Everything I Need
.
Desclaimer : Naruto by Masashi Khisimoto
Pairing : Kiba/Ino
Chapter 4 : Father and Son
.
.
Ekspresi Shikamaru pucat pasi ketika mengembalikan mobil di awal pukul 5 pagi, Kiba nyaris mengira tengah melihat mayat hidup diantara remangnya pencahayaan lorong yang menghubungkan apartemennya dengan milik si pemuda Nara.
"Kau nggak apa-apa Bro?" Dibilang takut Kiba justru khawatir dengan kondisi apapun yang tengah dialami si tetangga. Apa keadaan pacarnya jadi memburuk?
Air mata menggantung di pelupuk matanya ketika menatap Kiba dengan sayu, "Dia melupakanku, dia bahkan melupakanku."
Dari berbagai duka yang menimpanya dan menimpa keluarganya, Kiba jelas tahu trik untuk membuat diri sendiri tenang ketika mendapat masalah. Tapi ia tak tahu cara menenangkan orang lain, atau memberi support yang lebih baik ketimbang rentetan kata sabar. Oh ayolah, ungkapan sabar sudah terlalu umum dan membosankan. Shikamaru sudah tahu harus melakukan itu, dan ia rasa lelaki itu cuma butuh didengarkan.
.
.
"Hilang ingatan setelah kecelakaan kadang cuma bersifat sementara, kau nggak perlu khawatir. Pacarmu cuma perlu sedikit waktu lagi untuk bisa mengingatmu, ini banyak terjadi pada kasus korban kecelakaan." Kiba menawarinya masuk, dan meletakkan sekotak apel serta teh kalengan karena mengira Shikamaru jelas lupa atau justru tak sempat mengisi perutnya.
"Menurutmu sampai berapa lama dia bakal melupakanku?" Ada binar harapan di manik hitam pekatnya, yang kali ini menatap Kiba penuh tanya.
"Setiap orang durasinya berbeda, ini tergantung dari tingkat keparahan cideranya. Tapi aku yakin, dokter pasti bakal menyarankan terapi okupasi dan memberinya suplemen vitamin. Ini nggak bakal lama." Belum pernah ia merasa selega ini ketika lawan bicaranya meneguk teh kalengan itu, dan tampak sedikit rileks, "Kakekku dulu juga pernah amnesia setelah kecelakaan, dia lupa padaku, pada ayahku, dan bahkan pada nenekku. Tapi setelah sebulan berlalu dia mulai mengingat semuanya lagi. Jadi ku rasa, pacarmu pasti bisa mengingatmu lagi setelah ini."
Meski kalut di hatinya masih sedikit tersisa, namun ia merasa lebih baik setelah datang ke sini. Dokter yang menangani Temari tidak memberi banyak penjelasan, barangkali jam terbangnya terlalu tinggi, dan perlu buru-buru untuk memeriksa pasien lain yang juga sama parahnya. "Trims Bro."
"Yeah, aku hanya memberi penjelasan sebisaku." Semburat matahari pagi menyeruak dari jendela kaca yang tirainya sedikit terbuka, dan menyita perhatiannya. Tiba-tiba ia ingat, belum sempat menelfon ayahnya lagi. Apa neneknya sudah baikan? Atau dia masih sakit? Kali ini di rumah sakit mana dia dirawat inap? Apa rumah sakit biasanya? Atau justru dirujuk ke rumah sakit lain? Mendadak ia yakin jika pesannya tak bakal dibalas sang ayah sepanjang pagi dan sore ini, mungkin bakal mendapat balasan nanti malam.
Rasa ragu membuatnya tak memiliki topik untuk melanjutkan perbincangan dengan Shikamaru, dan segala hal tentang neneknya berputar dalam kepala. Apa mungkin langsung menelepon sang nenek saja?
.
.
Seharusnya tidak seperti ini. Bagaimana mungkin, ia ditipu habis-habisan oleh partner kencan butanya yang ternyata sudah punya istri. Pria itu mengaku masih lajang, dua puluh tujuh tahun dengan pekerjaan mapan seorang editor dari salah satu kantor penerbit terkenal. Tampan, ramah dan sangat nyaman selama sesi berbalas chat dengannya. Dan kini Ino menyesali keteledorannya sembari merutuk saat si istri sah pria itu melabraknya. Berteriak seperti orang kesetanan diantara puluhan pengunjung kafe yang biasanya tenang. Oh sialan, ia jadi pusat perhatian untuk hal memalukan semacam ini.
"Lihat dirimu Nona muda, kau cantik, dan aku yakin bisa dengan mudah mendapatkan pria mana pun yang kau inginkan. Tapi kenapa kau mengencani pria beristri seperti suamiku?" Lantunan musik lembut tak lagi bermakna, tergantikan pekikan wanita itu yang seolah memantul dari tiap dinding dan atap.
Ino menelan ludah, mencari kalimat yang tepat untuk diucapkan sementara pria di hadapannya justru bingung seperti orang tolol. Berengsek benar. Nasib percintaannya sungguh menyedihkan. Dan segala kata lolos dari benaknya, tergantikan oleh rekaan kejadian yang disusun otaknya. Jadi apa tadi sang istri membaca pesannya pada sang suami untuk bertemu di kafe? Lalu wanita itu membuntutinya, dan mereka berakhir seperti ini? Apa yang mungkin bisa Ino lakukan untuk kabur dari situasi ini? Tapi untungnya foto profilnya bukan fotonya sendiri.
"Saya bukan selingkuhan suami anda." Suaranya agak bergetar, namun Yamanaka tetap berusaha menguatkan diri untuk menatap balik lototan mata si wanita. Lagi pula enak saja disebut selingkuhan sementara ia adalah korban juga disini. Harusnya yang perlu dilabrak ya si suami itu, bisa-bisanya main serong ketika punya istri modelan nenek sihir seperti ini. Dan lihatlah si tampan berotak kopong itu, tak bisa memberikan pembelaan apapun dan justru panik sendiri. Paling tidak, tolong bawa istrimu pergi dari sini agar situasi tak makin keruh.
"Bisa-bisanya kau mengelak ketika sudah tertangkap basah begini?" Tangannya menyambar gelas berisi cairan merah muda di meja, entah itu isinya jus stroberi atau jambu, dan Ino tidak pernah lebih benci dari ini ketika rambutnya yang ia tata nyaris satu jam penuh diguyuri cairan itu. Ini terlalu basah, terlalu dingin, dan terlalu lengket.
"Apa yang anda lakukan?" Matanya rasanya panas, sementara lelehan dingin itu masuk ke dalam gaunnya, membasahi bagian payudara dan perutnya.
"Itu belum ada apa-apa nya dibanding apa yang telah kau lakukan padaku."
Kalau dibilang sedih, barangkali ia sedikit sedih tapi rasanya konyol saja menangis di situasi seperti ini. Di hadapan semua orang yang nyaris mengiranya wanita jalang tak tahu diri. Ia menghela napas, mengisi paru-parunya yang sesak dengan segenap oksigen yang masih tersisa ketika pintu kafe terbuka dari luar. Dan Ino mendadak punya alasan bagus untuk bisa lari dari sana. "Saya tidak mengelak, saya benar-benar sedang menunggu pacar saya. Dan lihat disana dia sudah datang." Ia tidak berpikir dua kali ketika mulai berlari dan menghampiri sosok Inuzuka yang entah punya urusan apa berada disini. "Hai Honey, kau lama sekali."
Butuh tiga detik bagi Kiba untuk memahami situasi ketika lengannya mendadak dipeluk Ino, dan gadis itu bergelayut manja seolah mereka betulan sepasang kekasih yang sudah menjalin hubungan bertahun-tahun. Ekspresi biru jernih iris mata Ino seolah nyaris melelehkan air, dan ada apa dengan pria di meja nomor lima itu? Dia menatap Kiba dengan ekspresi agak shock sementara wanita di sebelahnya tampak heran. Ia tiba-tiba jadi pusat perhatian seluruh pasang mata di kafe. Dan di meja paling ujung, teman-teman kuliahnya melongo menatapnya. Habis terjadi drama apa disini? Dan cairan apa di rambut pirang Yamanaka itu?
"Oh yeah, sorry. Kau tidak apa-apa?" Apalagi yang dilakukan Ino sampai berpura-pura seperti ini? Tapi ketimbang membiarkan banyak pertanyaan berputar-putar di otaknya, ia memilih mengikuti rencana apapun yang dirancang si cewek Yamanaka. Pelan ia memeluk pinggul Ino, mendekatkan diri pada cewek itu, dan lelehan basah di gaun biru muda si cewek mengenai pergelangan tangannya. Ada gerak tak siap, yang menandakan jika kedekatan fisik ini juga tidak direncanakan dengan matang.
"Ini pacar saya, dan saya tidak berbohong soal saya bukan selingkuhan suami anda." Ada nada bangga dalam suaranya yang seolah membungkam seluruh atensi di ruangan itu, dan Kiba paham ke arah mana sandiwara ini berlangsung. Ya Tuhan, konyol rasanya, sementara teman-temannya masih bingung dengan ekspresi ingin tertawa di ujung kafe. Mereka pasti bertanya-tanya soal kebenaran ini, dan ia harus menjawab apa?
"Anda yang harusnya malu melakukan ini pada saya, sementara saya tidak tahu apapun soal perselingkuhan suami anda," kali ini nadanya agak membentak, getaran suaranya sudah bisa dipastikan jika Ino nyaris menangis.
"Hei sudah, ayo kita pergi dari sini saja," sejujurnya Kiba juga tak tahu harus berbuat apa. Tapi lebih baik jika ia membawa Ino pergi dari sana, dan memberi penjelasan pada teman-temannya nanti. Jadi masih dengan tangan yang memeluk Ino dengan sayang sementara tangan yang lain dibebani ransel di pundak, ia menuntun Ino keluar dari kafe, tak peduli dengan dengung tawa dan gumaman tak jelas dari para pengunjung yang lain.
.
.
"Sial betul wanita itu."
Di dalam mobil yang masih terparkir di pelataran kafe, Ino setengah menangis sembari mengelap wajah, rambut serta lehernya dengan sekotak tisu milik Kiba, yang Kiba pikir tak akan berhasil sebelum Ino paling tidak mengguyurkan air ke seluruh tubuhnya, dan membuat aroma jambu yang bercampur wangi bunga itu benar-benar hilang.
"Dan pria tolol itu, ah aku bahkan nggak habis pikir dia seperti orang bingung dan tak melakukan apapun."
Kiba menahan senyum, yang hampir jadi ledakan tawa. Benar kata Sasuke, Yamanaka Ino kadang-kadang absurd dengan segala tingkahnya yang tidak dipikir matang-matang.
"Kenapa kau tersenyum?"
"Tadinya aku nyaris tertawa." Kiba melepas kemeja kotak-kotak hitam putihnya dan mengulurkannya pada Ino.
"Apa?" Ino mengerutkan kening, apa Kiba bermaksud menyuruhnya membersihkan cairan jus itu dengan kemejanya.
"Bra mu, kelihatan."
Ungkapan datar itu membuat iris mata Ino melebar, napasnya menderu gugup, dan ia yakin pipinya sudah bersemu sekarang. Maka tidak perlu disuruh dua kali ketika ia meraih kemeja Kiba dan menutupi bagian dadanya. Apa yang sudah dilihat pemuda itu? Dadanya yang berisi terbalut bra ungu? Oh demi Tuhan, ia rasanya ingin menangis di tempat.
"Jadi mau kemana? Ku antar ke apartemenmu atau toilet umum?" Setelah puas menyaksikan ekspresi malu Ino ia kembali menatap ke depan, entah sejak kapan berdua dengan Ino tidak terlalu canggung lagi.
"Ke apartemen saja."
Kiba mengangguk, "kira-kira kalau tadi bukan aku, apa kau masih berani berpura-pura kalau lelaki yang baru masuk kafe adalah pacarmu?"
Ino diam sejenak, memikirkan pertanyaan itu, betul juga. Bahkan tidak terbersit di benaknya soal itu, bahwa kehadiran Kiba yang mendadak ternyata sebuah anugerah, eh? "Entahlah, yang jelas itu agak awkward kan?"
Tawa Kiba mengalun ketika mobil mulai keluar dari pintu gerbang kafe, dan diam-diam Ino menikmati tawa itu untuk dirinya sendiri. Seolah baru pertama kali ini ia melihat Kiba tertawa begitu lepas. Tawa lepas tanpa beban.
.
.
Ponsel Kiba tidak berhenti berbunyi sejak tadi, dan membuat cowok itu agak terganggu. Dia memang belum memeriksa ponselnya sejak keluar dari kelas, dan siapapun itu yang menelepon pasti memiliki urusan sangat penting hingga tak memberi jeda pada tiap panggilannya.
"Angkat dulu teleponmu, kita bisa menepi sebentar." Ino memberi saran, tapi melihat ekspresi serius Kiba ia yakin cowok itu tidak akan menerima sarannya.
"Apartemenmu sudah dekat, sekalian nanti berhenti disana."
"Dari siapa sih? Pacarmu ya?"
Pertanyaan menyelidik yang dilontarkan Ino membuatnya tersenyum singkat, apa Ino yakin mengira ia sudah punya pacar? "Ayahku."
Ino mengangguk, dan mendadak merasa lega. Kiba tidak mengatakan secara langsung, tapi kenyataan bahwa dia secara tersirat mengungkapkan jika dia tidak punya pacar membuat beban Ino seolah terangkat tuntas.
Kiba akhirnya mengambil ponselnya ketika sampai di depan apartemen Ino, dan mengira si gadis Yamanaka bakal segera keluar. Tapi sepertinya Ino jauh lebih penasaran dengan ekspresinya ketika melihat layar ponsel, dan memutuskan duduk disana untuk beberapa saat. Terhitung 56 panggilan dari sang ayah, 3 panggilan dari pamannya, sepuluh pesan dari sepupunya, dan dari teman masa kecilnya di Nagoya. Kalimatnya berbagai macam rupa, tapi isinya sama. Neneknya meninggal. Bibir Kiba mengayun terbuka, seolah segala harapannya lolos begitu saja lewat pori-pori. Dadanya mendadak sesak, dan meskipun tak ada air mata yang keluar atau perasaan ingin menangis, jauh di lubuk hatinya, rasa sedihnya tak terkira besarnya. Dia sedikit panik ketika menelepon balik sang ayah, namun tak mendapat respon.
"Kau nggak apa-apa?" Ino tak yakin pertanyaannya tepat waktu, sebab Kiba tiba-tiba memukul kemudi dan tampak memejamkan mata untuk menenangkan diri. Ino ketakutan, ini tidak pernah ada dalam bayangannya. Emosi Kiba selalu stabil, terkontrol, dan tersembunyi. Namun kali ini suasana hatinya tampak kacau dan meletup-letup. "Kiba?" Gumamnya pelan, setengah ragu dan setengah kehilangan nyali.
"Kau bisa turun sekarang," Ia menghela napas panjang. Berusaha sebiasa mungkin, dan seramah yang dia bisa. "Aku harus segera pulang ke Nagoya."
"Apa? Kenapa?"
"Nenekku meninggal."
"Ya Tuhan." Ino hanya menduga jika sang nenek begitu berarti baginya, dan Kiba jelas berusaha meluangkan waktu sebisanya--meskipun luar biasa sibuk--untuk bisa menghadiri pemakanannya. Tapi Nagoya tidak bisa dibilang dekat juga, berkendara ke sana dalam keadaan pikiran suntuk total jelas bukan ide bagus. Pamannya pernah mengalami kecelakaan, lalu lumpuh, sebelum berakhir meninggal ketika tengah berkendara dari Yokohama ke Tokyo. Alasan yang mirip dengan yang diungkapkan Kiba, beda versinya hanya saat itu kakeknya yang meninggal. Ngebut di jalan, pikiran berada lebih dulu di Tokyo, dan tak fokus menyetir. "Kau bisa tunggu aku sebentar, sebentar saja, aku akan ganti baju dan membersihkan rambut."
Kiba mengernyitkan kening, tak paham.
"Ku temani pulang ke Nagoya."
.
.
Tak ada lantunan musik di dalam mobil, tak ada pembicaraan yang lebih berarti ketimbang pertanyaan Kiba soal apakah Ino perlu ke toilet, atau mereka perlu mampir ke suatu tempat untuk makan malam? Yang dijawab Ino dengan gelengan, sebab ia tahu cowok itu tengah terbaru-buru total. Mereka hanya mampir sekali ke SPBU, dan Kiba membeli dua bungkus milk bread dan dua teh kotak untuk mengisi perut mereka.
Kiba tak nafsu makan, tapi perjalanan nyaris 5 jam membuatnya perlu tenaga untuk tetap terjaga. Dan meskipun pikirannya dikuasi oleh sang nenek, respon ayahnya, dan para sepupunya, ia masih tak memiliki alasan bagus untuk dirinya sendiri, kenapa setuju mengajak Ino ke rumahnya di Nagoya?
"Kita tidak akan pulang secepat yang kau bayangkan, dan ini pasti melelahkan. Kenapa kau mau ikut?" Kiba bertanya usai menghabiskan rotinya, dan menatap Ino dengan tatapan lelah parah.
Ino harusnya juga mempertimbangkan soal itu tadi, tapi salahkan saja dirinya yang nyaris tak pernah berpikir panjang ketika mengambil keputusan. Dan lagipula, melihat ekspresi Kiba ia seolah rela melakukan apapun agar suasana hati pria itu kembali membaik. Oh tunggu dulu, ia jelas takut Kiba bernasib seperti pamannya. "Pamanku mengalami kecelakaan hebat ketika mendapat kabar bahwa kakek meninggal, dia mengemudi dari Yokohama ke Tokyo. Ngebut, mengejar waktu, dan panik. Tiba-tiba aku takut kau bakal bernasib sama seperti pamanku." Pertanyaan Kiba membuatnya berhenti pada gigitan keempat, dan tenggorokannya terasa kering. "Yeah, kurasa nggak masalah untuk sedikit lelah."
Barangkali alasan Ino cukup masuk akal, tapi kenapa Ino harus mengkhawatirkannya? Apakah itu masuk hitungan untuk, 'aku mengkhawatirkanmu karena aku tertarik padamu, bukan sekedar sebagai seorang teman.' "Oh, aku ikut prihatin soal pamanmu, tapi aku cukup hati-hati untuk tidak berakhir seperti itu."
"Ku harap begitu," Ino kembali menggigit rotinya, "aku bisa mengemudi, kita bisa bertukar posisi kalau kau merasa lelah."
Kiba jelas salah pernah mengira Ino agak sombong, dan gadis sepertinya adalah tipe orang-orang yang harus mendapatkan apa yang dia inginkan. Tapi ada sisi lain dari diri Ino yang membuatnya merasa tenang, merasa diperhatikan, dan... entah, apa ini bisa disebut merasa disayang? "Nggak perlu, aku cukup fit untuk mengemudi sampai Nagoya. Tidur saja kalau kau lelah."
"Aku akan terjaga sampai tujuan." Ia memantapkan tekad, dan bertanya-tanya mungkinkah Kiba ingin menangis tapi gengsi karena ada dirinya disini? Atau mungkin Kiba termasuk cowok-cowok yang sulit menangis saat merasa sedih?
"Ini bakal jadi malam yang panjang, Yamanaka. Ku harap kau tak menyesal." Kiba mulai menyalakan mobil, perjalanan mereka akan berlanjut. Dan malam tampak makin petang, barangkali mereka bakal sampai di lokasi menjelang tengah malam.
"Yeah, tidak masalah buatku." Asalkan bersamamu. Ya Tuhan, Ino tidak yakin itu benar-benar bisikan hatinya atau bisikan dari kepalanya . Sebab, ayolah apa ia sungguh-sungguh menyukai Kiba lebih dari ini?
.
.
Nyaris pukul 11 malam ketika mobilnya sudah memasuki area Nagoya, dan Kiba memacu mobilnya lebih cepat lagi agar mereka segera sampai tujuan. Dia beberapa kali melirik Ino dengan ekor matanya, dan mendapati gadis itu berusaha menguatkan matanya agar tak terpejam. Kerut keningnya menjelaskan segala kelelahannya, tapi mata birunya tetap memukau seperti biasanya.
"Kita akan segera sampai." Kiba berujar pelan, dan ia bahkan tak sadar jika ponselnya mati.
Ino menghela napas panjang, ketika rumah duka sudah kelihatan di depan mata. Hanya tinggal beberapa orang disana, barangkali cuma tersisa keluarga inti, atau entahlah. Mungkin juga anggota keluarga Inuzuka hanya sedikit, yang mana pun tak membuat Ino puas sebelum mengetahuinya sendiri.
Setelah memarkir honda civic nya dibawah rindang pohon momiji, Kiba keluar dari mobil. Nyaris membukakan pintu untuk Ino, andai saja cewek itu tak cepat keluar dan berdiri di sisinya.
"Aku canggung sekali." Yamanaka menarik napas dalam-dalam, memperbaiki tatanan rambutnya yang entah masih rapi atau sudah kusut. Dan semoga saja segala riasan di wajahnya masih sebaik tadi.
Sebenarnya, Kiba sama gugupnya, kendati ia tak bisa mengungkapkannya, ekspresi matanya menjelaskan segalanya. Dia memegang tangan Ino, merasakan dingin menjalari telapak tangannya yang hangat. Mereka berjalan berdampingan, dan menarik perhatian sebagian orang disana.
.
.
Ino meremas jemarinya dengan gugup, sementara nyaris semua orang menjadikannya pusat perhatian. Ia seperti barang baru diantara mereka semua, seseorang dengan rambut pirang diantara para kerabat berambut coklat. Dan ia bersyukur setengah mati, sempat ganti baju dengan stelan gaun hitam. Yang membuatnya tak terlalu mencolok selain rambut pirangnya.
"Kau cantik sekali, pacarnya Kiba eh?"
Ino mengerjap pelan ketika seorang gadis muda berbisik di dekatnya, ia tidak yakin dengan usia gadis itu, tapi jelas lebih muda. Siapa dia? Sepupunya Kiba? Ino belum sempat menjawab ketika anak itu berujar.
"Aku Hikari," Senyumnya terlihat tulus di balik sembap matanya. "Namamu siapa?"
"Yamanaka Ino, kau boleh panggil Ino."
Binar almond mata Hikari menatapnya begitu lekat, dan pancaran kekaguman tak berhenti berputar-putar di hadapannya. "Serius Ino, kau manusia bukan sih? Beruntung sekali Kiba dapat gadis secantik dirimu."
Tak ada yang ingin ia katakan selain senyum tipis yang tak meyakinkan. Lagipula ia dan Kiba bukan sepasang kekasih, tapi apapun itu ia heran dimana Kiba berada? Kenapa ia ditinggal disini sendiri?
.
.
"Kau sengaja mematikan ponselmu sepanjang pagi? Atau kau sengaja ingin lari dari semua ini?" Ekspresi Tuan Inuzuka kelam, gurat-gurat lelah dan kesal bercampur dalam kerut di keningnya. Untuk berbagai alasan yang sulit dijelaskan Kiba tiba-tiba menyesal telah datang kemari. "Dan apa-apaan pakaianmu itu? Menghadiri acara kematian dengan pakaian kasual benar-benar tidak sopan."
Oke, Kiba tahu jika semua perkataan sang ayah benar. Dia tidak memeriksa ponsel sepanjang siang, bukan berarti pagi ia tak membuka ponsel dan lagi, kematian sang nenek terlalu mengejutkannya hingga membuatnya nyaris tak punya waktu untuk sekedar berganti stelan hitam yang formal. "Aku sampai disini setelah perjalanan nyaris 5 jam dengan mobil, dan ayah menyalahkanku untuk semua itu? Paling tidak ayah harusnya tanya kenapa aku melakukan semua ini kan?"
"Kau selalu punya alasan untuk semua hal."
Rahangnya kaku, namun matanya panas, semua hal berputar jadi satu dan membuatnya pening.
"Ketika aku menyuruhmu menelepon balik, kau tak melakukannya. Kenapa?"
"Ayah bercanda? Ayah yang bilang sendiri jangan menelepon tengah malam karena nenek sudah tidur. Kenapa ayah menyalahkanku untuk semua hal yang aku bahkan tak tahu salahku dimana?" Barangkali ini adalah pertama kalinya ia menantang tatapan mata sang ayah, mengabaikan segala tata krama dan sopan santun yang dulu selalu digaungkan oleh lelaki di hadapannya.
"Kau harusnya punya waktu lebih dari itu kan? Kuliah, belajar, dan waktu luang. Setidaknya ada jeda usai kuliah untuk menghubungi balik. Nenekmu mencari mu sebelum kematiannya, dan kau tahu kenyataan itu bakal kau ingat seumur hidupmu." Suaranya pelan, namun sedikit meninggi. "Apa yang kau lakukan di waktu luangmu? Menghihur diri dengan mabuk dan main wanita?"
"Ayah benar-benar keterlaluan. Aku sudah berusaha jadi anak baik seperti yang selalu ayah anjurkan, dan begini cara ayah mengapresiasi upayaku?" Tangannya terkepal di tiap sisi tubuhnya, dan ia masih memiliki hati nurani untuk tak menghantam sang ayah dengan pukulan telak. Kiba nyaris bisa merasakan emosinya dan sang ayah saling berlawanan, berputar-putar di sekitarnya dan membuat udara malam yang harusnya dingin menggigit jadi sesak mendadak.
"Mengapresiasi upayamu? Upaya yang mana? Aku sudah menganjurkanmu kuliah di Meidai, dekat dari sini dan kau bisa sering-sering mengunjungi nenekmu, tapi apa? Kau melempar dirimu sejauh mungkin dari sini dengan pergi ke Tokyo. Berusaha jadi anak ibu kota, ha? Agar kau bisa mengencani gadis-gadis kota seperti yang kau bawa kemari itu?" Selalu tatapan mengintimidasi yang itu, yang dihafal Kiba diluar kepala. Barangkali dulu ia sempat takut dengan tatapan kaku dan tajam milik sang ayah, tapi sekarang tidak lagi.
"Ayah lagi-lagi memelintir kenyataan, siapa yang pernah ingin kuliah di Tokyo? Tentu saja bukan aku. Apa aku pernah ingin ambil farmasi? Sama sekali tidak. Ayah yang merencanakan itu kan? Dan meskipun ayah benar-benar menganjurkanku kuliah di Meidai, ayah tidak berdaya menghadapi keputusan nenek yang ingin aku kuliah di Todai. Jangan menyangkal soal apapun, ayah selalu menyalahkan orang lain untuk setiap kejadian buruk. Kenapa? Apa karena ayah tak mampu menyalahkan diri ayah sendiri?" Habis kesabarannya menghadapi murka sang ayah tentang omong kosong tak penting itu. Ia tahu ayahnya sudah nyaris menampar wajahnya, atau menghujaninya dengan kalimat mengerikan lainnya. Tapi tak ada yang terjadi selanjutnya, tatapan ayahnya justru melewati bahunya, terdiam beberapa saat sebelum kerut keningnya memudar. Dan lelaki itu memutuskan melangkah meninggalkannya.
Kiba mengernyitkan kening, sedikit heran, sedikit ragu, dan bingung. Percakapan panas dan penuh amarah mereka jelas belum tuntas, dan apa yang terjadi? Ketika ia membalikkan badan, ia melihat Ino berdiri mematung usai membungkuk pada tuan Inuzuka yang berjalan di hadapannya. Mata biru Ino yang tampak lelah beradu dengan tatapannya yang entah bagaimana cara mendeskripsikannya waktu itu. Bukan hal semacam ini yang ingin ia tunjukkan pada Ino. Tapi, memangnya hal seperti apa yang begitu menjanjikan dalam keluarganya? Tidak ada. Satu-satunya orang yang mendukungnya dalam berbagai hal hanyalah sang nenek, dan Kiba kehilangan sosok itu sekarang.
Ketika Ino mendekatinya, Kiba tidak tahu harus bersikap bagaimana? Hatinya hancur berkeping-keping, dan kepalanya pening. Tapi ia berusaha sebaik mungkin menyembunyikannya, sebab Ino tak boleh tahu titik-titik kelemahannya.
Kiba menatap kumpulan semak mawar di halaman, ia kira ayahnya bakal memberi penghiburan yang berarti ketika mengajaknya menepi ke halaman dan meninggalkan keraiaman keluarga, karena ia sangat butuh itu, bukan perasaan dihakimi secara sepihak begini.
tbc
.
~Lin
8 September 2024
