"Terima kasih telah berkunjung." Ino, seorang gadis berambut pirang pucat tersenyum kepada pengunjung toko bunganya yang baru saja selesai membeli bunga. Dia beralih kepada beberapa buku catatan penjualan yang ada di meja depannya.
Biasanya dia akan berada di sisi rak-rak bunga untuk menyusun tokonya agar tampak semakin cantik, tapi dia juga harus mengurus catatan penjualan, bukan? Karena itulah dia duduk di sana sekarang.
Hari ini dia sendirian karena Sasame, anak tetangganya yang biasa membantu sedang ada tugas sekolah. Jadilah, dia harus mengurus catatan jika tidak ada pengunjung, dan harus membantu memilih bunga jika ada pengunjung.
Kling
Suara lonceng di pintu terbuka dan membuatnya mendongak. Dia tersenyum melihat seorang lelaki yang tampan masuk ke dalam toko bunganya. "Selamat datang di Yamanaka Flower," sapanya ramah. Dia baru akan keluar dari balik meja saat lelaki itu justru menghampirinya.
"Barbie."
Ino mengernyit saat lelaki itu menyebut nama boneka yang sering dia mainkan dulu.
"Maaf?"
"Kau cantik. Seperti Barbie."
Sekarang Ino terdiam dengan sedikit merona. Lelaki itu memujinya, menggodanya, atau menyamakannya dengan seseorang bernama Barbie? Dia berdeham untuk mengalihkan pembicaraan. "Apa anda sedang mencari bunga? Saya akan membantu."
Lelaki itu tersenyum saat Ino mengalihkan pembicaraan. "Barbie," ucapnya lagi tak ingin pergi dari topik sebelumnya.
Sekarang Ino menghela napas kasar saat mengira jika lelaki di depannya ini sedang menggodanya. Huh, apa dia anak remaja kecentilan hingga akan mempan jika digoda-goda? "Maaf Tuan. Jika Anda tidak ingin membeli bunga sebaiknya Anda pergi. Dan satu lagi, namaku bukan Barbie."
Ino berkacak pinggang saat lelaki itu justru mengambil sesuatu dari dalam tasnya sambil berkata, "Ino, 'kan?"
"Eh?"
"Namamu Ino, benar, 'kan?"
Tangan Ino turun. "Kau mengenalku?"
Lelaki itu mengulurkan selembar kertas ke meja lalu kembali menatap gadis Yamanaka itu. "Aku hanya tahu namamu, itu pun Hinata yang bilang." Ino tersentak saat nama sahabatnya disebut. "Maaf aku mengganggu. Aku hanya ingin menyapa saja. Permisi."
Ino berkedip bingung saat lelaki itu sudah keluar dari tokonya. Dia mengambil kertas tadi dan membukanya, seketika matanya membulat dan berbinar menyadari siapa lelaki tadi. "Ya ampun, dia teman SMP Hinata-chan. Dan juga …" dia tersenyum menatap pintu toko yang tertutup, "… dia tampan."
.
Ganti Status Kilat by Rameen
Naruto by Masasi Kishimoto
Uzumaki Naruto x Hyuuga Hinata
.
Tok tok tok
"Hn." Gaara tidak berpaling dari apa yang dia lihat di awal saat memberi respon kepada orang yang mengetuk pintu. Dia sudah bisa menduga kalau itu pasti salah satu dari kakaknya. Tidak mungkin ada tamu atau temannya yang berkunjung mengingat ini sudah malam. Sedangkan orangtuanya, dia ragu jika bisa terbang dari Amerika ke Jepang dalam waktu setengah jam, mengingat dia masih mengobrol dengan ibunya setengah jam yang lalu.
"Hai, Gaara!"
Mata jadenya melirik dan mendapati dugaannya tepat, yang datang salah satu kakaknya yang bernama Kankurou.
"Hn."
"Bisakah kau balas menyapaku dengan kata-kata yang sama?"
"Hai, Gaara!" ucap Gaara menyapa Kankurou dengan 'kata-kata' yang sama.
Hah, embusan napas keluar dari mulut Kankurou saat mendudukkan dirinya di ranjang sang adik. "Kalau aku menyebut namamu, seharusnya kau menyebut namaku."
Gaara mengabaikan hal itu dan kembali menatap penuh pada foto di tangannya. Fotonya dengan seorang gadis yang berkostum kuda poni.
"Kau melihat apa sih?" Kankurou berdiri dan mengintip apa yang menurut adiknya lebih penting dari kehadirannya, dan saat netranya menangkap gambar itu, Kankurou hanya mendesah pelan lalu mengambil guling sebagai penopang siku tangannya. "Kau masih memikirkannya? Sudahlah Gaara, cari saja yang lain."
Gaara hanya diam mendengar itu.
"Ya ampun Gaara, aku bahkan mengaku kalau kau lebih tampan dariku. Akan banyak gadis yang suka denganmu, kau tidak perlu terus-terusan mengharapkan dia. Carilah pengganti!"
Jade itu berkedip. "Pengganti? Pengganti apa? Dia bukan siapa-siapa dalam hidupku," jawab Gaara dengan nada miris mengingat dia memang tidak memiliki hubungan apa-apa dengan gadis dalam foto.
"Pengganti posisinya dalam anganmu."
"Sejak kapan kau jadi puitis, Kankurou?"
"Nilai sekolahmu berapa, sih? Itu bukan puitis, aku hanya mengatakan kenyataan." Gaara tidak peduli. "Dengar Gaara, tidak baik jika kau terus mengharapkan seseorang yang tidak bisa kau raih."
Suasan hening setelahnya, Kankurou mengerti apa yang dirasakan adiknya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, melihat Gaara mempercayai dan menuruti orang lain di luar keluarga. Walau sekarang dia sudah punya sahabat, tapi saat gadis itu datang, Gaara hanyalah seorang anak penyendiri yang tidak suka berkomunikasi berlebih.
"Kita sudah pernah membahasnya. Kau cari pengganti, dan jangan cari pengganti dengan fisik yang mirip."
"Mirip?"
"Yah, gadis yang pernah kita temui di mall waktu itu. Kuakui dia punya mata dan fisik yang sama dengan gadismu itu, tapi sifat mereka berbeda. Bukan masalah sifatnya sebenarnya, hanya saja jika kau mencari orang yang mirip, itu tidak akan membuatmu mudah move on. Bahkan bisa saja kau akan melihat gadis itu sebagai gadis pujaanmu."
Kankurou berdiri dan menepuk pelan bahu adiknya itu. "Aku yakin kau akan mendapatkan yang terbaik nanti. Kau adalah orang yang baik, Gaara."
Gaara hanya menatap kosong depannya setelah Kankurou pergi. Pegangannya pada foto itu mengerat saat dia kembali menatap. Terlihat dia dan seorang gadis yang berdiri dan tersenyum manis. Seorang gadis yang bermata lavender dan ... berambut pirang?
.
Flashback
"Kenapa kau di sini sendirian?" Seorang gadis 13 tahun bertanya pelan pada seorang bocah laki-laki yang seumuran. "Apa kau menangis?"
Gaara, sang bocah laki-laki mengangkat kepalanya yang tertunduk lalu menatap cemberut pada gadis itu. Dia mengalihkan tatapannya ke arah kantin di mana banyak teman-teman sekolahnya yang bergerombol di sana.
"Kau lapar?" Sang gadis menyimpulkan ketika suara perut Gaara terdengar, juga tatapan Gaara ke arah kantin. Membuat gadis itu menyodorkan kotak bentonya. "Ini, makan saja bentoku. Aku tidak sengaja memisahkannya karena kakakku membawakannya terlalu banyak."
Gaara menatapnya lagi dengan tatapan datar namun penuh makna. Lalu meraih bento yang diberikan gadis itu karena dia memang sangat lapar. Dia tidak diberi uang jajan oleh kakaknya karena tidak ingin Gaara memakan makanan yang tidak sehat. Dari itu, Temari selalu menyediakan bekal.
Hanya saja, tatapan mengejek teman lelakinya membuatnya jadi malu. Dikatai anak mama karena masih membawa bekal padahal dia seorang laki-laki yang sudah berumur 14 tahun. Setelah itu, dia menolak bekal Temari. Atau dia tidak akan memakan bahkan tidak akan mengeluarkan bekal itu dari tasnya karena tidak ingin teman-temannya tau.
Namun apa boleh buat ketika perutnya lapar, dan bekal yang dia bawa tadi sudah terlanjur dia tinggal tanpa pengetahuan Temari di dapur. Dia juga tidak mengantongi uang. Jadilah dia hanya duduk sendiri di bawah pohon taman belakang sekolah sembari menahan lapar.
Dari itu, Gaara tidak menolak saat gadis itu memberikannya bekal.
"Kalau kau tidak punya uang, kenapa tidak bawa bekal saja?" tanya gadis itu lagi dan membuat Gaara berhenti makan.
Sambil tertunduk dan berucap lirih dia menjawab, "Aku tidak ingin diejek teman-teman lagi."
Gadis itu menghela napas dan mendudukan dirinya yang semula jongkok. "Apa mereka yang mengejekmu memberimu makan saat kau lapar?" Gaara tersentak dan mengangkat wajahnya. "Yang bawa bekal itu kau, yang makan juga kau, yang kenyang atau lapar kau juga. Kenapa harus mendengar kata-kata mereka?"
Saat itu Gaara hanya bisa diam dan terus makan dengan pelan. Makanan yang dia makan sangat enak dan membuatnya mampu menghabiskan isinya.
Setelah hari itu, Gaara membenarkan kata-kata gadis itu. Dia tidak lagi menolak jika Temari memasukkan bekal ke dalam tasnya. Dia bahkan tidak ragu untuk meminta menu bekal yang dia sukai. Temari yang menerima permintaan adik bungsunya itu dengan senang hati mengabulkan.
Gaara tidak lagi menolak apa pun yang jadi bentuk perhatian Temari padanya. Kelaparan dan sendirian yang pernah dia rasakan seolah membuatnya kapok.
Dan pertemuannya dengan gadis itu juga tidak lagi terjadi. Sampai saat festival sekolah ….
"Ayolah, cepat ke sana dan sapa dia. Akan lebih bagus jika kau bisa berfoto juga." Kankurou, yang datang berkunjung ke SMP Gaara, membujuk adiknya untuk menghampiri satu kios buatan kelas 3-C yang menjadi kelas dari gadis yang sering Gaara ceritakan padanya.
"Tapi rasanya aneh jika aku tiba-tiba menyapanya. Dia mungkin sudah lupa padaku."
"Ingatkan lagi, dong."
"Lalu, kenapa dia memakai kostum aneh begitu?"
Kankurou menepuk jidatnya saat Gaara banyak sekali bertanya. "Kelasnya pasti mendapat tema Fauna. Apa salahnya, dia tetap terlihat manis dengan kostum kuda poni itu. Apalagi rambutnya diikat seperti itu, dan warnanya juga pas."
Gaara tidak menjawab apa pun tentang penampilan gadis itu yang disebut Kankurou. Dia hanya menatap, dan tanpa sadar, Kankurou sudah menariknya lebih dekat.
Dia melakukannya. Menyapa bahkan berfoto dengan gadis itu. Walau sesuai dugaannya jika gadis itu tidak ingat padanya.
Flashback off
*NaruHina*
Hinata membasuh tangannya lalu mengeringkannya sebelum keluar dari kamar mandi. Dia mengucek matanya pelan sebelum kembali menguap kecil dan berjalan membuka pintu.
"Kyaa!" Dia berteriak tertahan saat mendapati Naruto berdiri di depan pintu tengah menatapnya sayu dengan mata setengah terbuka. "Na-naruto-kun?"
"Hng?"
"Kau … mau ke kamar mandi?"
Naruto menggeleng pelan lalu menyandarkan kepalanya ke dinding sembari menutup kembali matanya. Membuat Hinata mengernyit dan melirik jam dinding yang masih dapat dia lihat sedikit di tengah gelap. 01.25. Sekarang masih tengah malam, apa mungkin suaminya itu dalam keadaan setengah sadar—lagi? batinnya.
Hinata menghela napas dan membangunkan Naruto pelan. "Naruto-kun, jangan tidur di sini, apalagi sambil berdiri. Kembalilah ke ranjang."
Naruto membuka matanya dan menegakkan tubuhnya.
"Eh?"
Tanpa bicara, dia menarik tangan Hinata menuju ranjang dan segera membawa Hinata ke dalam pelukannya. Membuat Hinata berkedip kaget dengan apa yang terjadi. Perasaan tadi dia masih berdiri di depan pintu, tapi sekarang sudah terbaring dalam pelukan Naruto.
Err … kebiasan setengah sadar Naruto ternyata cukup … mengagetkan?
"Naruto-kun?"
Tidak ada jawaban.
Hampir Hinata mengira Naruto tidur saat Naruto justru memanggil, yang membuatnya bergumam pelan sebagai respon.
"Kenapa tadi sore kau janji nonton bioskop berdua dengan Gaara?"
Hinata terdiam. Naruto tidak membahas dan menanyakan apa pun sebelumnya, lalu kenapa dia bertanya sekarang? "Itu, dia hanya—" ucapannya terhenti saat mendengar suara napas teratur sang suami di tengah sunyinya kamar mereka.
Perlahan dia mendongak dan tersenyum mendapati Naruto sudah tertidur lagi. Sama seperti waktu itu. Ketika setengah sadar, Naruto mengatakan dan menanyakan semua hal dengan santai. Tapi saat pria itu sadar, dia akan menyangkal hal-hal yang mungkin tidak ingin dibahasnya. Jadi, bolehkah Hinata menyimpulkan kalau dia bisa menerima jawaban paling jujur dari Naruto saat suaminya itu setengah sadar?
Hinata terkikik pelan karena memikirkan hal itu. Ah, suaminya yang seperti itu menyenangkan juga.
"Tampankah?"
"Hah?" Hinata tersentak saat Naruto berbicara masih sambil tertidur. Apa Naruto mengigau?
Safir itu terbuka dan menatap istri dalam pelukannya. "Apa wajahku tampan sampai kau lama melihatnya?"
"Uhm." Hinata mengangguk pelan setelah berdiam sebentar. Dia rasa tidak masalah jika dia juga jujur saat keadaan Naruto seperti itu. Dan jantung Hinata hampir copot saat Naruto tersenyum manis lalu mengecup pipinya singkat dan merasa jika pelukan sang suami semakin mengerat.
Blush
Ugh,, dia salah. 'Sepertinya Naruto yang sadar jauh lebih aman,' batinnya.
*NaruHina*
Pagi kembali datang.
Naruto tak pernah menduga akan tersenyum senang ketika bangun pagi dan disambut dengan pemandangan Hinata yang bergelung manja di pelukannya. Sebelumnya dia memang sempat terkejut, tapi dia segera berpikir jika harus mulai membiasakan diri.
Dan dalam sepuluh menit selanjutnya, dia hanya menatap sang istri tanpa ingin membangunkan. Terkadang dia tersenyum melihat istrinya yang merapat ke dirinya seperti anak kucing yang mencari kehangatan. Ekspresi tidur itu begitu polos, walau terkadang sempat berubah seperti seorang anak yang tengah merajuk. Tak jarang membuatnya mencubit gemas pipi gembil itu. Rambut indigo panjang Hinata juga tak luput dari belaiannya. Dia akan mengeratkan pelukannya saat dirasa udara dingin berembus dari sedikit celah di atas jendela.
Ah, Naruto tidak menyesal dengan situasi pagi itu. Sangat jarang dia bisa leluasa dan lama memperhatikan wajah cantik sang istri. Dia mulai berpikir kalau dia memang beruntung mendapatkan istri seperti itu. Dan selanjutnya, mungkin dia akan sering melakukan hal yang sama.
Tak lama, Hinata mulai terbangun. Matanya bergerak dan perlahan terbuka, menampilkan bola mata lavender yang sangat indah. Tatapan mereka bertemu.
"Ohayou, Hinata-chan." Tanpa sadar sapaan itu terucap dengan nada berbisik mesra.
"Hm, Ohayou," balas sang istri, lalu kembali memejamkan matanya.
Naruto yakin, perempuan itu belum bangun sepenuhnya. Dan benar saja dugaannya, saat sang istri membuka mata selanjutnya, tatapan mata melebar yang luculah yang dia dapatkan. Membuatnya terkekeh dan mencubit gemas pipi sang istri.
"Itu sakit. Kenapa kau mencubitku, Naruto-kun?"
"Karena kau sangat lucu dan menggemaskan, Hinata-chan."
Hinata mengembungkan pipinya dengan alis bertaut, tak lupa dengan rona merah tipis di pipinya.
"Kau sudah bangun dari tadi?" ujar Hinata sembari pelan-pelan memberi jarak pada posisi mereka. Hal yang disadari Naruto dengan sangat jelas.
"Hm."
"Kenapa tidak membangunkan aku?"
"Karena kulihat kau sangat suka bergelung dalam pelukanku."
Hinata segera duduk dan menelan ludah jika ingat seberapa nyamannya posisi sebelumnya. Dia melirik saat Naruto ikut duduk di sampingnya. "Ugh, kau … ka-kau yang memelukku, bukan aku."
"Benarkah? Kapan?"
Hinata menoleh dan menatap tak percaya. "Kau tidak ingat? Kau bangun dan menarikku yang baru keluar kamar mandi menuju ranjang dan memelukku dengan sangat erat semalam." Hinata berbicara layaknya anak kecil lengkap dengan gerakan tangannya yang seolah memeluk sesuatu.
Dan sadar dengan tatapan Naruto yang menatapnya terpaku, dia segera mengalihkan tatapannya lagi ke arah lain. Wajahnya memerah saat Naruto justru terkekeh di sampingnya.
"Kau benar-benar lucu."
"Diamlah!" Nada merajuk itu justru malah membuat Naruto semakin tertawa. Kesal dan malu, Hinata segera bangun dari tempat tidur dan berjalan cepat menuju kamar mandi.
Blam
Debaman pintu tak urung menghilangkan suara tawa menyebalkan sang suami.
*NaruHina*
Setelah kurang lebih setengah jam, Hinata keluar kamar mandi dengan jubah mandinya yang panjang selutut. Sambil mengeringkan rambut, dia menatap Naruto yang berdiri di balkon kamar dengan dua cangkir minuman di tangannya.
Satu tangannya terangkat mengisyaratkan jika itu untuk dirinya. Tersenyum tipis, Hinata berjalan mendekat dan segera meraih gelas yang ternyata berisi minuman hangat pagi hari. Dia meniup pelan sebelum meminumnya. Ah, cappuccino hangat di pagi minggu ternyata tidak buruk juga.
Itu pertama kalinya mereka berdiri di balkon kamar dengan berdampingan. Menikmati waktu dengan segelas minuman hangat di pagi hari. Dalam diri mereka masing-masing, hal itu tidak akan mereka lupakan begitu saja.
"Ini hari minggu," Naruto mulai membuka suara, "aku ada janji untuk kumpul dengan teman-temanku seperti biasa. Apa kau mau ikut?"
Hinata menggeleng pelan. "Tidak bisa, hari ini aku juga ada janji untuk berkumpul bersama Sakura, Ino, dan Tenten."
"Di mana?"
"Entahlah, Sakura yang mencari tempatnya. Kami memang pindah-pindah tempat jika berkumpul agar tidak bosan."
Naruto tersenyum karena ingat kalau dia dan para sahabatnya justru menjadikan satu tempat sebagai tempat kumpul mereka di setiap kalinya. Yah, orang-orang memang berbeda. Para pria sepertinya suka jika punya 'markas' spesial. Sedangkan perempuan, mereka lebih suka travelling walau dalam hal sepele sekali pun.
"Ne, Hinata-chan,"
"Ya?"
"Aku masih penasaran dengan apa yang kulakukan semalam."
Hinata terdiam. Ugh, kenapa Naruto harus membahas itu lagi? "Tidak ada. Seperti yang kubilang tadi, kau hanya bangun dan menarikku yang keluar kamar mandi lalu me-meluk-ku."
Naruto mengerutkan keningnya berpikir. Apa memang hanya itu, dia merasa melakukan hal lain tapi dia tidak bisa mengingatnya.
"Tapi kenapa kebiasaan Naruto-kun aneh sekali?"
Naruto terkekeh pelan mendengar perkataan Hinata dengan nada yang seolah kebiasaannya seperti kucing punya kaki lima. Safir itu menatap Hinata lembut sebelum mengacak singkat rambut Hinata yang masih basah.
"Aku juga tidak tahu, tapi dari apa yang kusimpulkan. Jika ada sesuatu yang kupikirkan sebelum tidur maka aku akan terbangun dan langsung bertanya atau membicarakan apa yang kupikirkan sebelumnya."
"Dipikirkan?"
Naruto mengangguk. "Kau ingat saat aku terbangun dan ingin minum susu malam itu?" Hinata mengangguk, "Saat itu, sebelum tidur aku … memikirkan jawabanmu tentang apa yang kukatakan di mobil mogok sore harinya. Aku ingin tahu dan mendengar langsung apa jawabanmu. Tapi karena susu yang terlalu panas, aku jadi bangun sepenuhnya, hingga aku menanyakan itu dengan sadar."
Hinata mulai mengerti, intinya, Naruto akan menanyakan apa pun dan mengatakan semua dengan jujur dalam kondisi itu. Mungkin karena rasa penasaran pria itu yang sampai memikirkan sesuatu sampai terbawa tidur, hingga dia terbangun dan ingin mencari tahu langsung tentang semuanya.
Tunggu, berarti semalam, sebelum tidur Naruto memikirkan … Hinata melirik saat pikirannya menyimpulkan satu hal.
"Nah, karena semalam aku terbangun tanpa sadar lagi, jadi aku pasti mengatakan atau bertanya sesuatu, benar, 'kan? Dan yang ingin kutahu, apa yang kukatakan semalam?"
Hinata menatapnya dengan maksud tersembunyi sambil menahan senyum. "Bukankah seharusnya Naruto-kun sudah tau? Apa yang Naruto-kun tanyakan semalam seharusnya sama dengan yang Naruto-kun pikirkan sebelum tidur."
Naruto terdiam, mengingat apa yang menjadi penasarannya kemarin. Benar! Tidak salah lagi. "Itu … aku penasaran dengan …" Naruto menoleh dan tatapan mereka bertemu, "alasan kau menerima ajakan Gaara untuk nonton berdua."
"Kau cemburu?"
Kalimat itu terlontar begitu saja, bukan hanya mengagetkan Naruto tapi juga berdampak sama bagi Hinata. Topik kecemburuan sudah pasti akan menyangkut tentang perasaan, topik perasaan sudah pasti akan mengakar pada perkembangan hubungan. Dalam hal ini, tentu saja hubungan pernikahan mereka.
Seketika keduanya tidak ada lagi yang berbicara. Sibuk dengan minuman mereka sendiri atau bahkan lebih tertarik memperhatikan daun yang bergoyang tertiup angin pagi.
"Kau," Hinata memberanikan diri untuk kembali bersuara, "sudah menanyakan itu semalam."
Naruto melirik dari sudut matanya, tapi tetap diam.
"Dan aku sudah menjawabnya semalam," ujar Hinata berbohong. Nyatanya, sebelum dia sempat menjawab, Naruto sudah tertidur lagi semalam.
"Benarkah?"
Hinata mengangguk.
"Kau jawab apa?"
Kali itu pandangan mereka bertemu, "Aku sudah menjawabnya semalam."
"Iya, kau jawab apa? Aku tidak ingat."
"Salah siapa yang malah tidur saat aku menjawab."
"Makanya beri tahu aku."
"Aku tidak suka menjawab pertanyaan yang sama dua kali."
"Eeeehhhh, kenapa begitu?" Hinata mengulum senyum melihat tingkah Naruto yang tampak lucu. "Ayolah, Hinata-chan. Semalam aku tidak dengar. Katakan lagi."
"Tidak mau!"
"Pelit!"
"Biarin."
"Huh."
Hinata terkikik saat Naruto mendengkus dan membuang mukanya ke samping. Dia mulai ragu jika menikahi pria berusia 21 tahun.
"Hinata-chan, jawab, ttebayo. Kalau kau tidak jawab—"
"Apa? Naruto-kun mau mengancamku?"
Lagi-lagi Naruto membuang muka. Angin berembus membawa kesejukkan dan ketenangan di pagi yang menyenangkan. Nyonya Uzumaki itu mendongakkan kepalanya dan tersenyum melihat awan dan langit yang cerah. Ah, ini benar-benar menyenangkan.
"Hinata-chan."
"Hm?" Hinata bergumam tanpa menoleh.
Cuph … tap tap tap
Senyum Hinata menghilang saat Naruto dengan cepat mengecup pipinya dan langsung berlari pergi. Dia menunduk menatap gelas yang masih mengepulkan uap.
"Ya ampun, cappuccino ini sangat panas hingga kena wajahku," gumamnya.
Tangannya naik dan mulai mengipas pelan wajahnya yang terasa memanas karena suatu hal.
Nah, Hinata ragu jika Naruto yang sadar lebih aman?
*NaruHina*
"Minato, kenapa kau ubah channelnya? Acaraku belum habis."
"Besok kau bisa menontonnya lagi, Kushina."
"Tidak mau. Kemarikan remotnya, aku mau nonton yang tadi." Kushina meraih remot TV yang ada di tangan Minato, tapi pria berambut kuning itu dengan mudah menjauhkan tangannya. Bahkan sampai Kushina hampir naik ke pangkuannya, pria itu tetap bersikap santai sambil menonton.
"Minato!"
Cuph
Minato memanfaatkan posisi sang istri yang berada di dekatnya untuk mengecup singkat bibir Kushina, membuat wanita itu mengerucutkan bibirnya kesal.
Set
Minato langsung menoleh saat ada yang merebut remotnya dan mengubah channel TV.
"Kyaaa! Menma-chan memang yang terbaik." Kushina berseru senang saat Menma merebut remot itu dan mengganti channel dengan acara kesukaannya.
Minato menatap tajam sang anak saat istrinya langsung bersandar di bahu sang anak yang duduk di sampingnya. "Menma," panggilnya pelan, pemuda berambut hitam itu menoleh, "Jika kau pemuda normal, bukankah seharusnya kau pergi berkencan di hari minggu seperti ini?"
"Dia sedang berkencan dengan ibunya, Minato." Menma menatap sang ayah dengan senyum kemenangan saat Kushina yang menjawab. Semakin membuat pria Namikaze itu kesal.
"Aku tidak punya seseorang yang bisa kuajak berkencan, Ayah."
"Benarkah?"
Menma mengernyit saat nada sang ayah penuh dengan ketidakpercayaan atas jawabannya.
"Bukankah kau sering bertelepon atau ber-sms dengan seorang gadis akhir-akhir ini?"
Menma terdiam. Kushina langsung menegakkan kepalanya dan menatap Menma penuh tanya, selanjutnya dia menatap sang suami yang menatapnya tersenyum. "Benarkah?"
Minato mengangguk.
Kushina kembali menatap Menma, "Benarkah? Siapa? Dengan siapa kau dekat sekarang? Apa Ibu mengenalnya? Siapa namanya? Apa dia cantik? Kapan kau mengenalkannya pada Ibu? Menma-chan."
Minato menahan tawanya saat sang anak yang didemo seribu pertanyaan oleh Kushina menatapnya kesal. Ah, salah siapa yang seenaknya merebut perhatian Kushina? Batin Minato penuh kemenangan.
"Menma-chan, ayo jawab!" rengek Kushina saat Menma hanya diam menatap TV.
"Kau mau tahu, Sayang?" Ibu dan anak itu menoleh menatap kepala keluarga. Sang ibu dengan pandangan penasaran, sang anak dengan pandangan waspada. "Kalau tidak salah, gadis itu mempunyai mata lavender."
"Lavender?" Kushina membeo, selanjutnya mata hazelnya melebar. "Astaga! Jangan bilang kalau gadis itu Hinata?"
Minato menepuk jidatnya, sementara Menma menganga tak percaya. "Ibu, aku tidak akan merebut kakak iparku sendiri."
"Lalu," tanya Kushina selanjutnya, "Jangan bilang kalau Neji?"
"Aku bilang seorang gadis, bukan seorang pria." Kali itu Minato sedikit bicara dengan nada tinggi. Kenapa istrinya tiba-tiba lemot. "Bukankah masih ada satu lagi keluarga Hyuuga yang masih single dan PEREMPUAN..?"
Kushina mengelus dagunya berpikir, "Oh, Hanabi!" serunya semangat.
Menma menghela napas lega. Walaupun rahasianya terbongkar, setidaknya sang ibu tidak menuduhnya macam-macam.
"Jadi kau dekat dengan Hanabi?"
"Kami hanya berteman, Bu."
"Kyaaa! Minato, kita akan berbesan lagi dengan Hikaru dan Hiashi, apalagi Hanabi adalah anak yang ceria dan juga cantik seperti Hinata. Aku benar-benar beruntung." Kushina berseru senang sembari memeluk erat lengan sang suami dan menyandarkan kepalanya dibahu tegap Minato. Membuat pria itu tersenyum lebar dan mengangguk puas.
Menma mendesah. "Ibu, aku bilang kalau kami hanya berteman," gumamnya lirih yang tidak akan dipedulikan lagi oleh Kushina yang sudah terbang tinggi.
"Berisik sekali."
Ketiga pasang mata itu mengarah pada Naruto dan Hinata yang baru datang dengan penampilan rapi, tapi tetap santai.
"Kalian mau ke mana?" tanya Kushina, "Apa kalian mau kencan?"
Hinata menggeleng pelan, dan Naruto yang menjawab, "Kami hanya ingin berkumpul dengan teman yang lain, Bu." Dengan isyarat, dia menyuruh Hinata duduk di sampingnya.
"Seharusnya kalian menghabiskan waktu berdua di saat liburan seperti ini."
"Kami, 'kan sudah bertemu setiap hari."
"Kau selalu saja menjawab." Kushina berkata kesal. "Oh iya, Ibu punya sesuatu untuk kalian. Tunggu di sini ya." Yang lain kecuali Minato hanya mengerutkan alisnya saat Kushina beranjak dan berjalan menuju kamar. Tak lama, wanita itu kembali lalu menyodorkan sesuatu kepada anak sulungnya.
"Amegakure?"
Kushina mengangguk sambil tersenyum dengan pertanyaan heran Naruto. "Berliburlah seminggu dan pergi ke sana. Bukankah kalian belum bulan madu? Jadikan itu bulan madu dan sekalian rayakan ulang tahunmu di sana. Ah, jangan lupa memberi Ibu cucu sebagai oleh-oleh."
Wajah kedua suami-istri itu memerah dan terdiam. Lain sekali dengan Menma dan Minato yang tersenyum penuh makna ke arah mereka.
"I-Ibu, kami ma-masih har-harus kuliah."
"Libur seminggu tidak apa, 'kan?"
"Mak-maksudku—"
"Ah," Kushina memotong perkataan Naruto, "Tentang cucu? Tenang saja, Hina-chan bisa mengambil cuti."
Hinata menunduk dengan wajah semakin merah mendengar itu.
"Bukankah itu hadiah yang luar biasa untuk kita di hari ulang tahunmu?"
"Aku yang ulang tahun, kenapa Ibu yang dapat hadiah juga."
"Apa salahnya? Saat hari di mana kau lahir, hari itu Ibu yang berjuang antara hidup dan mati. Jadi—"
Kushina terdiam saat Naruto langsung memeluknya. "Naruto?"
"Aku tahu. Terima kasih karena sudah melahirkanku."
Kushina langsung tersenyum mendengar itu. Ah, anaknya yang satu ini sangat pintar mengalihkan pembicaraan dan mengubah suasana.
"Iya. Ibu juga senang bisa melahirkanmu dengan selamat. Jadi … kasih Ibu cucu, ya?"
Naruto langsung menarik diri dan menghela napas saat usahanya mengalihkan pembicaraan tidak berhasil. Ibunya tetap membahas hal itu. "Ibu, kami ada di semester enam. Akan repot jika harus mengambil cuti."
"Jadi kau tidak mau membuat Ibumu senang?" Yang lain menghela napas saat Kushina sudah dalam mode merajuk. "Huuuwaaa … Minato-kun, anak kita tidak ingin membuatku senang. Padahal aku sudah memberikan semuanya untuk dia. Bahkan aku berjuang penuh saat melahirkan dia, tapi dia tidak mau mengabulkan keinginanku, padahal aku hanya ingin cucu. Hiks hiks hiks."
"Ssshhh … iya iya." Minato memeluk dan membelai lembut rambut merah panjang istrinya. Ikut dalam permainan sekalian mengambil kesempatan, boleh, 'kan? "Tenanglah, Kushina, nanti kita minta pada Menma saja."
Menma mendelik mendengar perkataan ayahnya. Kenapa dia dibawa-bawa?
"Huwaaaa … aku mau cucu!"
Kushina masih menangis lebay. Membuat Minato semakin memeluknya erat. Sementara Menma dan Naruto hanya menatap geli kedua orangtuanya yang terlalu over acting.
Namun, lain halnya dengan seorang gadis berambut gelap yang juga ada di sana. Dari tadi dia hanya diam, terkejut dan malu mendengar keinginan sang mertua. Dan saat melihat ibu mertuanya menangis, dia merasa bersalah. Menggigit bibirnya, dia menunduk semakin dalam mendengar tangisan Kushina yang memenuhi ruang keluarga itu.
"Baiklah," satu gumaman lirih dari Hinata membuat yang lain terdiam dan menatapnya, "cucu … akan kami coba," uapnya lirih, "Kami janji."
Seketika suasana benar-benar menjadi sunyi. Tiga orang menatapnya tak percaya, sedangkan seseorang di sampingnya membeku di tempat. Tidak ada yang bersuara membuat Hinata semakin menggigit kuat bibirnya dan semakin menundukkan kepalanya dalam.
"Kyaaa!" teriakan Kushina memecah suasana, membuat Minato dan Menma tersentak kaget. "Kau gadis yang sangat baik, Sayang." Dia segera beranjak dan memeluk sang menantu. "Ibu sangat senang mendengarnya. Kau menantu paling baik di dunia."
Minato dan Menma menggeleng melihat hal itu. Sementara Naruto masih terdiam menatap Hinata yang tersenyum senang dalam pelukan sang ibu. Apa maksud istrinya? Apa istrinya itu menganggap serius ulah jahil sang ibu dan terperangkap dengan mudah?
Atau .…
*NaruHina*
Mobil warna hitam dengan garis orange itu berhenti di pinggir jalan yang lumayan sepi. Membuat salah satu penumpang mengerutkan alis bingung. Dia menoleh menatap sang suami yang duduk di sebelahnya. Dari tadi suaminya itu diam, dan sekarang menghentikan mobil di tengah jalan. Ingatannya kembali saat suaminya marah-marah tidak jelas saat mobil mereka mogok waktu itu.
Apa sekarang suaminya akan merah-marah lagi? Kenapa laki-laki suka berubah-ubah tanpa sebab?
"Na—"
"Apa maksudmu?" Hinata langsung terdiam saat Naruto memotong perkataannya. Saat safir biru itu menatapnya dengan intens, Hinata bisa merasakan jantungnya mulai berdetak cepat. "Apa maksudmu berkata seperti tadi?"
"Ber-kata … apa?" tanyanya ragu.
"Tentang kau yang ingin … mencoba memberi ibu cucu."
Hinata mengerti sekarang. Dia menunduk dan pandangannya sendu. "Aku hanya tidak tega melihat ibu menangis seperti tadi."
Naruto menghela napas dan merilekskan tubuhnya yang tegang sejak mendengar jawaban sang istri. Jadi benar jika istrinya itu tertipu ibunya? Semudah itu?
"Aku tidak mau ibu sedih, makanya aku berjanji begitu."
Naruto memejamkan matanya menahan diri. Jika saja yang tertipu ulah konyol ibunya adalah sahabatnya seperti Kiba atau yang lain, atau juga Menma atau ayahnya, maka dia akan menertawakan mereka, tapi sekarang yang tertipu adalah istrinya, dan efek yang tercipta adalah sebuah janji yang … Hah, Naruto hanya bisa mengembus napas kasar.
"Hinata," dia berucap pelan, "Apa kau belum terbiasa dengan sifat jahil ibu?" Hinata menatapnya dengan bingung. "Dia tadi tidak benar-benar menangis, dia hanya pura-pura dan bercanda agar keinginannya terkabul."
Hinata berkedip. "Jadi ibu hanya bercanda?"
Naruto hampir menepuk jidatnya saat sadar betapa lemotnya sang istri. Apa benar perempuan itu 20 tahun? batinnya miris. Dia hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan Hinata.
Sang istri terdiam dan menatap ke depan. "Jika ibu hanya bercanda, berarti janjinya dibatalkan saja."
"APA?"
Hinata tersentak kaget saat Naruto berteriak. Dia bisa jantungan jika sering begitu.
"Kau mau membatalkan janji? Maksudnya kau tidak ingin memberi ibu cucu?"
"Bukankah Naruto-kun yang bilang kalau ibu hanya bercanda? Berarti janji yang kubuat hanya karena aku tertipu, tidak masalah 'kan jika aku batalkan?"
Entah kenapa Naruto merasa hatinya tercubit. Apa Hinata hanya akan punya anak dengannya agar sang ibu senang? Kalau Kushina tidak meminta, apa Hinata tidak mau punya anak dengannya?
Naruto terdiam dengan pikirannya sendiri. Sejujurnya, dia hampir jantungan saat janji itu terlontar dari mulut sang istri. Perasaan ragu, bingung, senang, atau yang lainnya bercampur hingga membuatnya tidak bisa berkata apa-apa. Dan kecewa mencubit hatinya saat tahu jika sang istri hanya melakukan itu demi ibunya. Bukan demi pernikahan mereka.
Ah, apa yang dia harapkan? Hubungannya dengan Hinata saja hanya sebatas pacaran meski mereka sudah menikah. Dia bahkan tidak mengerti dengan perasaannya sendiri, apalagi untuk mengerti perasaan Hinata.
"Naruto-kun?"
Pria itu menoleh dan menatap Hinata dengan tatapan yang tak terbaca. "Jangan batalkan. Kau bisa membuat ibu benar-benar sedih jika kau melakukan itu."
Hinata mengangguk pelan, lalu Naruto kembali menjalankan mobilnya.
"Kalau Naruto-kun?"
"Hm, apa?"
"Apa Naruto-kun mau kita … punya anak?"
Ckiiittt
Untuk kedua kalinya Hinata terlonjak ke depan karena mobil yang direm tiba-tiba. Dia menoleh kepada suaminya yang menatapnya dengan mata melebar. "Kenapa? Apa ada kecoa yang lewat lagi?" tanyanya.
Naruto langsung menggeleng pelan begitu sadar dari keterkejutannya.
Dia kembali menginjak gas dan menelan ludah mengingat pertanyaan Hinata. Benar! Dia berpikir apa Hinata akan mau punya anak dengannya jika sang ibu tidak meminta. Lalu bagaimana dengan dia sendiri? Apa rasa kecewanya tadi karena dia sebenarnya ingin punya anak sungguhan dari sang istri?
"Aku," ucapnya pelan dengan pandangan masih fokus ke depan, "aku sudah bilang hanya ingin menikah sekali dalam seumur hidupku. Jadi, tentu saja aku ingin pernikahan ini terus bertahan sampai aku mati nanti. Dan tidak mungkin jika aku tidak ingin ada penerus."
"Jadi?" tanya Hinata dengan polos. Dia ingin mendengar jawaban yang singkat dan jelas, bukan jawaban yang belibet dan harus dipahami lebih dulu.
"Ck," Naruto berdecak karena kelemotan Hinata terasa semakin jadi hari ini, "Iya, aku mau punya anak denganmu." Suaranya memelan di ujung, "Mungkin nanti."
Dan sekarang, di saat otaknya memahami apa yang dijawab oleh suaminya, Hinata jadi sedikit menyesal sudah bertanya. Wajahnya kembali terasa panas dan dia tidak bisa berkata apa-apa selain hanya bisa menahan senyum di bibirnya.
*NaruHina*
"Iya, aku sudah dapat tempatnya. Di café jalan Hokage, café Tobirama. Aku sudah di sini." Sakura berjalan sambil menelepon dengan santainya. Dia berjalan menuju satu meja dan mendudukkan dirinya di sana tanpa melihat apakah kursi bentuk sofa panjang itu sudah ada yang menempati atau belum. "Iya iya, aku akan pesan makanannya duluan."
"…."
"Hei Pig, jangan meminta yang susah, dong," ujarnya dengan nada naik.
"Berisik."
Sakura terdiam saat seseorang mendesis di sebelahnya, dia perlahan menoleh dan sedikit tersentak melihat pria ayam di sampingnya.
"…." Suara di seberang telepon masih terdengar.
Saat ingatan tentang pria di sebelahnya itu melintas, dia jadi ingin balas dendam karena waktu itu dia sudah merasa sedikit dipermalukan dan di buat kesal oleh pria itu.
Dia tersenyum penuh arti saat Ino di seberang telepon terus memanggilnya. "Iyaaaaa aku dengar, jangan berisik, dong. Akan ada orang yang terganggu jika kau berisik!" ucapnya dengan nada yang mampu menarik perhatian beberapa orang di café itu.
Jangan tanya kenapa? Karena saat dia mendengar denguskan kasar dari pria di sebelahnnya, itu sudah membuatnya tersenyum senang. "Iya, aku tunggu ya, dasar Ino cere—Astaga!" Dia terlonjak mundur saat ingin mengintip ekspresi kesal orang di sebelahnya, tapi malah di kagetkan dengan tatapan tajam orang itu dengan mata yang mendelik mengerikan.
Menelan ludah, dia menurunkan ponselnya yang sudah mati dan mengangkat tangannya membentuk angka dua. "Peace!" ujarnya sambil nyengir.
Dia baru sadar jika mata hitam milik Uchiha bisa semengerikan itu.
Sang bungsu Uchiha itu kembali menatap ke depan dengan raut datar.
Membuatnya menoleh ke arah lain untuk mencari meja lainnya. Sayangnya, tak ada meja lain yang kosong. Dia juga sudah memberitahu yang lain sehingga tidak bisa ganti café.
Ya ampun, tidak akan lucu jika acara kumpulnya dengan yang lain harus mengikutsertakan si Uchiha itu, 'kan? Hah, dia menghela napas dan berpindah tempat duduk ke sofa di depannya. Tempat duduk itu membentuk tempat melingkar dengan sofa yang juga melingkar. Ada dinding di belakang sofa hingga membuat tempatnya sedikit tertutup dari yang lain.
Ukuran sofa dan meja juga muat untuk rombongan yang ingin kumpul bersama. Suasana menyenangkan dan santai menjadi salah satu indokator Sakura untuk memilih café itu. Lalu, sekarang dia harus apa jika sang Uchiha itu mengusirnya?
20 menit ke depan, dia hanya bisa diam tanpa ingin bersuara. Tidak ingin membangkitkan si Serigala yang terlihat sedang bad mood jika disimpulkan dari ekspresinya.
Dan lengkap sudah kesialannya saat rombongan sang Uchiha itu datang. Mungkin dia benar-benar akan diusir sebelum teman-temannya sampai.
"Yo, Sasuke, apa kau sudah lam—eh?" Kiba terdiam saat menangkap Sakura dalam netranya. "Bukankah kau anak sastra yang waktu itu? Ehm, …."
"Aku Sakura," jawab gadis itu lesu. Dia sepertinya lebih baik pergi lebih dulu dari pada diusir.
"Benar! Sakura. Kenapa kau ada di sini? Atau—ah aku tahu. Apa kau pacarnya Sasuke? Waah, Sasuke, sejak kapan pertemuan kita jadi membawa pasangan?"
Gaara, Naruto dan Shikamaru hanya diam dan duduk. Mengabaikan tatapan menusuk dari Sasuke untuk Kiba yang sekarang terlihat mengkerut. Memilih aman, Kiba juga memilih duduk dibalik Shika untuk bersembunyi.
"Bukankah kau teman Hinata-chan?"
Sakura mengangguk atas pertanyaan Naruto.
"Kalau tidak salah kalian ada acara kumpul 'kan hari ini? Kenapa kau di sini?"
"Hei, Forhead!" teriakan Ino membuat semuanya menoleh.
Tiga gadis lain berjalan pelan menuju ke arah mereka dengan wajah riang. Walau yang satunya tampak terkejut karena kehadiran seseorang di sana. Begitu pun Naruto yang melihatnya.
"Maaf kami lama. Tapi … kenapa kita gabung dengan mereka?"
"Nah," pertanyaan Ino membuat Kiba berteriak senang, "itu ide yang bagus. Kita gabung saja bersembilan. Akan lebih seru, 'kan?" Pria berambut coklat itu menatap satu persatu sahabatnya meminta persetujuan. Dan tidak ada tatapan tajam atau pun protes menjadi satu sinyal positif baginya. "Baiklah, para ladies! Silakan duduk, sofa di sini masih luas."
"Terima kasih," ujar Tenten mewakili semuanya.
Sasuke tetap duduk di tempatnya. Di seberangnya duduk Ino, di samping Ino ada Sakura, Hinata lalu Tenten. Sementara di samping Sasuke ada Gaara, Naruto, Shika, dan Kiba.
Duduk berhadapan di antara teman-teman mereka membuat dua suami-istri itu hanya bisa mencuri-curi pandang tanpa sapaan. Satu pertanyaan mulai menggelitik di pikiran mereka.
Hubungan yang tidak bermaksud di sembunyikan, sekarang malah ragu untuk dibongkar.
Pertanyaannya, sampai kapan?
.
To be continued
.
Hai hai, Rameen kembali. bukan untuk di makan, ya =D
Chapter 8 rilis dengan janji yang wah dari seorang mantu untuk mertuanya. Ada juga hubungan couple lain yang mulai berputik, eh. Dan yang utama hubungan NaruHina yang semakin dekt. Kita do'akan saja semoga janji Hinata kepada Kushina cepat terkabulkan :)
Big thanks untuk yang sudah mampir, membaca, fav, follow, dan komen. Senang rasanya kalau cerita yang dibuat ternyata ditunggu.
Q : Dari manganya emang udah beragam kan sifat-sifat karakternya. Di sini aku cuma buatnya makin gila, kok :D
Olaf : Sebenarnya Hinata nggak sepolos itu, kok. Dia cuma jarang berpikir negatif dan juga cukup jahil. Tentang Gaara, apakah sudah ada tanda cahaya di chaoter ini? :D
uzunami28 : Nah, udah lebih panjang :D semoga nggak bosen karena kepanjangan.
Semoga suka dengan chapter ini, ya. Sampai jumpa di chapter selanjutnya.
Sekian.
Salam, Rameen.
22 Februari 2022
