Neji antara percaya tak percaya saat sang ibu menelpon dan bilang kalau dia sudah dilangkahi oleh adiknya sendiri. Dia memang sudah tahu perihal perjodohan dan detail perjanjian itu, tapi dia tidak menyangka jika harus secepat ini.

Setelah mendengar suara mobil yang memasuki gerbang, dia segera keluar dari kamarnya dan sedikit berlari untuk menyambut sang pengantin yang baru pulang, tapi sebelum turun, dia menyempatkan diri untuk mampir ke kamar adiknya yang lain.

Brak

Tanpa mengetuk, dia membuka pintu dan melongok ke dalam. "Ayo, sang pengantin sudah sampai," ucapnya.

"Benarkah?" Sang adik bungsu tak kalah antusias.

Dan jadilah, suara derap langkah keduanya sukses membuat Hiashi dan Hikaru mengernyit sambil memandang plafon.

"Ayah! Ibu!" panggil Hanabi.

"Hinata!" Neji menyusul memanggil orang yang ketiga.

Namun, panggilan mereka hanya mendapat tatapan aneh dari ketiga orang yang dihampiri. Mengabaikan tatapan itu, Neji dan Hanabi langsung mencari sosok yang tersembunyi di balik punggung kedua orang tuanya.

"Nee-chan?" Panggilan itu tampak membingungkan saat mendapati Hinata yang berjalan pelan dengan wajah menekuk. "Kau baik-baik saja?"

"Hm." Hinata melirik ayah ibunya dan kembali berkata, "Aku baik-baik saja." Nada suaranya jelas menyindir.

Bagaimana mungkin dia baik-baik saja di saat harus menjadi seorang istri dalam waktu yang … cukup mengagumkan.

Sungguh, dia bahkan tidak pernah berpikir apa yang harus dilakukan jika sudah menikah.

"Jadi?" Neji mendekat dengan tersenyum manis. "Kau seorang istri sekarang?"

Menghela napas, Hinata mengangguk sebelum Neji menariknya ke dalam pelukan pria itu.

"Kenapa wajahmu begitu? Kau seharusnya bahagia sekarang."

"Nii-chan pikir aku bisa bahagia setelah menikah?"

"Tentu saja." Neji melepas pelukannya dan kembali menatap meyakinkan sang adik. "Kau akan bahagia. Atau akan kuhajar suamimu jika dia tidak memberikan kebahagiaan padamu."

"Benarkah?" Hinata bertanya dengan raut innocent. "Benarkah Nii-chan akan menghajarnya?"

Neji mengangguk mengiyakan, membuat Hinata mengangguk dengan wajah yang terlihat sedikit tenang. "Kalau begitu pas."

"Apanya?"

"Aku tidak perlu khawatir. Lagipula, Neji-nii, 'kan seorang Kapten Karate. Kudengar dia jago dalam karate, apalagi tahun lalu dia menjadi juara satu dalam turnamen karate se-provinsi."

"Apa?" Senyum Neji memudar seiring dengan perkataan Hinata. "Dia … juara satu turnamen karate tahun lalu?"

Hinata mengangguk, dan mata lavender pria itu langsung menatap kedua orang tuanya tak percaya. "Hinata menikah dengan Uzumaki Naruto?"

Kedua orang tuanya mengangguk.

"Kenapa? Nii-chan tidak takut, 'kan? Bukankah Nii-chan Kapten Klub Karate? Nii-chan akan menghajarnya jika dia tidak membuatku bahagia benar, 'kan?"

Gluk

"Ha ha." Neji tertawa hambar. Dalam hati dia sudah berpikir, bagaimana dia bisa menghajar orang yang mengalahkannya dalam turnamen itu?

Ya, Neji gagal masuk final dalam turnamen karena dikalahkan oleh Naruto dalam satu pukulan terakhir saat Neji lupa memasang kaitennya, sehingga dia terpental dan … K.O.

"Err … jadi di mana suamimu?" tanyanya mengalihkan fokus sang adik. Bahkan dia berharap adiknya lupa dengan janjinya yang akan mengahajar Naruto jika sesuatu yang buruk terjadi.

"Benar, mana suami Hinata-nee?"

Hinata memajukan bibirnya. "Jangan terus menyebutnya begitu, sebut saja namanya langsung tanpa mengingatkanku apa hubungan kami," ucapnya kesal.

"Hinata, kau tidak boleh bicara begitu."

Gadis itu hanya menghembus napas kasar akan peringatan sang ayah.

Namun, Hiashi mengabaikan itu dan menjelaskan kepada yang lain. "Hinata pulang sebentar untuk mengambil pakaian dan kebutuhannya. Naruto bilang dia ada urusan sebentar dan akan menyusul untuk menjemput Hinata."

"Jadi Hinata-nee tidak tidur di sini?" Hanabi bertanya lagi.

"Tentu saja tidak, Hinata akan tinggal di mana suaminya tinggal." Jawaban sang ibu langsung membuat Hanabi memeluk erat Hinata.

"Huuuaaa … Nee-chan … kalau kau tidak tidur di rumah ini lagi, maka siapa yang akan kuganggu setiap malam? Lalu siapa juga yang akan membangunkanku setiap pagi, dan siapa yang akan menemaniku menjahili Neji-nii?"

Bletak

"Ittaiii…!" Hanabi langsung mengaduh sakit saat kepalanya dijitak lumayan pelan oleh Neji. Dengar, lumayan pelan yang berarti cukup kuat. "Neji-nii apa kau lupa perkataan Ayah yang bilang tidak boleh memukul perempuan?"

"Aku tidak memukul, hanya menangkap nyamuk yang ada di kepalamu."

Hinata terkikik melihat tingkah adik dan kakaknya, sedikit melupakan tentang kekesalannya tadi. Ah, dia akan jarang melihat suasana itu nantinya.

*NaruHina*

Setelah Naruto datang dan menerima jamuan minuman dari kedua mertua, peringatan dari kakak ipar, serta beberapa ancaman dari adik ipar. Akhirnya Naruto dengan penuh sikap gentlemen meminta izin untuk membawa istrinya pulang.

Tentu saja sikap kerennya itu dapat nilai plus dari kedua mertua, sedikit dengusan dari kakak ipar, serta secuil kekaguman dari adik ipar. Hinata hanya bisa mengenyit saat merasa ada yang berbeda dengan sikap pria itu. Hinata ingat bagaimana sikap Naruto tadi, lalu kenapa bisa pria itu jadi berubah bersikap santai dan tenang?

Seolah Naruto menerima semuanya dengan ikhlas.

Mereka hanya diam selama dalam perjalan menuju kediaman Namikaze. Namun anehnya, walau suasana sepi dan tidak ada pembicaraan, mereka sama sekali tidak merasa canggung. Seolah semua sudah biasa sehingga membuat mereka tanpa sadar menikmatinya.

Tak memakan waktu lama, mereka sampai. Disambut teriakan girang sang ibu, senyuman hangat sang ayah, dan tatapan datar sang adik.

*NaruHina*

Hinata memperhatikan sekeliling kamar yang baru saja dia masuki. Luas, sederhana, dan lumayan rapi. Dia tersenyum saat menyadari jika mungkin akan betah dan nyaman di kamar itu.

"Kau ingin menyusun barangmu sekarang atau besok?"

Gadis itu menoleh saat Naruto bertanya. "Barangku sedikit, akan kususun sekarang saja."

"Baiklah." Naruto mengangguk dan segera membawa koper Hinata ke dekat lemari lalu membukanya. Menyingkarkan setumpuk baju dari satu tempat lalu memindahkannya ke tempat lain. "Taruh saja pakaianmu di sana," ucap pria itu santai tanpa terlihat canggung sedikit pun.

Hinata berkedip bingung saat Naruto menyingkir dan memperlihatkan lemari yang terbuka dengan isi yang seluruhnya pakaian Naruto. Maksudnya, mereka satu lemari?

Entah kenapa wajahnya memerah saat menyadari jika mereka benar-benar seperti suami istri sungguhan. Walau memang kenyataannya begitu. Baru dia sadari jika mulai sekarang mereka akan berbagi kamar, berbagi lemari, bahkan … berbagi ranjang?

"Ettoo ..." Hinata bersuara yang mencuri perhatian sang suami. "Apa kau … tidak punya lemari dan ranjang yang lain?"

Sekarang giliran Naruto yang berkedip terdiam. Dia tinggal sendiri di kamar itu sebelumnya, untuk apa dua lemari dan dua ranjang?

"Aku hanya punya satu," jawabnya singkat dan hanya ditanggapi Hinata dengan 'oh.' "Susunlah dulu barangmu, aku ingin mandi."

Hinata mengangguk seraya memperhatikan Naruto yang berjalan memasuki kamar mandi. Benar-benar, Hinata sungguh merasa sikap pria itu berubah menjadi lebih kalem.

Mengangkat bahunya, dia tidak mau ambil pusing dan segera mengerjakan apa yang ingin dia lakukan.

.

Sementara di kamar mandi ….

Naruto berdiri dengan tangan yang menumpu di wastafel. Tatapannya datar ke arah cermin dengan mulut terkatup rapat. Siapapun yang baru mengenalnya dan melihat sikapnya yang sedari rumah Hinata tadi sampai sekarang, maka mereka akan berpikir kalau Naruto adalah seorang pria yang tenang dan keren, tapi siapa sangka jika semua itu .…

"Kau hebat," ucapnya pelan memuji diri sendiri. Tak lama, cengiran itu muncul. "Kau hebat, ttebayo! Bagaimana bisa kau bersikap keren dan tenang seperti tadi?" lanjutnya dengan nada penuh kebanggaan pada diri sendiri.

Dia menaruh tangan kanannya di dagu sambil mengangguk pelan. "Ternyata aku keren juga jika bersikap tenang seperti tadi. Ah, aku bahkan yakin adik Hinata tadi terpesona padaku. Wah, Shikamaru … kau yang terbaik, ttebayo!"

Flashback

"Jadi aku harus bagaimana, Shika?"

Pria nanas itu hanya menatap bosan sahabat pirangnya. "Apa lagi, pergilah dan jemput istrimu sana."

"Shika, kau menyebalkan. Aku bingung harus bagaimana nanti. Aku tidak ingin membuat orang tuaku marah, tapi aku juga belum bisa terbiasa dengannya. Sial, bahkan aku baru mengenalnya sejam yang lalu," ujar Naruto sembari merengek bak anak kecil. "Ayolah Shika, aku harus bagaimana?"

"Ck, merepotkan. Bersikap santai saja dan usahakan kau tetap tenang."

"Tenang?"

Shika mengangguk. "Penilaian mereka akan baik jika melihat sikapmu yang tenang, dan kau juga tidak akan terlalu canggung saat bersamanya. Anggap semua itu biasa saja. Orang tuamu akan berpikir kalau kau menerima semuanya dengan baik."

"Aku bahkan belum bisa menerimanya."

"Lalu kau mau apa? Jika kau bersikap konyol seperti biasa, maka aku yakin akan melihatmu di rumah sakit besok karena hantaman maut ibumu."

Naruto menghela napas. Memang, setelah Hinata dan kedua orang tuanya pergi lebih dulu tadi. Kushina mengancam sang putra tercinta untuk bersikap layaknya seorang suami. Kalau sang ibu melihat raut tidak ikhlas Naruto, maka dia akan mengirim Naruto ke Unit Gawat Darurat. Kushina juga bilang kalau Naruto harus memperlakukan Hinata dengan baik.

Dari itulah, Naruto menemui Shikamaru dan meminta beberapa saran sebelum dia menjemput sang istri dari rumahnya.

Flashback off

Sesuai perkataan pria nanas itu, Naruto sudah mendapat nilai plus di mata Hiashi, Hikaru, Hanabi, bahkan Kushina. Mengingat itu, Naruto kembali nyengir lebar. "Aku cukup bagus dalam acting. Apa aku jadi artis saja ya daripada jadi pengusaha?"

*NaruHina*

"Ehm." Hinata berdeham saat merasa mulai pegal berdiri di sudut ranjang.

Bukan salahnya jika dia benar-benar bingung harus apa? Dia baru saja selesai mandi dan keluar dari balik pintu pembatas saat melihat Naruto duduk santai di atas ranjang dengan memainkan ponselnya. Awalnya Hinata hanya menatapnya penasaran, selanjutnya, gadis itu berharap Naruto akan menyadari keberadaannya dan melakukan sesuatu atas situasi yang membuatnya tidak nyaman itu.

Namun, bahkan setelah lima menit berlalu, pria itu tetap diam tanpa menoleh. Sebenarnya pria itu bersikap keren atau justru tidak peka, sih?

"Ehm." Lagi—gadis itu berdeham, tapi Naruto tetap diam.

"Ehm eh-ehm ehm." Setelah dehaman itu hampir menyerupai orang yang sedang batuk, barulah Naruto mengalihkan tatapannya dan menatap Hinata datar.

"Kau sakit?"

Twich

Perempatan muncul di kening Hinata. Pertanyaan macam apa itu? Apa dehamannya tadi benar-benar seperti orang terkena TBC?

"Ya, aku sakit … di bagian kaki." Pegal lebih tepatnya.

Naruto melirik kaki yang berbalut celana piyama panjang itu dengan tatapan yang masih datar, lalu tangan kirinya menepuk pelan sisi lain ranjang. "Kalau begitu berbaringlah dan tidur."

Wajah Hinata kembali memerah. Rasa kesalnya hilang seketika karena kegugupan itu.

"Anoo …," ucapnya terbata sembari meremas jari-jemarinya sendiri, "... apa kita … benar-benar … tidur seranjang?"

Naruto terdiam dan melihat sejenak ranjang yang dia duduki. "Aku tidur di sofa kalau begitu." Naruto segera bergerak dan meraih bantal dan guling.

Namun … "Naruto." Pria itu berhenti, Hinata berkata, "Aku … tidak bisa tidur tanpa guling."

Naruto terdiam dan mengangguk mengerti, dia melepaskan gulingnya dan meraih selimut sebelum ….

"Naruto."

Pria itu berhenti lagi dan menghela napas sabar.

"Itu … aku tidak bisa tidur jika tidak pakai selimut."

Naruto terdiam dan menatap miris selimutnya, innernya berteriak, 'Lalu bagaimana denganku, Hinata? Kau ingin aku jadi mayat beku besok? Apalagi hujan selalu turun setiap malam dalam seminggu ini.'

Ingin sekali dia berteriak gaje seperti itu, tapi yang keluar justru kalimat dan nada yang berbeda. "Baiklah, kau pakai saja," ucapnya dengan tersenyum tipis lalu melangkah menuju sofa dengan hanya sebuah bantal.

Nasib!

Namun, sebenarnya itu tidak terlalu miris untuk Naruto. Perkataan Shikamaru itu selalu tepat. Sikap tenang Naruto akan membawa nilai plus sendiri untuknya. Buktinya, senyum tipis di bibir Hinata cukup menjamin.

Dengan tubuh yang sudah berbaring dan tersembunyi di balik selimut, Hinata tersenyum menatap Naruto yang berbaring menutup mata di sofa. 'Benar kata Hanabi, sepertinya dia orang yang baik dan keren. Dia juga sabar menghadapi aku,' syukurnya dalam hati.

Tanpa tahu gerutuan Naruto dalam hati yang mati-matian dia tahan agar tidak keluar.

*NaruHina*

Pagi itu, udara terasa lebih segar, karena hujan yang turun lebat semalam. Matahari pagi membawa kehangatan yang nyaman bagi makhluk bumi, seolah mengusir rasa dingin yang menyerang semalaman.

Seorang gadis berambut indigo bergerak menyamankan tidurnya yang benar-benar hangat. Setengah kesadaran yang mulai masuk membuatnya sedikit memuji kualitas selimut yang dimiliki suami barunya. Sedikit tersenyum, dia semakin merapatkan tubuhnya ke sisi lain ranjang yang terasa lebih hangat, membuatnya kembali tertidur.

Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit.

Sang gadis kembali bergerak tanda mulai terbangun dari tidur nyenyaknya dan tersenyum karena kehangatan itu masih terasa. Perlahan lavender itu terbuka dan langsung menatap lurus pada wajah tampan sang suami. Dia bersyukur karena memiliki suami yang benar-benar tampan.

Wait?!

Senyumnya memudar saat menyadari betapa dekat sang suami. Dia ingat! Ya, ingatannya masih sangat jelas kalau semalam sang suami tidur di sofa. Lalu kenapa sekarang suaminya menempel dan memeluknya tanpa jarak?

"Kyyaaa!"

Bruk

"Ittaiii …!"

Ringisan itu membuat Hinata terdiam dan sedikit melongokkan kepalanya ke bawah, menatap takut-takut sosok yang mengusap pinggangnya sambil mengaduh sakit. Hinata sedikit tersentak saat Naruto berbalik dan menatapnya.

"Kenapa kau menendangku, Hinata?"

"Maaf." Lirih kata itu terucap. Hinata menggigit bibirnya saat Naruto terlihat susah untuk kembali duduk di atas ranjang. "Maaf, Naruto. Aku … hanya kaget. Kupikir … kau masih tidur di-di sofa."

Naruto menghela napas dan menggaruk rambut pirangnya dengan wajah khas bangun tidur, membuat beberapa helai rambutnya yang terlihat begitu lembut menutupi sedikit matanya yang terpejam. Hinata terpaku menyadari betapa tampannya sosok pria itu. Mengalihkan tatapannya yang terkunci, Hinata justru melihat kancing piyama Naruto yang terbuka di bagian atasnya.

Blush, wajahnya memerah lagi. Secepat kilat dia menyembunyikan wajah merona itu.

"Ya, tidak apa-apa." Naruto bergumam dengan mata terpejam dan sambil mengusap lehernya. "Aku juga minta maaf karena pindah tempat tanpa bilang."

Setelah merenggangkan ototnya, Naruto menoleh menatap Hinata yang tidak menatapnya. "Semalam aku tidak bisa tidur karena hujan sangat deras, aku kedinginan dan berpikir tidak salah jika hanya tidur di sudut ranjang dan berbagi selimut denganmu, tapi .…" Naruto menelan ludah saat mengingat posisinya tadi sebelum Hinata menendangnya. Ugh, kapan dia memeluk gadis itu?

"Uh-um." Hinata mengangguk merespon perkataan Naruto tanpa berani menoleh.

"Tapi Hinata," pria itu kembali bersuara, "Apa kau ikut klub bela diri atau semacamnya?"

Hinata menoleh dan menatapnya bingung, lalu gadis itu menggeleng pelan.

"Tendanganmu lumayan juga," jawab Naruto sambil kembali berbaring. 'Benar-benar membuktikan kalau dia adik Neji,' lanjutnya dalam hati.

"Naruto?"

"Hm?"

"Kau mau tidur lagi?"

Naruto berbalik dan menatapnya. "Aku masih ngantuk, Hinata. Semalam aku tidur jam dua pagi." Suaranya terdengar sedikit merengek, dan itu membuat Hinata langsung mengangguk mengerti.

"Baiklah, tidurlah lagi. Aku akan mandi."

Setelah mengucapkan itu, Hinata dengan cepat berlari menuju kamar mandi. Sedang Naruto hanya menatapnya dengan tersenyum. "Dia manis juga," gumamnya. Lalu kembali menarik selimut dan menutup matanya, tapi dia mengernyit ketika guling yang dipeluknya terasa berbeda. "Kenapa tiba-tiba lebih nyaman kalau memeluknya?"

*NaruHina*

Kushina bersenandung ceria sembari menyajikan sarapan di dapur. Seorang pembantu yang menolongnya pun hanya tersenyum melihat betapa senangnya sang nyonya rumah. Jelas pembantu itu tahu apa alasannya.

"Pagi, Bu."

"Pagi Menma-chan, kau tampan sekali hari ini." Kushina berucap riang setelah putra bungsunya itu mengecup singkat pipinya. "Duduklah, dan Ibu akan mengambil sarapan terlezat untukmu."

"Hn." Menma duduk di kursi sembari meraih koran yang ada di atas meja.

Memang, Naruto dan Menma adalah dua beradik kandung walau sifat dan sikap keduanya berbeda. Menma terkesan dingin dan cuek sementara Naruto terkenal hangat dan ceroboh walau banyak yang bilang kalau Naruto lebih ke arah bodoh dibanding ceroboh.

"Pagi sayang." Minato menyusul dan mengecup singkat bibir sang istri. Tersenyum kala melihat binar cerah dari mata hazel Kushina yang tidak hilang dari semalam. "Kau cantik sekali pagi ini."

"Aku memang selalu cantik, Anata."

"Ya, Ibu yang tercantik," ucapan Menma mendapat teriakan girang sang ibu.

Walau terkesan dingin dan cuek, tapi Menma sangat menyayangi Kushina, tidak pernah membantah dan selalu mendukung apa pun keputusan ibunya itu. Bahkan Kushina lebih sering bermanja dengan Menma dibanding Minato. Hal yang terkadang membuat Minato cukup cemburu.

Sebelum mereka mulai makan, Hinata datang dengan langkah kecilnya. "Pa-pagi." Jelas akan terasa canggung jika makan di rumah orang asing untuk pertama kalinya. Begitulah yang dirasakan Hinata, apalagi dia belum sempat berbicara banyak dengan keluarga Naruto.

"Pagi."

"Pagi, Hina-chan."

"Pagi, Kakak Ipar."

Tiga sapaan ramah itu membuat Hinata tersenyum dan merasa mulai nyaman. Dia mengangguk saat Kushina menyuruhnya duduk di kursi yang ada di hadapannya—di samping Menma. Sungguh Hinata bersyukur karena biar bagaimanapun, perjodohan ini ternyata tidak terlalu buruk. Dia merasa diterima dan merasa memiliki keluarga baru.

"Makanlah. Kau bangun pagi padahal kami sengaja tidak ingin mengganggu kalian. Dan apa setelah ini kau kuliah?" Hinata mengangguk, dan raut wajah Kushina sedikit berubah. "Ooh, padahal kupikir sebaiknya kalian berdua libur untuk seminggu atau dua minggu dan pergi ke suatu tempat dalam rangka bulan madu."

Hinata menunduk dengan wajah memerah mendengar perkataan Kushina. Demi apa, bulan madu? Dia bahkan tidak pernah memikirkannya.

"Lalu, di mana suamimu?"

Hinata tersenyum singkat, tidak suka dengan cara sang ibu mertua menyebut Naruto dengan 'suamimu', tapi dia tidak mungkin protes seperti saat dia protes dengan adiknya semalam, bukan?

"Dia masih tidur, Bu. Katanya dia semalam tidur jam dua," jawab Hinata polos tanpa menyadari jika Kushina mengulum senyum karena hal itu.

"Oh, kalian tidur jam dua?" Nadanya terdengar menggoda yang membuat Hinata mengernyit. Sebelum Hinata menyangkal jika hanya Naruto yang tidur jam dua, suaminya muncul dengan penampilan yang masih sama seperti yang dilihatnya tadi.

Masih mengenakan piyama tidur dengan rambut acak-acakan, berjalan dengan tangan kanan yang memegang pinggang, hanya saja wajahnya terlihat lebih fresh. Mungkin karena pria pirang itu sempat mencuci wajah dan gosok gigi sebelumnya.

"Pagi," ucapnya sambil menguap dan duduk langsung di kursi samping Hinata, sehingga gadis itu berada di antara kakak adik Uzumaki.

"Kau seperti Shikamaru." Celetuk Menma atas sikap Naruto. Uzumaki bungsu itu terkadang hanya mengernyit jika melihat Shikamaru yang berkunjung ke kediaman Namikaze dengan wajah mengantuknya.

"Terserahlah," jawab Naruto tidak peduli. Dia meraih selembar roti dan berusaha menggapai selai stroberry yang berada sedikit jauh darinya. Hinata yang melihat itu refleks membantu karena letak selai itu juga tidak terlalu jauh darinya. Membuat Naruto menatapnya sekilas sembari menerima selai yang diberikan. "Terima kasih."

Percakapan singkat yang tidak berarti sebenarnya, tapi di mata seorang Uzumaki Kushina, itu terlihat menjadi sesuatu. Kau tahu sesuatu? Pokoknya sesuatu.

Dan saat Naruto ingin menuangkan segelas jus jeruk ke gelasnya, dia meringis menahan sakit pinggangnya.

"Naru-chan, kau kenapa? Dari tadi kau terlihat kesakitan?"

"Pinggangku sedikit sakit, Bu."—mata safir Naruto melirik Hinata—"Karena seseorang," lanjutnya menyindir. Membuat Hinata langsung menggigit bibirnya dan menunduk.

Tak mereka sadari tatapan aneh dari tiga orang lainnya.

"Naruto, apa semalam kau tidur jam dua?" tanya Kushina.

Naruto mengangguk sambil makan dengan santai.

"Dan sekarang pinggangmu sakit karena seseorang?"

Lagi–Naruto mengangguk.

Melihat itu, senyuman Kushina semakin lebar. Lembur dan sakit pinggang di malam pertama? Sesuatu yang mulai liar di pikiran Kushina membuat dia berteriak dalam hati, 'Sepertinya aku akan cepat dapat cucu.'

"Kau harus pelan-pelan, Naruto, biar pinggangmu tidak sakit."

"Uhuk uhuk."

"Hah?"

Menma langsung tersedak mendengar itu, padahal sang kakak yang diberi nasehat hanya ber-hah bingung. Sepertinya terbukti jika pikiran Menma lebih dewasa dari sang kakak. Sementara Minato hanya menggeleng pelan.

"Ibu, mereka terlalu polos untuk itu. Lihatlah, wajah mereka seperti orang linglung." Menma langsung mengeluarkan pendapatnya.

"Mereka yang terlalu polos, atau kau yang terlalu cepat dewasa, Menma?"

Sang bungsu langsung mendengkus mendengar sindiran sang Ayah.

"Aku sudah 18 tahun dan sudah cukup legal," jawabnya setengah merajuk. Ok, selain sifat yang tadi, sepertinya Menma tetaplah remaja biasa.

"Apa sih yang kalian bicarakan?" Pertanyaan Naruto mendapat tatapan mendukung dari Hinata. Dan hal itu sukses membuat helaan napas dari ketiga lainnya terdengar.

"Bukan apa-apa," Minato cepat menyela, "Daripada itu, kenapa kau belum bersiap, Naruto? Sepertinya kuliah Hinata pagi."

Naruto menatap ayahnya sekilas sebelum menjawab, "Aku tidak ada jadwal kuliah hari ini, Ayah."

"Memangnya kau tidak mengantar istrimu?"

"Ah, itu ..." Hinata kembali membuka suara, "Tidak perlu, aku bisa pergi sendiri, Ayah."

"Mana bisa begitu?" Kushina menimpali "Kau sudah menikah dan akan lebih baik jika kau diantar suamimu, Hinata. Kan, Naru-chan?"

Naruto mendengkus sambil menopang dagunya. "Mungkin." Lalu tangannya mengambil roti dan memakannya dengan kasar sambil melempar pandangan ke arah lain.

Malang bagi pria itu yang tidak menyadari aura hitam yang mulai muncul dari Kushina. Saat aura itu mulai merambat dan terasa di bulu kuduknya, barulah dia menoleh perlahan dan menelan ludah akan tatapan tajam sang ibunda.

"Baiklah," ucapnya pelan sembari menaruh kembali separuh rotinya, "Aku sudah selesai karena harus mandi dan bersiap untuk mengantar … istriku," lanjutnya dengan senyum kikuk.

Secepat mungkin langkah seribu dia lakukan.

Kushina mengancam, Naruto ketakutan, Hinata bingung, Minato dan Menma hanya tersenyum simpul.

Ah, pagi yang penuh warna.

*to be continued*

29 Jan 2022

Halo, semuanya.

Di sini ceritanya santai, ya. Sekedar hiburan untuk mengisi waktu membaca kalian.

NaruHina udah mulai tinggal serumah dan tidur seranjang, nih. Si Naru berani amat ambil tindakan di malam hari. Kena deh tendangan cantik Hinata. ?

Belum lagi kepolosan mereka atas kesimpulan yang Kushina tarik, bagiku itu menggemaskan. Kenapa aku yang baper? Karena aku udah lupa gimana detilnya. Sekarang ngedit sambil baca ulang, aku kaget sendiri.

Aduh, seru juga diajak berpikir oleh cerita sendiri. Bahkan sempat kaget pas baca Naruto punya adik. ? Lah, aku bertanya-tanya, adiknya Menma, Naruko, atau Konohamaru?

Oke, abaikan curhat di atas.

Eh iya, kemaren publish chap 1, ada orang yang review tak senonoh. Aku hapus, dia komen lagi. Hapus lagi, komen lagi. Jadi aku ubah pengaturannya. So, untuk komen tanpa login, nunggu diapprove dulu baru bisa muncul komennya.

Sekian chapter 2. Sampai ketemu chapter 3.

Salam, Rameen.