun, neneknya berperan sebagai ibu pengganti. Sementara ayahnya yang seorang dokter penyakit dalam terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Praktik di tiga rumah sakit berbeda, dan seolah tak memiliki waktu sama sekali untuknya. Entah itu bagian untuk menghibur dirinya agar tak terus-terusan teringat mendiang istrinya, atau justru berusaha kabur dari beban sebagai orang tua tunggal. Yang mana pun bagi Kiba sama-sama tak memberinya keuntungan.

Ibunya dulu seorang penyanyi, mahir bermain piano dan gitar. Salah satu minat Kiba untuk bermain gitar juga dari ibunya, sementara tak ada yang lebih Kiba ingat tentang ayahnya selain sepak bola yang diajarkannya ketika Kiba masih terlalu kecil untuk bisa menendang bola. Sepertinya memang hanya olahraga itu yang membuat hubungan dengan ayahnya tak canggung, diluar itu segalanya terlalu kaku untuk dimengerti satu sama lain.

Lama ia berpikir, dan akhirnya mengetikkan sebaris pesan balasan pada sang ayah.

'Apa gula darah nenek naik lagi?'

Hampir lima menit tak ada balasan, dan Kiba nyaris terlelap ketika bunyi 'bip' pelan membuat layar ponselnya menyala.

'Hipertensi nya kambuh, nenekmu sepertinya tidak patuh minum obatnya.'

Satu pesan lagi masuk, dan itu membuat Kiba berpikir ia sebaiknya tidur sekarang.

'Jangan telepon sekarang, nenekmu sudah tidur.'

Kadang-kadang ia tak suka dengan segala macam rencana sang ayah soal masa depannya, seolah dia yang paling tahu banyak hal. Dan menganggap putra semata wayangnya ini hanya tahu cara menggiring bola dan membobol gawang lawan. Sejujurnya Kiba tak ingin jadi farmasis, atau apoteker atau apapun yang membuatnya berkutat dengan orang sakit dan rumah sakit. Itu memualkan. Tapi ketika sang nenek mulai ikut-ikutan memberi nasehat, segalanya jadi berbeda. Kiba tidak tahu mengambil jurusan farmasi adalah opsi untuk merencanakan masa depan cerah, atau justru ia hanya ingin menyenangkan hati neneknya. Entahlah, ia tak tahu pasti.

tbc

.

Lin

9 Agustus 2024