Falling for You
Chapter 1 :
.
Desclaimer : Naruto by Masashi Khisimoto
Pairing : KibaIno
.
.
And on this night and in this light
I think I'm falling I'm falling for you
Maybe you'll change your mind
I think I'm falling I think I'm falling
.
Falling for You ~ 1975
.
.
Akhir-akhir ini hujan sering sekali turun di sore hari, awal musim semi yang harusnya lebih ceria jadi sedikit redup. Kiba menyugar rambutnya yang sedikit basah ketika sampai di teras apartemen, ia menuju lobi dengan kantung belanjaan yang tampak berat di tangan kanannya. Hari ini sebenarnya ia ingin membeli makanan instan, atau ramen favorit Naruto di dekat taman kota. Tapi cuaca yang tak bersahabat membuatnya mengurungkan seluruh niat itu. Yeah, mungkin mi instan hangat lebih nikmat untuk dinikmati di dalam kamar sembari menatap rintik hujan dari balik kaca jendela.
"Oh, Hati-hati Nona." Ia nyaris menabrak Hinata di tikungan tangga. Wanita itu dengan buku-buku tebal dalam pelukannya tampak begitu terburu-buru.
"Maaf, maaf. Saya buru-buru." Gadis itu membungkuk dua kali, dan tersenyum bersalah sebelum kembali berjalan ke bawah.
Hinata Hyuuga, tinggal di apartemen lantai empat, Kiba mengenalnya hanya sebatas tetangga apartemen. Lagi pula apartemen mereka tidak berdekatan. Gadis itu adalah seorang guru di SMP negeri terdekat. Sopan, ramah, dan tampaknya juga rajin.
Ketika nyaris melanjutkan langkah, ia menoleh ke jendela kaca yang sengaja dipasang di sepanjang arah tangga. Sebuah mobil SUV silver berhenti di gerbang depan. Sejenak Kiba terpana, ia kira seseorang bakal menjemput Hinata dengan mobil itu. Tapi ternyata bukan, si cantik Yamanaka Ino keluar dari dalam sana. Rambut pirang menawannya tergerai indah. Di dalam mobil itu ada seorang pria yang Kiba duga usianya sekitar tiga puluh lima, siapa? Apa mungkin pacarnya? Lelaki itu pasti pengusaha kaya, mana mungkin gadis secantik Ino mau mengencani orang biasa. Mustahil.
Ia tetap berdiri di sana, bahkan sempat melihat Ino mengecup pipi pria itu sebelum SUV silver itu pergi.
Satu hal yang membuat Kiba terpana selain rambut pirang Ino, yaitu matanya. Mata itu kini tengah menatap ke arah bangunan apartemen. Mata dengan iris sebiru langit musim semi.
.
.
Ino menghela napas panjang ketika hendak menaiki tangga menuju apartemennya di lantai tiga. Hari ini sudah cukup melelahkan, dan ia terpaksa rela menaiki undakan tangga lagi. Harusnya ia bisa tinggal di apartemen yang lebih mewah, dengan lift yang tidak akan membuat kaki pegal. Tapi belum bisa, mungkin belum saatnya. Penghasilan dari toko bunganya tak banyak, dan Yamato hingga detik ini belum memberikan lampu hijau soal keinginannya pindah apartemen. Sialan memang, tapi ia tak bisa berbuat banyak.
Udara sisa musim dingin masih terasa beku ketika menyentuh kulitnya, dan ia menggigil pelan. Sejujurnya, bukan hidup seperti ini yang ia harapkan. Sejak kecil, ia bermimpi menjadi seseorang yang sukses dengan apapun karir yang tengah dijalaninya. Entah itu sebagai model, reporter berita olahraga, seorang guru, perawat atau apapun. Namun nyatanya, ia tak pernah menjadi sesukses yang diharapkannya.
Ketika sampai di lorong menuju apartemenya, Ino melihat si tetangga baru saja pulang dari belanja. Lelaki itu tak ia kenal dengan baik, ia hanya tahu sejauh nama dan profesinya. Tak ada sapaan berarti kecuali senyum sopan sebagai formalitas, atau ucapan selamat pagi, siang, atau bahkan malam. Itu juga jika mereka tak sengaja berpapasan.
"Baru pulang belanja?" Ino terpaksa menyapa ketika Kiba menoleh ke arahnya.
Lelaki itu tersenyum tipis. "Iya, mengisi stok makanan yang hampir habis." Pintu apartemennya sudah terbuka, jadi ia menganggukkan kepala ke arah si lawan bicara. "Mari."
Ino balas mengangguk, dan masuk ke apartemennya sendiri.
.
.
Api membesar dengan sangat cepat, air yang disemprotkan dari tangki oleh pemadam kebakaran masih tak mampu memadamkan api. Gaara agak panik, dan gemetar ketika mengarahkan selang pada kobaran api di sisi kanan rumah. Rasa panas bercampur asap tebal menelusup diantara udara siang yang harusnya nyaman untuk dihirup.
"Api sulit dikendalikan." Lee, dengan mata yang sudah terasa perih memicing dan tak berhenti mengarahkan selang air dari tangki lain ke arah kobaran api di sisi tengah rumah yang terbakar.
Mengabaikan nyeri di lengannya akibat reruntuhan tembok saat berusaha mengeluarkan seorang bocah dari dalam toko, Kiba menghela napas panjang. Kebakaran ini benar-benar di luar kendali, dan untungnya tak memakan korban jiwa. Tapi kerugiannya kelihatannya cukup lumayan. Ketika sebuah sirine terdengar begitu dekat, ia merasa lega. Bantuan lain datang, paling tidak stok air mereka yang nyaris habis sudah tertangani.
"Untung saja." Naruto menyeka peluh di pelipisnya, merasa nyaris mati tapi tak jadi.
Api baru bisa dipadamkan lima belas menit kemudian, dan pertokoan yang mengapit sebuah rumah sederhana tinggal kerangka, dengan aroma hangus bercampur basahnya air. Kebakaran itu bermula dari si pemilik rumah yang lupa mematikan kompor ketika menjemput putrinya dari sekolah. Api menjalar ke gorden di dekat jendela dapur, lalu membesar dan mengenai pertokoan di sekitarnya. Warga sudah berusaha memadamkan, namun api semakin besar.
"Terima kasih banyak, Pak. Tanpa anda anak saya mungkin sudah tak tertolong lagi."
Kiba baru saja melepas helmnya ketika seorang pria mendekatinya. Pria itu berpotongan rapi, memakai kemeja biru muda dan tampak familiar. Sejenak ia diam, menerka ia pernah melihat lelaki ini dimana?
"Sekali lagi terima kasih." Lelaki itu membungkuk.
"Oh, tidak masalah Pak. Ini sudah menjadi tanggung jawab kami." Ketika menoleh ke arah wanita cantik yang kemungkinan istrinya, Kiba baru ingat, ini lelaki yang sering mengantarkan tetangganya pulang. Loh? Apa ini bos si tetangga? Tapi bukankah tetangganya adalah pemilik toko bunga?
Setelah mengucapkan salam senang bertemu dengan anda, lelaki itu pergi bersama dua anak serta istrinya. Keluarga yang tampak bahagia. Jadi mungkinkah si tetangga itu...
Cuma selingan?
.
.
Sudah pukul sembilan belas lebih tiga puluh. Ino mendengus kesal, lantaran seseorang yang berjanji menemuinya pada pukul delapan belas tak kunjung datang. Oh ayolah, ini sudah terlalu lama. Tidak biasanya pria itu terlambat. Ia berkali-kali menelfon tapi tak kunjung mendapat sambutan. Dasar sialan, kemana saja pria itu? Apa lupa dengan janji makan malam yang sudah mereka rancang dari beberapa hari lalu?
Tepat ketika Ino berhitung dan memutuskan akan pergi, pria itu datang. Jas kerjanya sudah tak ia pakai, dan sebagai gantinya kemeja putih melapisi tubuhnya yang tampak atletis. Dan kendati rasa kesalnya melampaui batas, Ino berusaha tak menampakkannya secara berlebihan.
"Maaf telat."
"Telat sekali." Ia memperhatikan lelaki itu yang mulai duduk dan memeriksa daftar menu.
"Sudah pesan makanan?"
Pertanyaan macam apa itu? Sudah jelas di meja makan hanya ada minuman. "Kau dari mana saja?"
Yamato terdiam, ia meletakkan kembali buku menu dan menatap lekat-lekat mata si lawan bicara. Pendar kekesalan tampak jelas di kubangan biru jernih matanya, ia tahu keterlambatan ini jelas keterlaluan. "Maaf, oke. Aku minta maaf." Ino memang luar biasa cantik, tapi dia masih terlalu muda, dan emosinya juga kadang naik turun. "Mau pesan makanan apa? Biar ku pesankan sekalian."
"Aku tidak mau makan, aku mau pulang saja." Ia sudah berdiri, dan nyaris berjalan ketika tangan Yamato berusaha menghentikannya.
"Duduk Ino. Duduk!"
Dada Ino rasanya sesak, ia mengerling ke meja sekitar yang sepertinya masih fokus dengan hidangan masing-masing. Khawatir meja di sebelah mereka merasa terganggu. "Lepaskan!"
"Tidak sebelum kau dengarkan alasanku kenapa sampai terlambat." Melihat Ino yang agak tenang, ia melanjutkan. "Manabu hampir saja mati karena kebakaran di area pertokoan, kami hanya merayakan keselamatan itu dengan pergi ke taman kota."
"Dan lupa padaku?"
Itu benar.
"Ya sudah, kembalilah pulang. Temani anakmu." Gadis itu menghentakkan tangannya, dan berjalan menjauh. Air matanya sudah meleleh ketika melewati pintu keluar.
Ino merasa marah, marah sekali. Tapi disisi lain, ia juga berpikir, apa hak nya untuk marah? Ia hanya selingkuhan. Bukan istri sah.
.
.
Berbotol-botol wine habis dalam beberapa jam belakangan, Naruto yang setengah mabuk mengundurkan diri duluan dengan alasan lelah seharian ini jadi perlu istirahat. Sementara Gaara beralasan ibunya tak akan suka jika ia pulang terlalu malam. Maklum sampai usia dua puluh tujuh ia masih tinggal dengan orang tuanya, jadi dia juga pamit pulang lebih dulu. Tak ada alasan bagi Kiba untuk tetap bertahan di bar itu. Jadi seusai Gaara keluar dari pintu, ia juga beranjak berdiri, lagi pula ini sudah lewat tengah malam. Ia juga perlu istirahat.
"Beri aku sebotol tequila lagi."
Sebuah suara yang familiar membuat Kiba berhenti sejenak demi menoleh ke arah meja bar.
"Beri aku sebotol tequila lagi, sialan." Gadis itu mengumpat karena si bartender menolak permintaannya.
"Anda sudah terlalu mabuk Nona, lagi pula anda sendirian disini. Siapa yang akan mengantar anda pulang nanti." Si bartender adalah lelaki yang tampak garang namun cukup lemah lembut, Kiba mengenalnya sebagai Kakuzu.
"Persetan. Beri aku tequila lagi."
Pria Inuzuka itu menghela napas panjang. Kendati sering pergi ke bar, ia belum pernah mendapati Yamanaka Ino disini. Tapi malam ini entah kenapa gadis itu disini, mabuk dan nyaris membuat keributan. Mengkhawatirkan juga jika dia harus pulang dalam keadaan mabuk seperti itu, bisa saja dia diperkosa di jalan oleh siapapun yang mungkin menginginkannya. Lagi pula, Yamanaka itu gadis yang cantik, laki-laki mana yang bisa menolak pesonanya. Ia merubah arah langkah, mendekati pertikaian kecil itu. "Berapa botol yang dia minum?" Tanyanya pada si bartender yang kelihatan jengah.
"Baru satu, dan sudah semabuk itu. Ketahanannya terhadap alkohol begitu rendah, jadi aku tak berani memberinya lagi."
Kiba mengangguk, "sudah dibayar?"
"Belum."
"Belikan aku lagi ya, ayolah please please."
Kiba mengeluarkan dompet dari saku jeans nya, dan nyaris kehilangan keseimbangan ketika Ino mendadak memeluknya, mengalungkan tangan di lehernya seolah selama ini mereka adalah sepasang kekasih. Aroma parfum gadis itu begitu pekat memenuhi inderanya, Ya Tuhan cobaan macam apa ini? "Biar ku bayar. Dia tetanggaku."
Kakuzu menerima uang pemberiannya dengan tatapan sedikit sanksi.
"Aku akan mengantarnya pulang, akan sangat berbahaya jika dia pulang sendirian." Bukan tatapan si bartender yang membuatnya tak nyaman, kenyataan bahwa Ino sekarang malah bersandar di dadanya lah yang membuat gairah lelakinya seolah bergejolak.
"Kau serius, dia tetanggamu? Bukan untuk kau nikmati sendiri kan?"
"Oh, come on Kakuzu. Kau mengenalku dengan baik bukan?"
"Laki-laki tetaplah laki-laki Inuzuka."
"Terserah. Aku titip motorku disini, aku akan pesan taksi."
Kakuzu mengangguk, seolah memberi isyarat untuk segera membawa Ino pergi dari sana.
"Kau tidak jadi membelikan ku tequila lagi? Ah payah."
"Akan ku antar kau pulang." Tak peduli dengan pukulan-pukulan kecil gadis itu, Kiba menggiringnya untuk segera pergi dari sana.
.
.
Malam yang luar biasa melelahkan, Kiba tak pernah menduga sisi lain Ino benar-benar menyebalkan. Gadis itu tidak saja memeluknya, tapi juga menciumi pipi dan bibirnya selama taksi membawa mereka menuju apartemen sederhana di pinggiran Tokyo itu. Kiba memilih mengabaikan nya, sebab si sopir taksi berkali-kali berdehem seolah berusaha mengingatkan jika mereka tidak sendirian. Ia benar-benar frustasi, sementara selangkangannya rasanya membengkak. Bertahan Kiba, bertahanlah. Ditambah lagi Ino yang ketiduran dan tak bisa dibangunkan ketika taksi telah sampai tujuan. Jadi ia terpaksa menggendongnya, mati-matian berusaha mengabaikan rasa nyeri di kaki dan tangannya. Oh ayolah, lantai tiga bukan tantangan ringan jika harus membawa beban seorang gadis di tangannya yang baru siang tadi terkilir.
.
.
Kepalanya terasa begitu pening ketika pertama kali membuka mata, dan hal yang membuatnya makin pening adalah tempat di mana ia terbangun. Di sebuah kamar bernuansa abu-abu, aroma maskulin tersebar di mana-mana. Dan satu hal yang menarik perhatiannya adalah gitar di atas meja beserta miniatur mobil pemadam kebakaran. Ini dimana?
Ino berusaha mengingat kejadian kemarin malam. Tapi tak ada memori yang berarti. Sebab terakhir yang ia ingat ia meminum tequila hingga tak lagi sadar apa yang terjadi. Apakah seseorang baru saja menculiknya?
Ia mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi, siapa itu? Orang yang menculiknya? Ini jelas kamar laki-laki, terlalu maskulin untuk jadi kamar wanita. Dan yang lebih membuatnya terkejut adalah kemeja putih kebesaran yang sekarang tengah ia kenakan. What? Apa pria yang menculiknya juga memperkosanya ketika ia tak sadar? Jantung Ino bertalu-talu memikirkan siapa pria di balik pintu kamar mandi itu.
Ketika bunyi gemericik air berhenti, dan pintu kamar mandi terbuka, ia merapatkan selimut sekaligus terkejut. Sebab si lelaki hanya mengenakan handuk untuk menutupi bagian bawah tubuhnya, membiarkan tubuh bagian atasnya terekspos jelas.
"Inuzuka?" Ino memekik, membuat Kiba nyaris terlonjak karenanya.
"Oh, kau sudah bangun."
"Apa yang kau lakukan?" Iris birunya melebar menuntut jawaban.
"Aku? Apa?"
"Apa yang kau lakukan? Kenapa aku ada disini?" Yamanaka panik, ia panik sekali sebab ekspresi si lelaki sedatar jawabannya.
"Kau mabuk, kau tak ingat? Dan aku membantumu pulang. Itu saja."
Ino tak percaya, kalau pun Kiba tidak memerkosanya, bisa saja pria itu menikmati pemandangan tubuhnya ketika mengganti bajunya.
"Sialan."
"Apa? Sialan? Aku baru saja membantumu Yamanaka, dan itu yang kau ucapkan untukku? Paling tidak ucapkan terima kasih." Mengabaikan pendingin ruangan yang berhembus menerpa kulitnya, ia berjalan ke arah lemari.
"Kenapa kau membawaku ke sini?"
Kiba meliriknya sekilas. "Sepertinya kau meninggalkan kunci apartemenmu di bar ya?"
Ino tak ingat apapun, astaga.
"Kalau kau mau tidur, lanjutkan saja tidur. Aku mau mengambil motorku di bar, sekalian kunci apartemenmu juga."
"Mana mungkin aku bisa tidur di kamarmu, dengan pakaian seperti ini?"
"Sejak tadi kan bisa, kalau tidak mau ya lepaskan saja kemejaku." Belum sempat ia memberi penjelasan lebih, Ino melempari nya dengan bantal, tepat mengenai kepalanya. "Aduh."
"Di mana pakaianku? Sialan."
"Nona Hyuuga membawanya ke tempat laundry."
Nona Hyuuga?
.
.
Ino sering melihat Kiba lewat di depan toko bunganya. Kadang dia pulang dari minimarket dengan kantung belanjaan yang cukup banyak, kadang dia pulang dari kerja dengan wajah lelah luar biasa, kadang dia naik motor kawasaki ninja 250 nya. Sampai hari ini ia tak berani menatap mata lelaki itu lebih lama dari dua detik. Ketika berpapasan pun ia tak akan menyapa kecuali memang benar-benar terpaksa. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi malam itu. Dan penjelasan Kiba tak membuatnya cukup yakin untuk percaya. Tatapan lelaki itu selalu aneh, seperti setengah ingin menertawakannya.
Tapi Hinata bilang Kiba lah yang menggendongnya, sementara dia ketiduran. Naik tangga ke lantai tiga dengan ia sebagai beban jelas bukan pekerjaan ringan. Ia bingung harus berterima kasih atau bagaimana, karena ia belum memiliki nyali untuk berbicara empat mata dengan pria itu.
Tetangganya sepertinya belum pulang, dan itu menimbulkan sedikit kelegaan dalam dadanya. Ia tak harus menyapanya, atau sekedar melempar senyum ramah yang dipaksakan. Ketika sudah memutar kunci dan hendak masuk, seseorang menarik tangannya. Ino terkejut bukan main, mengira itu Kiba. Umpatan nyaris terlontar dari mulutnya, andai saja matanya tak lebih dulu menangkap sosok di hadapannya.
Istrinya Yamato. Kenapa dia disini? Debar jantungnya bahkan lebih parah dari pada saat menghadapi Kiba.
"Nyo-nyonya sia--"
"Jangan pura-pura tidak tahu aku siapa. Kau jelas tahu aku siapa." Binar matanya menunjukkan kemarahan yang begitu pekat, bahkan meskipun terlihat begitu cantik dari dekat, istri Yamato juga tampak sedikit mengerikan. "Kau Yamanaka Ino bukan? Aku tahu kau siapa. Aku kesini hanya mau memperingatkanmu. Jangan dekati suamiku lagi."
Tenggorokan nya tercekat, ada perih dalam dada yang menjalar ke matanya. Tapi ia tidak boleh menangis disini. Tidak sebelum wanita itu pergi. "Apa maksud anda?"
"Kau masih mau berpura-pura? Banyak temanku yang menyaksikan kalian keluar bersama. Harusnya aku tahu sejak awal jika perubahan sikap suamiku memiliki alasan yang jelas. Dan kau, parasit tak tahu diri. Seharusnya kau sadar, kau masih muda. Kau bisa mencari lelaki lain, bukan malah mengencani pria yang sudah punya istri dan anak." Wanita itu menghela napas panjang. "Anak-anakku masih membutuhkan ayahnya. Dan aku juga masih membutuhkan suamiku."
Ino kehilangan seluruh kalimat yang ingin ia ungkapkan. Jika boleh jujur, ia juga tak ingin begini. Kenapa cinta justru jatuhnya pada orang yang salah? Sedikit mengabaikan umpatan wanita di hadapannya, ia mengalihkan tatapan ke arah awan mendung yang berarak ke arah barat. Gerimis mulai turun, dan matahari senja nampaknya tak akan menunjukkan kilau keemasannya sore ini. Udara dingin menelusup diantara mereka, dan seperti yang tengah ia alami saat ini, sepertinya alam sedang mendukungnya untuk terpuruk.
"Kau dengar aku jalang sialan?"
Sadar dari lamunannya, Ino menghela napas panjang. "Sebelum anda menghakimi saya seperti ini, coba lihat diri anda. Apa yang menurut anda kurang? Kenapa suami anda tertarik pada saya?" Ino merasa beruntung, kali ini lorong sepi. Dan para tetangganya pasti belum pulang dari tempat kerja mereka.
"Dasar wanita kotor tak tahu malu." Ia membentak, dan tangannya melayang nyaris menampar pipi Ino.
Karena yakin tak cukup cepat untuk menghindar, Yamanaka sudah menutup mata. Bersiap-siap dengan rasa sakit yang bakal ditimbulkan nya. Tapi tamparan itu tak kunjung sampai di pipinya. Ketika ia membuka mata, betapa terkejutnya ia mendapati Inuzuka Kiba berdiri di hadapannya dengan tangan yang memegang lengan si istri Yamato.
"Maaf, tapi anda sudah diluar kendali Nyonya. Ini tempat umum, siapa saja yg lewat bisa melihat anda dan mungkin akan menyimpulkan hal yang sebaliknya. Soal penganiayaan atau mungkin lebih buruk dari itu."
Si wanita berambut cokelat sebahu itu mengerjap, seolah berusaha memindai situasi. "Kau si pemadam kebakaran itu kan? Yang menyelamatkan anakku."
Kiba mengangguk.
"Kau siapanya?"
Lelaki itu menatap Ino sejenak, mendapati genangan air di mata gadis itu yang mungkin bisa tumpah kapan saja. "Saya calon suaminya." Ia menurunkan tangan si wanita, dan beralih menggandeng tangan Ino. Ia tahu jika si pirang tak nyaman dipegang seperti itu. Tapi ia harus memberikan kesan meyakinkan.
Baik Ino maupun istri Yamato sama-sama terkejut dengan pernyataan itu.
"Oh astaga, dunia sempit sekali rupanya." Dia mendengus. "Kalau begitu beri tahu pacarmu ini agar tidak menganggu suamiku. Bisa-bisanya pemuda baik sepertimu dapat wanita tak tahu malu seperti ini."
"Jaga ucapan anda Nyonya." Ino tak terima dengan segala olokan wanita itu terhadapnya. Tentu saja ia tak seburuk itu.
"Diam kau! Kalau bukan karena aku punya hutang budi pada pacarmu aku sudah memukulimu disini."
Sebelum Ino mulai memperkeruh keadaan Kiba segera membungkuk. "Apapun yang dilakukan pacar saya tolong dimaafkan Nyonya, saya akan berusaha membuatnya jera telah melakukannya hal yang tak seharusnya." Dia membungkuk dua kali untuk membuat istri Yamato terkesan, sepenuhnya tak peduli dengan tatapan keberatan dari Ino.
"Baiklah. Kali ini aku sedikit berbaik hati." Ia kembali menatap si pirang dengan tajam, sebelum memilih melangkah pergi.
Setelah si wanita menghilang di tangga, Ino menghentakkan tangan Kiba dari lengannya dan mulai menangis terisak.
Oh, cukup. Kiba sudah terlalu lelah hari ini. "Mau minum teh bersamaku?" Ia tak bisa sepenuhnya menduga kekesalan Ino karena wanita tadi atau karenanya, atau bahkan mungkin karena kedua alasan itu. Tapi ia merasa perlu sedikit bertanggung jawab.
tbc
~Lin
12 April 2023
