Everything I Need

.

Desclaimer : Naruto by Masashi Khisimoto

Pairing : Kiba/Ino

Chapter 5 : Misunderstand

.

Tidak ada sosok ibu Kiba disini, dan Ino menyimpulkan jika Nyonya Inuzuka barangkali sudah tak lagi menjejak dunia, atau mungkin dia sudah bertahun-tahun bercerai dengan Tuan Inuzuka? Entahlah, Ino tak ingin merepotkan diri untuk bertanya soal itu meski dia penasaran setengah mati.

"Dimana Kiba?" Ia berbisik pelan pada Hikari, agak sungkan dan setengah risih dengan tatapan orang-orang yang masih lekat padanya.

"Paman membawanya keluar, mungkin mereka sedang mengobrol di halaman. Hubungan mereka sangat tidak akrab, kalau kau ingin tahu." Ekspresi aneh Hikari saat menjelaskan bagian 'sangat tidak akrab' membuat Ino menyipitkan mata. Tidak akrab bagaimana?

Dan ia mendapati dirinya sudah berdiri ketika pertanyaan Hikari menyerbunya.

"Kau mau kemana?"

"Mencari Kiba sebentar."

.

.

Tapi ia sungguh tidak tahu jika hubungan Kiba dan ayahnya ternyata lebih buruk dari pernyataan Hikari. Kalimat kasar, menuduh, dan mencaci nyaris membuat Ino menangis di tempat. Ia bisa melihat sosok Tuan Inuzuka memang tampak tegas luar biasa, postur tubuhnya yang tegap, dan tatapannya yang tajam tak bisa mendeskripsikan usianya yang mungkin sudah 50 an tahun, dia seperti masih awal usia 40 an. Tapi rasa hormat dalam hatinya mendadak luntur melihatnya menghakimi Kiba seperti itu.

Ino tidak menyangka bakal ketahuan secepat yang bisa dibayangkannya, dan mendapati percakapan intens itu mendadak berhenti saat Tuan Inuzuka memutuskan berjalan melewatinya, dan hanya memberinya anggukan singkat sebelum kembali memasuki rumah. Ia kira bakal mendapati Kiba dan lelehan air matanya, tapi ternyata lelaki itu tak menangis, tatapannya tak pasti, dan pundaknya yang biasanya setegap tentara yang siap siaga berjaga, kini agak luruh. Seolah segala tenaganya terkuras sejak sampai disini, oh Ino rasa mungkin sejak Kiba mendengar kabar kematian sang nenek.

"Hai, kau tidak apa-apa?"

Kiba melengkungkan sebelah bibirnya, bukan senyum yang seperti senyum, tapi senyum yang meremehkan keadaan. Pertanyaan macam apa itu, tidak apa-apa dalam situasi seperti ini jelas tidak mungkin. Tapi ia tahu maksud Ino, cewek itu hanya bermaksud menghiburnya. "Entahlah, apa aku terlihat cukup 'nggak apa-apa'?"

Ada perasaan ingin memeluk Kiba dan menenangkannya, bahwa dia bisa melewati ini, dan ayahnya hanya terlalu sedih makanya menyalahkannya. Tapi ia tidak bisa, ia ragu, dan itu pasti tampak konyol. "Apa ini mengejutkanmu?"

Sejujurnya iya, tapi itu bukan jawaban yang tepat untuk dikatakan sekarang. "Aku nggak tahu," Ia mengedikkan bahu, dan air matanya meleleh. "Aku nggak tahu apa-apa soal keluargamu, tapi ini sedih sekali."

Ketika jemari lentik Ino menyentuh tangannya, ia merasakan sengatan hangat yang nyaman. Nyaris mirip dengan ingatan lima tahunnya ketika tangan ibunya menggenggamnya.

"Menangis saja kalau kau ingin menangis."

Barangkali ini sudah lewat tengah malam, dan semilir angin dingin yang melewati mereka tampak membuat bahu Ino sedikit gemetar. Sayang sekali Kiba tak membawa jaket atau apapun yang bisa membuat lawan bicaranya bakal merasa hangat. "Aku sudah lupa caranya menangis." Dan dari balik kepala Ino, ia sempat melihat Hikari dan Yuki mengintip mereka. Seolah penasaran parah dengan hubungan apapun yang tengah mereka jalin. "Aneh ya, kenapa justru kau yang menangis." Ia menghela napas panjang, dan berusaha tak memberikan tontonan menarik apapun pada para sepupunya yang jahilnya minta ampun itu.

.

.

Neneknya berusia 76 tahun, seharusnya masih cukup muda untuk tetap hidup dan menunggunya untuk pulang saat libur semester depan, seperti liburan-liburan sebelumnya. Tapi Tuhan kan tidak memberikan tawaran apapun soal perpanjangan umur. Terakhir kali yang Kiba ingat, neneknya menelepon di sabtu siang dan bilang jika badannya terasa begitu sehat hari itu, lalu berjanji pada Kiba akan membuatkannya gyoza dan karaage ketika Kiba pulang saat liburan. Salah satu makanan favoritnya, yang tak akan pernah sanggup ia makan lagi tanpa teringat neneknya.

Jas hitam polos yang ia pinjam dari Yudai-- salah satu sepupu yang nyaris sebaya dengannya--terasa kekecilan. Tapi Kiba tak terlalu peduli, ia duduk di depan foto mendiang sang nenek sembari berdoa dalam hati. Doa apapun tentang keselamatan sang nenek di alam berikutnya, sekaligus permintaan maaf karena tidak datang lebih awal, dan tidak mengangkat telepon.

Neneknya pasti tahu hubungannya dengan sang ayah tidak baik sejak dulu, dan sejak pertengkaran tengah malam kemarin ayahnya sama sekali tak meliriknya. Berusaha menjaga jarak, dan tak bersimpati atas apapun yang tengah menimpa putra semata wayangnya. Bagi Kiba itu tidak masalah, ia sudah terbiasa.

"Jangan pernah menyesal untuk apapun, nenek tak akan suka itu." Yuki memberinya tepukan hangat ketika Kiba usai dengan doa nya, dan berdiri di dekat Yudai, "Aku tak suka ayah berengsekmu, tapi dia tetap paman kandungku, itu menyebalkan."

Selalu seperti yang diingat Kiba, Yuki adalah gadis tomboy paling jujur yang pernah ia temui. Kali ini rambutnya yang biasanya selalu dipotong pendek tampak agak sedikit panjang. "Kau harus tahu kalau jadi anaknya jauh lebih menyebalkan." Dan mereka saling senyum, karena tertawa di momen seperti ini sungguh tak etis. "Apa nenek berpesan sesuatu sebelum meninggal?"

"Nggak," Gelengan kepalanya membuat poni rambutnya sedikit bergoyang. "Aku juga nggak percaya nenek meninggal, dia tampak segar bugar sebelum masuk rumah sakit. Kata ayah hipertensinya kambuh."

Keluarga Yuki tinggal 2 kilo meter jauhnya dari tempat tinggal sang nenek, dan Yuki jelas punya banyak waktu untuk mampir ke rumah setelah sekolah. Kadang-kadang, dia menginap, dan dulu sering membuat Kiba uring-uringan karena sepupu kecilnya itu sangat tak rapi. Sering meninggalkan snack berceceran di sofa ruang keluarga, menimbulkan kerumunan semut dan bajunya kadang bercampur dengan baju Kiba di bak cuci. Tapi lebih dari itu, ia sayang pada Yuki layaknya seorang kakak lelaki sayang pada adik perempuannya.

"Yang disana itu luar biasa cantik." Yuki berbisik di dekat Kiba, dan mengarahkan tatapan pada Ino yang saat itu tengah bersama Hikari. Sibuk menerima tamu yang hadir. "Hebat ya, pesona pas-pasanmu bisa memikat dewi Aphrodite semacam Ino."

"Kau mengolok pesona Kiba pas-pasan, sementara mantan Kiba justru lebih banyak ketimbang mantanmu." Yudai memutar bola mata, berdebat dengan Yuki kadang jadi bagian favorit jika para sepupu tengah berkumpul.

Yuki sudah siap menyerang, ketika Kiba bedehem dan berusaha menengahi, "Sudahlah, nenek nggak akan suka kita membicarakan ini di hadapannya."

"Tapi ku jamin, dia pasti suka pada Ino." Kalimat Yudai lebih terdengar seperti dia lah yang mengharapkan Ino, bukan sang nenek.

"Dia suka semua hal yang disukai Kiba. Apa sebutannya? Cucu kesayangan?" Kalimat pendeknya sarat akan ejekan, dan Yudaai hanya mengedikkan bahu.

Kiba tak ambil pusing soal apapun, dibanding ketiga keluarga sepupunya, keluarganya lah yang paling kacau. Itu sebabnya sang nenek menawarkan diri untuk mengasuh Kiba. Jadi itu bukan alasan Yuki untuk cemburu padanya.

"Ayahmu sepertinya nggak menyukai Ino, apa dia tiba-tiba teringat masa lalunya? Ibumu kan dulunya juga gadis ibu kota."

Apapun itu, ia tak peduli dengan pendapat ayahnya. Segala hal yang ia lakukan dan ia pilih bisa jadi salah di mata lelaki itu, jadi sudut pandang ayahnya tak masuk hitungan.

.

.

Upacara pemakaman diakhiri dengan kremasi, dan Kiba bahkan tak sanggup menatap guci tempat abu sang nenek ketika dikebumikan dalam kuburan keluarga. Makam neneknya bersebelahan dengan makam sang kakek yang meninggal sepuluh tahun lalu karena kecelakaan.

Dan rangkaian momen hari itu selesai ketika Yuki memeluk Ino, dan mengucapkan sampai jumpa lagi saat mereka hendak kembali ke Tokyo. Tanpa pamit pada sang ayah yang entah berada di mana saat itu.

"Awas saja kalau kau sampai menyakiti Ino," Yuki memukul dadanya pelan, dan mendapat sambutan tawa pelan dari Hikari. "Dan Ino, mau-maunya kau dengan orang seperti Kiba."

"Dia cowok paling membosankan sepanjang masa." Hikari menambahi, dan sementara Ino terkikik pelan melihat ekspresi lucu Yuki, Kiba justru menatap Yudai, yang tetap memasang wajah datar tanpa ekspresi.

"Ah jangan dengarkan gadis-gadis konyol ini, mereka selalu membenci dan meremehkan kami tanpa sebab." Yudai meletakkan tangan di saku, dan menghela napas panjang. "Selamat berjuang lagi, sepupu. Semoga hari-hari ke depan lebih baik." Telapak tangannya menepuk bahu Kiba, memberikan dukungan tak kasat mata bahwa apapun yang kau pilih sebagai jalan hidupmu, aku selalu mendukungmu.

"Yeah, kau juga. Semoga kuliahmu lancar." Kiba terlalu lelah untuk menanggapi lebih panjang lagi, matanya sudah ingin terpejam. Tapi perjalanan 5 jam berikutnya telah menanti.

.

.

Kopi yang dibelinya di mini market dekat perbatasan Nagoya cukup membantunya tetap terjaga selama perjalanan ke Tokyo, meski pundaknya lelah parah, dan kepalanya agak pening, Kiba mengabaikan semua itu. Sementara Ino di sebelahnya, tak lagi bisa manahan kantuk. Wajar saja, stamina Ino juga pasti terkuras habis. Ia bahkan takut jika cewek itu bakal sakit karena perjalanan yang melelahkan dan pengalaman tak menyenangkan ini.

"Ino, bangun," Ia ragu ketika memegang pundak Ino yang nyaris lemas, dan bahkan tak ada respon yang lebih berarti ketimbang 'hm' pelan dari cewek itu. Kiba tersenyum tipis, rasanya tak tega membangunkan Ino yang nyenyak dalam mimpinya. Tapi tidak mungkin juga ia menunggu sampai nanti, atau justru ikut tidur disana. "Ino, kita sudah sampai di depan apartemenmu. Kau mau turun disini atau ikut ke apartemenku?"

"Hah?" Kerjap pelan mata Ino, dan ekspresi bingungnya ketika pertama kali membuka mata membuat Kiba yakin jika nyawa Ino barangkali cuma seperempat terkumpul.

"Kita sudah sampai."

"Sudah, sampai?"

Inuzuka mengangguk, menunjuk gedung apartemen yang menjulang di hadapan mereka. Rambut pirang Ino yang sekarang dibiarkan tergerai tampak agak kusut, beberapa bagiannya mencuat dan tak serapi biasanya. Tentu saja dia lebih ingin tidur ketimbang membenahi rambut ketika berada di Nagoya sama sekali tak mengijinkan nya istirahat barang sebentar saja. Oh, Kiba harus minta maaf untuk bagian yang ini lain kali. Dan bayangan hitam di bawah matanya tampak jelas, tampak seperti Ino dalam versi lain. Kiba yakin ia pasti lebih buruk dari itu.

"Kenapa menatapku begitu? Apa aku tampak kacau?" Kernyit di keningnya tampak jelas.

"Kita berdua tampak kacau," Kiba menghela napas panjang, menyunggingkan senyum lelah sebelum kembali berujar. "Jadi, kau mau turun disini atau ikut ke apartemenku?"

Apa-apaan pertanyaan itu?

.

.

"Hai Man, akhirnya kau pulang juga."

Sebelumnya, Shikamaru tak pernah susah-payah menyapanya, dan selalu nyaris Kiba yang melambai duluan, atau bahkan memulai senyuman. Tapi sejak insiden peminjaman mobil itu, Shikamaru sepertinya banyak berubah.

"Ada apa denganmu?" Diantara cahaya suram lampu lorong, Kiba tampak seperti zombie, atau paling tidak itulah definisi paling mendekati menurut Shikamaru. "Kau nggak habis dirampok kan? Atau tersesat di suatu tempat dan baru bisa pulang sekarang."

Sayang sekali, ia tak sedang berminat untuk basa-basi, dan agak aneh saja mendapati Shikamaru justru banyak omong ketimbang kelihatannya. "Aku baru saja dari Nagoya."

"Nagoya?" Ekspresi heran si pemuda Nara mendadak jadi serius. "Ngapain?"

"Nenekku meninggal, aku langsung pulang kesana ketika dapat telepon." Telepon yang sebenarnya baru disadarinya beberapa jam setelah kematian sang nenek.

"Oh astaga, aku turut berduka."

Dilihat dari binar matanya, barangkali pacar Shikamaru sekarang sudah sedikit membaik, sampai mampu memberi Shikamaru harapan dan membuatnya tampak lebih bahagia. Dan untuk saat ini, Kiba tak ingin menyinggung apapun soal pacar Shikamaru. Ia hanya menghela napas panjang sebagai tanggapan.

"Kemarin ada dua orang mencarimu, katanya kau nggak bisa dihubungi," Dia tampak mempertimbangkan sesuatu ketika melanjutkan kalimatnya. "Kau tidak mengaktifkan ponsel ya?"

Oh astaga, ia membiarkan baterai ponselnya habis sejak kemarin dan tak ingat apapun soal itu.

.

.

Ia baru mencharge ponselnya ketika 59 notifikasi panggilan dari Sakura, dan puluhan lagi pesan yang sebagian besarnya menanyakan, kau dimana? Ada apa denganmu? Apa kau baik-baik saja? Ino angkat teleponnya dong, dari Hinata, Karin dan paling banyak dari Sakura mendadak menyerbu ponselnya. Itu dimulai sejak kemarin, tapi pesan terbaru dari Sakura baru saja dikirim sejam lalu.

'Ino, apa yang sebenarnya terjadi?'

Ia mengetik balasan cepat dan berharap Sakura tak memberondongnya dengan panggilan yang tak ingin ia angkat sekarang.

'Banyak hal terjadi, dan aku nggak bisa cerita sekarang. Aku lelah sekali. Besok bakal ku ceritakan semuanya.'

Ia juga menambahi satu kalimat pendek di bawah pesan itu.

'Please, jangan meneleponku, aku perlu istirahat, oke.'

Istirahat dan mandi, Ino perlu keduanya. Demi Tuhan, punggungnya terasa patah dan segala nyeri menyebar nyaris di seluruh otot tubuhnya. Ia bahkan tak sadar tertidur nyaris 3 jam terakhir perjalanan, dan Kiba membiarkannya begitu saja. Ia tak bisa membayangkan posisi tidurnya etis atau tidak. Sangat memalukan kalau sampai mulutnya ternyata terbuka saat tidur, oh astaga.

Benar saja, ketika Ino nyaris meninggalkan ponsel dan menuju kamar mandi notifikasi pesan dari Sakura langsung masuk. Ino memutar bola mata, tak ingin melanjutkan percakapan itu. Tapi ia terlanjur melihat pesannya.

'Hei, kau dari mana saja?'

'Kau dan Kiba, hilang tak bisa dihubungi. Apa kau terlibat sesuatu dengan Kiba? Atau kalian kebetulan saja sama-sama nggak bisa dihubungi?'

Sembari menyibak rambutnya yang terasa kusut, ia meletakkan ponsel dan berjalan ke kamar mandi. Sumpah, ia benar-benar perlu mandi dan tidur beberapa jam sebelum kembali kuliah besok pagi. Dan lagi, menyiapkan banyak tenaga untuk segala macam pertanyaan yang bakal diajukan Sakura dan yang lainnya. Ini jelas melelahkan juga.

.

.

Dinginnya air membasahi kulitnya yang telanjang, terasa segar, nyaman, meskipun membuatnya sedikit menggigil. Agak lama ia berdiri di bawah shower, padahal ia ngatuk berat dan ingin segera tidur. Namun sebagian dari dirinya ingin berlama-lama membasuh tubuh yang terasa lelah parah.

.

.

Hampir seratus notifikasi panggilan dari Naruto, Sasuke, dan Gaara yang dilakukan kemarin dan terakhir baru 4 jam lalu. Pesan-pesan singkat dan panjang seolah berebut masuk memberondong ponselnya. Pesan yang menanyakan dimana keberadaannya, sedang apa, sialan kau Kiba, Kiba berengsek lebih banyak memenuhi layar menjelang akhir tengah malam kemarin. Dari semua pesan itu, ia baru teringat jika kemarin adalah acara manggung mereka. The Sky harus tampil di sebuah kafe klasik dekat stadion Tokyo. Ya Tuhan, ia melupakannya, dan teman-temannya pasti marah sekali soal ini.

Hatinya seolah jatuh ke dasar perutnya ketika menyadari jika ia telah dikeluarkan dari grup, dan ketiga temannya memblokirnya. Yang benar saja?

Lama ia menatap jam dinding kamar yang kini menunjuk pukul 11 malam, dan merasa kelelahan melandanya lebih cepat bersama rasa kantuk.

Ia meletakkan kembali ponsel dan merebahkan diri, sepertinya ia perlu istirahat dulu untuk menjernihkan pikiran. Besok ia akan menemui Naruto, menjelaskan semuanya dan meminta maaf. Entah ini bakal berhasil atau tidak, tapi segala rasa bersalah berputar-putar dalam benaknya.

Ketika jarum pendek jam melewati angka 11, matanya tak lagi mampu mempertahankan kelopaknya tetap terbuka. Dan beberapa detik berikutnya, ia sudah lelap dalam tidur.

.

.

"Dan apa? Kau ikut dia pergi ke Nagoya? Apa yang kau pikirkan waktu itu Ino?" Sakura mengerutkan alis, menuntut penjelasan yang sepertinya bakal agak sulit ia dapatkan tanpa adanya alasan yang sedikit dilebihkan.

"Aku nggak tega saja," sembari mengedikkan bahu, Ino menatap para pengunjung bar yang makin banyak berdatangan. Untuk kali pertama ia mendadak tak suka berada di tempat semacam ini, agak berisik, dan beberapa orang memilih untuk mabuk agar bisa lepas sejenak dari urusan hidup mereka. "Kau ingat pamanku yang meninggal karena kecelakaan itu kan? Mendadak aku takut Kiba mengalami hal yang sama."

Oke, itu agak masuk akal. Tapi tidak seharusnya Ino rela ikut menempuh perjalanan 5 jam demi kematian seseorang yang tak pernah dia kenal seumur hidupnya. "Jadi kau bertemu keluarga Inuzuka?"

"Yeah, tentu saja aku bertemu mereka. Dan jujur saja, aku suka semua sepupu Kiba kecuali ayahnya. Dia agak jahat, oh bukan maksudku bukan ayah baik yang seharusnya dimiliki sosok seperti Kiba." Ia menatap beberapa kali ke arah pintu, berharap Karin serta Hinata tak segera datang. Dan ia akan menyuruh Sakura tutup mulut soal ini.

Sembari menenggak moscatonya, tatapannya tak lepas dari si lawan bicara. "Maksudmu apa?"

"Pokoknya ayahnya bukan ayah yang baik, dan ibu Kiba sudah meninggal beberapa tahu lalu."

"Oh, kasihan sekali. Neneknya pasti luar biasa berarti sampai dia mematikan ponselnya, dan melupakan banyak hal. Itu membuat Naruto marah besar, bukan Naruto saja sih." Sakura kembali menenggak moscatonya, dan menawari Ino yang menolak dengan gelengen pelan. "Andai kau memegang ponsel dan memberi tahu kami, keadaannya pasti berbeda."

Ino mengubah posisi duduknya agar lebih dekat ke arah Sakura, mengabaikan dentuman musik yang kali ini sedikit lebih keras. Dan memfokuskan diri dengan kalimat apapun yang bakal diucapkan si lawan bicara berikutnya. "Kau bicara apa sih?"

"Kau belum lihat grup kan? Pasti belum. Naruto mengeluarkan Kiba dari grup, dan kurasa mereka bertiga serempak memblokir nomor Kiba." Agak disayangkan memang, tapi kematian nenek Kiba juga tidak bisa disalahkan.

Bibir Ino mengayun terbuka, dan ia sedikit terlambat memproses kalimat Sakura. "Ku pikir Kiba bakal menjelaskan situasi ini pada Naruto." Oh tunggu dulu, kalau Kiba dikeluarkan dari grup dan bahkan diblokir dia juga pasti tidak tahu soal pertemuan malam ini.

"Dengan mendatangi Naruto? Apa Naruto semudah itu bisa ditemui tanpa tanya dulu keberadaannya? Dia kan tukang ngeluyur." Tatapan Sakura sudah pasti yakin dengan jawabannya, sejauh yang ia ingat Naruto memang bukan cowok yang betah berlama-lama duduk diam di apartemennya dan menemui dia di kampus terasa agak sulit juga. Memang Kiba punya waktu sebanyak apa sampai rela pergi ke fakultas seni demi menemui si pemuda Uzumaki?

"Biar ku telepon Kiba, aku akan bantu jelaskan pada Naruto nanti." Dia mulai mengeluarkan ponsel dari tas selempang kecilnya, menekan tombol panggil ke nomor Kiba dan menunggu sampai beberapa detik, namun Kiba tak mengangkatnya. Ayolah Kiba, angkat teleponmu.

Butuh beberapa detik bagi Sakura dan Ino untuk paham ketika keributan tidak jauh dari pintu masuk menarik perhatian semua orang di bar. Sejenis keributan ketika seseorang tak sengaja menabrak orang lain yang setengah mabuk, dan orang itu marah lalu memukul si penabrak. Tapi sepertinya tidak, Ino jelas bisa melihat rambut merah Gaara tampak mencolok diantara kerumunan orang. Astaga, ini bukan pertanda baik.

Ino melompat dari kursinya, dan berlari ke arah kerumunan. Berdesakan, dengan orang-orang yang ukuran tubuhnya lebih besar dan lebih tinggi, hingga ia mencapai ruang sedikit kosong yang menampilkan Naruto sedang berdiri menjulang sementara Kiba tersungkur di sebelah pintu masuk. Ia yakin, kepala cowok itu pasti sempat terantuk beton di belakangnya.

Yamanaka maju, mengabaikan poni pirangnya yang sedikit menutupi mata akibat berdesakan, lalu menampar pipi Naruto. Berusaha sekeras mungkin ketika Kiba sudah akan berdiri, dan kata 'ouch' dari tiap pasang mata mendadak jadi latar pertengkaran itu. "Berengsek kau Naruto."

"Apa-apaan Ino?" Uzumaki memegangi pipinya, dan mendelik ke arah Ino. Kemarahannya jelas naik ke ubun-ubun, lebih banyak daripada yang bisa dibayangkan semua orang. Ino sama sekali tak gentar, meski tinggi badan mereka terpaut agak jauh dan Naruto bisa dengan mudah meringkusnya, atau melemparnya sejauh mungkin.

"Kau yang apa-apaan," ia menahan Kiba untuk tetap diam saat pemuda itu sudah mau bicara. Berdiri di antara pemuda yang tingginya lebih dari 180 senti jelas menjadikannya sosok menarik untuk jadi pusat perhatian. Apa yang dipikirkan orang-orang sekarang pastilah soal cinta segitiga yang payah. Masa bodoh dengan opini konyol itu. "Kau belum tahu alasan Kiba nggak datang malam itu kan? Jadi jangan main hakim sendiri begini dong." Ia melawan tatapan tajam Naruto, berusaha tampak lebih garang daripada seharusnya. "Kami menempuh 5 jam perjalanan ke Nagoya untuk menghadiri pemakaman nenek Kiba, dan diantara berita duka yang belum sepenuhnya sembuh ini kau malah menambah beban. Teman macam apa kau ini?" Ino tak peduli lagi ketika menarik paksa tangan Kiba untuk meninggalkan tempat itu.

Jujur Kiba ingin menolak, ia ingin menjelaskan semuanya dalam versinya sendiri. Tapi kerumunan orang-orang sialan itu sungguh memuakkan. Mungkin tidak sekarang, barangkali ia bisa menjelaskan lain kali ketika situasi agak sedikit lebih baik.

.

tbc

.

Aku sudah nyaris kehilangan minat buat lanjutin cerita ini, jadi kalau misal ada yg masih berminat tahu kelanjutannya mohon tinggalkan kritik dan saran, thanks

.

~Lin

26 September 2024