At My Worst
.
Chapter 3 : Truth
Pairing : Kiba/Ino
.
.
Kiba masih gencar melumat bibir Ino, mengabsen giginya satu persatu. Merasakan gairahnya memuncak di atas ubun-ubun. Keduanya sudah hampir telanjang, andai saja Kiba tak mendengar isakan pelan yang keluar dari bibir gadis itu. Sejenak ia menghentikan aktivitasnya, hanya untuk menatap biru jernih iris wanita itu yang kini dipenuhi linangan air mata.
"Apa barusan aku menggigitmu?"
Ino tak tahu kalimat terbaik apa yang pantas untuk dilontarkan, sebab ia yang memancing nafsu pria ini, dan bagaimana mungkin ia menyesali semua hal yang bahkan dengan tekad kuat akan ia lakukan malam ini. Akhirnya ia menggeleng. Rasanya ingin bersembunyi, dan menutupi dadanya yang sekarang sudah terhampar tanpa penutup. Tangannya nyaris meraih wajah Kiba, dan melanjutkan ciuman panas mereka. Namun tangan lelaki itu memegang tangannya.
"Berapa nominal uang yang kau butuhkan?"
Yamanaka tersentak dengan pertanyaan itu, karena tidak mungkin ia menjabarkan segala hal yang harus ia penuhi saat ini.
Ia seolah bisa menelanjangi pikiran Ino, dia terpaksa melakukan ini untuk suatu hal. "Jangan lakukan ini kalau kau tak mau." Ucapnya pelan, menahan gejolak panas yang sebenarnya ingin dituntaskan, ia meraih selimut tak jauh darinya dan menutupi tubuh telanjang Ino. "Tidurlah, kau pasti lelah." Alat vitalnya masih tegak berdiri, jadi ia harus cepat-cepat pergi dari sana sebelum semuanya terlambat. "Aku akan tidur di sofa ruang tengah."
"Kiba tunggu." Sembari memegang selimut di dadanya, ia memperhatikan si lelaki Inuzuka yang kembali menutupi tubuh bagian bawahnya dengan handuk. "Aku, maksudku, mari kita lakukan--"
Kiba tertawa pelan, menatap Ino sekilas dan kembali menundukkan pandangan. "Aku terkesan tengah memerkosa mu. Jadi kita tidak perlu melakukan itu kalau kau merasa tak nyaman."
"Aku--"
"Tidurlah."
Yamanaka kehilangan seluruh kata-katanya, ia mencengkeram selimut di dadanya kuat-kuat dan kembali terisak. Rasanya malu sekali, bagaimana mungkin ia datang kemari dan merayu lelaki itu. Nyaris berakhir bercinta di atas tempat tidur nyaman si pria.
.
.
Ketika pertama kali membuka mata Ino sepenuhnya sadar jika tirai tebal berwarna abu yang menutupi jendela bukan lah tirai di kamar sempitnya, ranjang empuk super nyaman tempatnya berbaring juga bukan miliknya. Ia kembali menutup mata rapat-rapat dan membenamkan kepalanya dalam bantal. Masih tak percaya jika ia melakukan ini, masih tak percaya jika ia tidur, telanjang di apartemen orang yang justru ingin ia hindari. Astaga ya Tuhan. Rasa malu bercampur marah ke diri sendiri mengaliri pembuluh darahnya. Bagaimana ini? Mana mungkin ia masih sanggup tampak biasa saja di hadapan Kiba setelah semua ini? Benar-benar tak bisa dimaafkan.
Apartemen itu hening, entah dimana Kiba. Apa pria itu sedang mandi? Tapi tak ada suara gemericik air, mungkin kah di dapur? Memasak makanan karena lapar? Tapi ia tak mendengar suara apapun.
Ino memberanikan diri untuk membuka mata, mengeratkan selimut tebal ke dadanya karena demi Tuhan ia tak memakai apapun di balik selimut itu. Kalau saja ini malam pengantin baru, mungkin ia bisa paham, tapi oh ayolah ia tak mau mengungkit ini lagi. Ketika mendapati nyaris pukul sembilan pada jam weker di atas nakas, ia terkejut bukan main. Mana mungkin ia tidur begitu lelap hingga sesiang ini? Tangannya meraih ponsel yang terletak tak jauh dari jam weker, mengecek apakah Shion mencarinya atau seseorang lain mengubunginya. Namun ia tak mendapati apapun kecuali pesan dari Kiba yang dikirim satu jam lalu.
"Aku pergi ke kantor. Kau tidur begitu lelap, aku nggak tega membangunkanmu. Kalau lapar, cari sesuatu di kulkas, ku rasa aku mempunyai stok roti, selai, dan banyak sosis di sana."
"Well, kau boleh tinggal kalau kau mau."
"Lain kali, kalau ada waktu, temani aku makan malam ya."
Untuk segala sakit yang ia alami saat ini, sakit hati terasa lebih dominan. Sembari menutup mata, ia terisak pelan. Apa Kiba sekarang menatapnya sebagai wanita murahan?
.
.
Usai keluar dari apartemen Kiba menjelang pukul sembilan ia menyempatkan diri pergi ke mini market membeli roti dan minuman untuk sarapan. Kiba meninggalkan setumpuk uang di meja, namun ia tak tak mengambilnya. Ia hanya bikin repot pria itu malam kemarin dengan menumpang tidur di kamarnya yang mewah.
Pesan dari Nyonya Mei adalah yang paling mengejutkan hari itu, wanita itu memberitahunya jika semua tunggakan apartemennya sudah lunas dan menawarinya tinggal disana lagi. Ini gila, siapa yang melunasi tunggakan itu? Apa itu Shion? Dapat darimana dia uang sebanyak itu? Tiba-tiba, satu nama muncul di pikirannya. Kiba? Mungkinkah pria itu?
.
.
"Suasana hati mu baik sekali ya?" Naruto meletakkan kopi di hadapan Kiba, menikmati makan siang di kantin yang entah kenapa tak terlalu ramai siang itu.
"Apa menurutmu begitu?" Inuzuka mengulas senyum, tapi tak berniat mengatakan apapun soal kedatangan Ino di apartemennya. "Aku cuma tidur nyenyak, itu saja."
"Nggak percaya."
"Terserah kau saja." Ia menyesap kopinya dan menikmati hangat cairan kafein itu memasuki kerongkongannya.
"Kau pasti nggak akan percaya ini." Ketika mendapati si lawan bicara masih tak bereaksi, ia melanjutkan. "Aku nggak sengaja menemukan Shion di klub malam pinggiran Tokyo."
"Shion?"
"Ya. Yang fotonya kau tunjukkan padaku waktu itu. Adiknya Ino." Dengan gerakan santai, Naruto mengecek ponsel nya. Menunggu pesan penting dari seseorang.
"Kenapa dia disana?"
"Mana aku tahu." Sembari mengedikkan bahu, senyum tipisnya terulas.
"Dan kenapa kau disana?" Kiba hafal Naruto selalu punya alasan khusus ketika pergi ke klub malam, jika hanya minum-minum sendiri rasanya tak harus pergi sejauh itu sebab di sekitar sini juga banyak bar yang pelayanannya jauh lebih mewah.
"Apa urusanmu?" Iris birunya menatap Kiba tak suka.
"Yeah, kau kan selalu ingin tahu urusanku. Sesekali aku ingin tahu urusanmu bukan masalah kan?" Moodnya begitu baik hari ini, dan tindakan Naruto tak mungkin mampu mengacaukannya.
"Well, urus saja gadismu dan segala rahasianya itu Inuzuka." Uzumaki berdehem. "Dan soal Shion. Dia bersama banyak pria, aku nggak benar-benar tahu apa ada gadis lain disana. Tapi aku tak melihatnya."
Kiba mengerjap, kalau Ino sampai tahu soal ini dia bisa marah atau bahkan frustasi parah.
.
.
Ino sudah meninggalkan apartemennya ketika ia pulang malam itu, namun aroma parfumnya masih tertinggal di kamarnya. Kiba sudah menduga sejak awal ketika pesan-pesannya tak terbalas. Ia tidak bisa memahami isi pikiran wanita itu. Bagaimana mungkin dia tiba-tiba datang menawarkan diri untuk menjadi teman tidur, kemudian pergi tanpa memberi tahu.
Kiba merebahkan diri di ranjang, menghirup dalam-dalam aroma selimutnya dan berpikir bahwa untuk malam ini ia tak perlu mengganti sprei. Ia masih ingin terlelap dengan ditemani aroma harum Ino. Namun ketika tatapannya tak sengaja mengarah ke atas nakas, amplop berisi uang yang ia tinggalkan untuk Ino masih ada disana. Segelnya masih rapat, apa Ino benar-benar tak mengambilnya?
.
.
Berhubung ratusan pesan dan panggilan yang ia lancarkan pada Ino tak mendapat balasan, ia menyempatkan diri datang ke apartemen Ino. Namun, apartemen itu seperti tak berpenghuni, berkali-kali ia mengetuk pintu tak ada yang membukakan. Apa Ino pergi bekerja? Mungkinkah?
"Mencari Nona Yamanaka ya? Dia sudah tidak tinggal disini." Seorang wanita setengah baya yang lewat menghentikan langkah sejenak, sebab ia melihat si pemuda sejak tadi berharap seseorang di dalam apartemen membuka pintunya.
Pernyataan itu membuat Kiba tersentak, "sejak kapan?"
Wanita itu tampak berpikir sejenak. "Dua hari ku rasa. Nyonya Mei bilang dia menunggak pembayaran apartemen, dan akhirnya diusir secara paksa."
Astaga, apa-apa itu? Kiba agak menyesali kelalaiannya soal ini. Meski ia sudah membayar lunas tunggakan Ino, itu agak terlambat. Dan dimana wanita itu sekarang? "Apa anda tahu di mana dia tinggal sekarang?"
"Tidak ada yang tahu anak muda." Dia menghela napas panjang. "Kasihan sekali nona muda itu, dia bekerja keras untuk menghidupi dirinya dan adiknya. Tapi kurasa adiknya agak tak tahu diri."
Kalimat terakhir si wanita tua tak lagi masuk ke pendengarannya, sebab pikirannya sibuk dengan kemungkinan dimana Ino tinggal sekarang?
.
.
Agak sialan memang Nyonya Mei itu, Kiba yang membayar lunas tunggakan Ino justru mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. Pasalnya ia dikira salah satu pelanggan Ino. Ia diberi ceramah panjang kali lebar mengenai kehidupan Ino yang menyedihkan dan segala bentuk karma yang memang pantas didapat si gadis Yamanaka. Brengsek benar, ia ingin menyumpal mulutnya pakai wasabi. Andai saja ia tak punya sopan santun dan lebih suka berurusan dengan pihak berwajib karena melakukan penganiayaan. Ia pamit pada wanita itu, tak peduli jika ia memotong ceramah tak bergunanya. Ia sedang buru-buru, sebab saat itu sudah lewat pukul sepuluh malam. Kalau sampai Ino tak menemukan tempat tinggal, ia tak bisa memaafkan dirinya sendiri.
Sembari mengemudi, ia menelfon Naruto. Berharap si pirang itu masih terbangun, atau paling tidak dia sedang di tempat yang tepat bukan bar atau sejenisnya.
"Hallo Bung, tidak biasanya kau menelfon, ada apa?" Bukan dentum musik yang memekakkan telinga, melainkan alunan musik lembut aliran jazz tengah mengiringi acara apapun yang tengah didatangi si pemuda Uzumaki.
"Kau dimana?"
"Astaga, kau tidak bermaksud meminta bantuanku kan? Maksudku ayolah, aku sedang berada dalam acara penting--"
"Kencan?" Kiba memotong cepat, merasa perlu segera ke inti pembicaraan. Erangan Naruto terdengar agak mengiyakan pertanyaannya. "Aku tidak akan menganggumu, tapi bisa beritahu aku alamat bar tempat kau bertemu Shion."
Ada jeda sejenak, suara perempuan samar-samar terdengar bersamaan dengan lagu ballad yang tengah terputar, sepertinya Naruto tengah berbincang dengan lawan bicaranya. "Ku kirim lewat pesan ya."
"Oke, yeah. Good luck Bro." Kiba mematikan sambungan telfon karena merasa Naruto agak terganggu dengan permintaannya malam ini. Well, ia jadi penasaran dengan teman kencan Naruto.
.
.
Kiba ingin membuktikan keberadaan Shion seperti yang diceritakan Naruto tempo hari, tapi untuk sampai di bar yang dimaksud si pemuda Uzumaki butuh satu jam perjalanan dari sini. Itu akan sangat melelahkan mengingat besok ia harus kembali bekerja, jadi sembari menyantap makan malamnya yang kelewat malam, ia menimbang-nimbang rencana itu. Apa besok saja ya?
Restoran klasik yang selalu buka hingga tengah malam ini memang bukan tempat favoritnya, tapi ia tak memiliki pilihan lain ketika perutnya sudah kelaparan parah. Sushi dalam sumpitnya sudah setengah jalan menuju mulut ketika tatapannya bertemu pandang dengan seseorang. Selama beberapa detik keduanya saling diam, terkejut, dan tak percaya bakal bertemu disana.
.
.
"Lama tidak bertemu, dan kau masih terlihat sama saja." Kiba memutuskan mengajak Sakura berbagi meja dengannya, dan berharap mendapat banyak informasi dari si gadis Haruno. "Masih sama Sasuke?"
Setelah menghela napas panjang, Sakura mengangguk. Meski hubungannya dengan Sasuke putus nyambung dan terkesan sedikit toxic, tapi sampai detik ini ia tak mampu mencintai pria lain lebih dari Uchiha Sasuke. "Tinggal di satu kota yang sama, baru kali ini kita bertemu."
Percakapan mereka berhenti sejenak ketika seorang pelayan mengantarkan jus alpukat pesanan Sakura, dan jus melon milik Kiba, ia memutuskan membeli minuman lagi ketika teh yang ia pesan tadi belum cukup merekadan rasa hausnya.
"Beruntung."
"Apa?"
"Aku berencana untuk menemuimu dalam waktu dekat, tapi ternyata kau muncul sendiri disini." Ia menatap lawan bicaranya, dan seperti yang selalu ia ingat, rambut sebahu, tatapan penuh tekad, dan seolah tak ada yang mampu menumbangkan semua harapan yang dimilikinya, tetap milik Sakura yang dulu. Tidak ada bedanya.
"Kenapa ingin menemuiku?"
"Ini soal Ino."
Haruno muda itu diam, ia bahkan berhenti mengunyah katsudonnya hanya untuk mendengar kelanjutan kalimat lelaki di hadapannya. "Oh, tak ada yang ingin ku sampikan soal Ino."
"Aku bertemu dengannya." Kiba melihat keterkejutan di manik Sakura, ia bisa menebak hal itu jauh dalam ekspektasi Sakura. "Dia jadi teman kencan yang ku pesan secara acak, aku agak menyayangkan ini. Pekerjaannya lumayan berbahaya, bagaimana jika ada yang berani melukainya? Mencabulinya? Atau yang lebih buruk lagi, membunuhnya?"
Tak ada jawaban. Sakura bungkam, dan selama ini hal itu juga agak membebaninya.
"Kenapa Ino sekarang jadi begini?" Ia mengaduk jusnya, dan setelah meminum setengah isinya, mendadak ia tak berminat menghabiskannya. "Sejujurnya aku ingin menolongnya, tapi Ino selalu menolak bantuanku. Aku ingin kau jujur, apa yang terjadi pada Ino sebenarnya? Kenapa dia tiba-tiba menghilang waktu itu?"
Sakura tak tahu apa yang harus diucapkannya, jika ia jujur apa Ino tidak akan marah padanya? Kalau ia tak jujur apa itu juga akan membantu Ino? Kejadiannya sudah lewat bertahun-tahun, tapi traumanya masih lekat di memori Ino. "Sejujurnya, Ino hanya merasa bersalah padamu, pada Tamaki dan pada keluarganya."
"Padaku?"
"Aku tidak yakin juga." Tak lagi merasa lapar melihat katsudon dan sushinya, Sakura memilih melanjutkan kalimatnya. "Kau tahu tidak? Dia bersikeras menyembunyikan hubungan kalian karena Tamaki menyukaimu." Empat tahun silam, ketika masih berada di perguruan tinggi yang sama, ia, Ino dan Tamaki tak terpisahkan. Dan ia agak menyesali kisah cinta tragis dua sahabatnya. Menyukai satu pria yang sama. Ino bisa dibilang beruntung, tapi juga tidak beruntung ketika Kiba membalas perasaannya, namun disisi lain sangat menyakitkan bagi Tamaki. Maka Ino berusaha menyembunyikan hubungan mereka.
"Apa?"
"Ketika Tamaki tewas malam itu, kondisi psikis Ino kacau. Ia memilih drop out kuliah tanpa siapapun tahu kecuali aku. Dia melarangku memberi tahumu, lagipula saat itu kau juga sibuk dengan skripsimu." Kiba dulunya adalah senior satu tingkat di atas mereka, mahasiswa jurusan ekonomi, yang circle pertemanannya disegani banyak sekali junior. "Ketika ayah dan ibunya meninggal dalam kecelakaan pesawat, ia yakin dengan pasti jika menjalin hubungan denganmu hingga menyebabkan Tamaki tewas benar-benar memberikan karma yang mengerikan padanya."
Inuzuka mengerutkan kening mendengar penuturan Sakura, apa hubungannya semua itu? Tamaki tewas karena tertabrak mobil bukanlah salah Ino. "Bukan Ino yang menabrak Tamaki kan?"
"Memang bukan, tapi Tamaki memergoki acara kencan kalian, maksudku ayolah Kiba kau pasti paham maksudku kan? Ino berpikir harusnya itu tak terjadi." Ia membasahi tenggorokannya sejenak, dan kembali serius menatap lelaki di hadapannya.
"Jadi Ino yatim piatu sekarang?" Pantas, gadis itu tampak melarat, padahal dulu hidupnya bisa dibilang mewah.
Sakura mengangguk, "apa kau tahu, dia hamil anakmu ketika memutuskan meninggalkanmu, tapi berakhir keguguran."
"Apa?"
.
.
'Aku tahu dimana Shion berada.'
Pesan singkat yang ia kirim pagi dini hari, dan satu-satunya dari ratusan pesan yang mendapat tanggapan. Pagi sekali pesan dari Ino masuk dan membuat hatinya merasa sedikit lega.
'Dimana?'
Balasan pendek, dan tak ada kalimat lain yang menyertainya, namun cukup untuk membuat Kiba merasa gadis itu masih memerlukan bantuannya. Semalaman ia hanya mampu terlelap sekitar dua jam, itu pun tidak penuh. Sebab penuturan yang disampaikan Sakura terngiang dalam kepalanya. Ino hamil anaknya waktu itu, ya Tuhan kenapa gadis itu tak bilang dan berakhir melarikan diri darinya? Meski pada akhirnya calon bayi itu tak pernah lahir ke dunia, paling tidak ayahnya juga perlu tahu.
'Temui aku di restoran China sebelah Perpustakaan kota besok malam pukul tujuh'
Tak ada balasan lagi, namun tanda bahwa Ino telah membaca pesannya tertera jelas di layar. Ia tidak bisa memastikan Ino bakal datang, tapi kemungkinan besar dia mungkin datang karena Shion selalu lebih berarti baginya, bahkan dari dirinya sendiri.
.
.
Ino tak terlihat baik, sinar biru muda matanya sayu. Dan demi apapun, Kiba ingin memeluknya erat-erat untuk membuatnya tenang serta menguatkannya. Wanita itu tampak sungkan untuk menatapnya, barangkali karena kejadian ketika mereka hampir bercinta malam itu. Padahal jika diingat-ingat, itu bukan pertama kalinya mereka berhubungan intim seperti itu.
"Makanlah dulu, kau kelihatan kurang sehat." Sembari menata kalimat yang tepat, ia mengambil sendok serta garpu dan hendak menikmati steak daging mahal yang sengaja ia pesan malam itu, berharap Ino bakal mengikutinya makan juga.
Ino menghela napas panjang. "Aku kesini bukan untuk makan, dan kau juga tahu itu. Dimana Shion berada?"
Kekesalan tampak nyata dalam ekspresi wajahnya, dan kubangan air sudah mulai terbentuk dalam mata menawannya.
"Iya, setelah ini kita cari Shion. Makanlah dulu, kau pasti juga lapar kan?" Ucapnya, sengaja berkata lebih pelan agar Ino tak semakin merasa jengkel. Dan benar saja, kemarahan Ino sedikit mereda, dia berusaha menikmati makan malam itu meski dengan setengah hati.
Kiba sadar jika Ino berkali-kali tertidur, dan berkali-kali pula terbangun sepanjang perjalanan mereka menuju bar yang diberitahukan Naruto. Ia sengaja tak mengajak wanita itu bercakap-cakap, Ino juga kelihatan enggan untuk berbicara meski raut wajahnya setengah sanksi jika Kiba bakal membawanya ke tempat yang tepat.
.
.
"Bar?"
"Dia berada disini." Sembari melepas sabuk pengaman, ia memperhatikan ekspresi lawan bicaranya yang tak terlihat baik. Tentu saja begitu, apalagi yang bisa dipikirkan Ino selain adiknya jual diri di tempat ini. "Kau tidak apa-apa?"
Pertanyaan macam apa itu? Bahkan mulutnya tak mampu menjawab pertanyaan Kiba."Kau yakin dia berada disini?"
"Kita tak akan pernah tahu kalau tak melihatanya sendiri."
Bar itu lumayan mewah, tempat kalangan menengah atas berkumpul untuk menghabiskan pundi-pundi uang mereka. Mereka tak peduli harga yang harus mereka keluarkan demi kepuasan bersama para wanita menawan yang mereka jajahi tubuhnya malam itu.
Barangkali reflek karena agak takut dengan suasana sekitar, Ino tanpa sadar memegangi lengannya. Kiba tahu, orang-orang mabuk disini kadang bisa jadi berbahaya, jadi ia berinisiatif memegangi pinggang Ino. Berpura-pura seolah mereka adalah sepasang kekasih. "Jangan juah-jauh dariku."
Tak ada sahutan dari Ino, matanya sibuk meneliti satu-persatu orang. Dan tak menemukan siapapun yang mirip adiknya.
Awas saja Naruto kalau sampai membohonginya, entah apa yang bakal terjadi jika Shion tak mereka temukan disini. Bisa-bisa kepercayaan Ino terhadapnya runtuh lagi, padahal ia sudah susah payah membangunnya. Belum juga pikiran negatif itu luntur dari benaknya, Ino tiba-tiba melepaskan tangannya, dan menyeruak kerumunan. "Hei."
Ino tak mempedulikan lagi, fokusnya mengarah pada kerumunan pria di ujung bar. Kursi-kursi disana tampaknya dipesan khusus untuk kelompok itu, sementara seorang wanita pirang mabuk tengah dicumbu. Jujur ia muak, apa yang mungkin bakal mereka lakukan pada tubuh Shion yang setengah teler itu. "Hentikan, apa yang kalian lakukan?" Meski tahu jika berteriak dalam keramaian benar-benar tak ada gunanya, namun salah satu dari mereka menyadari keberadaan Ino.
Kiba mematung, ternyata ucapan Naruto benar selain itu ia tak habis pikir jika Shion lebih buruk dari perkiraannya.
Ketika satu-persatu dari kelompok itu menyadari Ino, seluruhnya saling pandang. Termasuk Shion yang matanya sayu, bekas ciuman di leher dan dekat dadanya tak mampu di sembunyikan.
"Shion, ayo pulang."
Kiba sudah hendak menghentikan Ino yang tiba-tiba saja menarik tangan Shion, tapi seorang pria yang duduk di sebelah Shion justru memegang tangannya. Mengelusnya, membuat Ino jijik sendiri.
"Kau siapa? Pelacur yang lain? Cantik sekali." Tawa pelan dan tatapan mesumnya sungguh bikin bulu kuduk meremang.
Ino menyingkirkan tangan besar lelaki itu, dan hendak kembali menarik Shion. Tapi sang adik yang tiba-tiba berdiri justru mendorongnya ke belakang, nyaris membuatnya terhempas ke lantai marmer andai saja Kiba tak buru-buru menangkap tubuh Ino. Membuat para lelaki disana terdiam.
"Kenapa kau disini?" Aroma alkohol menguar di udara, Shion benar-benar mabuk tapi dia masih ingat dengan tepat jika keberadaan Ino tetap dianggapnya pengganggu.
"Kau yang kenapa disini? Ayo pulang."
"Kami sudah membayar mahal untuk ini, tidak mungkin kami membiarkanmu membawa mainan kami begitu saja." Salah satu dari mereka berujar, dan menatap Ino maupun Kiba dengan tatapan mengintimidasi.
"Mainan? Apa maksud--"
Kiba berdehem, mengeratkan tangannya di pinggang Ino dan mengambil alih pembicaraan sebelum suasana makin keruh. "Berapa nominal yang bisa kami berikan untuk menebusnya?"
Ino mendongak, dan bahkan tak sadar jika posisi mereka terlalu dekat. Kiba sepertinya bakal merepotkan diri lagi untuk menolongnya. Dan ia tak bisa berbuat apa-apa, selain menyaksikan suasana mencekam yang entah bakal berakhir bagaimana. Kalau tidak ada Inuzuka, nasibnya bakal sial parah.
Salah seorang pria berbisik ke telinga teman lainnya, dan kembali menatap Kiba. "Apa kau berhasrat memiliki pelacur-pelacur kecil seperti mereka?"
Hatinya mendidih, Ino tidak berpakaian sekelas pelacur, bisa-bisanya mereka mengatainya seperti itu? "Ini istriku, jangan sebut dia pelacur dengan mulut kotormu." Dengusan napasnya terdengar kasar, tak lagi peduli dengan respon kaget Ino yang seolah menyangkal pernyataannya. "Kalau kalian bersedia melepaskan gadis itu sekarang, aku akan memberi kalian banyak uang."
Kelima orang itu saling berpandangan, antara bingung, tak yakin dan tergiur dengan janji luar biasa yang baru saja mereka dengar.
"Kiba kau tak perlu melakukan ini, kita cuma perlu melapor polisi kan?" Ino berbisik pelan, dan air matanya perlahan meleleh.
Kiba merutuk dalam hati, astaga Ino tak paham apa yang sebenarnya terjadi. Namun melihat binar redup biru muda matanya membuatnya lebih tak berdaya lagi. "Tenang saja, serahkan urusan ini padaku."
.
.
Shion tertidur di sampingnya, tapi Ino tidak yakin adiknya itu tengah tidur alih-alih pingsan. Dalam ketidak sadaran itu, tangan Shion diam dalam genggamannya, sementara mobil yang tengah dikemudikan Kiba melaju cepat membelah jalanan malam.
"Kiba." Ucapnya pelan, ragu-ragu, tak yakin, takut dan merasa bersalah. Jika Kiba tak mendengar suaranya, Ino merasa lebih baik dia diam saja, dan mengucapkan terima kasih nanti setelah sampai apartemennya.
"Ada apa, Ino?"
Lelaki itu mendengarnya, dia tak menoleh dan tetap fokus mengemudi. Mendadak Ino menyesali panggilan itu, namun ia sudah terlanjur memancing pembicaraan dalam suasana hening itu. "Apa yang bisa ku lakukan untukmu?" Hati kecilnya menjerit, dia nyaris menangis disana, namun sekuat tenaga menahan lelehan air matanya. Ia mengulangi dalam hati, 'apa yang bisa ku lakukan untukmu?' apalagi yang bisa ia tawarkan pada pria itu selain tubuh dan jasanya? Ia sudah melarat, tak memiliki apapun lagi. Dan jika Kiba ingin menidurinya malam ini juga, Ino dengan sepenuh hati akan setuju. Sudah banyak yang dilakukan Inuzuka untuknya. Tapi ia justru menghindarinya setiap waktu.
Tak ada sahutan dari Kiba, Ino kembali tak yakin si lawan bicara mendengar suaranya. Mendadak, kejadian ketika ia dan Kiba sudah setengah jalan bercinta, dan lelaki itu membatalkannya membuatnya malu sendiri. Di masa lalu, ketika kobaran cinta mereka seolah tak bakal padam, mereka sudah pernah melakukannya. Dalam remang kamar apartemennya yang dulu mewah, dan keyakinan bahwa dalam beberapa tahun ke depan hidup mereka masih tetap sebaik itu. Tak ada rasa canggung waktu itu, tiap detik mereka nikmati dalam balutan cinta. Barangkali Kiba juga masih ingat momen itu, entahlah.
"Aku bertemu Sakura beberapa hari lalu. Dia memberi tahuku sesuatu," ia diam sejenak, "sesuatu yang kau sembunyikan dariku."
Suara serak dan dalam milik Kiba membuat Ino menegang, jantungnya bertalu-talu menantikan lanjutan kalimatnya. Dan Ino mencoba menebak apa yang mungkin dikatakan sang sahabat pada Kiba.
"Harusnya kau bilang waktu itu kalau kau hamil, dan itu anakku kan?"
Jantung Ino seolah jatuh ke dasar perutnya, dan ia tak memiliki kata yang bisa ia ucapkan.
.
tbc
.
~Lin
12 Oktober 2024
