Hari itu dan hari-hari sebelumnya dalam seminggu ini, selalu membuat Kushina tersenyum senang. Walaupun sering juga membuatnya lebih gencar dalam mengancam. Tapi lupakan itu, karena sekarang moodnya sedang baik. Masak sarapan berdua dengan menantu idaman sungguh hal yang sangat menyenangkan.
"Ibu, ini yang terakhir."
"Terima kasih, Hina-chan."
Gadis berambut indigo itu mengangguk senang atas ucapan Kushina. Menghabiskan waktu dengan Kushina tak ubahnya seperti menghabiskan waktu dengan Hikaru, ibunya, menyenangkan dan begitu nyaman. Walau dia akui jika Kushina lebih ceria, nyentrik, dan … cukup bawel. Tapi itu bukan masalah.
"Nah, selesai!" seru Kushina senang karena sarapan pagi itu terlihat lebih istimewa, meski sebenarnya sama saja.
Seperti ada alarm tersendiri, anggota keluarga yang lain berkumpul saat makanan sudah selesai. Diawali dengan kedatangan Menma yang seperti biasa, selalu tampan dan rapi dengan seragam sekolahnya.
"Pagi, Bu."—Cuph—"Pagi kakak ipar."
Dia menyapa ibunya dan seperti biasa mengecup pipi Kushina singkat, lalu beralih menyapa kakak iparnya yang tersenyum melihat bagaimana Menma begitu menyayangi sang ibu.
Tak lama, sang kepala keluarga pun menyusul. "Pagi, Sayang."—Cuph—"Pagi, Hinata."
Nah, kali ini Hinata mengangguk dengan wajah sedikit merona karena Minato mencium bibir Kushina kilat. Oh, dia belum terlalu biasa dengan hal semacam itu. Karena apa? Karena Hiashi lebih kaku dari Minato, sedangkan Minato harus melakukan itu agar tidak kalah dari putra bungsunya yang sering mengambil alih lebih perhatian Kushina.
Selanjutnya, seorang pria berambut pirang lainnya juga muncul dan mendekat. Tanpa sadar membuat Hinata terdiam sejenak. Menma datang menyium ibunya, Minato datang menyium istrinya, apa Naruto juga melakukan hal yang sama?
"Pagi."
Set
Hinata berkedip melihat Naruto yang menyapa tanpa melihat dan langsung duduk di kursinya sambil masih memainkan smartphonenya. Bukan hanya Hinata, ketiga lainnya pun langsung menatapnya.
Entah kenapa, pemikiran konyolnya barusan berefek sedikit mencubit hatinya. Dan membuat Hinata berbalik untuk membersihkan beberapa piring kotor bekas memasak.
"Astaga," Menma mulai mengeluh, "Naruto, tidak bisakah setidaknya kau menyapa dan menyium istrimu?"
"Huh?" Naruto menoleh bingung menatap Menma, dia tidak terlalu mengerti sampai pandangan ayah, adik, dan … ibunya mengarah padanya. Membuat kerja otaknya yang lambat dipaksa mengerti dan membuatnya tersentak singkat.
Dia menggerakkan tangannya ke dirinya dan Hinata. Bertanya dengan isyarat apa dia harus melakukan itu pada Hinata? Ketiganya mengangguk kompak, dan oh jangan lupakan tatapan lembut dari sang ibunda.
Memaksa sang pria berdiri dan berjalan mendekat ke arah sang istri.
Berdiri di sampingnya, mendekat dan semakin mendekat, hingga .…
"Pagi."—Cuph.
Sapaan yang berbisik dan kecupan singkat di pipi gembil Hinata membuat suasana terasa hening. Belum lagi gerak tangan Hinata yang langsung berhenti dan dia perlahan menatap sang suami yang menatapnya biasa.
"Pagi," jawabnya pelan.
Naruto melirik tangan Hinata yang memegang piring kotor dan spons. Dia taruh semua itu dan melepaskan sarung tangan orange dari tangan Hinata. "Nanti saja cuci piringnya. Kita sarapan dulu." Setelah itu Naruto kembali berjalan ke kursinya dengan Hinata yang mengekor di belakang.
Oh, Kushina tidak akan keberatan jika harus selalu mengancam.
Dia mengulum senyumnya melihat hal itu. 'Ya ampun, padahal aku hanya menyuruhnya untuk menyapa,' ucapnya dalam hati.
*NaruHina*
"Terima kasih."
Naruto mengangguk akan ucapan Hinata. Kini mereka sudah ada di area kampus. Fakultas Sastra tepatnya. Sudah sering begitu. Naruto akan lebih dulu mampir ke fakultas sang istri untuk mengantar Hinata baru berbelok ke fakultasnya.
Jarak kedua gedung itu hanya sekitar 100 meter dalam wilayah yang sama. Jadi tidak terlalu sulit, bukan?
"Mungkin aku akan pulang lebih lama," ucapnya yang menghentikan gerak Hinata yang ingin keluar, "Tunggu saja di perpustakaan atau di kantin. Terserah sih, paling hanya beda satu jam."
Hinata mengangguk mengerti. Dia tidak lagi menolak diantar-jemput sang suami, demi menjaga agar dia tidak merawat sang suami di rumah sakit.
"Aku pergi."
*NaruHina*
Waktu itu lama, tapi terkadang juga cepat. Lihatlah, sekarang bahkan sudah hampir tengah hari. Padahal rasanya baru sejam yang lalu jam tujuh pagi.
"Hah, akhirnya bisa istirahat juga." Kiba merenggangkan tubuhnya setelah empat jam duduk di kursi dan mendengarkan dosen, belum lagi presentasi per kelompok tadi. Sungguh bukan keahliannya. Tapi dia masuk jurusan ekonomi karena sudah bertekad untuk hidup yang lebih baik. Menurutnya, pekerjaan yang dia dapatkan dari jurusan itu nantinya akan terlihat keren dan juga banyak uang.
"Baiklah, bagaimana kalau kita makan?"
"Pikiranmu hanya makan saja, Kiba. Hoooaammhh."
"Setidaknya bukan hanya tidur dan tidur," jawabnya menyindir, "Astaga! Bagaimana jika seandainya kau tidak datang dalam sebuah kencan karena ketiduran?"
"Shika sudah punya pacar?" Pertanyaan bodoh dari Naruto menimbulkan beberapa dengkusan terdengar.
"Seandainya, aku bilang seandainya, Uzumaki Naruto," jawab Kiba kesal dengan jalan pemikiran sahabat kuningnya itu.
"Terserahlah!"
Kiba geram dengan sikap Naruto yang terkadang konyol, tapi juga kadang tiba-tiba terasa tenang. Apa sahabatnya itu sedang sakit?
"Aku lapar. Cepatlah." Sasuke menyudahi pembicaraan konyol itu dengan tujuan awal mereka.
"Aku bawa bekal."
"…."
Langkah mereka terhenti dan menoleh ke arah Gaara yang baru saja bersuara. Demi Tuhan, apa katanya tadi? Bekal? Sejak kapan orang itu suka membawa bekal?
"Temari yang memaksaku membawanya. Lagi pula kupikir itu tidak ada ruginya."
Ah, benar. Kalau dipikir-pikir, tingkah Temari sudah keterlaluan. Tak jarang mereka merasa Gaara seperti kembali bersekolah dasar jika perlengkapan ke kampusnya disiapkan oleh Temari. Dari air minum, persediaan luka instan, saputangan, peralatan tulis LENGKAP, dan sekarang … bekal.
"Kau seperti anak TK lagi," celetuk Naruto yang sama sekali tidak dianggap oleh Gaara.
"Bukankah kau juga bawa bekal Naruto?"
.
Flashback
"Naru-chan, ini bekalnya dibawa, ya?"
"Ibu, aku tidak perlu bekal. Aku bisa membelinya di kantin."
Kushina menggeleng. "Ini buatan Hinata dan kau harus membawa serta memakannya."
Flashback off
.
"Bekal?" Naruto bertanya innocent. Dan mendapat anggukan dari yang lain. "Err ... yah, aku lebih baik membawa bekal dari pada membawa infus. Jadi lupakan dan kita ke kantin sekarang."
Pria pirang itu berjalan cepat meninggalkan teman-temannya yang menggeleng prihatin. Naruto sudah mulai menjadi seperti Gaara.
*NaruHina*
Di sebuah Universitas, di area kampusnya, terlihat lima pria yang berjalan dengan gaya keren. Membuat tatapan setengah mahasiswi mengarah pada mereka. Jangan salahkan para mahasiswi yang menikmati pemandangan, salahkan saja wajah para pria itu yang bisa menarik beberapa fans masing-masing.
"Oi Naruto, gadis yang berfoto denganmu minggu lalu," Naruto mengernyit dan melirik tidak suka mendengar pertanyaan tersebut dari Kiba, "Bukankah dia anak sastra?"
"Hm."
"Bagaimana kalau kita makan di kantin sana saja?"
"Ck." Naruto berdecak keras. "Sudah kubilang dia sudah menikah, kenapa kau masih ingin mengejarnya?"
"Ya ampun, bukan itu maksudku. Tapi kudengar anak sastra banyak yang cantik. Kalau kita kenal salah satu, siapa tahu kita bisa mengenal yang lain. Bagaimana? Ke sana ya?"
Naruto hanya menghela napas. Jika dia ngotot terlalu menghindar, yang ada akan membuat kecurigaan. Jadi dia mengangguk malas.
*NaruHina*
"Hm, kau bawa bekal, Hinata-chan?"
Hinata mengangguk. "Iya, aku hanya lagi ingin saja."
Keempat sahabat putri itu sedang ada di kantin untuk makan bersama saat suara cempreng tiba-tiba menyeruak. "Benar, 'kan kataku, banyak gadis cantik di sini."
"Kalau kau bergaya norak begitu, percuma kau berada di tengah gadis-gadis cantik," sela Shikamaru malas.
Hinata, Sakura, Ino dan Tenten adalah termasuk orang-orang yang melihat para pengeran itu.
"Wah, para pengeran kampus makan di sini. Hinata, bukankah kau kenal Naruto? Sapa mereka dan ajak mereka ke sini," rengek Ino dengan cepat.
Oh, tahukan kau, Ino, kalau Hinata justru ingin bersembunyi sekarang?
"Hei kalian!" Tanpa dipanggil pun, kelihatannya para pengeran itu memang mau menghampiri mereka. "Boleh kami bergabung di sini? Kebetulan Naruto dan Hinata, 'kan saling kenal."
Naruto mendelik ke arah Kiba akan kecerewetan pria anjing itu. 'Aku harus meminta ibu mengebirinya,' batin Naruto tajam.
"Tentu saja boleh!"
Hinata mendelik mendengar hal itu. Tidak hanya Ino, tapi Sakura dan Tenten juga?
Dan jadilah, mereka bersembilan duduk di sebuah meja yang lebih panjang di salah satu sudut kantin.
"Aku Inuzuka Kiba. Mereka teman-temanku, salam kenal ya."
"Aku Ino, Yamanaka Ino. Kau bisa memanggilku Ino saja."
Kiba cemberut. Perasaan, dia yang memperkenalkan diri, tapi kenapa Ino malah menjawab dengan wajah ke arah Sasuke? Tidak adil!
"Oi Naruto." Dia memanggil Naruto kesal karena tidak mungkin dia melampiaskan kekesalannya langsung pada Ino. "Bukankah kau bawa bekal? Untukku saja, ya? Kau, 'kan banyak uang dan bisa beli sendiri."
Tangan Naruto terkepal. Dasar Kiba cerewet. Padahal Naruto tidak bermaksud memakan bekalnya agar tidak ketahuan dia bawa bekal. Dia menghela napas dan melirik ke arah Hinata yang duduk dengan bekal di atas mejanya.
Tidak mungkin dia memberi bekal itu kepada Kiba. Bukan masalah tidak enak dengan Hinata. Tapi dia tidak rela jika makanan yang dibuat Hinata untuknya, malah dimakan oleh orang lain. Apalagi sekarang dia sudah tahu tentang seberapa enaknya masakan Hinata.
Naruto mengeluarkan bekal dan dompet. Mengambil beberapa lembar dari dompetnya dan memberikannya pada Kiba. "Kau saja yang beli. Sekalian mentraktir semuanya," ucapnya santai tanpa sedikitpun nada menyombongkan diri.
Kiba memang orang yang jujur. Dia tidak akan berpura-pura jadi orang kaya hanya untuk mendapatkan seorang gadis. Dia adalah pria yang apa adanya.
Kiba tersenyum dan segera melesat memesan makanan setelah bertanya pada yang lain.
"Hm?" Sakura bergumam bingung akan satu hal. "Hinata, bekalmu sama dengan punya Naruto?"
Pertanyaan itu sempat membuat Naruto sedikit tersedak dan Hinata terdiam. Benar, bekal mereka memang sama karena dimasak oleh satu orang. Tapi bukan itu masalahnya, bagaimana cara menjelaskannya?
"Memangnya kenapa?" Itu bukan jawaban Naruto ataupun Hinata, tapi Shikamaru dengan wajah malasnya. "Yang namanya makanan itu sama, dan kebetulan memang sering terjadi. Lagipula itu menu bekal yang umum, wajar kalau sama."
Oh, Shikamaru … kau tidak tahu betapa terharunya Naruto atas pembelaanmu.
Satu kalimat penjelasan dari Shika mampu membuat Ino, Sakura, dan Tenten mengangguk mengerti. Tapi bagaimana dengan Gaara dan Sasuke? Keduanya menatap pria Nara itu dengan pandangan curiga. Jelas bukan style seorang Nara Shikamaru jika harus repot menjelaskan hal yang bukan urusannya.
Tapi sebelum kecurigaan itu di tunjukkan, Kiba sudah kembali dengan cengirannya. "Aku sudah memesan, sebentar lagi pasti akan diantar."
"Aku makan duluan." Gaara, tanpa menunggu respon langsung memakan bekalnya dengan tenang, terlalu tenang untuk seukuran pria 21 tahun yang makan bekal buatan sang kakak. Tapi dia tidak peduli akan hal itu.
"Naruto-kuuunnn~" Oh, demi Tuhan, Naruto benci suara itu.
Greb
Dan lebih benci lagi ketika tangannya langsung dipeluk seperti itu.
"Naruto-kun, aku sering melihatmu di sini sekarang. Apa kau merindukanku, Naruto-kun?"
"Tidak, aku hanya makan di sini," jawab sang Uzumaki dengan dingin. Jangan kira dia suka melihat kernyitan Hinata atas ulah perempuan yang baru datang itu.
"Hmm, bilang saja kalau kau ingin melihatku. Oh, bagaimana kalau kita kencan?"
"Bagaimana kalau kau melepaskan tanganmu?"
"Bagaimana kalau kita makan bersama?"
"Bagaimana kalau kau lari sekarang, Shion?"
Mereka semua menoleh menatap Shikamaru yang menumpukan wajahnya malas. Shion memutar bola matanya jika Shikamaru sudah ikut campur. Pria Nara itu jarang ikut campur jika dia mengganggu Naruto, tapi jika sudah ikut campur maka Shion susah mengelak, apalagi harus berdebat dengan pria yang entah memiliki IQ berapa dalam hal debat.
"Tidak perlu memperingatkan aku, Tuan Nara. Kau tahu aku tidak akan meninggalkan Naruto-kunku sendirian."
"Aku ragu akan hal itu." Telunjuk Shika mengarah pada seorang pria berambut pirang panjang yang berjalan menuju arah mereka. "Bukankah kau memang harus lari?"
"Oh sial, kenapa pria itu di sini, sih?" umpat Shion kesal.
"Shion-chan, aku datang, my baby, un." Deidara langsung berlari dengan merentangkan tanganya ke arah Shion yang masih terlihat enggan melepaskan tangan Naruto.
"Ugh, Naruto-kun, tolong aku. Apa kau tega melihatku diserang makhluk itu?"
"Entahlah Shion, aku harus makan sebelum ibuku menelpon dan mengancamku," jawab Naruto masih dengan nada dingin. Sebenarnya dia sangat ingin melepas paksa pegangan tangan Shion. Kenapa, kenapa dia sangat tidak suka melihat pandangan sendu istrinya?
"Shion-chaann~"
"Kyaaaa … pergi dasar orang gila."
Seketika tontonan Shion dan Deidara yang saling kejar-kejaran tampak di kantin. Bukan hal aneh sebenarnya. Yang aneh justru, kenapa Shion masih mengejar-ngejar Naruto di saat dia tidak suka dikejar-kejar oleh Deidara. Belum lagi jika dia berada antara Sasori dan Deidara yang selalu meributkan soal seni.
"Ya ampun, dia tidak pernah bosan meski sudah berulang kali ditolak olehmu, Naruto!" Kiba berkata dengan nada heran tingkat dewa. Padahal dia sendiri tidak akan menolak jika Shion mengejarnya. Shion gadis yang baik dan lucu. Itu menurut seorang Inuzuka Kiba.
Perkataan Kiba tampak lewat begitu saja untuk Naruto. Dia memandangi Hinata yang terlihat berubah murung. Gadis itu bahkan makan tanpa semangat.
Tuk tuk
Suara sendok yang Gaara ketuk di kotak bekal Hinata terdengar. Hinata hanya bisa berkedip saat Gaara memberinya potongan-potongan sayur ke tempat bekalnya. Tentu hal itu tidak luput dari tatapan yang lain.
"Aku melihatmu hanya makan sayur dari tadi, kupikir kau suka sayur. Aku tidak sayur, jadi kunerikan sayurnya untukmu." Gaara menjelaskan tanpa bertanya dan kembali memakan bekalnya dengan santai.
Naruto mendelik melihat hal itu. Ingin sekali dia merebut tempat bekal Hinata dan membuang semua sayur yang ditaruh Gaara di sana. Tolong ingatkan Naruto untuk tidak membiarkan mereka makan bersama lagi. Tatapan safir itu kini mengarah kepada Gaara. Menatap pria Sabaku dengan tajam seolah bisa menusuk.
Tapi apa Gaara peduli? "Ternyata membawa bekal boleh juga." Sepertinya Gaara tidak peduli dengan tatapan tajam sang Uzumaki tersebut.
"Kenapa? Agar kau bisa membaginya lagi dengan Hinata?" Pertanyaan Kiba mengandung godaan yang membuat Hinata menunduk, wajah tersipunya semakin membuat kepalan tangan Naruto menguat. "Apa kau menyukai Hinata?"
Gaara menghela napas dan menatap teman-temannya satu per satu sebelum berkata, "Aku mencari seorang free agent."
Yang lain langsung mengangguk. Mengerti dengan maksud Gaara. Memang siapa yang mau mengejar gadis bersuami? Gaara tidak akan melakukannya.
"Huh." Naruto mendengkus. "Kalau begitu jangan mencari perhatian," ucapnya ketus dan dengan cepat merapikan bekalnya yang masih setengah, "Sudahlah, kita kembali. Kelas lain akan segera dimulai."
Dan pria itu pergi begitu saja.
Tanpa dia sadari, seorang gadis menatapnya intens dari bola mata lavendernya.
*NaruHina*
"Akh, Hanabi, bisakah kau melakukannya dengan pelan?"
"Aku sudah melakukannya dengan sangat pelan, Neji-nii."
"Tidak, kau—akh … hei, itu sakit!"
"Bisakah Nii-chan tidak teriak-teriak? Telingaku sakit."
"Makanya jangan terlalu keras! Hinata bisa melakukannya dengan pelan dan lembut."
"Aku bukan Hinata-nee dan bukan pegawai salon. Catok saja rambutmu sendiri."
Hanabi menaruh kasar alat catok rambut di atas meja. Dia mendengkus dan membuang muka dengan kesal. Dia sudah berniat membantu, tapi kenapa justru dimarahi? 'Dasar tidak tahu terima kasih,' batinnya.
"Ayolah Hanabi, aku tidak bisa melakukannya sendiri. Salon itu sedang tutup hari ini." Nada pria Hyuuga itu melembut karena terancam Hanabi tidak lagi ingin membantunya. Dia harus bisa membujuk adik bungsunya itu sebelum rambutnya menjadi kasar dan mengembang.
"Bukankah aku melakukannya dengan kasar hingga Neji-nii kesakitan? Tunggu saja salonnya buka, atau tunggu Hinata-nee datang. Walau aku yakin dia akan lebih suka merawat rambut Naruto-nii daripada rambut Neji-nii."
"Hei, jangan samakan rambutku dengan rambut kuning jabrik itu. Rambutku sepuluh kali lebih keren."
Hanabi hanya memutar matanya bosan mendengar kenarsisan kakak sulungnya itu. Dia menyerah dan berjalan menuju pintu. "Terserah! Aku mau nonton TV saja."
"Hanabi, tung—"
Blam
"…."
"Hah, seandainya Hinata ada di sini. Kenapa sih dia harus melangkahi aku? Seharusnya dia menungguku sampai setidaknya aku mempunyai orang lain untuk membantu merawat rambutku."
Dengan lesu Neji mencoba menyatok rambut yang terjangkau olehnya. Tapi tak lama, pintu kembali terbuka dan menampilkan sosok Hanabi yang tersenyum lebar. "Hinata-nee dan Naruto-nii datang."
"Benarkah?" Hanabi mengangguk dan langsung pergi lagi. Sementara Neji? "Hinata memang adikku yang paling pengertian. Dia datang di waktu yang tepat," ucapnya sambil berdiri dan membawa alat penyatok rambut itu di tangannya.
*NaruHina*
"Nee-chan apa kabar? Sudah lama Nee-chan tidak ke sini."
"Maaf." Hinata tersenyum dan mengelus kepala Hanabi yang langsung memeluknya begitu dia sampai. "Mana yang lain?"
"Ayah sebentar lagi akan pulang, ibu masih tanggung memasak katanya. Dan Neji-nii ada di kam—"
"Aku di sini." Neji menyela cepat dan berjalan menuju mereka. Dia tersenyum melihat adiknya yang berkunjung. Sebelah tangannya terlipat ke belakang punggung. Dia berjalan dengan santai seperti biasa jika di luar rumah. "Kau datang?"
Hinata mengangguk, sementara Naruto menghela napas karena dari tadi tidak ada yang menyapanya.
"Neji-nii sedang apa?"
"Hanya melakukan sesuatu," jawab Neji santai. "Hinata."
"Ya?"
"Bisakah kau membantuku?"
"Membantu apa?"
Neji menarik tangan Hinata dan tersenyum semakin lebar. Tangannya bergerak, menyodorkan alat penyatok rambut ke tangan Hinata. "Tolong ya."
*NaruHina*
Hiashi, Hikaru, dan Hanabi hanya menggeleng pelan di tempat duduk mereka. Sementara Naruto menunjukkan wajah jijik yang kentara saat melihat pemandangan di depannya.
Hinata duduk di sofa dengan Neji duduk di lantai di hadapannya. Apalagi jika Hinata tidak melakukan tugasnya yang diminta oleh Neji setelah tiga kali permohonan. Menyatok rambut.
"Aku pikir kau orang yang tenang dan keren," ucapan Naruto membuat Neji mengangguk.
"Aku akan begitu jika di luar rumah."
"Aku pikir kau orang yang suka jaim."
"Untuk apa jaga imej di depan adik ipar sepertimu."
Twich … apa Naruto sudah bilang jika dia cukup kesal hari ini? Kenapa kekesalannya bertambah di sini? Padahal niatannya baik. Melupakan kekesalan siang tadi dan mengajak sang istri berkunjung ke rumah ayah mertua Naruto. Lalu kenapa dia hampir menyesalinya sekarang?
"Neji, seharusnya kau tidak lagi merepotkan adikmu. Dia sudah menikah." Hiashi memperingatkan, tapi Neji hanya diam saja.
"Makanya, cari pacar dan menikah juga." Kali ini Hikaru yang berujar. Membuat Neji menghela napas lelah akan tuntutan menikah dari Ibunya. Padahal dia baru 23 tahun, Hinata saja yang terlalu cepat menikah.
Ting tong
Mereka menoleh ke arah pintu begitu bel berbunyi. Siapa lagi yang bertamu di jam makan malam? Hanabi lebih dulu mengambil langkah berdiri. "Biar aku yang lihat," ucapnya lalu segera melangkah menuju pintu.
Ting tong
"Iya tunggu!" seru Hanabi dengan suara cukup kuat, "Ya ampun, tidak sabar sekali," gerutunya sambil mempercepat langkahnya.
Ceklek
"Siapa ya?" tanyanya saat melihat seseorang yang berdiri membelakanginya. Dan saat orang itu berbalik, Hanabi bisa merasakan angin musim panas seolah berhembus ke wajahnya, menimbulkan rona merah tipis yang membuatnya terlihat semakin manis.
"Maaf, apa di sini kediaman Hyuuga?" Hanabi hanya mengangguk pelan akan pertanyaan itu, matanya masih tak bisa berpaling dan tatapan memuja itu sedikit membuat orang itu mengernyit. "Hm, apa kakakku ada?"
"Kakakmu siapa?"
"Naruto. Uzumaki Naruto."
"Ah, kakak ipar." Hanabi tersentak dari keterpanaan pada pemuda di hadapannya. Entah kenapa jantungnya mulai berisik. Demi Tuhan, pemuda di depannya adalah pemuda terkeren yang pernah dia lihat. Sebenarnya Neji juga keren, tapi karena dia tahu bagaimana kelakuan asli seorang Neji di depan keluarga, membuat penilaian itu berkurang. "Ehm, Naruto-nii ada di dalam. Kau … namamu siapa?"
"Oh, aku Uzumaki Menma. Panggil Menma saja, sepertinya kita seumuran," jawab Menma santai dengan wajah sopannya.
"Aku Hanabi, adik Hinata-nee. Silakan masuk, mereka berkumpul di ruang keluarga. Kebetulan sebentar lagi makan malam."
Menma mengangguk dan mengikuti langkah Hanabi yang masuk ke dalam rumah. Tatanan tradisional bercampur modern dari kediaman Hyuuga yang tertangkap di mata Menma, membuat pemuda itu cukup kagum. Berpikir bahwa mungkin dia berniat untuk memiliki dekorasi yang sama jika dia punya rumah sendiri kedepannya.
"Menma?" Panggilan Naruto saat mereka sampai membuat Hanabi dan Menma langsung bergabung duduk di antara yang lain. Pemandangan Hinata yang sedang menyatok rambut Neji membuat Menma mengangkat alisnya aneh. "Kenapa kau ke sini?" tanya Naruto lagi.
"Ya ampun, Kakak Ipar, tidak apa, 'kan jika adikmu berkunjung ke sini."
Hiashi, Hikaru, Neji, bahkan gerakan tangan Hinata pun terhenti dan mereka mengernyit mendengar nada manis dari perkataan Hanabi. Sejak kapan bungsu Hyuuga yang terkenal ceplas ceplos itu menjadi seorang perempuan feminin nan anggun?
"Hanabi, ada apa dengan suaramu?"
"Aku tidak apa, Nee-chan. Ne, Menma?"
Menma hanya mengangguk pelan, tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
"Menma, untuk apa kau ke sini?" tanya Naruto lagi, si sulung itu tahu benar kalau adiknya lebih betah di rumah ketimbang di luar rumah, apalagi rumah orang lain.
"Ibu bilang, mereka akan pulang larut malam. Karena kunci rumah mereka yang bawa, jadi mereka menyuruh kita bertiga menginap di sini."
"Hah?" respon yang normal bagi Naruto setelah mendengar alasan konyol tersebut. Huh, bilang saja orang tuanya ingin berduaan di rumah.
"Begitu? Kau bisa menempati kamar tamu yang kosong jika begitu." Hanabi kembali menyela. "Tenang saja, aku akan membereskannya sedikit nanti."
"Terima kasih."
"Tak perlu sungkan, bukankah kita keluarga?" Hanabi semakin menjadi dalam bicaranya yang manis.
Tak lama, pembantu datang dan bilang jika makan malam sudah siap. Berbeda dengan kediaman Namikaze yang hanya mempekerjakan pembantu di siang hari, maka di Hyuuga pembantu ikut tinggal di kediaman itu.
*NaruHina*
"Nah, selesai!" Hanabi berseru senang setelah mengganti seprai tempat tidur di kamar tamu, di sampingnya ada Menma yang berdiri diam masih dengan sikap dinginnya. "Silakan. Semoga kau suka kamarnya."
"Ini bagus. Terima kasih sekali lagi."
"Ah." Hanabi tersentak yang membuat Menma menatapnya penasaran. "Ada sesuatu di wajahmu."
"Benarkah?" Menma segera sebisa mungkin mengusap wajahnya. "Sudah?"
Hanabi menggeleng dan menunjuk bibirnya sendiri, memberi tahu jika sesuatu yang dimaksudnya ada di bibir pemuda itu. Dan tentu Menma langsung mengusapnya cepat.
Tapi gerak tangan Menma yang mengusap bibirnya secara khas, dapat menjadi sesuatu di mata Hanabi. Kau tahu sesuatu? Tanyakan pada Kushina. Pokoknya sesuatu.
"Sudah?"
Hanabi mengangguk sambil mengulum senyum. Selanjutnya, dia langsung melangkah pergi dari kamar itu.
"Ada apa dengannya?" tanya Menma pelan.
*NaruHina*
Naruto melangkah memasuki kamar sembari bermain smartphonenya. Saat dirasanya ada sesuatu di atas ranjang, dia pun menoleh pelan dan tersentak mundur selangkah mendapati 'sesuatu' yang duduk di ranjang dengan bergulung selimut putih sehingga seolah tampak wajah tanpa tubuh. "Hi-Hinata?"
"Hai," jawab Hinata pelan tanpa mengubah posisinya.
"Kau … sedang apa di dalam selimut begitu?" tanya Naruto lagi, tapi Hinata hanya mengalihkan tatapannya dan tersenyum masam.
Mengumpat dalam hati saat bagaimana ceritanya dia bisa dalam posisi itu. Bermula dia yang tidak bisa membuka lemarinya karena Hanabi mengunci lemari itu dengan alasan takut di masuki tikus. Hanabi bilang dia lupa menaruh di mana kuncinya hingga Hinata tidak ada pakaian ganti dan meminjam piyama Hanabi.
Sialnya, piyama yang diberikan gadis bungsu itu adalah piyama Hanabi dua tahun lalu. Jelas jika piyama itu hanya sebatas setengah paha tanpa celana. Belum lagi dengan dalaman yang lupa di berikan Hanabi, sementara ketebalan kain piyama itu tidak membantu. Jadilah, untuk menutupi tubuhnya, Hinata hanya terpikir untuk bergelung dalam selimut putih yang dia miliki setelah selesai mandi.
"Kau kedinginan?" Naruto masih belum beranjak dari tempatnya dan lagi-lagi menanyakan Hinata.
"Ehm, begitulah."
Jawaban itu membuat Naruto ber-oh pelan. Dia kembali berjalan dan berhenti di samping ranjang.
"Apa tidak ada sofa?"
Hinata menggeleng pelan.
'Bagus, di mana aku tidur?' batin Naruto.
Berbeda dengan kamar Naruto yang luas dan memiliki fasilitas lengkap. Maka kamar Hinata tidak terlalu luas, tapi sangat rapi. Hanya memiliki satu lemari, satu meja belajar, satu kursi, dan satu nakas kecil merangkap meja rias, dan yang pasti satu ranjang ukuran yang lumayan sempit.
"Tatami?" Lagi Naruto bertanya.
Hinata menolehkan kepalanya dan berkedip polos. "Ada dalam lemari, tapi terkunci," jawabnya pelan.
Naruto ingin berteriak rasanya.
Dan entah kenapa, suasana menjadi hening seketika. Hening dan canggung. Naruto masih berdiri sementara Hinata tidak berani bergerak.
Mereka tahu jika harus ada yang mengatakan hal 'seharusnya' di antara mereka, tapi sepertinya kalimat yang 'seharusnya' itu cukup sulit diucapkan.
Apalagi mengingat kalau selama seminggu ini, mereka memang belum tidur seranjang, kecuali malam pertama. Dan sayangnya, kejadian pagi hari pertama membuat mereka sedikit lebih canggung jika harus memulai hal yang sama.
"Ehm." Mengandalkan hati nurani yang tersisa, Hinata tahu apa rasanya berdiri lama di samping ranjang. Jadi dia memilih bersuara lebih dulu. "Kurasa … kurasa … kurasa … kura—"
"Hinata?" sang pria dengan cepat menyela sebelum kata ke empat kembali terulang, "Kurasa tidak masalah, 'kan jika kita … seranjang?"
Hinata bersyukur dengan keadaan kamar yang gelap karena lampu belum dinyalakan. Tidak terlalu gelap juga tapi lumayan untuk menyamarkan rona wajahnya. Pelan, sangat pelan, dia mengangguk. Membuat tanpa sadar jantung mereka berdetak lebih cepat.
Naruto mengembus napas singkat sebelum akhirnya ikut naik ke atas ranjang dan duduk di samping sang istri. Demi Tuhan, dia benci suasana canggung ini.
"Bersikap santai saja dan usahakan kau tetap tenang."
Perkataan Shikamaru terlintas di ingatan Naruto, membuat pria pirang itu jadi sedikit lebih tenang, meski jantungnya masih berdegup cepat. Huft, yang perlu dia lakukan bersikap biasa. Bukankah di malam pertama dia tanpa canggung menyuruh Hinata tidur di sampingnya? Yah, itu pasti berhasil.
Setelah mengembus napas lagi, Naruto menaruh ponselnya di nakas samping ranjang. "Sudah malam, lebih baik kita tidur," ucapnya dengan nada bicara yang santai luar biasa.
"Eh, ugh i-iya." Hinata yang mendengarnya pun tanpa sadar ikut berbaring di samping Naruto. Memaksa diri untuk bersikap biasa seperti layaknya sang suami.
Keheningan kembali terjadi saat mereka berbaring tanpa suara. Tatapan mereka mengarah lurus ke plafon kamar, mencoba mencari kenyamanan yang entah kenapa selalu ada di antara mereka.
"Hinata?"
"Ya?"
"Tidurlah."
"Uh-uhm."
".…"
"…."
"Hinata,"
"Ya?"
"…."
"…."
"Oyasuminasai."
"O-oya-oyasuminasai, Na-naruto."
"…."
"…."
Dan kedua pasang mata itu terpejam hingga terbawa alam bawa sadar. Keheningan semakin terasa, tapi tidak ada lagi kecanggungan. Suara angin yang terdengar dari luar menjadi backsound malam yang damai dan membawa malam semakin larut.
Detik, menit, jam berlalu dengan tanpa disadari dua jiwa yang terlelap.
Dan saat malam semakin tenggelam, udara semakin dingin, dua sosok itu semakin mendekat. Ketika masanya dua pasang mata itu terbuka setengah, safir dan lavender bertemu, menyeruakkan detik jam yang mengisi keheningan malam.
Tatapan yang saling mengunci dengan setengah kesadaran yang melekat, menimbulkan reaksi saling menarik di antara keduanya. Tubuh merapat, tangan saling memeluk dan kembali tertarik alam bawah sadar dengan saling berbagi kehangatan di bawah satu selimut yang sama.
.
.
To be continued
Hai hai hai, Rameen kembali dengan chapter ke-4.
Moga terhibur, ya. Oh ya, ada yang nanyain Love Ver 5, iya itu aku hapus juga karena sesuatu. Untuk cerita lain, rencana emang mau aku republish satu per satu. Tapi untuk dunia tsukuyomi modern, itu udah direpost sama author lain. Jadi kayaknya nggakkan aku publish ulang.
Makasih yang udah baca, review, fav, dan follow.
Sekian.
Salam, Rameen.
