At My Worst
.
Chapter 1 : Long Time No see
Pairing : Kiba/Ino
If you want my love and you got it anytime you want it
Baby, bring your body back to me
.
Gryffin ft. Maia Wright – Body Back
Di luar hujan, tetes airnya mengetuk jendela kaca di sebelahnya. Ino mendesah berat, sudah hampir satu jam ia menunggu sang klien di sana, namun pria itu tak kunjung muncul. Apakah ia cuma dibohongi? Beberapa kali ia menatap seisi kafe, dan tak seorang pun datang sendirian. Sebagian besar anak muda membawa pasangan mereka, sementara beberapa lainnya hanyalah orang tua dan anak-anak mereka.
Ia mengerling ponsel, dan pesan yang ia kirim belum juga dibalas, mungkin benar, ia dibohongi. Dan meskipun ini bukan untuk pertama kalinya, nyatanya ia tetap saja kesal.
Setelah helaan napas kesekian kali, ia nyaris berdiri, mungkin pulang. Namun...
"Maaf, terlambat. Ban mobilku bocor, aku harus cari taksi."
Suara bass lelaki itu mengusik pendengarannya, ia mendongak dan memasang senyum semanis mungkin. Tatapan mereka bertemu. Detik jam serasa melambat, dengung musik dan pembicaraan sekitar seolah lenyap tak berbekas. Jantung Ino seolah jatuh ke dasar perutnya, tidak mungkin, tidak mungkin lelaki itu.
"Yamanaka Ino, kau kah itu?"
Pasti salah orang, Ino yakin ia pasti salah orang. Pria yang diberitahukan padanya bernama Atsuhiro Naozomi, bukan Inuzuka Kiba. Sembari berusaha meredam degup jantungnya yang seolah menggila, ia mulai berdiri, berancang-ancang meninggalkan tempat itu. Namun, tangan si pemuda meraih pergelangan tangannya.
"Mau kemana? Aku sudah membayar mahal ke bosmu."
Demi Tuhan, ia rasanya ingin menangis dan berteriak disana. Jelas-jelas Kiba tahu itu dirinya, kenapa tadi bertanya dengan nada seolah mengejeknya?
"Aku menyewamu selama dua jam dengan bayaran yang fantastis, dan ini belum sampai sepuluh menit," Kiba melirik arlojinya sejenak sebelum kembali menatap wanita di hadapannya yang sibuk mengerling pintu keluar, "kalau kau memang tidak ingin mengatakan apapun, mari kita ke intinya."
Ino tak bisa mendefinisikan perasaannya yang campur aduk, ia benar-benar ingin lari dari sana, tapi tak bisa. Benar, jika sampai Kiba komplain karena ia kabur, maka ia bisa kena masalah, atau lebih parah dipecat. Demi Tuhan, meski pekerjaan ini menjemukan Ino tak menemukan lagi pekerjaan apa yang mau menerimanya dengan gaji lumayan.
"Mari ikut denganku."
Melawan dorongan kegugupan yang luar biasa, Ino menatap mata Kiba. Mata cokelat yang selalu mampu membiusnya, bahkan meskipun telah bertahun-tahun lamanya tak ia lihat lagi. Kali ini iris cokelat itu seolah menampakkan kerinduan yang dalamnya tak bisa diperkirakan, ada bahagia yang tersulut disana, meski sebagiannya seperti perpaduan mesum dan sesuatu yang tak bisa ditahan. "Kemana?"
"Ke hotel mewah di sekitar sini dan kita tuntaskan semuanya."
Kening si gadis mengernyit, "hotel?" Ia tahu apa yang dipikirkan Kiba soal pekerjaannya. "Maaf tuan Inuzuka jika kau mengira pekerjaanku serendahan itu. Orang-orang menyewaku bukan untuk menghangatkan ranjang mereka."
"Apa bedanya?"
"Ini kencan berbayar, tapi tidak ada perjanjian untuk berakhir di tempat tidur. Kami disewa untuk menemani para pria kesepian yang butuh teman ngobrol, teman berbagi gagasan dan pendapat. Dan memberi semangat. Ini sepenuhnya tak seperti yang kau pikirkan." Diantara jantungnya yang menggebu dan kabur air mata di pelupuk, Ino tetap berusaha tampak baik-baik saja.
Kiba mendesah, tampak sedikit kecewa. "Oh, ku kira kita bisa berakhir lebih dari ini." Namun disela-sela itu, ada kelegaan yang luar biasa dalam dadanya, "tapi syukurlah jika selama ini tak seorang pun pria lain pernah tidur denganmu."
Apa maksudnya? Namun, Ino berusaha mengabaikannya. Sambil bertanya-tanya dalam hati, tidak mungkin Kiba tak tidur dengan wanita lain. Tapi...
"Kalau begitu, kita mungkin perlu pesan makanan."
Ino tak menyahut, kalau pun perlu ia hanya akan pesan minuman. Uang yang bakal ia dapat harus ia gunakan untuk biaya kuliah Shion--adiknya-- dan membayar sewa apartemen, ia harus benar-benar berhemat. "Silahkan kalau mau pesan makanan, aku tak lapar."
"Kau tidak pandai berbohong," Jemarinya mengetuk meja, menimbulkan suara yang membuat si lawan bicara makin gugup, "pilih apapun yang kau inginkan, aku yang bayar."
Sembari menghela napas berat, Ino mengalihkan tatapan pada pasangan yang tertawa bahagia di meja paling ujung, dan mendadak segala kerinduan masa lalu menggelegak membanjiri dadanya. "Aku tidak ingin pesan apapun."
Sejujurnya, ia berharap pertemuan kali ini membuat hubungan mereka kembali seperti dulu. Namun sepertinya ia harus berusaha mulai dari awal lagi. Tak menyerah, Kiba mengambil buku menu, membacanya satu persatu, "ku pesankan makanan yang sama denganku." Dia memanggil seorang pelayan, dan tak begitu mempedulikan tatapan protes dari Ino. "Kami pesan, dua polenta, dua ossobuco, dua tiramisu, dua carbonara, dan dua macchiato. Terima kasih."
Sang pelayan mencatat semua pesanan, menyunggingkan senyum tipis sebelum berlalu pergi.
"Aku tidak menerima penolakan, jadi tolong makan apa yang aku pesankan untukmu." Ia mendahului ketika Ino hendak mengucapkan protes, ia tahu gadis itu keberatan, tapi melihatnya lebih kurus dari terkahir kali ia lihat membuatnya prihatin. "Jadi, selama ini kau tinggal di kota ini?"
Ino mengalihkan tatapan ke arah Kiba, dan mendapati sorot bersalah di mata pria itu.
"Sudah, sampai sini saja, aku bisa pulang sendiri." Ino berhenti melangkah ketika sampai di halte, dan membuat Kiba juga ikut berhenti.
"Aku harus memastikan kau sampai rumah dengan selamat." Nada penuh kekhawatiran tersirat dalam suaranya.
"Aku bukan anak kecil yang tak tahu jalan pulang, jadi--"
"Jadi biarkan aku mengantarmu," Kiba memotong cepat kalimat Ino, tak peduli dengan ekspresi tak nyaman si pirang, "aku juga tidak menyebutmu anak kecil."
"Kumohon Kiba, berhentilah seperti itu." Ino kesal, sangat kesal sampai ia merasa ubun-ubunnya bakal pecah kapan saja. "Kau seperti mempermainkan ku hari ini," Ia menghela napas panjang, mati-matian berusaha meredam perasaan campur aduk dalam dadanya, "entah bagaimana kita bisa bertemu hari ini, tapi sejujurnya aku tak siap. Aku tak siap melihatmu lagi."
Kiba mematung, ekspresi Ino tak terlihat baik. Dan kenyataan itu membuatnya kecewa. Ia berharap pertemuannya dengan Ino kali ini memberi kesan cukup berarti, tapi mungkin tidak seperti yang ia harapkan.
Ino buru-buru berbalik, memunggungi Kiba ketika bus mulai datang. "Jangan ikuti aku, pulanglah." Ucapnya lirih sembari melangkah memasuki bus. Yang tidak Kiba tahu, air mata Ino tak lagi mampu ditahan. Jika boleh jujur, Ino ingin memeluk lelaki itu, menciumnya, menggenggam tangannya erat dan merasakan kehangatan di sekujur tubuhnya. Namun entah kenapa, pikiran itu rasanya salah. Dosa di masa lalunya mengambang dalam pikiran.
Ia menyaksikan tubuh gadis itu terpental, kepalanya membentur aspal. Darah segar mengalir di jalanan hitam itu, warnanya pekat, dan aroma anyir memenuhi udara malam. Dalam sekali lihat, ia tahu gadis itu tewas di tempat, otaknya berhamburan, bercampur aliran darah yang membuatnya mual. Tak ada pergerakan lagi, tak ada teriakan kesakitan, tapi tatapan mata itu. Tatapan mata cokelat itu mengarah padanya, tatapan yang penuh kebencian.
Ia terlalu terpaku, tak mampu bergerak apalagi berteriak. Seolah ia mampu merasakan nyeri yang luar biasa lewat luka-luka gadis itu.
'Kau yang membuatnya mati seperti itu.'
Kalimat seorang wanita menggema di gendang telinganya, membuatnya frustasi namun suara menenangkan seorang lelaki menengahi.
'Bukan salahmu, kau tidak bersalah.'
Napas Ino tersengal, ia seolah nyaris mati karena mimpi buruk itu. Mimpi yang sejak bertahun-tahun lalu selalu mengganggu tidurnya. Ia menghela napas, berusaha menormalkan detak jantungnya yang kian menggila.
Ketika ia bangun dan menuju dapur untuk mengambil minum, ia menyaksikan Shion tengah duduk di ruang TV, berbicara dengan seseorang lewat telepon.
"Kapan? Malam minggu nanti?"
Sembari membiarkan aliran dingin air membasahi kerongkongannya, Ino mencuri dengar percakapan sang adik.
"Dengar tuan tampan, aku akan melakukan apapun untukmu."
Melakukan apapun? Ino mengernyitkan kening, dan menutup pintu kulkas agak kencang. Sengaja agar sang adik mendengarnya. "Kau tahu jam berapa sekarang?"
Shion berbisik pelan pada lawan bicaranya di sambungan telepon, mengucapkan sampai jumpa singkat sebelum menutup telepon. "Jam dua, kenapa memangnya?"
"Kau seharusnya tidur kan? Kau besok ada kuliah."
Gadis awal dua puluh tahunan itu menghela napas, memutar bola mata kesal. "Aku tahu," Melihat ekspresi sang kakak yang tak terlalu baik, ia menyimpulkan sesuatu, "sebaiknya kau urus saja dirimu dan mimpi-mimpi burukmu itu. Tak perlu sok peduli padaku." Dia berdiri, berjalan menuju kamarnya dan meninggalkan Ino mematung sendirian di tengah ruangan.
Butuh kesabaran besar baginya mengurus Shion dan segala tingkahnya yang keterlaluan. Kadang ia tak betah, tapi kadang ia sadar Shion berarti besar buatnya. Jadi, seringkali ia menabahkan hati sembari berharap suatu saat nanti Shion sadar, bebannya sudah berat jangan ditambah lagi.
"Kau berhasil bertemu dengannya?"
Kiba mengangguk, menyesap tequila dalam gelasnya yang nyaris tandas, sepenuhnya tak peduli dengan hiruk-pikuk bar, "dia tidak sebahagia yang kupikir."
Pria pirang itu mengedarkan pandangan pada tubuh-tubuh molek yang meliuk di lantai dansa, dan menelan ludah melihat betapa memikatnya gerakan mereka. "Ku rasa begitu, kau dapatkan alamat tempat tinggalnya juga."
"Yeah," Ia menghela napas berat, "dia mungkin lupa jika aku ini pria yang gigih." Meski malam itu Ino bersikukuh mereka berpisah saja di halte, Kiba buru-buru mencari taksi dan mengejarnya. Ia tahu dimana Ino tinggal, di tempat menyedihkan. Sangat berbanding terbalik dengan kehidupannya yang dulu. "Dia butuh pertolongan, dan aku butuh penjelasan darinya."
Pria pirang itu--Naruto Uzumaki--mendengus, setengah meremehkan argumen berlebihan sangat kawan. "Jadi, rencanamu selanjutnya apa?"
"Biarkan ini mengalir seperti air.
Ruang kerja nyonya Tsunade bukanlah tempat paling berantakan yang pernah Ino lihat, namun tetap saja ia merasa terganggu dengan jaket yang digeletakkan asal di atas meja dan beberapa tumpuk buku yang tak tertata rapi di rak sebelah barat. Aroma ruangan itu adalah campuran antara pengharum ruangan rasa lemon dan bau alkohol yang begitu menyengat. Kebiasaan minum wanita itu begitu membuatnya heran tak berkesudahan. Nyonya Tsunade suka mabuk, dia bilang mabuk bisa membantunya relaks namun alih-alih memperburuk segalanya. Dan pagi ini, beruntungnya ia menemui wanita itu sedang dalam keadaan prima. Bukan teler seperti yang terakhir kali ia lihat.
"Bagaimana pagimu darling?"
Ino mengerjap, duduk tak nyaman di kursinya sembari menatap ke arah jendela yang berhadapan langsung dengan taman tak terawat di balkon, "tentu baik nyonya."
Tsunade mendecak, "kurasa tak sebaik itu." Namun ia tak cukup peduli, "aku tak heran banyak klien yang memilihmu untuk jadi teman kencan mereka, kau benar-benar cantik dan mengagumkan sayang," Dia berhenti sejenak, menatap dalam-dalan iris biru laut di hadapannya. "Dan bagaimana malammu bersama pria bernama Atsuhiro itu? Dia berani membayar satu juta yen untuk menghabiskan 2 jam bersamamu."
Mendengar nominal uang itu, Ino mengalihkan tatapan pada si nyonya pemilik senyum angkuh itu. Satu juta yen? Yang benar saja.
"Dia pria yang baik bukan?" Wanita itu mendesah, "tentunya begitu, kau tidak menghubungi kami dan melaporkan adanya tindakan tak bermoral."
"Yeah, seperti yang Anda pikirkan." Percakapan mengenai malamnya bersama Kiba membuatnya jengah, jadi ia berusaha mencari topik lain untuk mengalihkan pembicaraan. "Jadi Nyonya, kenapa anda memanggil saya kemari?"
"Ada yang menyewamu malam ini, di cafe dekat taman kota. Kau pasti tahu tempatnya, namanya Tuan Kakashi, usianya empat puluh lima." Dia berhenti sejenak, berusaha membaca raut sang lawan bicara, "kau baik-baik saja kan, Yamanaka?"
Ino agak geragapan, pikirannya tak fokus, "oh, tentu saja nyonya."
"Oke, nanti malam jam tujuh ya. Jangan lupa darling."
Ino mengangguk, berusaha mencatat jamnya dalam otak.
"Bayaranmu yang kemarin sudah ku transfer ke rekeningmu."
Ino mengangguk lagi, lega bahwa ia akan segera pergi dari tempat yang membuatnya pusing itu.
Ino ingin mengumpat sepanjang perjalanan menuju bar yang dimaksud Kakashi, ia kesal parah pasalnya sang klien mendadak mengubah tempat janjian. Padahal ia sudah menunggu hampir satu jam di kafe dekat taman yang menjadi tempat janjian awal. Sialan, dari awal saja ia sudah dibuat jengkel dan mendapat kesan tak menyenangkan.
Diluar gerimis saat ia sampai di halte, dan Ino agak berlari kecil sepanjang perjalanan dari halte menuju ke bar. Bar tua tempat pertemuan mereka bukanlah bar terkenal, setidaknya itulah yang Ino pikirkan ketika sampai disana, sebab letaknya tersembunyi di belakang sebuah bengkel dan tempat itu tak terlihat menarik, sama sekali tidak.
Berusaha menata hatinya yang dongkol parah, Ino memaksakan kakinya yang terbalut sepatu berhak warna merah melintasi paving menuju pintu bar. Aroma alkohol dan asap rokok tercium inderanya saat pertama kali masuk. Suara tawa, dan dengung musik membuatnya pusing mendadak. Kalau saja si tuan ini tak membayar lebih dulu, ia pasti mundur. Memilih pulang dan bergelung dalam selimut, daripada menghabiskan waktu di tempat semenyedihkan ini.
Ketika ia kebingungan berdiri diantara orang mabuk, seseorang menepuk bahunya dan membuatnya berjingkat. Nyaris berteriak karena mengira itu salah satu lelaki bajingan yang ingin menganggunya.
"Miss Y bukan?"
Pria yang menepuk bahunya itu berambut abu-abu, namun Ino tak dapat memastikan sebab temaram lampu bar membuat segalanya buram. Ia menduga itu Kakashi, namun tak begitu yakin. "Benar, apakah anda--"
"Hatake Kakashi."
"Oh," Memaksakan bibirnya tersenyum, Ino mengamati lelaki ini seolah pria itu begitu ter buru-buru karena ingin lari dari sesuatu.
"Baiklah nona, kau mau duduk dimana? Kau yang tentukan."
Gila, ia tak tertarik duduk di mana pun. Sebab tempat ini benar-benar memuakkan.
Melihat Ino yang masih mencari tempat yang tepat, ia buru-buru bicara. "Maaf sebelumnya nona, karena tiba-tiba mengubah tempat pertemuan. Ini diluar ekspektasiku."
Yeah, dan juga diluar ekspektasiku, Ino membatin. Ketika ia menatap arloji di tangan kirinya, percakapan mereka bahkan belum sampai enam menit.
Karena semua tempat sama saja, akhirnya Ino memilih kursi paling pojok. Agak jauh dari kerumunan orang-orang yang tengah mabuk dan menari di lantai dansa, meskipun tempatnya lebih temaram namun dengung musik tak begitu memekakkan disana.
Pria setengah baya itu memulai percakapan mengenai betapa buruk harinya, pekerjaannya melelahkan dan bosnya tak berhenti mengomel tentang keterlambatannya, kinerjanya yang kurang maksimal. Dan semua keluhan itu malah membuat Ino juga ingin mengeluh. Ini pertama kali buatnya mendengarkan pembicaraan yang sangat-sangat menjemukan, hingga ia ingin lari dari sana, tapi tak bisa. Berusaha sebaik mungkin mendengarkan dan sesekali memberikan solusi.
Kakashi sepertinya sudah setengah mabuk, dan isi botol minuman beralkohol di hadapannya sudah nyaris habis. Pria itu meracau tak jelas, percapannya lebih tak terkendali lagi hingga tak memberikan Ino kesempatan untuk menanggapi. Diantara kejemuannya, ia menatap arloji dan tak siap ketika seseorang tiba-tiba menyiram wajahnya dengan wiski. Sebuah tamparan keras mengiringi rentetan cacian dari seorang wanita empat puluhan bergincu merah terang.
Ino berdiri, bingung setengah mati. Apalagi lototan mata wanita itu seolah bisa melubangi kepalanya.
"Jalang rendahan, berani-beraninya kau menggoda suamiku. Dasar wanita sialan." Wanita itu--Nyonya Hatake--maju dan menjambak rambut Ino. Membuat gadis itu mengaduh dan kesakitan.
"Hentikan, tolong hentikan sayang. Ini tak seperti yang kau pikirkan." Kakashi yang masih setengah mabuk memegangi tangan istrinya, berusaha membebaskan Ino. "Ku mohon hentikan."
"Bajingan, pria bajingan. Lepaskan aku," Dia berteriak kalap, tak peduli jika aksinya menarik atensi sebagian besar pengunjung bar. "Jalang ini pantas mati, dia tidak seharusnya dibiarkan hidup dan menganggu suami wanita lain. Dasar wanita tak berperasaan, sialan, sialan kau. Kau yang menyebabkan suamiku tak betah di rumah. Kau sialan, jalang sialan."
"Tolong hentikan, hentikan."
Tanpa sadar air mata Ino lolos, apakah profesinya seburuk itu? Hatinya begitu sakit, dan entah kenapa hari yang begitu melelahkan ini seolah sanggup meruntuhkan asanya untuk tetap hidup.
"Pria sialan, apa kau tak memikirkanku dan anakmu di rumah? Apakah kau tak memikirkan kami?" Melepaskan tangannya yang tengah menjambak dan memukuli Ino, kali ini ia berganti memukuli sang suami. Dan kesempatan itu digunakan Ino untuk lari dari sana, kabur dari amukan wanita kalap itu.
Kiba merasa kepalanya pening berat. Ia benci ayahnya yang suka mengatur, dan memaksanya menggantikannya untuk ikut meeting bersama para petinggi mengenai rencana pembangunan hotel baru di Hokkaido. Melelahkan rasanya duduk sembari menyaksikan presentasi mengenai rencana anggaran dan tetek bengeknya, dan sekarang ia hanya ingin tidur. Tidur sampai besok siang.
Matanya yang setengah ngantuk mendadak melebar ketika tak sengaja menatap ke arah halte yang sering ia lewati. Ini nyaris pukul sebelas malam, dan kenapa Ino ada disana. Ia menelankan laju mobil berusaha memastikan itu memang benar Ino. Tapi itu memang Ino, penampilannya berantakan. Rambut pirangnya yang tergerai agak berantakan, sepatu haknya patah, dan gadis itu menangis. Dia menangis sembari beberapa kali menghapus air matanya. Apa ada yang menyakitinya? Siapa yang berani menyakiti wanita itu?
Dengan penuh tekad Kiba menghentikan mobilnya di halte itu, rencana untuk istirahat lenyap dari pikiran. Ia lebih ingin menghabiskan waktu bersama Ino ketimbang tidur di ranjang empuknya.
Ekspresi terkejut Ino tak mampu disembunyikan ketika ia keluar dari mobil, gadis itu berusaha mengusap air matanya dan menampakkan ekspresi baik-baik saja yang gagal total.
"Butuh tumpangan untuk pulang?"
Ino menggeleng, tak bicara apapun. Kiba paham, ketika berusaha menahan tangis gadis itu pasti diam dan menjawab dengan bahasa isyarat. Sebab, bersuara hanya akan membuat tangisnya pecah dan air matanya tak berhenti mengalir.
Kiba menghela napas, mencium aroma alkohol yang begitu pekat. Ada apa? Apa Ino mabuk? "Tidak apa-apa menangis, kalau itu membuatmu tenang, menangis saja." Mengabaikan seluruh kecanggungan diantara mereka, ia duduk disebelah si pirang.
Ino tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia ingin menghambur ke pelukan Kiba, ingin menceritakan seluruh kisah tak menyenangkannya sembari berharap lelaki itu memberikan penghiburan yang berarti. Namun ia tak lakukan itu, alih-alih membiarkan air matanya mengalir, dan berakhir dengan isakan. Ia tak kuat lagi, sungguh tak kuat. Tak peduli jika lelaki Inuzuka itu terus memperhatikannya.
tbc
~Lin
Senin,
14 Maret 2022
