Kota Ame memang pantas disebut kota hujan. Lihat saja, setelah dua jam perjalanan dengan pesawat dan baru sepuluh menit mereka menginjakkan kaki di Bandara Ame, hujan sudah mengguyur dengan derasnya. Membuat mereka yang tanpa persiapan menjadi terkurung di bandara hingga satu jam. Untunglah taksi yang mereka pesan akhirnya datang dan membawa mereka menuju sebuah villa sederhana yang telah dipesan Kushina.

Uzumaki Naruto dan Hinata bernapas lega setelah menginjakkan kaki di dalam villa yang akan mereka tempati selama seminggu. Villa yang bagus dan sederhana, walau begitu, lingkungannya yang indah dan terawat membuat villa itu terasa lebih nyaman.

"Akhirnya sampai."

Naruto tersenyum mendengar helaan napas Hinata yang terlihat sedang memperhatikan beberapa hiasan di ruang tamu villa itu. Ada dua kamar, dan Naruto langsung membawa koper mereka ke salah satu kamar.

Naruto tertegun melihat kelopak-kelopak mawar yang ada di atas ranjang dan juga dekorasi kamar yang terasa seperti kamar pengantin. Dalam hati, dia sudah bisa mengira jika sang ibu memesan villa dengan content bulan madu sehingga beginilah pemandangan yang dia dapatkan.

Naruto berjalan dan menaruh koper itu di samping lemari. Tak lama Hinata datang dan tersenyum kagum akan dekorasi kamar itu. Apalagi jika melihat ranjang yang begitu cantik, rasa lelah membuatnya ingin segera berbaring di sana.

Dengan cepat Hinata berjalan menuju ranjang. Naruto menoleh dan menatap ranjang di sampingnya, mungkin berbaring di sana bukan masalah, batinnya. Dalam langkah yang sama, keduanya berjalan menuju ranjang. Naruto langsung menghempaskan dirinya di ranjang, sementara Hinata yang berjalan cepat tidak sempat mengerem, hingga …

Bruk

… mereka membeku dengan posisi yang terjadi. Naruto yang terlentang di ranjang dengan Hinata yang tengkurap menindih di atasnya. Wajah mereka sangat dekat hingga hembusan napas pun terasa jika saja keduanya tidak menahannya.

Amethys dan safir itu melebar tanpa suara.

Dalam hitungan detik, keduanya terlonjak duduk dan menciptakan jarak setelah teriakan kecil Hinata. Jangan tanya apa warna wajah keduanya. Bahkan mereka menelan ludah tanpa ada yang berani menoleh.

"Ehm, hujan," Hinata membuka suara dengan kata yang ambigu, "Dingin."

Naruto mengernyit dan melirik walau masih ragu untuk menoleh. Kenapa istrinya bilang 'dingin'? Apa gadis itu minta dipeluk? Ugh, Naruto menggeleng dalam hati.

"Aku a-akan bu-at mi-minuman yang hangat." Hinata berucap.

Naruto tersentak dan lega bersamaan. Malu sendiri dengan pikirannya yang sudah ke mana-mana. "Aku … ak-akan menyusun pakaian kita dalam lemari," ucapnya memberi tugas pada diri sendiri.

Hinata mengangguk tanpa dilihat oleh Naruto, dan langsung berdiri lalu keluar dari kamar dengan kecepatan shunsin no jutsu.

Blam

Pintu tertutup, dan keduanya menghela napas lega dengan tubuh yang merosot. "Hampir saja," gumam keduanya bersamaan di tempat berbeda tanpa sepengetahuan satu sama lain.

.

Ganti Status Kilat by Rameen
Naruto by Masasi Kishimoto
Uzumaki Naruto x Hyuuga Hinata

.

"Perapian rumah memang sangat berguna di kota ini."

Hinata mengangguk setuju akan perkataan sang suami.

Sekarang mereka sedang duduk berdua di depan perapian dengan segelas minuman hangat setelah makan malam. Hujan masih belum berhenti walau tidak sederas empat jam lalu saat mereka sampai di Bandara. Menghangatkan diri di depan perapian menjadi pilihan yang terbaik.

"Di sini udara memang selalu dingin jadi akan lebih menguntungkan jika memiliki perapian seperti ini," timpal Hinata mendukung.

Mereka kembali terdiam dan menyesap minuman masing-masing lalu menaruhnya di atas meja kecil di antara mereka. Keduanya duduk di kursi rotan kecil dengan jarak tidak terlalu jauh.

"Oh ya, Naruto-kun," tatapan keduanya bertemu saat panggilan sang istri terdengar, "bukankah ulang tahunmu lusa?"

Naruto terdiam lalu mengangguk. "Benar! Ah, sudah 22 tahun aku hidup. Waktu tidak terasa, begitu cepat berlalu. Tapi kalau mengingat apa saja yang sudah terjadi, rasanya seperti hidup lebih dari seratus tahun."

Hinata tersenyum dan setuju akan hal itu. "Lalu, Naruto-kun mau hadiah apa?"

"Hadiah?"

"Apa ada sesuatu yang Naruto-kun inginkan?"

"Hm," Naruto menatap sekeliling sambil berpikir, "aku ingin dua hal." Tangannya terangkat menunjukkan angka dua dengan jari, membuat Hinata hanya menatapnya dengan penasaran. "Pertama, aku ingin sebuah syal buatan tangan."

Hinata tersenyum. "Kau mau? Akan aku buatkan."
"Kau bisa merajut?"

Hinata mengangguk.

"Wah, baguslah. Buatkan aku syal yang bagus ya, Hinata-chan."

"Iya, tapi … mungkin baru akan selesai dalam seminggu. Itu akan terlambat sebagai hadiah ulang tahunmu, "ujar Hinata sedikit sedih. Dia ingin memberikan sesuatu tepat di hari ulang tahun sang suami. Ah, seharusnya dia bertanya dari sebulan yang lalu. Tapi jika diingat, sebulan yang lalu mereka bahkan belum saling kenal.

"Tidak apa, aku akan menunggunya sampai jadi." Naruto berucap riang. Tidak masalah jika hanya menunggu seminggu, apalagi jika sang istri yang membuat sendiri apa yang dia inginkan.

"Baiklah, akan aku buatkan. Lalu yang kedua?"

Naruto terdiam dan senyumnya memudar, dia menoleh, memandang api yang berkobar di atas tungku. Apa yang dia inginkan selanjutnya? Itu bukanlah suatu barang, itu adalah sesuatu yang bahkan akan sangat sulit untuk didapatkan jika belum takdirnya. "Naruto-kun?"

Naruto menoleh dan tersenyum tipis. "Aku … ingin membuat ibu bahagia," ucapnya lembut dengan nada pelan, sedikit ragu, juga terdapat harapan di sana. "Apa yang membuat ibu bahagia, aku ingin mewujudkannya. Karena senyum ibu adalah hadiah terindah bagiku."

Hinata tertegun dan menatap intens suaminya. Hinata tidak pernah mengira jika sedalam itu kasih sayang Naruto kepada seorang Kushina. Dia tersenyum dengan hati yang menghangat, dia mendapatkan suami yang baik, bahkan yang terbaik dari semua pria yang pernah dia temui.

"Ibu pasti sudah sangat bahagia memiliki anak yang sangat menyayanginya." Naruto tersenyum senang mendengar pujian itu dari sang istri. "Tapi, apa yang ibu inginkan, ya?" tanyanya dengan wajah polos penuh pertanyaan.

Naruto menelan ludah dan menarik napas singkat sebelum kembali membuka suara, "Itu … sesuatu yang ibu inginkan untuk menjadi oleh-oleh," ucapnya perlahan dengan nada yang jelas dan lembut.

"Benar!"

Naruto tersentak saat respon Hinata terlihat senang dan antusias, err … istrinya mengerti maksud yang dia katakan, bukan?

"Kita belikan saja ibu oleh-oleh yang banyak," bahu Naruto yang tadinya tegang, merosot turun, "Bagaimana kalau besok? Kita jalan-jalan sekalian mencari oleh-oleh untuk ibu dan yang lainnya. Kalau kita mencarinya saat ingin pulang, pasti buru-buru. Bagaimana?"

Naruto menarik napas dan menarik diri dari pembicaraan, tatapannya kembali ke perapian. Dia hanya bergumam pelan saat Hinata sudah bertanya apa saja yang harus mereka beli sebagai oleh-oleh.

Naruto ingin menggaruk kasar rambutnya. Apa Hinata tidak ingat dengan apa yang selalu ibunya bilang? Kushina tidak butuh oleh-oleh barang, tapi cucu. CUCU. Dan demi Kami-sama, Kushina bahkan sudah mengulang pesan itu berkali-kali sebelum mereka pergi. Lalu kenapa Hinata bisa lupa?

*NaruHina*

"Naruto-kun, lihat ini."

Naruto mendekat dan melihat sepasang topi rajut yang ditunjukkan istrinya.

"Bagus, 'kan? Kudengar Menma dan Hanabi sedang dekat. Bagaimana kalau kita belikan saja topi rajut couple ini untuk mereka?"

Naruto mengernyit. "Bukankah kau bisa merajut? Kenapa harus membeli?"

"Iya, tapi lihat gambar ini. Ini bukan rajutan, tapi cetakan yang digabungkan dengan rajutan benangnya. Gambarnya mirip dan memang untuk sepasang kekasih, dan aku jelas tidak bisa membuatnya."

Hinata sedikit memajukan bibirnya karena merasa kemampuannya terbatas, tapi Naruto malah terkekeh melihat sang istri yang semakin terlihat menggemaskan. "Baiklah, kita beli saja. Tapi," Hinata menatap Naruto heran, "kenapa harus untuk mereka? Kenapa tidak untuk kita saja?"

"Naruto-kun, apa salahnya membelikan ini untuk mereka?"

"Hei, sekarang ini kitalah pasangan sesungguhnya. Mereka bahkan belum pacaran." Naruto mengerucutkan bibirnya karena Hinata lebih dulu memilih barang untuk orang lain daripada untuk mereka.

Hinata menggeleng dan kembali melihat barang-barang lainnya.

Mereka sedang berada di toko yang menjual pernak-pernik, barang-barang buatan tangan, hiasan rumah, gantungan kunci, dan banyak lainnya. Kemarin mereka sampai di sore hari hingga tidak sempat jalan-jalan. Jadi, hari ini mereka sudah siap dari pagi dan sudah jalan-jalan ke beberapa tempat sambil mencari oleh-oleh.

"Naruto-kun, bagaimana kalau baju rajutan ini kita beli untuk ayah dan ibu?" Hinata mengambil sepasang baju couple yang membuat Naruto semakin cemberut.

'Lagi-lagi barang rajutan dan untuk pasangan, tapi kenapa Hinata-chan tidak membeli untukku dan untuknya? Malah membelikan orang lain.' Naruto membatin kesal.

"Naruto-kun?"

Pria itu mengangguk singkat. Ekspresi merajuknya membuat Hinata tersenyum, tapi tetap tidak melakukan apa-apa agar suaminya berhenti cemberut.

"Ini." Hinata memberikan sepasang topi dan dua pasang baju agar Naruto yang memegangnya selama mereka memilih yang lain.

"Hinata-chan, kenapa bajunya dua pasang?"

"Orangtuaku dan orangtuamu, dua pasang." Hinata mengangkat dua jarinya sambil tersenyum lalu kembali berkeliling melihat-lihat.

"Kyaa, ini manis sekali."

Naruto segera mendekat sebelum Hinata memanggil seperti sebelumnya, dan benar saja. Hinata sudah berkata, "Lihat! Manis, 'kan? Bagaimana kalau ini kita beli untuk Neji-nii?"

Naruto mengernyit saat Hinata memilih kerajinan tangan berbentuk burung hantu, apanya yang manis dari burung mengerikan itu? Dan juga, dari yang bisa Naruto lihat, sepertinya kerajinan itu juga bisa menjadi untuk pasangan. Pertanyaannya … "Memang Neji punya kekasih?"

Hinata tersenyum misterius dengan pertanyaan itu, pikirannya sudah melayang ke sahabatnya yang bercepol dua. Tenten. Gadis Cina itu menyukai Neji, dan Hinata akan senang kalau mereka benar bisa bersama. Jadi, tidak salah 'kan jika Hinata lebih dulu mempersiapkan barang pasangan untuk dua orang yang baru jadi calon pasangan?

"Sudah, kita beli saja. Kalau nanti Neji-nii punya pacar, dia bisa langsung memberikannya."

Naruto tersenyum mengejek saat mengingat ekspresi Neji ketika ditanya Hikaru tentang kekasih. Tampang merajuk yang ingin menangis itu membuat Naruto terkekeh sendiri.

"Naruto-kun, kau kenapa?"

"Oh, aku tidak apa, Pacarku."

Hinata merona mendengar kata yang baru pertama kali diucap suaminya itu. Rasanya aneh disebut pacar oleh suami, tapi, rasa deg-degan itu terasa seperti remaja SMP yang baru mengenal cinta dan kata pacar. Hinata suka.

Naruto tersenyum melihat wajah istrinya yang merona. Yah, setidaknya dia sudah punya pacar merangkap istri walau itu hasil perjodohan. Saat wajah Neji kembali melintas, dia kembali terkekeh.

"Kau seperti orang aneh jika tertawa sendiri begitu."

"Walaupun aneh, tapi aku ini suamimu, Hinata-chan." Dan sulung Uzumaki itu tidak bisa menahan diri untuk tidak mencubit gemas pipi gembil sang istri. "Kau manis sekali."

Hinata langsung berbalik dan berjalan menjauh. Malu.

Mereka kembali melihat-lihat barang lainnya hingga Hinata kembali berhenti dan meraih sesuatu. Dia berbalik ke arah Naruto dan tersenyum manis. Membuat Naruto mengangkat alis dan mencuri pandang apa yang dipegang Hinata.

"Apa itu, ttebayo?"

"Ini sesuatu untuk barang couple kita," jawab Hinata yang membuat mata Naruto berbinar.

"Benarkah?"

Hinata mengangguk.

"Apa itu? Lihat dong, Hinata-chan."

"Tadaaa!" Hinata menunjukkan benda itu ke depan Naruto dengan riangnya. Sementara senyum Naruto memudar dan digantikan kerutan di keningnya.

"Ini barang couple kita?" Hinata kembali mengangguk, "Benang wol?" tanya Naruto dengan nada mulai sewot. Hei! Adik, ibu, ayah, bahkan kakak iparnya dapat barang bagus dan unik, lalu kenapa dia hanya mendapat benang?

Hinata terkikik melihat raut miris Naruto terhadap benang itu. "Bukan benangya, Naruto-kun." Pandangan mereka bertemu, "Bukankah kau ingin sebuah syal? Aku akan membuatkan dua syal untuk kita berdua, mirip dan unik yang hanya akan jadi milik kita berdua. Itu juga benda couple, bukan?"

Naruto terdiam, tidak tahu harus bicara apa. Barang yang dia inginkan akan menjadi barang couple mereka yang lain dan itu buatan tangan khusus dari sang istri. Naruto berpikir untuk meloncat atau berteriak sekarang.

Tapi akhirnya, hanya senyuman lebar yang menghias bibirnya. "Terima kasih," ucapnya pelan, "Terima kasih karena kau menganggap hubungan ini sangat spesial."

Hinata kembali merona dan tersenyum akan ucapan itu. Tentu saja hubungan mereka spesial. Pernikahan adalah hubungan paling menakjubkan bagi Hinata. Tanpa ikatan, tanpa pengetahuan, tanpa rencana, dua orang bisa bersatu dalam sebuah kehidupan, hanya berlandaskan perasaan yang sifatnya pun mengagumkan. Itu adalah hal paling menakjubkan bagi Nyonya Uzumaki itu.

*NaruHina*

Berpasang-pasang mata kini menatap padanya, tatapan kagum beberapa pria dan juga wanita seolah melihatnya sebagai makhluk paling manis yang pernah ada. Wajah putih yang cantik dengan pipi gembil dan mata bulat lucu, memakai jas hujan warna kuning sebatas lutut dengan aksesories bulu-bulu di pinggir tudung jas itu, serta gambar kucing manis yang terukir imut di bagian depannya.

Oh, dia terlihat sangat manis.

"Errr, Naruto-kun?"

"Ya?"

"Kau dapat dari mana jas hujan ini?"

"Entahlah, ibu yang memberikannya sebelum kita pergi, sebagai persiapan, katanya. Dan benar saja, sekarang ini sangat berguna, ttebayo!"

Hinata mengerti jika jas hujan sebagai persiapan di kota yang selalu turun hujan. Saat mereka keluar dari toko tadi, hujan sudah kembali turun walau tidak deras dan sang suami langsung sigap mengeluarkan dua jas hujan cantik untuk dikenakan. Dan inilah hasilnya, dia terlihat sangat imut dengan jas hujan itu hingga mengundang beberapa tatapan dari yang lain.

Hinata menoleh ke samping dan melihat Naruto yang baru selesai memakai jas hujan itu, dan mata lavender itu terpaku melihat suaminya yang tampak manis dengan jas hujan itu. "Naruto-kun," pria itu menoleh, "Kau manis sekali," ucapnya dengan riang.

Tak sadar jika sang suami justru cemberut. "Apa sih, Hinata-chan. Aku ini laki-laki, aku lebih tepat jika kau panggil tampan daripada manis."

Hinata terkikik mendengar nada bicara Naruto yang merajuk, tapi memang benar kalau pria itu manis. Jas hujan yang unik berwarna biru itu dipadukan dengan wajah Naruto yang entah kenapa jadi manis di pandangan Hinata. Membuat hampir semua mata kini tertuju padanya.

Sraakk

Hinata berkedip saat Naruto membuka satu payung kecil di depan mereka. "Naruto-kun, itu untuk apa? Kita 'kan sudah pakai jas hujan."

Naruto menoleh dan tersenyum, mengecup sekilas pipi itu sebelum merangkul sang istri. Membuat pipi Hinata merona seketika. "Sssttt," Naruto berbisik pelan, "Jangan menolak, Hinata. Apa kau tak sadar dengan tatapan para pria di sana? Mereka melihatmu tanpa memandangku, kalau aku merangkulmu begini, setidaknya mereka harus tau kalau kau …" Naruto menggantung kata-katanya di akhir yang membuat Hinata menatapnya bingung.

"Kalau aku apa?"

"Mmm, kalau kau milikku," ucapnya dengan cepat tanpa melihat Hinata yang kini lagi-lagi bersemu. Jangankan Hinata, dia sendiri saja wajahnya memanas saat mengucapkan itu. "Dan juga," dia kembali membuka suara saat sudah mengatasi rasa gugupnya, "Jas hujan itu biar kita tidak kebasahan."

"Kalau payung?"

Mengeratkan rangkulannya di bahu Hinata, Naruto tersenyum sambil menjawab, "Biar romantis."

Dia mengedipkan sebelah matanya menggoda sang istri. Ugh, sepayung berdua itu adalah lagu lama, tapi bagi Naruto, itu tetap membawa kesan romantis yang sama sampai akhir dunia.

"Ayo, Istriku!" Suaranya meninggi di bagian 'istriku', membuat beberapa pria di sana menghela napas lesu yang menimbulkan senyum kemenangan Naruto.

Huh, enak saja memandang istri orang di depan suaminya. Naruto bukan pria yang suka jika istrinya dilihat pria lain dengan pandangan suka.

Mereka berjalan bersama di bawah payung yang membuat jarak mereka hilang. Sebelah tangan Naruto masih setia merangkul bahu Hinata, dan tangan yang lain memegang payung. Sementara belanjaan mereka tadi, sudah masuk ke dalam tas gendong yang di bawa Naruto.

Mereka menjadi pusat bagi sebagian orang yang berlalu lalang atau berteduh di suatu tempat. Aura keromantisan keduanya menguar seolah terbawa angin dan berembus di seluruh kota. Membuat senyum Naruto tak pernah hilang. Dalam hati dia akan mengucapkan seribu terima kasih kepada sang ibunda tercinta yang sudah memilih tempat terbaik ini untuk acara bulan madu mereka.

Ah, mungkin setelah resepsi pernikahan, mereka akan bulan madu kedua di tempat ini lagi. Membayangkan hal itu, membuat Naruto seperti orang gila yang tersenyum sendiri. Dia benar-benar ingin menjadi suami-istri yang sesungguhnya dengan Hinata.

Mungkin, dia bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk meningkatkan status hubungan mereka?

"Naruto-kun, kau kenapa?" Akhirnya, kernyitan bingung yang ditimbulkan Hinata berbuah pertanyaan.

Naruto menoleh dan menggeleng. "Tidak apa. Hm, bagaimana kalau kita mencari café dan meminum sesuatu yang hangat, dattebayo?"

*NaruHina*

Safirnya terbuka dan mengerjap-ngerjap pelan. Menoleh ke samping dan tak mendapati sang istri di sana, dia menoleh menatap jam dinding yang menunjukkan jam lima sore. Dia tidur dua jam.

Setelah dari jalan-jalan tadi, mereka pulang dan mengganti pakaian. Melihat sekilas belanjaan mereka yang belum berniat dibongkar, dan berakhir tidur siang berdua karena terlalu lelah.

Lalu ke mana istrinya sekarang?

Naruto beranjak dari ranjangnya dan berjalan pelan menuju pintu, tapi jendela yang terbuka dan angin yang masuk mengambil perhatiannya. Dia mendekat dan melihat keluar, hujan lagi-lagi turun, hanya berhenti sekitar tiga jam dan kembali turun lagi walau tidak deras.

Dia melirik begitu melihat seseorang di taman, lalu tersenyum melihat betapa senangnya orang itu bermain hujan. "Ya ampun, dia benar-benar suka hujan, ya?" dia bertanya pada diri sendiri, "seperti anak kecil saja."

Merasa ingin bergabung, Naruto menghampiri.

*NaruHina*

Rintik hujan masih tetap sama, tidak deras dan tidak berhenti. Angin berembus, tapi tidak membuatnya kedinginan. Justru senyum yang terpajang manis di bibirnya membuktikan bahwa dia bahagia. Dia meloncat ke arah rerumputan yang terlihat basah oleh hujan. Benar-benar seperti anak kecil, berlompatan dan berputar di bawah rintikan air sambil sesekali berteriak girang.

Tangannya terangkat, merentang merasakan hujan, mendongakkan kepala dan memejamkan mata menikmati tetes air yang jatuh membasahi. Ah, senyumnya semakin melebar. Dia berputar, sekali, dua kali, tiga kali, terus berputar hingga … bruk … dia berhenti saat menabrak sesuatu.

Matanya terbuka dan terdiam begitu lavendernya menangkap atensi sang suami di sana. Dia mengerjap perlahan saat menyadari jika dia sudah berada dalam pelukan lelaki itu.

"Ya ampun, apa kau suka sekali menabrak sesuatu?" tanya sang suami dengan nada bercanda walau wajahnya serius.

Dia berkedip dan tersenyum. "Setidaknya kali ini aku tidak menabrak tiang." Atas jawaban itu, Naruto mendengkus dan tersenyum seraya satu tangannya mengacak rambut indigo yang basah.

Mereka masih saling melempar senyum dan tatapan, menikmati waktu bersama di bawah hujan. Hingga akhirnya, wajah Naruto mendekat yang membuat Hinata memejamkan matanya. Tapi itu malah membuat senyum Naruto semakin lebar, dia meraih rambut Hinata dan mencium rambut itu lembut.

Hinata mengernyit saat tidak merasakan apa pun selain tubuh Naruto yang mendekat, dia membuka matanya dan menoleh, berkedip tak percaya saat sang suami lebih memilih mencium rambutnya. Dan saat Naruto menatapnya sambil tersenyum jahil, Hinata memberengut dan memajukan bibirnya. Merasa dikerjai.

Naruto terkekeh. "Kau kenapa? Kenapa tadi kau menutup mata? Memang apa yang kau harapkan?" Pertanyaan berturut itu membuat Hinata semakin kesal.

"Tidak tahu, ah." Dia memukul bahu suaminya dan berbalik kesal, tapi belum sempat dia melangkah, tarikan di tangannya membuatnya berbalik dan matanya melebar saat secepat kilat bibir mereka sudah menyatu.

Netra indah itu melirik, menatap wajah tan yang begitu dekat dengannya, mata safir itu terpejam saat bibir mereka menempel. Hanya menempel dengan sedikit tekanan. Namun itu cukup membuat jantung Hinata hampir meloncat keluar.

Beberapa detik kemudian, safir itu terbuka dan langsung menatap ke amethyst di depannya, membuat Hinata lupa cara bernapas untuk sesaat.

Lagi-lagi angin berembus pelan, membelai keduanya dalam detak jantung yang mulai berisik. Menenggelamkan kedua orang itu dalam netra indah milik pasangan masing-masing.

Tak ada yang bergerak, tak ada yang menjauh.

Lalu, saat pandangan mereka melembut, Hinata merasa kecupan lembut mulai diberikan Naruto. Tatapan mereka masih bertemu dikala kecupan-kecupan itu semakin sering bertambah. Membuatnya menyerah dan memejamkan mata, menikmati ciuman pertama mereka.

Naruto tersenyum saat lavender itu terpejam, dia ikut menyembunyikan safirnya dan kecupan itu mulai berubah menjadi semakin intens. Semakin dalam saat Hinata mulai membalas. Saling menghantarkan perasaan masing-masing lewat sentuhan lembut yang mampu melemaskan syaraf-syaraf keduanya.

Detak jantung yang beriringan dengan riuh rinai hujan menjadi backsound paling indah yang mengalun di telinga mereka. Menghantarkan sejuta rasa nyaman dan hangat di hati.

Ketika sentuhan itu terlepas, safir dan amethyst kembali bertemu dalam desah napas yang terengah. Senyum hadir menghilangkan kegugupan dan kecanggungan yang sempat tercipta.

"Aku mencintaimu," ucap Naruto.

Tanpa bisa dikendalikan, Hinata tidak mampu berpikir apa-apa lagi. Kata yang terucap sebelumnya, mampu membuat tubuhnya lemas dan jatuh dalam pelukan hangat sang suami.

Tentu saja, itu dimanfaatkan Naruto sedemikan rupa untuk mengeratkan pelukannya di pinggang Hinata. Matanya masih menatap dalam, mencoba menyampaikan keseriusan atas perasaan yang baru dia yakini bernama cinta.

"Satu bulan," ucapnya lagi dengan suara yang berlomba bersama rinai hujan, "satu bulan kita saling mengenal dan bersama. Hanya satu tahap normal yang kita jalani, tapi semua perasaan yang terasa membuatku terus berpikir dan mencari kebenarannya. Aku suka melihat senyummu, kesal melihatmu dengan yang lain, gugup dan nyaman saat bersamamu, selalu memikirkanmu, mengkhawatirkanmu …," tangan kanan Naruto naik menangkup pipi gembil istrinya, "… kata Kiba, itu tanda-tanda orang yang jatuh cinta."

Naruto menjeda singkat, sebelum kembali melanjutkan, "Aku tidak pernah merasakan itu sebelumnya, aku bahkan tidak mengerti bagaimana prosesnya. Aku hanyalah orang bodoh yang kurang mengerti tentang perasaan. Tapi, Hinata, aku benar-benar senang jika bisa selalu bersamamu. Entah ini terlalu cepat atau bagaimana, tapi aku yakin kalau inilah yang sesungguhnya aku rasakan.

"Aku bodoh, Hinata. Sekali pun jika aku salah menafsirkan perasaan ini, aku ingin membuat kesalahan itu menjadi suatu kebenaran mutlak. Aku … aku ingin mencintaimu, Uzumaki Hinata. Tahap perkenalan, pendekatan, pacaran, tunangan, menikah. Kurasa hanya satu tahap saja yang ingin aku jalani dengan normal, karena aku ingin langsung meloncat ke tahap terakhir, hanya bersamamu, Istriku."

Untuk sesaat, keduanya terdiam.

"Hinata-chan," wajah itu kembali mendekat, "Kau mau, 'kan?" tanyanya berbisik, semakin mendekat dengan niat ingin kembali mengecap bibir merah di sana.

Namun, sebelum hal itu terwujud ….
"Hinata! Hinata-chan? Hinata-chan, bangun, ttebayo … kenapa kau pingsan?"

*NaruHina*

Pada saat Naruto keluar dari kamar mandi dan melihat Hinata masih tak sadarkan diri, dia hanya menarik napas pelan. Dia berjalan mendekat dan membaringkan diri di samping Hinata.

Sekarang jam 9 malam, berarti sudah 4 jam istrinya pingsan setelah pernyataan cintanya.

Dia memajukan bibirnya. Pingsannya Hinata membawa rasa khawatir dan rasa kesal sendiri baginya. Tubuh Hinata yang pingsan dalam keadaan basah membuatnya harus segera mengganti baju sang istri sebelum gadis itu sakit. Belum lagi dia yang harus masak dan makan malam sendirian. Menghabiskan waktu dengan menonton TV atau membaca buku sambil menunggu kantuk atau menunggu istrinya sadar. Membuatnya mendapat gambaran seorang duda kesepian.

Naruto menggeleng ngeri dengan pikiran itu. Dia tidak mau begitu. Dia jelas masih ingin menikmati waktu bersama sang istri yang baru dia sadari telah dicintai.

Memiringkan tubuhnya dan menopang kepala dengan sebelah tangan, safir biru itu mengarah menatap intens wajah cantik si malaikat yang ada di sampingnya. Perlahan memandangi satu per satu bagian wajah itu. Bulu mata lentik, mata yang terpejam, hidung mungil yang mancung, bibir yang ….

Naruto menelan ludah mengingat ciuman pertama mereka tadi, begitu hangat dan memabukkan. Membuatnya tanpa sadar mendekat, mencuri satu kecupan di bibir peach Hinata sebelum menarik diri dengan cepat. Tidak ingin melakukan hal lebih sementara Hinata masih tidak sadar.

Setelah puas memandang, berimajinasi, dan mengumpat karena pikirannya sendiri, dia akhirnya memejamkan mata dan ikut terjun ke alam mimpi.

*NaruHina*

Ctar

Kilat dan petir kembali menyambar. Jam menunjukkan pukul 11.55 malam. Dan lavender itu mulai terbuka, sedikit mengernyit merasakan dingin yang berembus di kulit tangannya. Dia mengerjap berapa kali sebelum akhirnya benar-benar mendapatkan pemandangan yang jelas.

Ruangan itu hanya disinari lampu tidur, angin membuat suara di jendela. Sesekali guruh, kilat, dan petir datang meramaikan bersama hujan.

Hinata menoleh ke samping, dan menyadari jika dia sendirian di ranjangnya. Mencoba bangkit, dia semakin mengernyit merasakan dingin saat selimutnya jatuh. Membuatnya sadar jika dia hanya menggunakan baju tidur tipis tanpa lengan sebatas lutut. Dia tidak ingat memakai pakaian itu walau dia ingat sang mertua yang memaksanya memasukkan baju itu ke dalam koper.

"Naruto-kun?" Dia mulai memanggil sang suami, tapi tak ada jawaban. "Naruto-kun!" Dia turun dari ranjang karena lagi-lagi tidak ada jawaban.

Gadis itu berjalan pelan menuju kamar mandi yang lampunya menyala. Dan saat pintu yang tak terkunci itu dia buka, Hinata hanya bisa melongo melihat suaminya yang terduduk di kloset yang tertutup dengan kepala menunduk.

"Apa dia tidur?" tanya Hinata, lalu menghampiri sang suami. " Naruto-kun, bangun. Naruto-kun."

Dua kali guncangan, Naruto membuka matanya dan menatap Hinata dengan wajah yang menekuk dan bibir yang mengerucut. "Kau sudah bangun?" tanyanya.

Hinata mengangguk. "Kenapa kau tidur di sini?"

Naruto tidak menjawab dan menopang kepalanya dengan satu tangan sambil kembali memejamkan matanya. Membuat Hinata menghela napas. "Apa kau bangun dalam keadaan setengah sadar lagi dan pindah tidur di sini?" tanyanya dengan kepala menggeleng.

Kebiasaan itu ternyata menyusahkan juga. Tidur di kamar mandi dalam cuaca yang dingin seperti ini, bagaimana kalau masuk angin?

Hinata kembali membangunkan suaminya dan mengajaknya pindah. "Ayo kita kembali ke ranjang."

Naruto bangun dan mengangguk. Dia berdiri dan langsung menempatkan kepalanya di bahu Hinata. Membuat gadis itu terpaksa memapahnya pelan.

Hinata memandang wajah Naruto yang sudah kembali tidur sesaat setelah mereka berbaring di sana.

'Jika ada sesuatu yang kupikirkan sebelum tidur, maka aku akan terbangun dan langsung bertanya atau membicarakan apa yang kupikirkan sebelumnya.'

Gadis itu teringat akan penjelasan yang diberikan Naruto, dan semakin menatap intens suaminya yang berbaring miring menghadap padanya.

"Apa yang kau pikirkan kali ini?"

Tangannya terangkat dan membelai rambut pirang itu. Saat udara semakin dingin, dia bangkit dan menarik selimut agar menutupi tubuh mereka. Namun, saat dia menarik selimut itu, tangannya sudah lebih dulu ditarik jatuh ke dalam palukan hangat Naruto.

Hinata terdiam dan mendongak, menatap Naruto yang masih terpejam walau pelukan pria itu mengerat. "Kau sudah bangun?" Hinata memiringkan kepalanya heran. "Naru."

Naruto tersenyum dan membuka matanya. "Aku suka kau memanggilku begitu, Hime."

Hinata terdiam, temaramnya kamar itu menyamarkan rona di pipinya karena panggilan baru sang suami. "Sejak kapan kau bangun?" tanyanya lagi mencari topik lain. "Kau sudah sadar, 'kan? Tidak setengah sadar seperti tadi?"

"Tadi?"

Hinata menatapnya cemberut. "Jangan bilang kau lupa kalau tadi kau tidur di kamar mandi?"

Naruto berkedip dua kali sambil berpikir. "Oh, sepertinya begitu." Dia menatap Hinata dan nyengir lebar saat Hinata semakin menekuk wajahnya. "Jangan cemberut begitu. Apa kau kehilangan saat aku pindah tempat tidur?"

"Aku hanya takut kau masuk angin karena tidur di kamar mandi seperti tadi," Hinata mendengkus, "tapi apa yang kau pikirkan kali ini? Bukankah kau hanya akan terbangun tengah malam jika ada yang kau pikirkan sebelum tidur?"

"'Apa yang kupikirkan'?" ulang Natuto, dan Hinata mengangguk. "Memang apa yang kita bicarakan terakhir kali … sebelum kau pingsan."

Wajah Hinata kembali memerah mengingat kejadian tadi sore, tanpa sadar tangannya memegang bibirnya. Ciuman pertamanya sudah terjadi tadi sore. Gerakan kecil itu tak luput dari pandangan Naruto, membuat pria itu tersenyum dan dengan cepat mengecup bibir itu lagi.

Hinata tersentak dan menatapnya kaget, tapi tidak bersuara. Tatapan mereka kembali bertemu saat raut wajah Naruto berubah serius, tapi tetap lembut.

"Hinata-chan, ini sama seperti saat aku mengajakmu pacaran. Kau tidak langsung menjawab dan membuatku penasaran sampai terbawa mimpi. Jadi, bisakah kali ini kau menjawabnya?"

Naruto mendekat dan menempelkan kening mereka. Menatap lebih dekat lavender yang membola lucu di sana. "Aku mencintaimu." Dia mengulang pernyataan itu.

Semenit kemudian, dia kembali menyatukan bibir mereka. Mulai memperdalam saat tidak menerima penolakan dari Hinata. Namun, saat sentuhan itu mulai turun, tangan Hinata mendorong dadanya pelan. Membuatnya menatap penuh tanya pada sang istri.

Apa Hinata menolak?—itulah kata batinnya.

"Hal ini …" Hinata bersuara tanpa menatap, "… hal yang dilakukan sepasang kekasih … atau su-suami istri?"

Naruto mengerti maksud pertanyaan itu. Pertanyaan yang ingin tahu apa status hubungan mereka sekarang. Masih meneruskan hubungan tahap pacaran mereka atau sudah mulai naik menjalani pernikahan yang sebenarnya.

Tak khayal pertanyaan itu membuat Naruto, itu karena Hinata seolah sudah memberi harapan jika gadis itu juga ingin menaikkan status hubungan mereka ke tahap yang sesungguhnya.

Konyol memang, mengingat mereka tetaplah dan sudah pasti pasangan suami istri, tapi permainan awal yang tercipta terasa penting untuk pembicaraan tentang perubahan status mereka.

Naruto mengganti posisi mereka dan perlahan menindih tubuh mungil itu, lalu menelusupkan wajahnya di leher jenjang sang istri. Menghirup dalam aroma memabukkan di sana dan senyumnya semakin lebar.

"Naruto-kun?" Gadis itu kembali menuntut jawaban.

"Hm, hal yang dilakukan suami istri, jawabnya berbisik. Lalu dengan senyuman, dia menatap netra bulan sang istri sembari bertanya, "Apa itu tidak masalah?"

Dalam diam, Hinata mengangguk perlahan. Menyetujui status mereka yang telah kembali berganti, dan mengizinkan apa yang akan terjadi.

Waktu berjalan semakin larut. Menghantarkan perasaan mendalam yang membuncah lewat sentuhan, tatapan, dan kata-kata penuh makna.

Pernikahan yang tak terduga, kini menjadi hal terindah. Janji pernikahan yang sebelumnya hanya terucap di bibir, kini terjalin nyata dengan perasaan yang tercipta seperti air yang mengalir.

*NaruHina*

Setelah melewati malam yang panjang dengan ditemani dinginnya hujan, kini pasangan pengantin baru itu tampak masih sangat nyaman dalam tidur mereka. Saling berpelukan di bawah satu selimut, membagi kehangatan yang dibutuhkan, meski Pagi telah tiba.

Beberapa waktu berlalu dan sang wanita membuka mata, menemukan wajah lain yang tertidur tepat di hadapannya. Wajahnya memerah dalam waktu singkat, tapi kesadaran tidak membuatnya bergerak menjauh. Dia justru tersenyum memandang wajah itu yang tertidur nyaman.

Tak lama, dapat dia rasakan pelukan yang mengerat di pinggangnya sebelum safir di depannya terbuka. Menatap sayu ke arahnya dan memberikan senyuman manis. "Ohayou!" Suara itu berucap serak.

"Ohayou, Naru-kun!"

Naruto semakin tersenyum lebar akan panggilan itu. Dia bergerak dan memberi kecupan hangat di kening Hinata sebelum kembali menatap wajah cantik itu.

"Aku mencintaimu." Ucapan itu kembali dia lantunkan. Masih berharap akan mendapatkan pernyataan serupa, setelah belasan ucapan yang sama tak menerima jawaban sejak semalam.

Namun, Naruto tidak akan memaksa. Dia akan menunggu sampai Hinata mengatakan itu dengan keinginan perasaannya sendiri.

Hinata hanya tersenyum tanpa menjawab. Rambutnya dibelai lembut dan tangan tan itu menangkup pipinya lalu kembali mendekat. "Terima kasih untuk yang semalam. Terima kasih juga telah menjadi istriku." Bisikkan itu membuat lavendernya terpejam. Mencari kenyamanan dari detak jantung yang bertalu.

Kecupan lain dirasanya di pipi sebelum dia kembali membuka mata. Pandangan safir itu begitu meneduhkan, membuat Hinata ingin selalu menatapnya. Tangannya terulur dan menarik wajah tan itu mendekat untuk memberikan ciuman singkat, membuat pria itu terpaku di tempat. "Selamat ulang tahun, Naruto-kun." ucapnya pelan setelah melepas ciumannya, "Terima kasih juga, karena telah menjadi suamiku."

Naruto menatapnya dalam, seolah masih mengharapkan kalimat lain dari mulut sang istri. Namun setelah cukup lama, tidak ada lagi kalimat yang keluar, bahkan tangan itu kembali ditarik. Membuat laki-laki itu mendesah pelan, tapi tetap tersenyum walau tipis.

Dia senang dengan ucapan selamat itu, dia juga senang dengan ucapan terima kasih itu. Tapi … dia juga sangat mengharapkan ucapan yang lain.

Tangannya kembali mempererat pelukan mereka dan dia menelusupkan wajahnya ke perpotongan leher sang istri. Aroma itu, sungguh membuatnya candu. "Hinata." Suara itu terdengar berat, dan gagal menyembunyikan sedikit kecewa.

Hinata membalas pelukan itu, ingin memberikan ganti atas pernyataan yang belum bisa dia balas sejak semalam. Namun, saat ini rasa itu terasa meyakinkan. Jadi, tidak hanya pelukan, dia juga memberikan apa yang Naruto inginkan.

"Aku … mencintaimu, Naruto-kun."

.

END

.

.

Bercanda :D

Bersumbaaaaang, ya =D

Udah lama sebenernya mau update, tapi situs ffn nggak bisa dibuka :( sekarang udah mau ngedit chap 12.

Chapter ini full NH, ada beberapa yang aku ubah dari aslinya. Gimana menurut kalian? Apakah feelnya terasa? Atau justru aneh? 😅

Dan karena chapter ini full NH, chapter depan akan aku ceritakan selingan pasangan lain.

Thanks untuk yang udah fav, follow. untuk yang udah komen juga makasih (Guest, uzunami28, olaf, Q).
Dan semua yang sudah mampir dan membaca. Semoga suka sama ceritanya dan bisa menghibur.

Sekian.

Salam, Rameen.