"Wah, jarang-jarang 'kan kita kumpul dengan para gadis cantik. Iya, 'kan?"
".…"
".…"
".…"
"Hoaaaahhhmm."
Kiba seakan ingin membanting gelas melihat respon dari keempat temannya. Apa-apaan itu? "Oi oi, apa kalian tidak senang jika ada perempuan cantik? Di mana semangat masa muda kalian?"
"Kau jadi mirip Lee."
"Terserahlah!" Kiba mengabaikan ejekan Shika dan beralih pada empat gadis cantik di depannya. "Maaf ya atas kelakuan mereka, mereka memang tidak suka perempuan."
"…."
Kiba merinding merasakan aura membunuh di sekitarnya. Berbeda dengan para gadis di depannya yang terkekeh geli.
"Jadi, siapa yang kau maksud tidak suka perempuan?" Tenten seolah menyiram bensin pada api.
"Eng…" Kiba melirik dan menelan ludah. Oke, setidaknya dia akan membuat suasana lebih hidup walau harus dia yang mati muda. "Sasuke!" Tunjuknya dengan gemetar saat pelototan Sasuke semakin mengarah tajam.
"Jika aku tidak suka perempuan, maka kau orang yang kubunuh lebih dulu."
Tidak nyambung! Kiba merasa tercekik.
Pria berambut coklat itu kembali melirik, mencari mangsa. "Shikamaru." Tunjuknya dengan sedikit santai karena tahu jika temannya yang itu tidak terlalu suka marah.
"Hoaaahhhmm," Shikamaru menguap santai, "Jika aku ternyata gay, maka kau yang akan jadi uke-ku."
"Tidak sudi!" Kiba langsung menggeser tempat duduk. Yah, setidaknya kekehan para cewek itu lumayan walau dia yang harus jadi korban.
"Oke, eng … Naruto. Ya … dia tidak suka perempuan. Dia lebih suka dengan bandul kalung," ucap Kiba lantang, hampir membuat Naruto tersedak.
"Sial—"
"Loh, bukankah Naruto sudah menikah?" Pertanyaan Ino yang memotong umpatan kesal Naruto membuat yang lain melirik sahabat kuning mereka.
Naruto dan Hinata terdiam, sementara Shikamaru berdecak kesal.
"Menikah pun, dia akan jadi seorang suami dari seorang perempuan. Memangnya kau mau jadi uke Naruto?" sela Shika cepat.
"Apa, sih Shika, kenapa dari tadi kau menyebutku uke terus? Apa kau tertarik padaku?"
"Mungkin," jawab Shika acuh tak acuh. Pria Nara itu tidak terlalu peduli, dia bahkan tidak mengerti kenapa dia harus repot membantu teman pirangnya itu. Yah, sebut saja refleks dari Si Jenius yang setia kawan.
Mereka semua tertawa lagi. Tanpa mengindahkan tatapan penasaran seorang Uchiha Sasuke.
"Lalu? Sepertinya semua sahabatmu normal. Jangan-jangan kau sendiri yang tidak normal." Kini Ino yang ikut dalam pembicaraan.
"Hei, kalau aku tidak suka perempuan, tidak mungkin aku senang kalian ada di sini."
"Makanya kalau bicara jangan asal." Gaara membuka suara sambil melirik Kiba. "Padahal kau sendiri yang tidak pernah punya pacar."
Kiba mendengkus kesal. "Berisik, Gaara. Bukankah kau sendiri juga tidak pernah pacaran?"
"Tidak mungkin," Sakura menyela, "Gaara 'kan sedang pacaran dengan Hinata sekarang."
Bbrruuuuussss
Air minum Naruto menyembur mendengar itu. Dia mendelik ke arah Sakura yang menyebarkan gossip paling menyebalkan menurutnya.
"Benarkah Gaara pacaran dengan Hinata-chan?" teriak Kiba dengan tidak elitnya. "Bukankah Hinata-chan sudah menikah?"
"Hah?" Tenten ber-hah mendengar tuturan Kiba. "Menikah? Kabar dari mana? Hinata-chan itu sedang pacaran dan pacarnya ya si Sabaku itu."
Hinata menggigit bibirnya saat merasa delikan Naruto semakin tajam.
"Sudahlah, Hinata, jujur saja. Kami melihatmu dijemput Gaara kemarin," ujar Ino semangat dengan kesimpulan yang dia, Sakura, dan Tenten dapatkan saat melihat Hinata berjalan bersama Gaara, Sabtu kemarin.
"Ti-tidak," Hinata membuka suaranya, berhasil mengambil eksistensi Naruto sepenuhnya. Dan seseorang yang menyadari ekspresi tegang Naruto, tersenyum tipis di balik wajah datarnya. "Itu … kalian sa-salah."
"Salah?" Sakura mengernyit penasaran.
"Ke-kemarin, aku dan Ga-gaara-kun,"—Naruto mengernyit mendengar panggilan itu—"… kami hanya kebetulan bertemu. La-lagipula kami hanya berjalan bersama menuju taman kampus sambil ngobrol biasa."
"Heee benarkah?" Ino bertanya histeris. "Hah, padahal aku pikir akhirnya kau bisa mendapatkan pacar yang keren, Hinata-chan."
Tidak memedulikan omongan Ino, Naruto sedikit bernapas lega.
"Lalu siapa pacar yang kau ceritakan waktu itu?" tanya Ino.
Naruto kembali tegang.
"Itu," Hinata melirik teman-temannya singkat sebelum kembali menunduk, "pa-pacarku … dia .…"
"Ya ampun, cepatlah, Hinata. Siapa namanya?" Tenten tidak sabar.
Ugh, Hinata ingin menangis karena diintrogasi sebegitunya. "Pa-pacarku itu .…"
Tenten menatap penasaran, Sakura menatap kepo, Ino menatap harap.
"Naruto-kun!"
.
Ganti Status Kilat by Rameen
Naruto by Masasi Kishimoto
Uzumaki Naruto x Hyuuga Hinata
.
"Naruto-kun!"
Sembilan pasang mata itu melirik ke arah asal suara yang memanggil nama Naruto dengan nada manja. Dari arah pintu masuk café, terlihat seorang gadis dengan rambut pirang panjang yang melambai ke arah mereka, atau tepatnya, satu orang dalam rombongan mereka.
Hah, helaan napas dari lima pria yang ada di sana terdengar berjamaah.
"Naruto-kun." Gadis berambut pirang itu berlari kecil dan langsung menyisipkan diri di antara Naruto dan Gaara. Tak tanggung, tangannya langsung melilit di lengan kanan Naruto. "Ya ampun, aku tidak menyangka kita bertemu di sini. Pasti jodoh. Iya kan?"
"Huh." Ino, Sakura, dan Tenten mendengkus mendengar kalimat aneh itu. Bertemu darimana? Jelas jika gadis itulah yang menghampiri Naruto.
"Hei, kenapa kalian semua diam. Tidak masalah 'kan jika aku ikut bergabung?"
"Masalah tentu saja. Masalah yang sangat besar," sindir Sasuke yang dari tadi terlihat bad mood.
Mengabaikan Sasuke, gadis itu menatap Naruto dengan pandangan manja. Membuat seorang gadis di sana memandang dengan dahi berkerut kesal. Apalagi pada jalinan tangan mereka yang melilit merambat bak tanaman anggur.
"Ne, Naruto-kun, kau sudah makan?"
"Kami di sini sedang makan, Shion."
"Apa sih, Nara. Jangan ikut campur, ya." Shion semakin mengeratkan pelukannya di lengan Naruto. Membuat pria pirang itu menghela napas dan mengernyit tidak suka melihat tatapan kesal sang istri.
'Jangan menatapku seperti itu, Hinata-chan,' batin Naruto.
Tatapan tidak suka dan juga kesal yang ditangkap Naruto dari tatapan Hinata membuatnya ingin segera pindah tempat duduk, walau tidak mungkin. Entah kenapa, Naruto seolah melihat Hinata sedang cemburu. Dia tidak peduli jika itu hanya perasaannya saja, tapi dia tidak ingin melihat sorot mata itu dari lavender Hinata.
"Lepas, Shion," ucap Naruto datar.
"Tidak mau. Aku akan menyuapimu jika kau sulit makan."
"Lepaskan, Shion." Nada Naruto mulai naik, mengundang lirikan Shika dan Gaara.
"Ti-dak ma-u!" jawab Shion yang semakin mengencangkan pelukannya.
"Lepas!" Ucapan Naruto kali itu dengan nada dingin penuh ancaman. Cukup membuat Shion sedikit takut tapi tetap tidak ingin melepas pelukannya di lengan Naruto. "Lepas, kataku!" bentak Naruto sembari menghentakkan tangannya.
Shion berjengit dan mundur, menatap Naruto tidak percaya. Tak hanya Shion, aura dingin dari Naruto yang biasanya ceria benar-benar sanggup mengambil eksistensi penuh dari yang lain. Termasuk Hinata yang menatapnya tak percaya tapi juga penuh dengan kekhawatiran.
"Na-naru-to-kun?" ucap Shion terbata dengan tatapan nanar.
Naruto memejamkan matanya dan menarik napas singkat sebelum dia berdiri. "Aku ke toilet dulu." Dia berujar datar lalu berlalu ke toilet yang ada di bagian belakang café.
Meninggalkan teman-temannya yang terlihat mulai kembali fokus pada makanan mereka. Tidak ada yang mau bersuara lebih dulu.
"Na-naruto-kun, dia … dia membentakku?" Terlihat Shion masih sulit menerima kenyataan. Pasalnya, selama ini Naruto tidak pernah membentaknya sampai seperti itu. Paling juga Naruto hanya akan berusaha menjauh tanpa kata-kata kasar apalagi bentakan. Jadi wajar jika gadis itu tampak shock. "Tidak mungkin."
Shion menatap yang lain dengan pandangan bingun. "Tidak mungkin, 'kan? Naruto-kun pasti sedang kesurupan."
Oh ya ampun, Kiba ingin menepuk jidatnya kuat-kuat. Kesurupan katanya? Jangan melawak!
"Dia normal sampai kau datang," ujar Gaara singkat.
Dddrrrtt
Hinata tersentak dengan getaran ponselnya. Dia cukup kaget mendapati nama Naruto ada di layarnya. "Maaf, aku mau angkat telepon," lirihnya pelan, tapi masih bisa didengar. Begitu yang lain mengangguk, dia segera berdiri dan berjalan menepi.
"Hallo?"
"Ke belakang dekat toilet. Sekarang!"
"Hah?" tut tut tut … sambungan terputus menyisakan Hinata yang bengong. Dia melirik teman-temannya yang masih sibuk menggeleng kepala karena racauan Shion. Dengan perlahan dia berjalan menuju ke toilet, tampat yang suaminya katakan.
Hinata berjalan sambil melihat ke sekeliling. Mencari sosok sang suami yang dia yakini berada di luar toilet. Dan saat dia melihat Naruto yang bersandar di sisi dinding agak jauh dari toilet, dia segera mendekat.
"Naruto-kun?" Safir itu melirik dan secepat kilat membawa Hinata ke pelukannya. "Na-naru—"
"Jangan!" Hinata terdiam, tidak jadi protes ataupun memberontak. "Jangan menunjukkan tatapan seperti tadi lagi, Hinata."
"Tatapan?"
"Tatapanmu saat melihat Shion menempel padaku. Jangan tunjukkan tatapan itu lagi. Aku tidak suka!" Naruto mengeratkan pelukannya tanpa peduli beberapa orang yang lewat di sana. Dia juga tidak mengerti, tapi melihat Hinata menatapnya seperti tadi seolah membuatnya merasa bersalah. Seolah dia selingkuh di depan istrinya sendiri. Dia tidak suka dan tidak ingin melihatnya lagi.
Hinata menggigit bibirnya saat mengerti dengan perkataan Naruto. Dia tidak sadar dengan tatapan yang dia keluarkan. Namun sejujurnya, dia tidak suka saat ada gadis lain yang seenaknya menggandeng ataupun menempeli Naruto di depan matanya. Hinata merasa ingin menarik Naruto menjauh dari gadis manapun yang berusaha mendekati suaminya.
"Baiklah." Jika itu membuat Naruto tidak nyaman, mungkin lain kali dia akan berbicara langsung saja jika ada yang tidak disukai. Mereka sudah memutuskan untuk memulai hubungan, sudah seharusnya mereka saling terbuka dengan apa pun masalah mereka. "Aku tidak akan menunjukkannya lagi. Aku mungkin akan langsung berteriak di depanmu jika tidak suka dengan sesuatu."
Dirasanya Naruto yang mengangguk di bahunya.
"Iya, kau teriak saja, marah saja jika ada yang tidak kau suka. Jangan hanya diam dengan tatapan seperti tadi."
Hinata menghela napas yang terasa ringan, dia tersenyum sembari memegang sedikit baju kemeja Naruto. "Sudah, 'kan? Lepaskan, Naruto-kun. Orang-orang melihat."
"Sebentar lagi saja, Hinata-chan." Naruto mengeratkan pelukannya dan menyembunyikan wajahnya di leher Hinata. Membuat gadis itu merona dengan jantung yang berdebar kencang.
Hubungan mereka terasa unik. Mereka kadang merasa jika hubungan itu terasa ganjil, kadang juga merasa hubungan itu bagai kebahagiaan, tapi di sisi lain, mereka merasa memiliki beban baru atas apa yang tidak sengaja mereka sembunyikan. Mereka belum siap jika mengatakannya, tapi juga tidak ingin jika ada orang lain yang merangsek masuk.
Ah, keduanya baru pertama kali menjalin hubungan. Dan itu terasa begitu rumit walau sebenarnya sangat sederhana.
Naruto melepas pelukannya setelah beberapa menit, tersenyum melihat wajah Hinata yang merona dan segera menundukkan kepala. Mengusap singkat rambut indigo itu, Naruto berucap, "Kau kembalilah duluan, aku masih ingin ke toilet. Kecuali jika kau mau ikut."
Dia terkekeh saat Hinata semakin merona dan memukul lengannya pelan tanda malu. "Aku duluan saja," ucap Hinata dengan nada merajuk lalu berjalan menjauh.
"Hah, aku akan memperkenalkanmu sebagai istriku secepatnya, tunggu saja, Hime." Pria itu melangkah memasuki toilet. Tidak butuh sampai masuk ke biliknya, dia hanya mencuci wajah di wastafel dan mengeringkannya. Selanjutnya dia sudah berjalan keluar lagi. "Aku akan bertukar tempat duduk dengan Kiba," gumamnya.
Namun, rencana pertukaran tempat duduk itu sepertinya tidak perlu bagi Naruto, karena dia sudah tidak melihat Shion lagi di sana. Yang lain menatapnya sekilas saat dia duduk di kursinya.
"Dia sudah pergi jika kau menanyakan Shion," ujar Kiba cepat. Yang hanya di tanggapi lirikan tidak peduli dari Naruto.
*NaruHina*
"Huuuwaaa, Naruto-kun membentakku … hiks hiks."
Beberapa pengunjung taman tampak menatap geli Shion yang menangis berteriak di taman.
"Sudahlah, Shion. Sudah kubilang pacaran saja denganku."
"Tapi kau bukan Naruto-kun. Rambut Naruto-kun kuning, bukan merah. Huuwaaa."
Sasori hanya bisa diam saat gadis di sampingnya terus menangis. Tadi dia hanya kebetulan lewat di depan café bersama temannya, tiba-tiba saja Shion memanggilnya dan langsung berlari keluar. Menangis dan mengadu tentang Naruto, membuat Sasori terpaksa membawanya ke taman. Tempat umum untuk segala ekspresi.
"Rambutku kuning, un."
Sasori mendengkus dan melirik kesal kehadiran Deidara di sana. Yah, dia memang sedang berjalan berdua dengan Deidara dan sedang membicarakan tentang seni saat tadi Shion memanggilnya. Dia menyuruh Deidara membeli minuman, tapi makhluk itu kenapa harus cepat kembali?
"Wajah Naruto-kun tampan, bukan manis kayak perempuan. Huuuwaaa." Dia menangis lagi, mengambil minuman yang ditawarkan Deidara dan kembali menangis.
"Dia tidak suka padamu, Shion."
"Dan aku tidak suka kalian. Hiks hiks hiks."
"Tapi aku menyukaimu, un."
"Huuuwaaa."
Sasori dan Deidara mengelus dada mendengar teriakan itu lagi dan lagi. Dan dua menit selanjutnya, tangisan itu berhenti seketika. Membuat dua pria itu mengernyit dan menoleh. "Naruto-kun mengejarku."
"Hah?"
"Itu, dia menyusulku ke sini, dia pasti mau minta maaf." Shion segera berdiri dan berlari menghampiri seseorang. "Naruto-kun," sapanya riang saat berhasil menarik tangan orang itu, "Kau menyusul ke sini untuk minta maaf, 'kan?"
"Maaf?" Orang itu bertanya bingung.
"Tidak perlu pura-pura. Rambut dan matamu hitam, ah aku tahu, kau mengecat rambutmu dan memakai kontak lensa, 'kan? Tidak perlu menyamar untuk mengikutiku, kau ingin minta maaf, 'kan?"
Orang itu mengernyit semakin dalam. Dia menggeleng pelan saat mengira jika Shion mungkin tidak waras.
"Shion-chan, dia bukan Naruto, un."
Ah, orang itu tahu kenapa gadis itu terlihat seperti orang gila yang melibatkannya. Ternyata kakaknya terlibat. "Maaf, aku sibuk!" ucapnya dan langsung melangkah pergi. Meninggalkan Shion yang lagi-lagi menangis di samping Sasori dan Deidara.
.
Orang itu berjalan sambil tidak habis pikir kenapa kakaknya bisa mengenal gadis aneh seperti tadi. Atau mungkin kakaknya adalah pria brengsek yang membuat para gadis patah hati? Tapi dia mungkin lebih banyak membuat gadis patah hati.
"Menma?"
Orang itu berhenti melangkah dan menoleh saat mendengar suara yang dia sering dengar akhir-akhir ini. Melihat seorang gadis yang menghampirinya dengan tersenyum manis, walau sebenarnya Menma lebih suka dengan ekspresi lain gadis itu daripada harus terus selalu tersenyum dibuat-buat.
"Hanabi," sapanya.
Hanabi tersenyum lebar dan berhenti di depannya. "Kau di sini?"
"Ya."
"Sedang apa?"
"Jalan-jalan."
"Sendiri?"
"Sekarang berdua denganmu."
Hanabi tersenyum semakin manis. "Aku juga sendirian."
"Oh."
"Bagaimana kalau kita berjalan bersama?"
"Ok."
Senyum Hanabi terasa masam saat semua pertanyaannya dijawab singkat dan dingin. Sudah beberapa hari ini mereka sering berkomunikasi lewat telpon, mengirim pesan, atau juga bertemu setelah sekolah–tepatnya Hanabi yang menghampiri Menma setelah pulang sekolah. Dia hanya bersabar dengan sikap dingin pemuda itu.
Oh ayolah, siapa yang tidak mengenal Hanabi? Dia itu bukan tipe penyabar yang selalu bersikap anggun. Tak jarang barang-barang di sekitarnya akan melayang jika dia sedang marah, tapi untuk kali ini, dia harus bersabar ekstra.
"Uhm, kau sudah makan siang?"
"Sudah."
"Ini sudah mulai sore, apa kau ingin mencari cemilan?"
"Hn."
Hanabi menarik napas dalam dan mengembusnya perlahan. "Kalau beg—hei!" teriaknya saat Menma sudah berjalan meninggalkannya. Cukup! Dia tidak tahan lagi dengan rencana 'harus bersikap manis' di depan pemuda itu.
Bruak
"Akh." Menma meringis pelan dan melirik ke bawah, melihat sebelah sepatu kain yang dia yakin adalah benda yang mendarat di kepalanya. Matanya melirik ke arah Hanabi yang menatapnya kesal.
"Aku sudah terlalu sabar dengan sikapmu itu. Aku tidak mau lagi," ucap Hanabi dengan setengah berteriak.
Menma tersenyum dan meraih sepatu itu, lalu berjalan mendekat dan berdiri di hadapan bungsu Hyuuga. "Baguslah jika kau tidak tahan lagi dengan senyuman palsu itu."
Hanabi tersentak dan emosinya turun seketika.
"Aku melihatmu bertengkar dengan kakak lelakimu, berdebat dengan kakak perempuanmu, dimarahi ibu dan ayahmu. Semua ekspresimu yang keluar saat-saat itu menjadi sesuatu yang lebih baik daripada senyum anggun yang selalu kau paksakan."
Hanabi mematung. Itu adalah kalimat terpanjang dari Menma kepadanya. Wajahnya memerah setelah mencerna perkataan sang bungsu Uzumaki. Dan saat pemuda itu berlutut memasangkan sepatunya, Hanabi ingin pingsan di tempat.
Apalagi jika Menma sedang tersenyum padanya. Dia sangat tampan! Innernya berteriak.
"Ayo. Kutraktir Dango." Menma berjalan lebih dulu dengan senyum ajakan di wajahnya.
"Tapi aku mau Takoyaki," protes Hanabi masih dengan setengah linglung.
Menma tersenyum dan mengangguk walau tanpa menoleh. Dengan cepat Hanabi menyusulnya dari belakang. Kali ini dengan senyum lebar yang biasanya, bukan senyum anggun yang dipaksakan.
*NaruHina*
"Hinata-chan!"
Yang lain mengerutkan kening begitu panggilan itu terdengar. Mereka baru saja keluar café dan berniat meneruskan rencana masing-masing, tapi baru saja beberapa langkah mereka keluar, sang Uzumaki sudah kembali bersuara.
"Ya?"
"Kau pulang denganku saja."
Hinata tersentak, begitu pun dengan yang lain. Kenapa tiba-tiba? batin mereka.
"Oi, Naruto. Apa kau mau mengajaknya kumpul di rumahku?" Kiba yang menjadi tuan rumah untuk tujuan mereka selanjutnya angkat bicara. Yah, walau hanya satu perempuan yang sudah menikah, cukup, 'kan untuk memeriahkan suasana?
"Maaf, Kiba, aku tidak ikut kalian. Aku mau langsung pulang," jawab Naruto dengan mata yang hanya melirik sekilas ke temannya itu.
"Lalu kenapa kau mengajak Hinata-chan?" Kali ini Inolah yang bersuara.
Mereka memang berniat pulang ke rumah masing-masing, tapi tidak salah jika memastikan ke mana tujuan salah satu di antara mereka. Apalagi jika perginya dengan seorang pria yang … tidak terlalu mereka kenal secara akrab.
"Uhm … ibuku ingin bertemu dengan Hinata-chan, katanya ada yang mau dibicarakan."
Tenten, Ino, dan Sakura hanya mengangguk sambil ber-oh ria. "Kalau begitu," Tenten berjalan mendekat dengan tersenyum manis, membuat Hinata mengernyit bingung. "Bukankah kau memesan makanan itu untuk keluargamu?" ujar gadis cina itu sambil menunjuk bungkusan di tangan Hinata.
"Iya. Ini untuk ibu, ayah, Hanabi dan Neji-nii," jawab Hinata detail.
"Nah, karena kau akan ke rumah Naruto dulu, tidak akan enak jika dingin. Jadi, ya … aku bersedia untuk mengantar itu ke rumahmu."
"Sejak kapan kau jadi kurir makanan, Tenten-chan?" sindir Sakura.
"Berisik, Sakura." Tenten hanya mengubris pelan lalu kembali menatap Hinata dengan pandangan penuh harap. Hinata yang sedikit ragu dengan tujuan Tenten, akhirnya menyerahkan makanan itu untuk diantarkan. Yang tentu saja mengundang senyum lebar Tenten. "Aku akan mengantarnya langsung dan aman. Kau tenang saja."
Hinata hanya tersenyum geli dan mengangguk.
"Nah, ayo Hinata-chan."
*NaruHina*
Kini, dua keturunan Adam dan Hawa itu duduk diam di dalam mobil yang melaju dengan kecepatan sedang. Keduanya tidak ada yang mau bersuara lebih dulu. Bahkan setelah tadi mereka bertemu di dekat toilet, keduanya tidak banyak menyumbangkan suara dalam obrolan teman-teman mereka.
Perasaan yang tidak mereka mengerti menjadi salah satu faktor yang mereka pikirkan hingga lebih memilih untuk diam berpikir daripada berbicara. Begitu pun sekarang, mereka masih berusaha menyelami dan mencoba mengerti apa perasaan itu.
Hingga jalan yang dituju, terasa berbeda.
"Naruto-kun, kenapa kita lewat jalan ini?"
Naruto menatap tidak fokus, mencoba mencari jawaban terbaik. "Sebenarnya aku berbohong. Aku minta maaf."
Hinata mengerutkan keningnya tidak mengerti. "Berbohong apa?"
" Sebenarnya ibu tidak ingin bicara padamu. Aku bilang begitu agar kita bisa memisahkan diri dari mereka dan … jalan berdua."
"Untuk?"
Naruto menghela napas dalam hati mendengar pertanyaan Hinata yang mudah, tapi sulit. "Uhm … ini, 'kan hari minggu, Hinata-chan. Dan kita pacaran."
"Lalu?"
"Ck, ya tentu saja kencan berdua." Ujung kalimat, suara itu memelan tanpa menatap lawan bicaranya, tapi saat mendengar kikikan dari sebelahnya, safir Naruto langsung melirik. "Kenapa?"
"Tidak," Hinata menggeleng, "Naruto-kun lucu. Kenapa susah sekali bilang kalau ingin kencan?"
"Eh? Kau juga ingin kencan denganku?"
"Uhm, tentu saja aku mau. Aku bahkan punya banyak rencana dalam berkencan," ujar Hinata dengan rona tipis di pipinya.
Ah, Naruto ingat sekarang, Hinata memang pernah mengatakan padanya yang sedang pura-pura tidur jika gadis itu akan melakukan semua rencananya dalam kencan karena Naruto adalah pacar pertama dan terakhir Hinata.
Naruto tersenyum mengingat itu. "Baiklah, jadi kurasa aku tidak perlu sungkan jika akan mengajakmu berkencan mulai sekarang." Hinata mengangguk pelan. "Lalu? Kau mau kita ke mana sekarang?"
Hinata menepuk pelan dagunya dengan telunjuk. Berpikir. Hal yang membuat senyum Naruto semakin lebar. 'Istriku sangat imut,' batinnya.
"Ah ya… bagaimana kalau kita ke arcade?" tanya Hinata antusias.
"Kau ingin ke sana?"
"Iya, aku sangat ingin bermain seharian di sana. Aku ingin mencoba semua permainannya."
Naruto terkekeh pelan melihat antusias Hinata yang bagai anak kecil. Dia baru sadar seutuhnya jika Hinata memang kekanakkan, dan dia suka. "Baiklah, aku tahu di mana tempat yang bagus. Kita ke sana sekarang, ttebayo!"
"Yeay!"
*NaruHina*
"Nah, ini minumannya. Ayo diminum, Tenten-chan."
"Terima kasih, Bibi."
Tenten tersenyum saat menerima dan menyesap minuman yang dibuatkan Hikaru. Tidak sia-sia dia ke sini, mendapat tawaran mampir yang tidak akan ditolaknya, apalagi jika Neji ikut bergabung di ruang tamu itu.
"Bibi juga berterima kasih karena kau sudah mau repot mengantar titipan Hinata ke sini."
"Tidak apa," Tenten menaruh gelasnya, "Kan sekalian, rumahku searah, jadi tidak repot. Aku pikir makanannya akan jadi dingin kalau kelamaan, soalnya Hinata akan ke rumah Naruto dulu jadi aku yang mengantarnya."
"Oh begitu," ujar Hikaru mengangguk, "Oh ya, tadi kalian membicarakan karate?"
"Begitulah, Tenten juga anggota klub karate di kampusnya." Neji ikut dalam pembicaraan. Memang, sebelum ibunya membawa minuman tadi, dia dan Tenten membicarakan tentang olahraga itu.
"Wah, hebat dong. Neji dulu juga ikut klub itu saat masih kuliah. Dia bahkan pernah ikut turnamen walau tidak masuk final karena dikalahkan oleh adik iparnya sendiri."
"Ibu." Neji protes karena kekalahan itu harus diungkit.
Tenten tersenyum melihat Neji yang protes lucu, tambah tampan, batinnya. "Tapi … adik ipar? Maksudnya?" Dia sedikit aneh dengan kalimat itu. Apa mungkin Neji sudah menikah dan adik ipar yang dimaksud adalah adik istrinya? Oh, Tenten bisa patah hati.
"Iya, adik ipar. Naruto. Kalau tidak salah Naruto juga kuliah di universitas yang sama denganmu, 'kan?"
"Naruto … maksudnya Uzumaki Naruto? Yang sekarang sedang pergi bersama Hinata-chan?"
"Iya. Dia itu yang mengalahkan Neji di turnamen sampai Neji tidak jadi masuk final. Eh, sekarang mereka jadi saudara ipar."
Tenten mengedipkan mata tidak mengerti. Dia masih tidak tahu kenapa Naruto dan Neji jadi saudara ipar. "Saudara ipar? Kenapa?"
"Karena setelah Hinata dan Naruto menikah, tentu saja Naruto dan Neji jadi saudara ipar, 'kan."
".…" Tenten terdiam mendengar hal itu. Hinata menikah? Apa dia salah dengar? "Me-ni-kah?" ucapnya terbata dan mendapat anggukan dari kedua Hyuuga itu. "HINATA-CHAN MENIKAH?"
*NaruHina*
"Haaacccyyiiimm."
Beberapa orang melirik saat dua orang itu bersin secara bersamaan.
"Hinata-chan, kau kenapa? Apa kau sakit?"
"Tidak, hanya bersin biasa. Naruto-kun juga bersin."
"Begitulah," ujar Naruto sambil nyengir lebar, "jodoh mungkin."
"Hah, Naruto-kun bilang sesuatu?"
"Ah, tidak!" Pria itu menggeleng pelan. "Sudahlah, sekarang kita main apalagi?"
"Hm, bagaimana kalau balap motor?" Hinata menunjuk suatu permainan yang ada di sudut.
Permainan balap motor dengan motor mainan yang seukuran motor asli dan terhubung dengan layar 3D di depannya. Naruto mengangguk dan mereka segera ke sana.
Tempat permainan itu sangat luas dan menyenangkan. Hinata tidak pernah ke sana. Berbeda dengan Naruto yang sering menghabiskan waktu untuk menghilangkan stress bersama sahabatnya.
Pria pirang itu tidak menyangka dengan antusias sang istri. Hinata seperti anak sepuluh tahun yang diajak bermain, tapi dia tidak sedikit pun malu, justru sikap Hinata yang seperti itu tampak lucu dan manis di matanya. Membuatnya tidak berhenti tersenyum dari awal.
Aneh, itulah yang dia pikirkan.
Dia tidak suka saat melihat pandangan Hinata kepadanya saat ada Shion tadi, tapi jika melihat Hinata tersenyum dan tertawa, dia merasa jantungnya berdetak cepat dan sangat menyenangkan. Kalau kata Kiba sih, itu tanda-tanda orang jatuh cinta.
Ah, jatuh cinta. Naruto terperanjat dengan pemikirannya sendiri. Merasa begitu cepatnya dia jatuh dalam pesona sang istri. Namun … apa Hinata merasakan hal yang sama? Dia saja masih bingung.
"Lebih ke kiri, Hinata-chan."
"Ini berat."
Naruto bergerak dan duduk di belakang Hinata. Memegang stang motor sambil membantu Hinata menggerakkannya. Membuat beberapa orang yang melihat mereka tersenyum.
Bukan hanya Hinata, keduanya seperti anak kecil.
Wajah keduanya merona dengan posisi mereka yang sangat dekat. Naruto seolah memeluk Hinata dari belakang. Namun, tak ada satu pun yang ingin melepaskan diri. Justru mereka semakin seru bermain bersama, mengalahkan mesinnya untuk menang dan mencapai finish lebih dulu.
'Aku akan sering mengajak Hinata-chan ke sini.' Naruto tersenyum dengan pemikirannya. Yah, melihat Hinata yang senang dan tertawa lepas seperti itu adalah satu hal baru yang mengagumkan baginya.
*NaruHina*
Mereka berjalan menuju area parkir setelah puas bermain-main. Jam menunjukkan pukul setengah delapan malam. Ah, hari minggu yang sangat menyenangkan, apalagi dengan kencan kedua mereka.
"Bonekanya lucu sekali, Naruto-kun."
Naruto tersenyum melihat tampang Hinata. Boneka itu adalah hadiah yang mereka tukar dengan tiket setelah permainan. Yah, lima jam bermain, tentu saja menghasikan banyak tiket. Pria itu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya dan berhenti di samping mobil. "Hinata-chan, kemarikan ponselmu."
"Hah? Kenapa?"
"Nih." Naruto menggoyangkan tangannya yang memegang sesuatu di hadapan Hinata. Gantungan handphone berbentuk kristal kecil khusus untuk pasangan, yang mereka dapatkan sebagai promo karena sudah memenangkan tiket lebih dari 400.
Hinata tersenyum dan segera mengeluarkan ponselnya. Dengan cepat dan hati-hati Naruto memasangkan gantungan itu di ponselnya dan ponsel sang istri. Itu adalah benda couple pertama yang mereka dapatkan dari kencan kedua mereka, jika cincin pernikahan tidak dihitung.
"Cantik, 'kan?" Naruto menyodorkan ponsel itu dan Hinata mengangguk senang. Mereka mendekatkan ponsel mereka dan saling membenturkan pelan gantungan kunci itu. Tidak peduli dengan kelakuan mereka yang benar-benar kekanakkan seharian itu.
Pada jarak yang cukup dekat, fokus awal yang sebelumnya mengarah pada gantungan kunci, kini beralih pada wajah masing-masing. Mempertahankan senyum kebahagiaan dan kedamaian suasana. Mencoba menikmati degub yang terasa.
Dddrrrtt
Getaran ponsel Naruto membuat mereka berjengit kaget. Ah, gangguan yang basi tapi tetap menyebalkan. Hinata segera menunduk dan memeluk erat bonekanya begitu tatapan mereka bertemu dan membuat salah tingkah.
"Ha-hallo." Naruto menggigit bibir saat suaranya terdengar gugup.
"Naru-chan? Kau kenapa?"
Naruto berdeham mencoba meredam detak jantungnya yang berisik. "Tidak apa. Kenapa, Bu?"
"Apa sekarang kau masih bersama teman-temanmu? Hinata belum pulang sampai sekarang."
"Hinata bersamaku, kami baru akan pulang."
"Oh, jadi kalian sedang kencan?" Naruto mendelik mendengar godaan sang ibu. "Kalau itu sih tidak apa walau kalian tidak pulang. Bukankah tiket ke Ame kau bawa? Ibu tidak keberatan jika kalian langsung bulan madu malam ini juga."
"Ibu…"
Kushina tertawa di ujung sana saat Naruto memanggilnya dengan nada merajuk. Sudah lama dia tidak membuat anaknya itu merajuk.
Naruto menghela naas setelah sambungan itu terputus. Ibunya dengan mengesalkan mematikan telpon masih dengan tertawa puas.
"Kenapa, Naruto-kun?"
Naruto tersentak dan menoleh, ingatannya kembali membuatnya diam sebentar. "Ibu … dia menanyakan di mana kita sekarang." Hinata mengangguk pelan. "Kita pulang sekarang." Lagi–Hinata mengangguk.
Gadis Uzumaki itu memasuki mobil saat sang suami membukakan pintu untuknya. Dan tak lama, suaminya sudah menyusul duduk di sampingnya.
Dalam keheningan, Naruto teringat godaan Kushina. Entah bagaimana, dia membayangkan menghabiskan malam bersama Hinata. Itu terdengar tidak terlalu buruk.
Dengan pikiran itu, safirnya melirik Hinata yang terlihat fokus menarik sabuk pengaman tempat duduknya. Naruto penasaran, bagaimana ekspresi Hinata jika dia menyampaikan apa yang tadi Kushina katakan.
"Ada apa?" tanya Hinata kemudian saat mendapati suaminya menatap tanpa henti.
"Tidak," jawab Naruto santai. Tubuhnya bergerak mendekat, ingin melihat lebih jelas wajah Hinata yang hanya terkena sinar samar lampu parkir.
Wajahnya, mata, poni, pipi, hidung, bibir.
Hinata berkedip, merasa kaku dan gugup dengan tindakan Naruto yang entah bagaimana membuatnya membayangkan satu adegan drama. Tanpa sadar, dia menelan ludah. "Na-naruto-kun?" lirihnya memanggil.
"Hm?" Masih, Naruto semakin mendekat.
Ketika udara semakin menipis, kembali getaran ponsel mengagetkan keduanya. Kali ini ponsel Hinatalah yang mengganggu.
Baru saat itulah Naruto menyadari jika tubuhnya telah lebih condong ke arah sang istri, dan tatapannya telah memerhatikan lebih wajah cantik di sana. Jadi, segera saja dia menarik diri dan duduk di balik kemudi dengan diam. Menunggu Hinata menjawab telponnya.
Jika dia memang lupa diri dan melakukan hal khusus, kenapa harus gagal? Naruto tak bisa menahan kekesalan dirinya sendiri. Apalagi dia menjadi benar-benar ingin melakukannya.
'Apa yang kupikirkan?' teriaknya tanpa suara.
"Naruto-kun."
Dia menoleh saat Hinata memanggil. "Sudah? Siapa?"
"Ibu. Katanya makanan yang tadi aku belikan untuk mereka sangat enak dan mengucapkan terima kasih. Mereka memanaskannya untuk makan malam."
"Ah, benar juga. Kita belum makan malam. Apa kita mau makan malam dulu, atau langsung pulang?"
"Terserah Naruto-kun saja."
"Yosh! Aku tahu kedai ramen yang enak."
"Ramen?" tanya Hinata kaget. Dahinya sedikit mengernyit memikirkan sesuatu.
"Tidak apa, 'kan?"
"Eh, iya. Tidak apa."
*NaruHina*
"Jaa ne, Hinata-chan!"
Hinata menghela napas melihat kedipan Tenten padanya sebelum gadis cina itu berlalu. Dia tidak tahu harus bersyukur atau waspada. Pasalnya, saat tadi mereka sedang berkumpul. Tenten langsung menariknya menjauh dan mengatakan sesuatu yang membuat Hinata sesak napas seketika.
'Aku masih penasaran dengan nama pacarmu … Nyonya Uzumaki.'
Ugh! Hinata mengentak kakinya pelan saat mengingat bagaimana Tenten menggodanya tadi. Dia tidak menyangka jika kunjungan Tenten ke rumahnya membuat gadis itu tau satu rahasianya. Rahasia tidak sengaja yang dia ciptakan.
Awalnya Hinata hanya pasrah dan meminta maaf karena Tenten bilang dia kecewa lantaran Hinata menyimpan rahasia sepenting itu dari yang lainnya. Hinata sudah siap jika memang Tenten ingin menyebarkan berita itu walau Hinata pasti akan bingung harus bersikap seperti apa.
Namun, di saat Hinata pasrah, Tenten malah bersedia menyembunyikan rahasia itu dengan satu syarat, yang membuat Hinata hanya bisa tersenyum geli dengan syarat itu.
Hinata sudah bisa menduga jika sahabatnya itu punya perasaan khusus pada kakaknya. Dan begitulah, Tenten meminta bantuannya agar bisa dekat dengan Neji sebagai imbalan dia yang ikut menjaga rahasia pernikahan Hinata.
Hinata merasa seperti punya utang saat punya rahasia. Kenapa di awal dia harus bilang kalau Naruto sudah menikah? Kalau dia mengaku pada teman-temannya jika pacar yang dia maksud adalah seorang Uzumaki Naruto yang sudah menikah. Dia bisa dikira selingkuhan. Satu-satunya cara ya membongkar pernikahannya.
"Kenapa sulit sekali?" Dia berteriak kesal sembari mengentak-entakkan kakinya bak anak kecil merajuk, benar-benar tidak berniat punya rahasia sepenting itu dari teman-temannya.
Hinata mengelilingkan pandangannya ke area kampus. Sudah pulang kuliah. Tapi dia tidak bisa pulang karena harus mencari bahan untuk tugas kelompok di rumah Sakura nanti malam. Sakura dan Ino yang menjadi kelompoknya pun sudah mencari bahan masing-masing yang mereka bagi sebelumnya. Sementara Tenten tidak ikut mata kuliah yang sama.
"Aku harus memberitahu Naruto jika akan menginap di rumah Sakura-chan."
"Hinata?"
Gerakannya terhenti saat ada yang memanggil, dia menoleh dan mendapati Sabaku Gaara sudah berdiri di depannya.
"Apa kau sudah selesai kuliah?"
"Uhm, begitulah," jawab Hinata tersenyum. Dia tidak jadi meraih ponselnya dari dalam tas.
"Maaf mengganggu lagi, tapi …."
Hinata memiringkan kepalanya bingung saat Gaara memutus perkataannya sendiri. Ada apa dengan pengeran kampus itu? "Tapi kenapa, Gaara-kun?"
"Aku ingin meminta tolong lagi. Bolehkah?"
*NaruHina*
Naruto mendelik dan menggeram kesal saat lagi-lagi melihat sang istri bersama pria lain. Apa maksudnya itu? Dengan sahabatnya pula. Segera saja, pria 21 tahun itu keluar dari mobil dan dengan cepat menghampiri sang istri.
"Hinata!"
Hinata dan Gaara menoleh mendengar suara cempreng Naruto yang kentara sekali tengah kesal.
"Naruto-kun?"
"Kau sudah selesai? Ayo kita pulang!"
"Jadi kau supir Hinata?"
Naruto mendelik–lagi—mendengar itu. Dalam hati Naruto berdecak kesal. Pertama Gaara mengatainya mata-mata, lalu mengatainya orang suruhan, sekarang dibilang supir? "Apa kau memancingku untuk berkelahi?"
"Aku hanya bertanya," jawab Gaara dengan nada datar seperti biasa.
Naruto mendengkus dan menatap Hinata. "Ayo kita pulang!" ajaknya lagi.
"Tapi, Naruto-kun … itu .…"
"Hinata akan pergi bersamaku." Gaara menyela.
Cukup! Panda merah itu sepertinya memang mencari masalah. Hampir saja Naruto mengamuk jika Hinata tidak menariknya menjauh.
"Naruto-kun." Hinata berbisik pelan agar tidak terdengar Gaara yang cukup jauh dari mereka.
"Kenapa? Kau membelanya? Kau mau pergi dengannya? Lagi? Apa sih urusan kalian?" Pria pirang itu bertanya dengan wajah menekuk kesal. Dia sangat ingin tahu kenapa Gaara selalu mengajak Hinata pergi. Tidak lagi peduli dengan misi awalnya yang berpura-pura sebagai laki-laki keren di depan Hinata. "Kenapa kau selalu mau diajaknya pergi?"
"Gaara-kun meminta tolong padaku."
"Tolong apa?"
"Itu .…" Hinata terdiam. Tidak bisa mengatakannya karena Gaara yang meminta untuk tidak memberitahu siapa pun.
Sebagai seorang yang baik, Hinata harus menjaga kepercayaan … 'kan?
"Yang jelas aku hanya membantunya. Oh ya, aku juga akan menginap di rumah Sakura-chan malam ini karena ada tugas."
"Aku tanya apa urusanmu dengan Gaara?" desis Naruto.
"Aku tidak bisa bilang, Naruto-kun."
"Kenapa tidak bisa?" Nadanya mulai naik.
"Gaara-kun tidak ingin ada orang lain tahu."
"Tapi aku suamimu."
"Naruto-kun—"
"Apa kau selingkuh dengannya?"
Deg
Hinata terdiam.
Begitupun dengan Naruto yang langsung menyesali perkataannya. Dia menuduh Hinata dengan nada tinggi sampai Hinata tersentak kecil dengan mata terbelalak. Oh shit! Apa yang dia lakukan?
"Hinat—"
"Aku," Hinata memotong perkataan Naruto sambil mengalihkan tatapannya, "aku akan menginap di rumah Sakura. Dan aku akan pergi bersama Gaara-kun."
Setelah itu, Hinata berjalan pergi, tapi tiga langkah kemudian, dia berbalik dan berteriak, "Aku tidak selingkuh, dasar tukang tuduh!"
Naruto terdiam saat Hinata berteriak mengejeknya dan berlari menuju Gaara lalu mereka pergi bersama. Seketika, Naruto tidak bisa bergerak dan berpikir. "Haha," dia tertawa hambar, "Sepertinya dia marah."
.
.
To be continued
Hai, semua. Maaf lama update. Luar biasa sekali ngedit chap ini. Di samping kesibukan dalam menyelamatkan masa depan dunia, aku juga nggak dapat feel saat mengeditnya.
Banyak yang kuhapus dan kuubah dari cerita awalnya. Kenapa? Karena ternyata dulu Saya lebay dan alay :'v
Sekarang geli sendiri bacanya, makanya aku ubah :V
Baiklah, di sini membahas tentang perkumpulan bujang-gadis di awal. Di sana, dulu aku cuma fokus ke NaruHina dan sahabat mereka. Namun, saat ngedit, aku terpikir untuk membuat side story Shion. Kayaknya dia di sini tidak se ... saat dia di fanfic sebelah.
Juga aku kembali mengingatkan di sini, kalau Naruto itu sifatnya kayak di anime. Ceria, ceplas-ceplos, agak ceroboh dan ekspresif. Sampai saat ini dia masih akting pura-pura keren di depan Hinata atas saran Shikamaru di awal.
Dan Hinata itu sifatnya jahil, agak lola, eh polos. Dan juga ekspresif.
Kali aja ada yang merasa aneh sama sifat mereka yang aku buat perlahan saling terbuka.
Di akhir, ada tuduhan yang berlandaskan kecemburuan. Kita lihat bagaimana 'tragedi' itu akan membawa efek lainnya.
Baiklah, sekian dari aku. Makasih untuk yang udah baca, vote, komen.
Balasan review ya : makasih udah selalu menanti
Milana : Sama-sama. Makasih juga udah mampir. Syukurlah suka.
Uzunami28 : syukur deh kalau nggak ngebosenin
Olaf : Nah hayoooo,,, Shion atau Hinata? :D hihihihi
Q : Oh iya dong. Amegakure itu kota yang cocok bagi pasangan dimabuk asmara, eeaaakkkk :V walau di sana juga kan Jiraya mati :'(
Guest : Maap lama update :D diri ini sedang menyelamatkan dunia :'V
Bye.
Salam, Rameen.
