"Ya ampun, Hina-chan kau kenapa?" Kushina berteriak tertahan melihat Hinata yang memeluk dirinya sendiri dengan jaket milik Naruto, berjalan pelan dan terlihat sedikit menggigil walau Naruto sudah berusaha merengkuhnya dari samping.
"Hinata hanya kedinginan saja, Bu." Sang suami mewakili istrinya untuk menjawab dan itu cukup membuat Kushina sedikit tenang, setidaknya Naruto ada di sisi gadis itu.
"Kalau begitu cepat bawa istrimu ke kamar, berendam dengan air hangat jika perlu atau langsung saja selimuti dia."
Naruto mengangguk dan membimbing Hinata untuk berjalan menuju lantai atas, kamar mereka.
"Mereka kenapa, Menma-chan?" Kini perhatian Kushina beralih kepada Menma yang tadi berjalan mengekor di belakang Naruto dan Hinata.
Menma mengangkat bahu. "Tadi Naruto menelponku agar menjemput mereka karena mobil mereka mogok. Saat aku datang, kakak ipar sudah kedinginan dan selama dalam perjalanan, mereka hanya diam tanpa bicara, walau yah, Naruto terus memeluk Hinata di kursi belakang."
"Kakakmu memeluk Hina-chan?"
"Mungkin untuk mengurangi rasa dingin kakak ipar."
Kushina hanya mengangguk dan ber-oh mendengarnya. Cukup lega karena Naruto tidak melakukan kesalahan lagi.
.
Ganti Status Kilat by Rameen
Naruto by Masasi Kishimoto
Uzumaki Naruto x Hyuuga Hinata
.
Naruto meneguk ocha hangat miliknya yang tadi diantar oleh Menma. Setelah itu, safirnya melirik seseorang yang baru saja keluar dari kamar mandi dan duduk di depan meja rias, menyisir rambut indigo miliknya.
Tatapan matanya terus tertuju pada orang itu hingga membuat yang ditatap cukup gelisah walau sebisa mungkin ditutupi. Hinata menyadari tatapan Naruto, tapi hanya diam, berpura-pura sibuk dengan rambutnya.
Naruto menghela napas pelan dan menaruh gelasnya. "Ada ocha hangat yang diantar Menma, minumlah agar tubuhmu lebih hangat."
"Uhm." Orang itu hanya menggumam pelan dan mengangguk singkat.
Naruto memejamkan matanya dan mendongakkan kepalanya bersandar pada sofa di belakangnya. Entah apa yang dia pikirkan, tapi apapun itu, dia ingin agar semua keadaan jadi lebih baik.
Membuka matanya, Naruto kembali menatap orang itu. "Hinata." Panggilnya pelan dan kembali mendapat respon gumaman.
"Aku ngantuk," ucapnya, "Bolehkah malam ini aku tidur di ranjang?"
Hinata terdiam dan gerak tangannya terhenti. Berbagai pemikiran tentang hal tadi sore belum lenyap dan sekarang Naruto memperjelas keputusannya dengan hal baru? Hinata mengerti jika Naruto mengajaknya tidur seranjang dengan pertanyaan tadi. Dan itu semakin membuat jantung Hinata berdetak cepat.
"Uhm." Dia kembali mengangguk pelan. Bagaimanapun, Hinata selalu merasa kasihan jika terbangun di malam hari dan melihat Naruto meringkuk di sofa. Yah, mungkin apa yang dikatakan dan ditawarkan Naruto bukan hal yang buruk, batinnya.
Naruto segera berdiri dan berjalan menuju ranjang setelah Hinata mengangguk. Membaringkan tubuhnya menyamping dan menutup matanya.
Beberapa menit kemudian, Hinata ikut berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah samping Naruto. Menatap wajah Naruto yang tertidur dengan lelap. Membuat Hinata tanpa sadar tersenyum karena menyadari betapa tampan dan lucunya wajah itu ketika tidur.
Hinata berjongkok tepat di depan wajah Naruto, menatapnya dari dekat walau masih menjaga jarak. Mengingat kembali percakapan mereka di dalam mobil mogok yang mengurung mereka tadi.
.
Flashback
"Bagaimana jika kita berpacaran?"
"…."
"…."
"Hah?"
Yah, hanya itu respon Hinata. Merasa cukup aneh dengan apa yang baru saja dia dengar. Apa itu semacam pernyataan cinta yang sering dilakukan anak remaja setelah kencan pertama mereka? Tapi … bukankah mereka sudah menikah? Lalu kenapa berpacaran?
"Hinata?" Naruto melambaikan tangannya di depan wajah istrinya saat mendapati kalau Hinata terdiam melamun.
"Hm?"
"Kenapa kau malah melamun?"
"Itu .…" Hinata mengernyit bingung karena tidak tahu apa yang harus dia ucapkan. "Kau tadi bilang berpacaran?" Naruto mengangguk dengan mantap. "Err … bukankah kita sudah menikah?"
Naruto menarik napas sebelum mengangguk lagi. Selanjutnya dia menatap sang istri dengan tatapan penuh keyakinan. "Aku tahu kita sudah menikah, tapi pernikahan ini terlalu cepat untuk kita. Aku yakin kau berpikiran hal yang sama. Kita belum saling mengenal, belum mengetahui apa-apa tentang hal-hal kecil dari kehidupan kita sebelumnya.
Kita bahkan sedikit sulit jika hanya berduaan dalam satu ruang yang mengharuskan kita berdekatan. Dan kupikir, bukan seperti itu sebuah pernikahan. Pernikahan harusnya menyangkut hal yang lebih dekat dan juga lebih saling terbuka. Saling mengenal dan saling mengerti."
Hinata terdiam dan berpikir ulang. Benar! Dia juga selalu memikirkan hal yang sama dengan Naruto. Sadar jika pernikahan mereka terasa aneh dan sulit untuk menjadi lebih baik. Bahkan setelah hampir dua minggu, masih banyak yang belum mereka ketahui tentang pasangan masing-masing. Hinata kembali menatap Naruto dengan pandangan bertanya lebih lanjut.
"Jadi," Naruto kembali bersuara, "kurasa tidak salah jika kita memulai semuanya dari awal dan secara normal. Cara pasangan lain pada umumnya. Saling berkenalan, pendekatan, ber-berpacaran, kencan, dan … menikah."
"Tapi kita sudah menikah," bantah Hinata cepat.
Naruto menghela napas. "Aku tahu. Maksudku itu adalah proses umum dan wajar dari sebuah hubungan. Dan karena hubungan kita langsung meloncat pada tahap pernikahan, membuat kita tidak merasakan tahap-tahap sebelumnya. Jadi, apa salahnya jika kita menjalani tahap-tahap yang terlewat sekarang."
"Kenapa harus dimulai dari tahap pacaran? Apa tidak bisa kita langsung menjalani semua ke tahap sesungguhnya sebuah pernikahan?" tanya Hinata polos tanpa berpikir. Mungkin kinerja otaknya menurun karena rasa dingin.
Naruto mengangkat alis dan melihat Hinata dari atas ke bawah lalu kembali ke atas. "Langsung ke tahap pernikahan yang sesungguhnya?" ulangnya, dan Hinata mengangguk. "Baiklah, kalau begitu kita langsung menjadi suami istri sungguhan. Kita sebarkan tentang pernikahan kita, bertingkah suami istri romantis di depan umum, tidur seranjang, melakukan semua kegiatan dalam kamar bersama, dan … ah," Naruto melirik dengan tersenyum jahil, "kita juga bisa langsung melakukan malam pertama."
Ngiiiiiinggg … bruk
"Aaaiiisshhh.." Naruto berdesis saat Hinata melemparnya dengan tas. "Kenapa kau melemparku?"
"Karena kau mesum."
"Sepertinya kau sangat paham tentang apa yang terjadi di malam pertama, ya?" Naruto kembali menggoda, dan Hinata hanya mendengkus membuang muka, membuatnya terkekeh. "Itulah yang kumaksud, Hinata."
Hinata mengernyit dan kembali menatap Naruto.
"Kita akan selalu canggung dalam pembahasan pribadi seperti itu. Kenapa? Karena kita tidak terbiasa, merasa belum sepenuhnya saling mengenal dan terlebih kita belum memiliki perasaan apa pun. Pernikahan tidak akan berjalan lancar jika kita terus seperti ini."
Kali ini Hinata menunduk mengerti. Perkataan Naruto memang benar. Mereka harus melakukan segala cara untuk bisa tetap bertahan pada pernikahan ini, tentunya mereka tidak ingin pernikahan itu hancur. Walau tidak mengakui, tapi mereka menerima pernikahan itu. Hanya saja perasaan canggung dan asing membuat mereka selalu memiliki jarak.
Apa yang harus mereka lakukan adalah berusaha mendekan, dan memulainya dengan tahap pacaran sebagai langkah awal bukanlah hal yang buruk. Bukankah berpacaran memang dimaksudkan untuk mengenal pribadi seseorang lebih dalam lagi?
"Hinata? Kau melamun lagi?"
Hinata menggeleng dan menyandarkan tubuhnya lebih santai ke kursinya, mengeratkan jaket Naruto di tubuhnya karena rasa dingin itu kembali terasa.
"Apa kau semakin merasa dingin?"
Hinata mengangguk dan Naruto tanpa berpikir langsung menarik Hinata ke pelukannya. Membuat gadis itu tersentak dan sedikit menegang.
"Tenanglah, aku hanya ingin membantu mengurangi rasa dinginnya," ucap Naruto dengan nada luar biasa menenangkan. Terbukti dengan Hinata yang kembali rileks dan menikmati pelukan hangat itu.
Pelukan yang sudah Hinata ketahui dari awal pernikahan mereka terasa hangat dan nyaman.
Tak lama, Menma datang dan mereka segera berpindah. Naruto duduk di belakang dengan Hinata agar tetap bisa memeluk gadis itu.
Melihatnya, Menma hanya menghela napas diam dan berpura-pura sebagai supir pribadi.
Flashback off
.
Hinata ingat kalau dia belum memberi jawaban atas pertanyaan Naruto. Dia menggerakkan tangannya dan mengusap lembut rambut pirang sang suami. Tersenyum karena rambut itu ternyata terasa lembut di tangannya. Benar! Selama pernikahan mereka. Mereka sangat jarang bersentuhan.
Hanya pernah saling berpelukan beberapa kali tanpa sadar dalam tidur mereka dan Naruto pernah mencium pipinya sekali di pagi hari, juga mencium keningnya setelah pernikahan. Dan itu membuat Hinata semakin yakin kalau semua yang dikatakan Naruto benar. Pernikahan ini tidak akan berhasil jika mereka tidak membuat langkah perubahan.
Dia tersenyum dan mempersempit jarak. "Baiklah, kita coba hubungan ini bersama. Aku mau jadi pacarmu, Uzumaki Naruto," ucapnya berbisik agar tidak membangunkan tidur sang suami. "Oh ya, pertama, kau harus tahu satu hal. Aku memiliki banyak mimpi tentang acara kencan bersama pacarku. Karena kau pacar pertama dan terakhirku, jadi kau harus melakukan semua yang kuinginkan, ne?"
Hinata semakin melebarkan senyum saat menyadari dia berbicara sendiri. Setelah merasa cukup, dia berdiri dan berjalan keluar kamar. Mungkin dia ingin membaca buku sebentar di perpustakaan kecil kediaman Namikaze itu sebelum tidur.
Ruangan itu sunyi setelah kepergian Hinata, tapi di balik kesunyian itu, seseorang yang ada di sana tersenyum dengan mata terpejam. Saat matanya terbuka dan menampilkan safir indah, dia melihat cincin yang melingkar di jarinya.
"Mencoba bersama?" tanyanya pada diri sendiri, "Baiklah, kita coba bersama." Dia mengeratkan pelukannya pada guling di depannya. "Dan pertama, kau harus tahu satu hal. Aku hanya ingin menikah sekali dalam seumur hidupku," ucapnya pelan dan kembali memejamkan matanya.
*NaruHina*
"Kakak ipar?"
Hinata mendongak saat suara Menma datang mendekat, dia tersenyum dan menutup buku yang dia baca. "Menma-kun, kau belum tidur?"
Menma menggeleng dan mendudukkan diri di kursi samping Hinata, menaruh ponselnya ke atas meja dan melirik buku yang ada di tangan Hinata. "Kau sendiri? Di mana suamimu?"
Hinata tersenyum dengan wajah sedikit merona. "Aku belum bisa tidur dan ingin membaca buku sebentar. Naruto sudah tidur dari tadi."
"Berapa lama kau ada di sini?"
"Ehm, sudah lewat dari sejam?" Hinata tidak yakin tentang seberapa lama dia di sana karena terlalu larut dalam bacaannya. "Kenapa? Dan kenapa kau belum tidur? Kau harus sekolah besok."
Menma mendengkus. "Aku sudah besar, bukan anak SD yang harus tidur tepat waktu hanya karena alasan sekolah, ujarnya dengan nada sedikit merajuk, membuat Hinata terkikik geli.
Hinata merasa bicara dengan Hanabi, sifat Hanabi dan Menma terasa sama, sok dewasa dan sok keren padahal masih memiliki sisi kekanankan yang keluar tanpa mereka sadari.
Drrrttt
Menma melirik ponselnya yang bergetar dan menimbulkan nomor baru di layarnya, Hinata pun melihatnya dan hanya mengernyit, tak lama kemudian Menma langsung me-reject panggilan itu.
"Kenapa dimatikan?"
"Aku kurang suka panggilan dengan nomor baru."
"Dasar, bagaimana kalau itu panggilan penting dan mendesak? Bisa saja kalau orang yang kau kenal tiba-tiba kehabisan baterai sementara ada hal yang harus segera disampaikan padamu. Dia hanya bisa meminjam ponsel orang lain, tapi karena itu nomor baru, kau menolak panggilannya."
Menma menggaruk kepalanya dengan kikuk karena merasa perkataan Hinata benar. "Ya baiklah! Aku tidak akan begitu lagi lain kali."
Hinata tersenyum, ternyata Menma lebih mudah dinasehati daripada Hanabi. "Tapi Menma-kun, sebenarnya nomor baru tadi membuatku merasa familiar." Menma mengernyitkan alisnya penasaran. "Itu rasanya nomor Hanabi-chan."
"Hanabi?"
"Adik perempuanku yang menyiapkan kamar tidurmu waktu itu."
"Ah." Menma tersentak mengingat itu. Kalau dia ingat lagi, gadis yang seusia dengannya itu memang sempat meminta nomornya sebelum dia pulang di pagi hari. Dia mengangguk dan mulai berpikir kalau itu benar-benar Hanabi. "Hah, mungkin aku akan menghubunginya nanti untuk memastikan," lanjutnya.
Hinata hanya mengangguk dan tersenyum.
"Tapi kakak ipar," kembali tatapan mereka bertemu, "Apa hubunganmu dan Naruto baik-baik saja? Maksudku, perasaan kalian … mulai tumbuh?"
Hinata terdiam.
Menma bukankah pemuda yang tidak peka yang tidak tahu apa-apa. Dia jelas menyadari jika pernikahan kakaknya yang mendadak itu tidak didasari oleh cinta. Meski begitu, dia cukup salut karena kedua kakaknya menjalani pernikahan itu dengan baik sampai saat ini, walau dia yakin kalau keduanya belum melakukan apa hubungan yang seharusnya.
"Entahlah," Hinata menjawab pelan dan menaruh bukunya di meja, "Kami baru saja ingin mencoba langkah baru untuk membuat perubahan. Aku hanya berharap semua berjalan baik, karena sebenarnya aku tidak ingin pernikahan ini gagal."
Menma tidak menyangka jika pernikahan yang tidak disangka pada awalnya itu menjadi pernikahan yang ingin dipertahankan sedemikian rupa. Dalam hati dia kagum dengan kedua kakaknya itu.
"Hinata."
Hinata dan Menma menoleh dan mendapati Naruto yang berdiri di dekat mereka dengan pandangan setengah terpejam.
"Naruto, kau bangun?"
"Itu karena kau tidak ada. Dan Menma, apa yang kau lakukan di sini, menggoda istri kakakmu sendiri?"
"Naruto!" Hinata berteriak tertahan akan perkataan suaminya itu. "Menma-kun tidak seperti itu. Kenapa kau bicara begitu, sih?"
Menma mengangkat alis sambil menahan senyumnya melihat hal itu. Sementara Naruto menatap Hinata dengan tampak wajah seperti seorang anak yang tengah merajuk. Bibir mengerucut, kening berkerut dan mata yang menatap kesal. "Kau memanggilnya dengan suffix, tapi hanya memanggilku nama saja."
Hinata berkedip tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Naruto. Hal kekanakan dan dikatakan dengan nada merengek yang … err … lucu, bagi Hinata. Gadis itu melongo melihat Naruto berjalan dengan menghentak langkahnya dan pergi ke arah dapur.
"Menma-kun," dia menatap adik iparnya dengan tatapan bingung, "Apa Naruto sering bertingkah begitu?"
"Hanya saat dia kelewat manja dan saat dia setengah sadar dari tidurnya."
"Setengah sadar?"
Menma mengangguk sembari tersenyum, dia berdiri dan meraih ponselnya. "Sebaiknya kau kejar dia sebelum dia melanjutkan tidur di dapur," ucapnya kemudian melangkah pergi. Menggeleng pelan dengan penyakit aneh kakaknya itu.
Naruto terkadang terbangun di tengah malam dengan keadaan setengah sadar. Dia akan bertingkah seperti anak kecil manja yang akan mengatakan semua keinginannya dan akan merajuk jika ada yang membuatnya kesal dalam keadaan itu. Lebih parahnya, Naruto akan melanjutkan tidur di tempat lain jika tidak dibangunkan sepenuhnya.
Hinata kembali melongo saat Menma sudah tak terlihat lagi. "Tertidur di dapur?" tanyanya ulang pada diri sendiri. Lalu dia segera berlari ke dapur.
*NaruHina*
Dan kini, Hinata mengangkat alis saat melihat Naruto yang duduk di meja konter dapur, matanya terpejam dengan sebelah tangan menyanggah pipinya. Satu gelas kosong dan sekaleng susu ada di hapadannya.
Hinata mengembus napas pelan sebelum menghampiri sang suami. "Naruto?" panggilnya pelan.
"Hng?" Naruto bergumam dengan mata masih terpejam.
"Kenapa kau di sini?"
Naruto membuka matanya setengah dan melihat Hinata, lalu safirnya beralih ke sekaleng susu di depannya. "Aku mau minum susu," ucapnya sambil menguap.
Hinata mengangguk mengerti dan mengambil alih untuk melakukannya. Setelah jadi, Hinata menaruh segelas susu itu di depan Naruto dan duduk di kursi lain. "Kau bangun karena mau minum susu hangat?"
Naruto menggeleng. "Kau tidak ada, jadi aku terbangun."
Hinata tersentak, dan entah kenapa wajahnya memanas, apa boleh dia anggap kalau Naruto tidak bisa tidur kalau dia tidak ada? 'ugh, itu terlalu berlebihan, Hinata,' batinnya.
"Aku mencarimu, tapi kau malah ngobrol dengan Menma. Jadi aku mau minum susu hangat saja."
Hinata tersenyum mendengarnya. Naruto seperti orang mabuk dan itu lucu di mata Hinata. Dia baru mengetahui kebiasaan aneh sang suami.
Naruto membuka matanya dan meminum susu hangat itu setelah sebelumnya dia menguap. "Huwaaa … panas."
Naruto langsung menaruh gelas itu kembali ke meja saat dirasa lidahnya terbakar. Dia menoleh dan melihat Hinata tersenyum kikuk.
"Aku bilang itu susu hangat, tapi bukan berarti tidak perlu ditiup dulu," ucap Hinata menjelaskan, yang sebenarnya tidak membantu.
Naruto hanya menghela napas dan kembali meminum susunya perlahan setelah ditiup.
"Aku tidak tahu kalau kau suka minum susu hangat di malam hari."
"Hanya terkadang saja," ucap Naruto dengan nada biasa.
'Sepertinya dia sudah sadar sepenuhnya,' batin Hinata. "Jadi, kenapa kau bangun tadi?" tanya Hinata iseng. Dia hanya ingin membuktikan hasil analisisnya kalau tadi Naruto memang setengah sadar.
"Tentu saja karena aku haus dan ingin minum susu hangat."
Hinata mengangkat alis mendengar jawaban Naruto. Tadi pria itu bilang kalau dia terbangun karena Hinata tidak ada di sisinya, tapi sekarang dia bilang kalau dia terbangun karena haus?
Hinata mengerti satu hal sekarang, Naruto itu orang yang tidak mau mengaku dan gengsian. Huh, dia mendengkus dan tersenyum mengejek dalam hati. Ternyata suaminya tidak sekeren perkiraannya. Tapi … Hinata tetap suka itu.
*NaruHina*
Sekarang Hinata harus kembali berpura-pura tidak tahu saat Naruto berbaring menyamping ke arahnya dan menatapnya dengan intens. Mereka kembali ke kamar setelah Naruto menghabiskan minumannya dan berbaring di satu ranjang dengan posisi canggung.
Tidak ada yang berbicara. Hinata diam menatap plafon, sedang Naruto diam menatap wajah sang istri.
"Hinata," setelah sekian lama akhirnya pria itu memulai pembicaraan walau jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, "Tentang apa yang kubicarakan di mobil tadi … aku serius."
Hinata tetap diam dan kembali berpikir. Tentu saja dia tahu kalau itu serius dan dia sudah memikirkan hal itu.
"Jadi, apa kau setuju denganku dan kita mencobanya bersama?"
Perkataan Naruto sama dengan yang dia katakan kepada pria itu saat pria itu tertidur tadi. Hinata menolehkan kepalanya dan menatap Naruto. Mencari kesungguhan di sana. "Kau sedang 'menembakku'?" tanyanya polos.
Naruto mengalihkan tatapannya sejenak karena hal itu. "Ya, anggaplah begitu." Bukan ragu, hanya saja dia tiba-tiba canggung, seolah benar-benar 'menembak' seorang gadis. Oh sial, bukankah yang dia 'tembak' itu istrinya sendiri? Kenapa dia harus gugup begini?
"Kalau hubungan ini tidak berhasil?"
"Kau ingin pernikahan ini gagal?"
"Bukan itu maksudku, Naruto. Aku hanya bertanya seandainya."
Naruto terdiam dan ekspresinya berubah tegas. "Aku hanya ingin menikah sekali seumur hidupku, Hinata. Aku memilih untuk menjalani semuanya secara serius dari pada harus merusak pernikahan ini."
Tanpa sadar, Hinata tertegun dengan ucapan tersebut. Dia tidak tahu seberapa berartinya pernikahan itu bagi Naruto, tapi setidaknya dia tahu kalau dia tidak sendirian dalam mengukir harapan tentang pernikahan mereka.
Kembali udara keluar dari mulutnya untuk membuat diri lebih santai. "Baiklah, kita coba bersama."
Naruto mengangkat alisnya meminta kepastia.
"Aku mau jadi pacarmu."
Seketika tawa Naruto langsung lepas tanpa bisa dia tahan. Dia tidak mengerti, tapi dadanya terasa sangat lega dan dia merasa sangat senang.
"Kenapa kau tertawa?"
"Hahaha, tentu saja karena aku senang." Ekspresi Naruto kembali tegas, tapi tetap lembut. Senyum masih bertengger di bibirnya. "Aku sangat senang kau menerimaku. Kau tahu, ini pertama kalinya aku punya pacar."
Hinata mendengkus. "Ya, dan pacar pertamamu adalah istrimu."
Selanjutnya mereka saling menatap dan tersenyum. Entah keberanian dari mana, Naruto perlahan meraih tangan Hinata dan menggenggamnya. Sedikit canggung, tapi membuat mereka lebih nyaman. "Langkah awal, bagaimana kalau kau memanggil namaku dengan suffix?" ucap Naruto lagi.
Hinata berkedip. "Naruto-san?"
Senyum Naruto hilang. "Bukan 'san', tapi 'kun'."
"Kun-kun?"
Naruto menatap kesal. "Bukan hanya suffixnya, tapi namanya juga."
Hinata mengangguk. "Uzumaki-kun."
"Hei, kau juga Uzumaki," teriaknya tertahan dan Hinata terkikik karenanya. Sadar jika dia di kerjai, Naruto semakin cemberut dan membalik badannya, membelakangi Hinata.
"Kau marah?" Hinata bertanya dengan nada jahil, Naruto tidak menjawab. "Hei, Naruto-san?" Naruto diam, "Uzumaki-kun?" Naruto memejamkan matanya kesal, Hinata tersenyum lebar. "Kun-kun?"
"Hinataaaa."
Kali itu, Hinata yang tertawa karena Naruto menggeram kesal sembari memanggil namanya. Ekspresi naruto yang berbalik dengan wajah kesal sukses membuatnya tertawa. Ya ampun, dia tidak menyangka jika memiliki suami yang begitu lucu.
"Diamlah!" Naruto berdesis kesal.
Hinata masih tertawa. "Kau lucu Naruto … haha."
"Diamlah dan panggil aku 'Naruto-kun'!"
Hinata tidak menjawab dan masih sibuk menahan tawanya, membuat Naruto kesal dan kembali memunggunginya.
Naruto diam dan Hinata ikut diam.
Selama beberapa waktu mereka diam menikmati waktu. Sunyi itu tidak lagi terasa canggung, tapi terasa nyaman setelah pembicaraan yang terjadi.
Hinata tersenyum mengingat apa yang baru saja terjadi. Dia menoleh menatap Naruto yang masih memunggunginya. Dia kembali menatap plafon dan berbisik pelan. "Oyasuminasai … Naruto-kun."
Set … "Hinata?"
Hinata langsung memejamkan matanya berpura-pura tidur saat Naruto langsung berbalik dan memanggilnya. "Hinata, bangun. K-kau barusan memanggilku 'Naruto-kun', iya kan?"
"Tidak!" sangkal Hinata dengan mata terpejam.
"Jangan bohong, aku mendengarnya." Naruto bersikeras dengan apa yang dia dengar. "Aku mendengarnya, kau mengucapkan Oyasumi dan menyebut namaku dengan suffix 'kun'."
"Kau salah dengar."
"Tidak mungkin!"
Hinata hanya diam, tidak menjawab lagi, tapi dia tersenyum tipis karena Naruto terus bertanya merengek.
"Jangan bohong ttebayo. Ayo katakan lagi." Hinata masih diam. "Hinata-chaaannn."
Blush
Senyum Hinata memudar dan wajahnya sedikit memanas. Malu. Dia memiringkan kepalanya agar Naruto tidak melihat. Tapi sayang, Naruto sudah melihatnya walau samar. Dan itu membuat Naruto yang kini nyengir lebar.
"Hinata-chaaann," panggilnya lagi dengan nada melantun.
Ugh, Hinata membalik tubuhnya memunggungi Naruto.
"Hinata-chan sudah tidur?" Hinata menarik selimutnya menutupi kepala dan itu hampir membuat Naruto tergelak. "Hinata-chan kenapa? Apa Hinata-chan kedinginan? Apa harus kupeluk lagi? Hinata-chaaaann."
"Cukup, Naruto!" Hinata berbalik dan mengerucutkan bibirnya.
Naruto terkekeh melihatnya. Mengerjai dan menggoda istrinya itu ternyata cukup seru juga. Oh, Naruto akan sering melakukannya nanti.
"Diamlah dan tidur."
Naruto diam dan menatapnya dengan tersenyum. Sebelah tangannya naik, menyelipkan rambut Hinata ke balik telinga. Membuat wajah kesal Hinata menghilang dan menambah rona wajahnya.
"Aku akan tidur," ucap Naruto pelan dan lembut, "jadi panggil namaku, ya." Kini suaranya lembut tanpa nada godaan. Sepenuhnya meminta dengan serius.
Hinata menelan ludah, sedikit takjub dengan berbagai ekspresi sang suami yang dengan cepat berubah-ubah. Dan ekspresi itu adalah ekspresi yang sangat dia sukai. Ugh, wajahnya semakin memerah karena itu. Dia mengalihkan tatapannya sebentar lalu kembali manatap sang suami.
"Naruto-kun," ucapnya pelan dan dadanya terasa tergelitik saat Naruto tersenyum mendengarnya. Belaian di rambutnya terasa begitu menenangkan dan nyaman.
"Hm, sekarang tidurlah. Oyasuminasai, Hinata-chan."
"O-oyasu-minasai, Naruto-kun."
Dan sekali lagi mereka mengunci tatapan sebelum dua pasang mata itu terpejam dan tertarik ke alam mimpi.
.
To be continued
.
Makin gajeeeee :v
Maafkanlah, aku juga nggak paham gimana pemikiranku dulu.
Makasih yang udah baca, fav, follow, dan review.
Semoga suka.
Sekian.
Salam, Rameen.
16 Februari 2022
