Hinata segera meraih ponselnya dari dalam tas saat yakin jika ada panggilan di sana. Dia mengernyit saat melihat nomor baru yang tertera, tapi tetap mengangkatnya.
"Hallo."
"…."
"Ya, aku Hinata, i-ini siapa?"
"…."
"Oh, Ga-Gaara-kun."
Ckiiiittt
Hinata terdorong ke depan saat Naruto mengerem mendadak mobil yang saat ini mereka naiki. Hinata menoleh ke samping dan menutup ponselnya dengan tangan sebelum berbicara, "Ada apa, Na-naruto-kun?"
"Hah?" Naruto menoleh dengan tatapan polos ke arah istrinya lalu menggeleng. "Tidak ada. Hanya ada kecoa yang lewat."
Hinata berkedip bingung akan hal itu, "Kecoa lewat jalan raya?"
Naruto mengalihkan pandangannya ke depan dan mengangkat bahu sebelum kembali menjalankan mobilnya. Membuat Hinata mengerutkan keningnya tidak mengerti.
Sadar jika teleponnya dengan Gaara masih terhubung, Hinata kembali mendekatkan ponselnya ke telinga. "Ya, Gaara-kun?"
"…."
"Oh, tidak apa-apa, tadi hanya ada kecoa yang lewat," jawab Hinata santai tanpa menyadari kalau Naruto menatapnya tak percaya sambil geleng kepala.
Apa alasan kecoa lewat harus diberitahukan secara jujur?
.
Ganti Status Kilat by Rameen
Naruto by Masasi Kishimoto
Uzumaki Naruto x Hyuuga Hinata
.
"Terima kasih, Naruto-kun. Aku pergi dulu."
Hinata hanya menatap bingung Naruto yang diam dengan pandangan lurus ke depan. Suaminya itu tidak lagi bicara setelah hampir menabrak kecoa lewat dan Hinata tidak berniat untuk menanyakannya. Dia hanya menghela napas sebelum memakai tasnya dan membuka pintu mobil yang …
Ceklek ceklek
… terkunci.
"Naruto-kun?"
"Hm?"
"Pintunya terkunci."
Naruto melirik istrinya yang masih menatapnya bingung. Dia sedikit menyamping agar dapat melihat istrinya dengan jelas. "Ada yang mau aku tanyakan," ucapnya yang mendapat tatapan bingung dari Hinata. "Yang menelponmu tadi … Gaara?"
Hinata mengangguk.
"Kenapa dia menelponmu, dan kapan dia mendapat nomor telponmu?"
"Hm," Hinata berpikir sejenak, "kemarin dia menemuiku sebelum kau menjemput dan meminta nomor teleponku. Aku juga aneh saat seorang pengeran kampus melakukan itu, tapi kurasa dia hanya ingin menyimpan nomor dari kenalan sahabat-sahabatnya. Berhubung aku adalah orang yang kau kenal, maka dia mau menyimpan nomor handphone-ku. Lalu aku berikan, setelah itu dia bilang akan meneleponku jika butuh bantuan. Nah, tadi dia menghubungiku bukan untuk minta bantuan tapi cuma sekedar memberitahu jika itu nomornya dan menyuruhku untuk menyimpannya."
Naruto terdiam mendengarkan penjelasan Hinata yang dia rasa terlalu panjang. Dia tidak ingat jika istrinya adalah orang yang berbicara sepanjang itu. Ditambah lagi dia sedikit tidak suka saat Hinata menyebut Gaara 'pengeran kampus', apa istrinya tidak sadar kalau dirinya juga pengeran kampus?
Dan sebelum istrinya mengatakan hal lain yang lebih panjang, Naruto lebih dulu membuka kunci pintu mobil itu agar sang istri bisa keluar.
"Nanti aku akan menjemputmu seperti biasa."
"Uhm." Hinata mengangguk dan tersenyum, tapi harus berhenti saat tangannya ditahan oleh Naruto yang membuatnya kembali menoleh.
"Kita sekarang pacaran, ingat?"
Hinata mengangguk pelan dengan wajah sedikit merona.
"Jadi kau harus mengatakan semuanya padaku, tidak boleh ada yang di sembunyikan, mengerti?"
Lagi—Hinata mengangguk.
Dan setelah Naruto tersenyum lalu melepas tangannya, Hinata langsung keluar mobil.
*NaruHina*
Naruto memandang tajam Gaara yang baru datang dan berjalan mendekat ke arah rombongan mereka. Duduk di sebelahnya dengan raut wajah datar seperti biasa. Menyapa seperti biasa dan juga berbicara seperti biasa. Lalu apa yang membuat Naruto menatapnya tajam?
"Kenapa tadi kau menelpon Hinata-chan?"
Tiga pasang mata lainnya melirik ke arah Naruto yang hanya diabaikan. Perhatian pria pirang itu hanya seorang yang berambut merah di sebelahnya.
"Dari mana kau tau?"
Naruto tersentak karena pertanyaan itu. Sial, dia tidak bisa mengatakan kalau Hinata sedang bersamanya saat Gaara meneleponnya tadi. Tidak ada masalah jikapun dia mengaku, tapi entah kenapa dia tidak bisa mengucapkannya begitu saja.
"Itu ... kau tahu, 'kan kalau Hinata anak teman ayahku, dan aku juga kenal dengan su-a-mi-nya," ucap Naruto menekan kata terakhir, "Dan tadi suaminya memintaku untuk bertanya padamu, kenapa kau menelepon istrinya?"
Naruto mengangguk puas akan jawabannya, tanpa mengindahkan dengkusan Shikamaru. Dia tetap berpura-pura santai dengan jawaban yang dia yakin tidak akan mengundang kecurigaan. Walau juga berpikir tidak ada yang perlu dicurigai, sekalipun teman-temannya tahu perihal pernikahannya, itu bukanlah masalah. Tapi sekali lagi, Naruto tidak bisa mengatakannya entah karena apa.
"Jadi," Gaara menatapnya dengan pandangan mengejek, "sekarang kau mata-mata yang dikirim suami Hinata untuk mengawasiku?"
"Apa?" Naruto berteriak tertahan karena hal itu. Hey, seorang mata-mata seharusnya terdengar keren, tapi nada Gaara tadi seolah sama dengan mengatakan kalau Naruto anak buah dari suami Hinata. "Bu-bukan begitu … aiisshh terserahlah!"
Gaara menyeringai tipis saat Naruto membuang muka kesal. Mengabaikan Naruto, pria Sabaku itu mengeluarkan sebuah kotak bekal dari tasnya dan menaruh itu di depan Shikamaru, mengundang Shikamaru untuk menaikan alisnya.
"Temari menitipkan itu untukmu agar kau tidak menghabiskan bekalku lagi."
Shika menyeringai dan segera membuka bekal itu, menatap tertarik dengan makanan yang terlihat lezat di hadapannya. Tanpa banyak bicara dia mulai memakan bekal itu dan mengangguk puas dalam hati karena makanan itu selezat kelihatannya.
Plak
"Ssshhh, sakit tahu." Kiba meringis dan mengeluh saat Shika memukul tangannya yang ingin mencoba mencicipi, dia menatap tak acuh atas ringisan Kiba dan memeluk bekal itu untuk dirinya sendiri. Membuat yang lain hanya menggeleng pelan melihat tingkah langka dari sahabat rusa mereka.
*NaruHina*
"Hinata-chan, kau pulang sendirian lagi?" Ino bertanya dengan nada manja seperti biasa. Apalagi jika itu menyangkut tentang sahabatnya yang paling pendiam. "Sudah lama kita tidak pulang dan bersantai bersama di café ataupun pergi jalan-jalan."
Hinata tersenyum miris. Memang, semenjak menikah, dia jadi jarang keluar rumah selain kuliah. Dia pergi dan pulang bersama Naruto atas perintah Kushina dan jika dia ingin meminta izin untuk keluar dengan teman-temannya, entah kenapa dia tidak enak. Berada di rumah dan bercanda dengan Kushina terkadang sangat menyenangkan baginya.
"Maaf, Ino-chan … aku harus segera pulang dan juga aku tidak pulang sendiri. Aku dijemput."
"Kau dijemput siapa sih?" Kali ini Sakura yang berbicara, "Atau mungkin kau sudah punya pacar?"
Hinata terdiam dengan wajah merona. Pacar? Ya, setidaknya sekarang dia memang punya pacar yang merangkap suami. Bukan hal yang terlalu buruk jika dia bilang kalau memang sudah punya pacar. Tapi jika teman-temannya ingin mengenal pacarnya, dia tidak yakin Naruto mau status mereka disebarkan. Bagaimanapun mereka belum sepenuhnya siap jika pernikahan mereka diketahui banyak orang.
"Ya ampun, wajahmu memerah Hinata-chan. Apa Sakura benar? Kau sudah punya pacar?" Tenten bertanya setengah histeris.
"Benarkah? Akhirnya kau move on dari kalungmu. Memang siapa pacarmu dan kapan kalian berkenalan atau kapan kalian resmi jadian?"
"Kau harus menceritakan hal itu pada kami, Hinata-chan."
Hinata hanya tersenyum kikuk saat teman-temannya memberondonginya pertanyaan yang bingung harus dia jawab bagaimana. "Kemarin?" Apa yang dia katakan? Hinata langsung menutup mulutnya yang hampir mengatakan kalau dia resmi berapacaran kemarin.
"Kemarin? Kemarin kenapa?" tanya Ino penasaran.
"Apa kalian jadian kemarin?"
"Benarkah? Bagaimana ceritanya?"
Hah, pertanyaan itu tidak habis-habis, batin Hinata. "Ya." Mungkin tidak salah jika dia hanya menceritakan sedikit, sedikit saja. "Kami … jadian kemarin."
"Kyaaa!"
Gadis Hyuuga atau Uzumaki itu terlonjak saat ketiga sahabatnya berteriak bersamaan.
"Lalu bagaimana? Apa yang dia katakan dan apa yang kau jawab?"
Hinata berkedip, untuk menjawab hal itu dia harus mengulang kembali ingatannya tentang kemarin. Naruto mengajaknya pacaran di dalam mobil mogok, terjebak hujan, malamnya berbicara santai hingga Naruto kembali menembaknya, dan … dia menerimanya. Ah, wajahnya kembali memerah mengingat itu.
"Ehmm. Itu … Apa kalian belum mau pulang?"
Ino, Sakura, dan Tenten memutar bola mata mereka saat Hinata mengalihkan pembicaraan. "Jangan mengalihkan pembicaraan, Hinata-chan. Kau belum menjawab pertanyaan kami dan kami bahkan belum tahu siapa nama pacarmu itu," cerocos Sakura seperti biasa. Dia tidak suka jika harus penasaran.
Dddrrttt
Hinata tersentak karena ponselnya bergetar. Melihat nama sang suami di layar telepon itu membuatnya menggigit bibir. Takut jika ketahuan teman-temannya. Dia sedikit mundur dan mengangkat panggilan tersebut dengan suara pelan, membuat ketiga temannya harus memasang telinga ekstra.
"Hallo."
"Hallo, Hinata-chan. Kau masih di kelas?"
"Iya."
"Aku harus ke rumah Sasuke untuk meminjam beberapa buku dan beberapa alat untuk tugasku. Jadi bisakah kau pulang sendiri?"
"Oh." Hinata melirik temannya yang masih sibuk menguping. Dan selintas ide untuk kabur membuatnya tersenyum. "Iya, tidak apa. Aku akan pulang sekarang."
"Kau yakin? Maaf ya?"
Hinata tersenyum mendengar nada penyesalan Naruto, itu membuatnya senang. "Tidak apa … Naruto-kun," dia mengecilkan lagi suaranya di kata terakhir, "Aku bisa pulang sendiri. Tentang ibu, aku akan bilang jika kau ada urusan jadi tidak perlu khawatir dia akan marah."
Terdengar helaan napas di sana. "Ya ampun, Hinata-chan. Yang kupikirkan bukan ibu, tapi aku khawatir dengan—ah, sudahlah. Kau pulang hati-hati, ya. Jaa ne, Hinata-chan."
"Jaa ne, Naruto-kun." Hinata mengerutkan keningnya saat Naruto tidak menyelesaikan kalimatnya. Apa yang pria itu khawatirkan?
Hinata berbalik dan menghela napas lelah saat Ino, Sakura, dan Tenten masih menunggu penjelasannya. "Maaf, aku harus pulang duluan sekarang." Dia dengan cepat meraih tasnya dan segera melangkah keluar kelas.
Ino, Sakura, dan Tenten hanya saling pandang dan terdiam.
"Hei, apa kalian dengar kalau Hinata menyebut 'Naruto-kun' tadi?" Tenten dan Sakura mengangguk pelan atas pertanyaan Ino. "Baiklah, ayo kita lihat siapa yang menjemputnya.
*NaruHina*
Hinata bernapas lega saat melewati koridor dan berada di lapangan depan kampus. Akhirnya dia bisa menghindari ketiga temannya itu. Kalau dipikir-pikir, Hinata selalu bermimpi untuk bisa bercerita ke teman-temannya jika nanti dia punya pacar.
Seperti Ino dan Sakura yang sering bercerita tentang mantan mereka dulu, atau tentang pria yang mereka sukai. Saat itu, Hinata hanya bisa tersenyum dan diam mendengarnya. Dia tidak punya orang yang dia sukai apalagi pacar, jadi tidak punya bahan yang akan dia bicarakan.
Hinata selalu berpikir jika nanti dia punya pacar, dia ingin sekali menceritakan bagaimana dia bertemu dengan pacarnya itu, bagaimana dia jatuh cinta, berkencan, dan bagaimana pernyataan cinta yang dia terima dengan senang hati. Dia selalu tersenyum jika membayangkan saat bercerita kepada teman-temannya tentang orang yang dia sukai.
Namun, sekarang dia justru menyembunyikan hubungannya dengan seseorang yang bahkan sudah resmi menjadi pendampingnya. Kalau saja hubungannya dan Naruto berjalan secara normal dan bertahap, dan juga seandainya dia menyukai Naruto, mungkin dia akan bercerita dengan wajah berseri kepada teman-temannya.
"Hinata?"
Langkahnya terhenti dan dia mendongak saat namanya dipanggil. Mendapatkan Gaara berdiri di hadapannya dan memandangnya dengan tatapan datar.
"Gaara-kun?"
"Aku ingin meminta tolong sesuatu, jika kau tidak sibuk."
Hinata berkedip bingung, lagi-lagi dia bertanya dalam hati kenapa Gaara meminta bantuan padanya? Apa pria itu tidak punya seseorang yang lebih dia kenal untuk dimintai tolong?
"Tolong apa?"
Gaara tersenyum tipis mendengar pertanyaan itu. "Ikutlah denganku sebentar," pintanya pada Hinata, dan mereka berjalan bersama menuju taman kampus.
Tanpa menyadari ketiga sosok perempuan yang menganga tidak percaya melihat hal itu. Sahabat mereka yang baru mereka ketahui punya pacar, ternyata dijemput oleh seorang pengeran kampus, Sabaku Gaara.
"Jadi …" Ino bergumam pelan.
"… pacar Hinata …" lanjut Sakura dengan lirih.
"… Sabaku Gaara?" timpal Tenten dengan sedikit shock.
*NaruHina*
Hinata berjalan perlahan menghampiri seseorang yang familiar baginya. Seorang pria berambut hitam yang duduk santai di bangku taman kampus dengan kertas sketsanya. Tampak serius sedang melukis sesuatu di sana. Hinata tersenyum, yakin jika orang itu adalah orang yang dia kenal meski sudah lama tidak bertemu.
"Sai-kun?"
Pria berambut hitam itu menoleh dan sedikit terkejut saat melihat Hinata berdiri di hadapannya dengan tersenyum. "Hinata?" ucapnya senang dan segera menggeser duduknya agar Hinata duduk di sebelahnya. "Akhirnya aku bisa bertemu denganmu."
"Kau mencariku?"
"Tentu saja," ucap Sai santai dan menutup buku sketsanya, "Aku mendengar kau kuliah di sini. Lagipula temanku bilang jika di sini banyak gadis cantik yang bisa kujadikan objek gambaran. Oh ya, bagaimana kabarmu?
Hinata tersenyum. "Kau tidak berubah, mencari perempuan cantik hanya untuk dilukis. Kapan kau mencari perempuan untuk dijadikan pacar?"
Sai mengangkat bahunya tak peduli.
"Dasar. Oh ya, kabarku baik, seperti yang kau lihat. Dan kurasa kau juga baik, 'kan? Lama tidak bertemu ternyata kau semakin tampan, Sai-kun."
Hinata tertawa pelan saat melihat senyuman Sai yang terasa masih sama. Mereka hanya kenal setengah tahun di bangku SMP, setelah itu mereka pisah SMA dan jarang bertemu sampai Hinata mendengar jika Sai pindah ke Kumo. Walau sebentar, hubungan mereka cukup dekat. Saat itu, Hinata masih sangat pemalu dan Sai susah beradaptasi hingga membuat mereka akrab.
"Kau juga semakin cantik. Oh ya … ini untukmu." Sai memberikan selembar kertas untuk Hinata. Gadis itu langsung mengambil dan membukanya, mata lavendernya membola dan menatap takjub apa yang tergambar di dalamnya.
Fotonya yang sedang duduk di taman kampus sambil menengadah menatap langit dengan tersenyum. Hinata berkedip, menyadari jika itu pasti diambil saat dia duduk menunggu Naruto kemarin, sebelum Gaara datang.
"Ini … aku?"
"Kau pikir siapa lagi?"
"Jika kau sudah melihatku kemarin, kenapa kau tidak menyapa?"
"Aku lebih ingin mengabadikan potretmu lebih dulu. Hanya kau yang tercantik yang bisa menjadi objek lukisku."
Hinata tersenyum mendengar perkataan Sai yang terasa semakin pintar merayu.
"Yang tercantik? Bukankah dulu kau bilang aku paling tercantik yang pernah ada?"
Sai hanya diam mendengar itu. Memang, dulu Sai selalu memuji Hinata dengan mengatakan hal demikian.
"Atau sekarang kau sudah punya orang lain yang bisa menjadi perempuan paling tercantik yang pernah ada untuk objek lukisanmu?"
Pria itu berdecak sambil tersenyum, dia meraih beberapa lembar kertas dan memberikannya pada Hinata. "Kau kenal dia, 'kan? Tolong berikan itu padanya."
Hinata mengerutkan keningnya bingung dan membuka lipatan kertas itu. Dia menatap takjub gambar seorang gadis yang terlihat begitu cantik dengan berbagai posisi dan ekspresi. Hinata baru menyadari jika gadis itu bisa secantik ini.
"Aku menggambarnya kemarin, tapi rambut, wajah, dan juga ekspresinya membuatku tidak bisa berhenti melukis. Aku merasa sangat senang setiap kali menggerakkan pensilku untuk menarik garis membentuk wajahnya, rambutnya, apalagi matanya. Sampai aku menghabiskan tujuh lembar dengan gambarnya dalam semua ekspresi yang kulihat."
Hinata terdiam memandang wajah Sai yang terlihat begitu senang saat membicarakan gadis yang ada dalam gambar itu. Dia tidak pernah melihat ekspresi Sai yang begitu. "Apa kau menyukainya? Ino-chan?"
Sai menatapnya dengan tersenyum. "Jadi namanya Ino?"
Hinata mengangguk. "Kau menyukainya?"
"Suka?" Sai terdiam, selanjutnya dia meraih sebuah buku dari dalam tas kecilnya. "Suka adalah sebuah rasa yang kita rasakan pada sesuatu atau seseorang. Biasanya membuat kita merasa senang jika terus berada di dekat orang itu, atau dapat melakukan apa yang kita sukai itu."
Hinata menggeleng melihatnya. "Sai-kun, kau masih suka membaca kamus untuk semua pengertian kata-kata?"
Dengan santai Sai mengangguk dan memasukkannya lagi ke dalam tas. "Aku hanya merasa senang menggambarnya. Ah sudahlah, dari pada itu, kudengar kau sudah menikah?"
Wajah Hinata kembali biasa dan dia mengangguk pelan. Dia tidak tahu dari mana Sai tahu, tapi dia tidak bisa bercerita kepada Sakura, Ino, ataupun Tenten. Jadi dia pikir tidak apa jika bercerita dengan Sai. "Aku memang sudah menikah, sudah dua minggu."
Sai melihat tatapan sendu Hinata walau wajah gadis itu biasa saja. Dia menghela napas dan menatap ke arah lain. "Apa kau bahagia?"
"Hm?"
Sai melihat Hinata lagi. "Apa kau sedang atau pernah menyukai seseorang?"
Hinata menggeleng.
"Setidaknya kau tidak tersiksa karena menikah dengan orang yang tidak kau cintai, tapi apa kau bahagia? Menikah tanpa cinta? Aku yakin jika ini perjodohan, bukan?"
Hinata terdiam. Apa yang Sai katakan sama seperti apa yang Menma katakan. Tapi Hinata masih belum tahu, apa dia bahagia atau tidak. Mungkin dia setidaknya bersyukur karena tidak mencintai siapa pun sehingga tidak tersiksa karena harus berpisah dengan orang itu. Tapi menjalani pernikahan tanpa perasaan juga bukanlah hal yang bagus.
Status hubungan yang baru dia mulai dengan Naruto sekarang sebagai sepasang kekasih adalah sebuah bentuk permulaan yang mereka lakukan untuk perkembangan hubungan mereka, tapi belum ada pembicaraan apa mereka akan mencoba untuk saling mencintai. Mereka hanya membicarakan kalau mereka akan mencoba untuk saling berusaha menjalankan pernikahan itu dengan baik.
Jadi, Hinata masih bingung.
"Sudahlah." Sai melihat kebingungan itu dan tidak tega melanjutkannya. "Apa sekarang kau sudah selesai kuliah?"
Hinata mengangguk pelan.
"Kau mau pulang? Aku bisa mengantar jika kau mau. Yah, asalkan suamimu tidak marah."
"Tidak usah. Aku mau pergi ke bioskop untuk nonton."
"Apa itu semacam kencan dengan suami?"
Hinata menggeleng. "Aku tidak pergi menonton dengan suamiku. Aku pergi menonton dengan … teman. Yah, dia meminta bantuanku."
"Huh," Sai mendengkus, "Teman? Pria?"
Hinata mengangguk.
"Teman pria meminta tolong untuk menemaninya nonton di bioskop? Hinata, kau sudah menikah dan pergi dengan pria lain?"
Hinata memiringkan kepalanya tidak mengerti dengan nada tak percaya Sai. Apa Sai baru saja menuduhnya hal yang tidak baik? "Maksudmu apa? Aku hanya ingin membantunya."
Sai lelah, ternyata Hinata tidak berubah. Gadis itu masih terlalu polos untuk mengerti tentang perasaan atau hubungan, dan gadis itu juga masih terlalu baik untuk menolak membantu seseorang. "Terserah kau saja, Hinata, tapi aku hanya bilang satu hal. Bagaimanapun kau sudah menikah. Ada baiknya jika kau tidak terlalu sering bersama laki-laki lain."
*NaruHina*
Suasana di ruangan itu gelap. Sebuah film sedang diputar di hadapan para penonton yang terdiam fokus terbawa alur cerita.
Namun, tidak dengan gadis berambut indigo itu. Matanya mengarah ke layar besar di hadapannya, tapi pikirannya masih melayang ke pembicaraan bersama teman SMP-nya tadi. Kebahagiaan dan perasaan dalam sebuah pernikahan. Juga tentang dia yang seharusnya tidak lagi berjalan bersama teman laki-laki lain.
Dia masih sepenuhnya bingung dengan hal itu. Dari kecil dia sudah diwanti-wanti oleh sang ayah agar tidak berpacaran ataupun dekat dengan lelaki manapun. Hal itu membuatnya tidak memikirkan masalah perasaan. Akibatnya, sekarang dia akan lebih cepat mengerti tentang rumus matematika aljabar linear dibanding dengan perasaannya sendiri.
Gadis itu—Hinata, berkedip saat merasa mulai bosan di sana. Dia melihat kanan-kiri dan memajukan bibirnya saat temannya menonton belum juga datang. Padahal temannya itu yang mengajaknya menonton.
Tap
Hinata menoleh ke samping saat merasa kalau ada yang duduk di sana. Sedetik kemudian, dia hanya bisa mengerjap tak percaya. Netra bulan itu menatap lekat, memastikan seseorang yang kini tertangkap indra penglihatannya.
Set
Ketika perhatiannya tak teralihkan, orang itu dengan segera meraih dagunya, lalu memaksa memutar kepala itu agar kembali menghadap layar. Namun, dia kembali menoleh ke samping.
Benar! Dia tidak salah lihat. Tapi, bukankah orang yang mengajaknya menonton adalah seorang pria berambut merah? Lalu kenapa yang datang pria berambut kuning?
Set
Lagi—kepalanya ditolehkan paksa orang itu agar menghadap ke depan.
Bebal, Hinata kembali menoleh dan menatap orang itu dengan pandangan bingung. Membuat yang ditatap menghela napas dan menggerakkan tangan kirinya untuk merangkul Hinata dan membawa kepala dengan surai indigo itu ke bahunya, agar Hinata tidak lagi menatapnya dengan pandangan bertanya.
"Naruto-kun?" bisik Hinata akhirnya.
"Diamlah dan tonton filmnya." Naruto ikut berbisik sembari masih menahan kepala Hinata agar tidak menoleh ataupun mendongak.
Hinata terdiam dengan jantung yang berdebar, Naruto merangkulnya dan menyandarkan kepalanya di bahu pria itu. Mereka menonton berdua dengan posisi itu. Ugh, bolehkah Hinata menganggap ini kencan? Dan pemikiran itu membuatnya tersenyum sembari menyamankan letak kepalanya.
Gerakkan yang membuat Naruto tersenyum tipis. Ingatannya kembali pada setengah jam yang lalu.
.
Flashback
"Terima kasih, Sasuke. Aku pulang dulu ya."
"Hn." Sasuke hanya bergumam malas atas ucapan Naruto.
Bukan hal baru jika Naruto selalu mengandalkannya jika ada tugas. Sebenarnya sahabat pirangnya itu juga terkadang meminta bantuan Shika atau Gaara. Tapi karena Shika terlalu malas dan Gaara terlalu dilindungi oleh Kankurou serta Temari, jadilah, Sasuke menjadi satu-satunya tempat untuk berkunjung saat banyak tugas.
"Haha, jangan memasang wajah bosan begitu, dong. Membantu teman itu adalah hal yang baik, loh."
"Terserah dan pulanglah!"
Naruto hanya terkekeh saat Sasuke mengusirnya. Dia akan membuka pintu mobil saat sms dari ibunya masuk dan menanyakan ke mana dia dan Hinata pergi sampai belum pulang. Safirnya melebar saat tahu Hinata belum pulang. Bukankah tadi dia menyuruh Hinata pulang sendiri? Seharusnya istrinya itu sudah sampai rumah sejak lama.
"Ada apa?" tanya Sasuke yang heran melihat raut terkejut Naruto.
"Ah bukan apa-apa, ini ibuku yang menyuruhku cepat pulang."
"Ck," Sasuke berdecak, "Semakin lama kau semakin mirip dengan Gaara, Dobe."
Naruto hanya tersenyum dan segera pamit pulang. Dia tidak peduli lagi dengan perkataan atau ejekan Sasuke, dia sudah berpikir seribu tempat yang mungkin Hinata kunjungi. Sialnya, Naruto tidak tahu satu pun.
'Aku harus mulai menyakan tempat favoritnya nanti,' batinnya kemudian.
Naruto menjalankan mobilnya ke arah kampus, berpikir bahwa mungkin Hinata masih di sana karena ada pekerjaan, tapi saat dia hampir mencapai gerbang kampus, ponselnya berbunyi dengan nama Gaara di sana.
"Hallo."
"Kau di mana?" tanya Gaara cepat dari seberang telepon. "Bisa kau bantu aku?"
"Aku sedang ada urusan, Gaara. Bisa kau minta tolong orang lain saja?"
"Aku tidak yakin jika orang lain. Dengar," Gaara langsung to the point dengan maksudnya, "Tadi aku berjanji pergi menonton dengan Hinata. Aku menyuruhnya pergi duluan, tapi aku tidak bisa menyusul karena ada urusan. Jadi bisakah kau ke sana menggantikan aku?"
Mata Naruto melebar saat mendengar istrinya pergi dengan sahabatnya. "Apa? Kau janji pergi nonton berdua dengan Hinata? Sialan kau Gaara, dia sudah menikah. Kenapa kau masih sa—"
"Bioskop Hamura di jalan Hosiya blok 2. Dia membawa dua tiket dan aku menyuruhnya menitipkan tiketku ke penjaga luar agar dia bisa masuk duluan," ucap Gaara cepat memotong omongan Naruto, "Jadi kau langsung ke sana saja dan ambil tiketnya lalu gantikan aku. Oke, Jaa."
"Oi Gaara, tung—Siaaall!" Naruto mengumpat saat Gaara langsung memutus panggilan. Dan segera saja dia menuju bioskop tempat Hinata berada sekarang. Dia tidak ingin istrinya di sana sendirian.
Flashback off
.
Naruto tidak tahu apa alasan Gaara mengajak istrinya nonton, dia masih kesal sebenarnya, tapi dia juga senang karena Gaara meneleponnya untuk menemani Hinata. Mungkin karena Gaara berpikir kalau dia dan Hinata saling kenal.
Ah, dia tidak peduli hal itu. Yang jelas dia senang karena sekarang dialah yang ada di samping Hinata, merangkul gadis itu di pelukannya dan menonton film romantis bersama.
Tidak berbeda dengan Naruto, Hinata juga merasa sangat senang karena bisa bersama Naruto. Gadis itu masih belum mengerti tentang perasaan yang dia pikirkan sebelumnya, tapi yang jelas, pertanyaan Menma dan Sai tentang apakah dia bahagia? Sepertinya dia tahu jawabannya.
Untuk saat ini, dia bahagia.
Senyum Hinata memudar saat dia merasakan remasan pelan di bahu kirinya tempat tangan Naruto berada. Dia menebak apa sekiranya yang Naruto lakukan. Saat dia sedang mengira, tatapannya beralih kepada layar yang memainkan film. Matanya melebar saat adegan pemeran utamanya berciuman mesra tampil di layar lebar itu.
Beberapa suara teriakan tertahan penonton lain terdengar, begitu pula dengan detak jantungnya yang serasa bisa dia dengar dengan jelas. Dia menelan ludah saat berpikir jika Naruto sedang melihat adegan itu dan tanpa sadar membuat pria itu meremas bahunya pelan. Wajahnya seketika memanas jika membayangkan apa yang Naruto pikirkan.
Tidak! Dia tidak ingin tahu apa yang sedang pria itu pikirkan sekarang. Hinata menggigit bibirnya saat remasan itu semakin menguat seiring dengan semakin intens adegan ciuman di film itu. Dan saat adegan ciuman itu berakhir, dapat dia rasakan tubuh Naruto yang kembali rileks dan remasan di bahunya menghilang.
Walau enggan mengakui, tapi Hinata suka bagaimana jantungnya berdetak saat Naruto meremas bahunya dan mempererat pelukannya. Dia … merasa sangat senang dan nyaman.
*NaruHina*
"Kenapa kau tersenyum begitu?" tanya Naruto karena melihat Hinata yang tersenyum sendiri sambil memakan es krim.
Setelah keluar dari bioskop, Naruto menjelaskan kenapa dia yang datang dan bukannya Gaara. Pria itu mengabaikan niat hatinya yang juga ingin tahu kenapa Hinata menerima ajakan Gaara.
Setelah itu, Naruto mengajak Hinata untuk membeli es krim dan duduk santai di bagian depan mobil yang terparkir di area parkir bioskop. Namun, Hinata yang tidak berhenti tersenyum sambil memakan es krimnya membuat Naruto penasaran dan akhirnya bertanya.
"Hinata-chan, kenapa kau tersenyum begitu? Apa ada yang lucu?"
Hinata menutup mulutnya dan menggeleng pelan. "Maaf Naruto-kun, aku tersenyum bukan karena lucu."
"Lalu?"
"Itu … menonton dan makan es krim bersama adalah salah satu yang ingin kulakukan jika punya pacar. Hal yang di lakukan di kencan pertama," ucap Hinata pelan dengan semburat merah di pipi gembilnya.
Mau tak mau, Naruto terpana akan manisnya wajah itu. Tak khayal hal itu juga membuat wajah Naruto memanas. Kencan? Oh, mereka memang belum pernah melakukannya. Dan ini adalah kencan pertama setelah mereka mengambil langkah dalam mengembangkan hubungan mereka.
Naruto berdeham untuk menghilangkan kegugupannya yang entah kenapa tiba-tiba muncul. "Kau bisa menganggap ini kencan pertama kita jika kau mau." Naruto mengatakan itu dengan mata yang melirik ke arah lain. Terlalu malu untuk menatap mata lavender indah sang istri.
Sementara Hinata terdiam dengan mata melebar, selanjutnya senyum manis terukir di bibirnya karena pernyataan Naruto. Tanpa Naruto bilang pun, dia sudah berniat untuk menjadikan ini kenangan kencan pertama mereka. Tapi mendengar Naruto yang menyarankan langsung membuatnya lebih senang.
"Uhm." Dia mengangguk sekali dengan tersenyum manis. Hampir sanggup membuat Naruto lupa cara bernpas.
'Kenapa dadaku berdebar?' batin Naruto bingung, 'Ugh, dan kenapa dia sangat manis dan juga cantik?'
Pemikiran itu membuat wajahnya semakin memanas, yang berujung memilih memakan cepat es krim yang ada agar rasa panas itu kembali mendingin. Namun, giginya jadi ngilu.
Poor Naruto.
.
.
To be continued
Adegan di bioskop, setengahnya nyontek dari playfull kiss :D
Serasa lucu aja dan ada chemistry-nya.
Oh ya, makasih untuk semuanya yang sudah membaca, fav, follow, review. Semoga tiap chapternya bisa terhibur, ya. Mungkin makin terasa gaje, ya. Tapi nggak apa, deh. Diri ini emang nggak jelas :V
Untuk yang komen ...
Olaf : Menma emang uwu ya :D dia dewasa tapi kalo udah urusan ibunya, sering dijadiin saingan sama ayahnya
Uzunami28 : Soalnya aku kayaknya nggak berbakat di cerita berat, makanya buat yang ringan-ringan aja :D
Q : Sama-sama. Makasih juga udah mampir. Aku emang mau buat mereka itu beneran udah terpengaruh banget sama bujukan orangtua mereka sejak kecil. Sangat menghargai perjodohan itu sendiri. Nah di situlah usaha keduanya untuk mempertahankan.
Nadya : Sama-sama. Aku kasih gula plus madu biar manis :D
Sekian dari aku, see you next chap.
Salam, Rameen.
19 Februari 2022
