Disclaimer: Hetalia © Himaruya Hidekaz
Warning: Typo, Human Au, Smut, Lemon, Public Sex
.
.
.
.
Alfred menghela napas kesal sembari memasang jaket warna army kusam dengan kerahnya yang memiliki bulu-bulu warna abu. Menatap ke cermin dan meringis lalu sedikit mengacak rambutnya. Ia mematut diri dan bibirnya tambah menekuk melihat seberapa sederhana tampilannya saat ini.
"Ini adalah kostum Halloween yang payah. Sejarah yang memalukan untuk seorang Alfred F. Jones," gumamnya sebal.
Dengan air muka pasrah, Alfred mengambil topeng zombienya dan memasangnya menyamping. Pakainnya berupa kaus putih polos yang bagian bawah dan kerahnya sengaja sobek-sobek, jaket army kumal, dan celana jeans. Ia tambahkan sapuan cat air—warna magenta dan hijau, pada jaket, kaus dan celananya. Tidak buruk, malah cukup bagus. Hanya saja Alfred tak suka tidak menggunakan seluruh antusiasmenya pada sebuah perayaan.
Alfred adalah tipe orang yang selalu melakukan apapun sampai orang lain akan nilai berlebihan. Yah, pemuda itu tidak akan mengelak kalau dibilang suka pamer dan suka menjadi pusat perhatian.
Dan tak terkecuali untuk Halloween, Alfred selalu berusaha keras untuk kostumnya. Tidak pernah setengah-setengah seperti ini. Tahun kemarin saja, ia membuat kostum werewolf yang sangat realistis sampai Arthur yang melihatnya langsung pingsan ketakutan—sebuah kemenangan besar bagi Alfred karena bisa menakuti si British yang tak pernah takut pada hal-hal berbau horor.
Tapi ini tahun terakhir kuliahnya, yang artinya ia sedang menderita oleh skripsi. Tak ada waktu baginya selain melakukan riset, menulis, lalu berkonsultasi dengan dosen. Dan tau-tau saja sudah Halloween dan dia sama sekali belum menyiapkan apapun untuk kostumnya.
"Biarlah," gerutu Alfred mengerucutkan bibirnya, "Akan kubalas saat Natal nanti." Di kepalanya sudah merencanakan berbagai macam dekorasi lampu yang akan dipajang untuk bulan Desember. Jika bisa, ia akan membuat rumahnya itu bisa menerangi seluruh kota New York dengan kerlipnya.
Setelah menghibur dirinya sendiri, Alfred lekas keluar rumah. Ia sudah memiliki janji dengan kekasihnya untuk pergi ke pesta Halloween yang digelar si heboh Gilbert. Arthur akan kesal padanya kalau membuatnya terlambat, pria bermata hijau itu tak suka membuang waktu untuk minum.
Selain itu, Arthur biasanya tak terlalu peduli soal hari-hari perayaan, tetapi Halloween adalah favoritnya. Dan sama seperti Alfred, dia sangat berusaha keras dengan tampilan kostumnya.
Membayangkan pria itu semangat dan tak sabaran membuat Alfred mengulum senyum geli.
Rumah Arthur hanya beberapa blok dari dorm kampusnya, dan mereka sudah sepakat untuk bertemu di persimpangan menuju rumah Gilbert.
Tadi saat ia baru pulang kelas terakhirnya yang berakhir malam, jalanan dipenuhi anak-anak dengan kostum mereka yang menggemaskan sedang melakukan Trick-or-Treat. Setiap rumah didekorasi dengan semarak, penuh lentera labu. Dan ketika pintu diketuk, akan terbuka menampilkan para orang tua yang dengan ceria menyambut mereka dan memberikan segenggam permen ke keranjang labu anak-anak tersebut.
Namun sekarang sudah mulai larut, anak-anak sudah pulang ke rumah masing-masing. Kini yang ia lewati adalah pemuda-pemudi yang kemungkinan besar remaja SMA yang pergi ke pesta kostum di garasi atau basement teman dan diam-diam minum alkohol murahan. Juga orang dewasa yang setengah teler, merayakan Halloween dari satu bar ke bar lainnya. Semuanya sibuk bersenang-senang.
Semua itu membuat mood Alfred menjadi lebih baik dan ia tidak lagi memikirkan tentang kesederhanaan kostumnya.
Dan ia sudah berada di belokan persimpangan dengan cengiran. Melihat sesuatu yang hitam bersandar di tiang listrik dan Alfred tanpa kenal takut langsung menghampiri dan menepuk sosok itu yang berbalik sangat cepat menghadapnya.
Alfred mengedipkan mata beberapakali karena terkejut. Lalu fokus pada tampang sebal Arthur.
"Kau telat, git," cetus Arthur sengit sambil menunjuknya dengan tongkat sihir mainan.
Biasanya Alfred akan langsung membalas celaan Arthur, tetapi fokusnya teralihkan oleh topi penyihir besar yang dipakai oleh pria itu. Topinya tinggi, dengan bagian yang melingkarnya sangat lebar. Lalu di tepi-tepi topinya itu bergelantungan pernak-pernik khas Halloween seperti kelelawar, laba-laba dan jaringnya, hantu, dan lain-lain. Ditambah lagi dengan manik-manik warna emas berbentuk bintang yang membingkainya. Perpaduan yang mencolok.
Ia lalu melihat bahwa Arthur menggenakan kemeja putih, tetapi ia juga memakai jubah hitam yang bagian dalamnya berwarna hijau gelap. Terdapat corak-corak abstrak yang estetik berwarna hijau yang jauh lebih gelap lagi mendekorasi jubahnya. Membuat Alfred yakin dengan pasti seberapa bagus kualitas kostum Arthur.
Hanya pada saat Halloween begini Arthur sama all out-nya seperti Alfred.
Alfred ingin menggodanya, ingin menanyakan seberapa banyak uang yang ia keluarkan untuk Halloween tahun ini, tetapi sekali lagi fokusnya teralihkan.
"What the fuck, Arthur?!"
Arthur berjengit dengan seruan Alfred. Kemudian memandang bingung. "Seharusnya aku yang tanya. Kau kenapa sih, Alfred?"
"Celanamu itu yang kenapa?!" tunjuk Alfred dengan mata lebar dan mulut menganga.
Arthur menunduk untuk melihat celananya sendiri. Celana warna abu-abu gelap yang ujungnya sejengkal lebih sedikit di atas lutut."
"Memangnya kenapa? Biasa saja kok, dan asal kau tahu, bahannya ini bagus sekali, lho."
"Bukannya itu terlalu kependekan?!" Alfred kini terdengar histeris. Arthur hanya menatapnya dengan alis terangkat dan Alfred segera sadar. Ia berdehem, mengusir rasa malu. "Maksudku, kau seharusnya sadar dengan usiamu, Artie."
"Hah?!" kini giliran Arthur yang ternganga, selama beberapa detik sebelum kemudian wajahnya jadi merah. "Aku masih 20an, git! Berhenti memanggilku old man, I'm only 26, wanker!" jeritnya marah sembari memukuli Alfred dengan tongkat sihir palsunya.
"Aw, aw, oke, okey, stop that!" sahut Alfred berusaha menghindari serangan Arthur.
Arthur menghentikan serangannya, mendengus sebal dan melipat tangan di dada.
Alfred mengelus lengannya yang menjadi korban lecutan tongkat sihir mainan. Matanya masih saja fokus ke arah bawah, alisnya bertaut samar.
"Apa kau yakin akan mengenakan itu, Artie?" tanyanya lagi.
Arthur mengerang jengah. "Tentu saja, celana ini bagian dari set." Ia menunjukkan bagian samping yang memiliki dekorasi tali temali bertaut dengan warna yang pas sesuai tema kostumnya.
Dan kini Alfred yang mengerang. "Tapi kita akan ke pesta, kau tidak bisa pakai celana sependek itu!"
"Aku hanya ke pesta kostum Al, bukan ke konferensi formal," cetus Arthur. Pesta rumahan yang ribut oleh musik dan semua orang mengobrol setengah teler karena alkohol. Tidak pernah ada yang mempermasalahkan seberapa banyak kulit yang kau perlihatkan. "Seriously Al, just say what the fuck is wrong with you?"
Selama beberapa saat mereka hanya saling menatap. Mata hijau Arthur menantang mata biru Alfred. Dan seolah telah memutuskan apa yang harus ia lakukan, pemuda itu mengambil langkah mendekat dan menunduk ke arah Arthur.
Arthur terlonjak kecil—mengeluarkan sebuah jeritan tertahan saat merasakan sesuatu menempel pada pahanya dengan suara tamparan kecil. Saat melirik kebawah ia melihat tangan Alfred yang melingkari bagian samping pahanya.
"Because your thighs look absolutely delicious in this damn shorts!" cetus Alfred dengan suara berat. "Dan semua orang akan melihat, semua orang akan tergoda untuk mendekatimu, they will be fucking drooling at the sight of this white, soft, and fuckable thighs." Tangan Alfred turun kebawah, menyingkap ujung celana Arthur dan menyelipkan tangannya masuk untuk menyentuh kulit Arthur dan kemudian mencubit daging paha yang lembut.
Arthur terpekik karena rasa nyeri cubitan. Tangan Alfred kini mencengkeram pahanya. Ujung jarinya menekan ke daging paha Arthur, lalu pemuda itu mengangkat tangannya dan memaksa kaki Arthur untuk ikut naik. Mengalung pada pinggang Alfred.
Sialan, Alfred tidak terlihat seperti atlet angkat besi tetapi ia kuat sekali. Dan sialannya juga, setiap kali pemuda itu memamerkan kekuatannya, jantung Arthur dibuat berdegup kencang. Seluruh darah seolah mengalir ke perut dan turun lebih jauh lagi, meninggalkan kepalanya dengan kekosongan.
"Dan aku tidak mau berbagi. Aku tidak mau mereka menatapmu dengan ingin dan berpikir mereka bisa punya kesempatan untuk menyentuh." Alfred kembali bicara, suaranya makin sengit dan mata biru dibalik kacamata itu menyipit. "Memikirnya saja aku sudah kesal."
"Aku tetap tidak akan menukar celanaku," balas Arthur dengan suara tercekat. Fokus hanya setengah karena terlarut dalam tatapan tajam Alfred yang membuat tubuhnya terasa panas.
Sekali lagi mereka saling bertukar tantangan lewat tatapan. Sampai dengan tiba-tiba Alfred mendorongnya ke tiang listrik. Punggungnya beradu dengan tiang beton berbentuk silinder itu, membuat Arthur terkesiap kaget. Dan lebih terkejut lagi saat Alfred tiba-tiba berlutut di depannya. Satu tangan pemuda itu menahan pinggulnya untuk tak berpindah dari posisi menempel pada tiang.
"Kalau begitu aku hanya perlu membuat peringatan kalau paha ini tidak bisa disentuh," sahut pemuda Amerika tersebut.
"Apa—" jeritan panik Arthur langsung berubah menjadi desahan tercekat saat Alfred menggigit lembut pahanya. Menggesekkan gigi pada kulitnya lalu memberikan hisapan dan jilatan kecil.
Bunyi decapan basah terdengar saat Alfred menjauhkan wajahnya. Arthur bergidik, merasa sensasi dingin karena angin yang menyapu pada sedikit bagian dari kulitnya yang kini basah.
Dan Alfred kembali menyerang pahanya. Kali ini di kaki yang satunya, tepat dibawah dari ujung celana pendeknya. Menggigit bagian dalam pahanya, merayapkan bibirnya lebih ke atas, mengecup dan menghisap. Sangat keras sampai Arthur tahu akan merah kulitnya.
"Alfred! Berhenti! Cukup!" jerit Arthur berbisik. Tangannya merengut sejumput rambut pirang Afred berusaha untuk menghentikan pemuda itu.
Alfred hanya meringis kecil, berhenti sebentar dan mendongak padanya. "Nope. Aku akan memberikan tanda ke setiap inchi dari paha menggoda ini"
Dan dengan mempertahankan kontak mata, Alfred menjulurkan lidahnya. Menempelkannya pada paha putih Arthur dan menarik garis panjang ke atas.
"Fuck," umpat Arthur, matanya melebar, sebuah sengatan nafsu menusuknya karena rangsangan visual tersebut.
Alfred menelengkan kepala, kembali mengatupkan bibir pada paha Arthur. Bercumbu dengan penuh gairah pada setiap kulit yang ia ciumi. Matanya setengah terpejam begitu terhanyut dalam kenikmatan memuja kaki kekasihnya.
Satu tangannya menggapai paha yang lain. Menyalip masuk kebalik celana. Mencengkeram dengan begitu kuat sampai Arthur dibuat meringis sakit—tapi pria itu tidak protes, walaupun tahu akan ada memar berbentuk telapak tangan di sana nanti.
Tangannya merayap naik sampai mencapai bagian teratas paha Arthur. Dimana bagian dengan kulit terlembut dan kenyal berada.
"Shit, I want to fuck this thighs," gumam Alfred mengencangkan cengkeramannya. Kembali merasakan betapa lembutnya paha dalam Arthur. Mengerang dalam kefrustasian dan keterangsangan. "Okay, that's it. I'm fucking this thighs!"
Setelah berseru begitu, ia langsung merengut kait celana Arthur dan menarik turun dengan paksa. Belum sempat Arthur berteriak memakinya, celana dalamnya sudah ikutan ditarik.
"Hoi, kau gila!" jerit Arthur dengan panik menutupi selangkangannya dengan kedua tangan. Yang dengan seenaknya ditepis oleh Alfred, lalu ia mencaplokkan mulutnya pada paha atas Arthur. Bagian yang tidak bisa ia kecup selama Arthur masih mengenakan celananya tadi. Melakukan sebuah gigitan yang besar dan kuat, seperti berniat mengoyak daging lembut itu.
"Ouch!" Arthur merasakan gigi taring Alfred yang tajam menusuk permukaan kulitnya.
Lalu dengan begitu bersemangatnya ia menjilati belahan paha Arthur. Baik di sisi paha kanan maupun di sisi dalam paha kiri.
Dan karena dia menjilati paha di bagian yang paling atas, sesekali hidung maupun pipinya akan menyenggol penis Arthur. Membuat pria bermata hijau itu berjengit kaget akan rangsangan lalu menelan rengekan karena rangsangan tersebut berlalu begitu saja.
Beberapa menit yang terasa begitu lama bagi Arthur, bergerak gelisah karena merasakan pahanya sepenuhnya basah. Alfred melepaskan mulutnya dengan terbuka menampilkan lidahnya yang meneteskan air liur. Sebuah pemandangan yang membuat penis Arthur berkedut.
Alfred berdiri. Lalu seolah Arthur tidak memiliki bobot sama sekali, ia memutar tubuh Arthur paksa. Tahu-tahu saja Arthur sudah menghadap tiang listrik beton tersebut. Dada nyaris menempel kalau bukan karena tangannya yang reflek bertumpu menyangga berat badan.
Ia mendengar bunyi zipper celana jeans yang diturunkan, merasakan jubahnya disingkap dan dikesampingkan, dan dengan segera merasakan batang yang keras dan familiar menggesek belahan pantatnya.
"Kau sudah gila ya?!" pekik Arthur histeris, "Kalau kau lupa, kini ini ada di area publik!"
"Chill, Artie. It's already the hours of adult. And I just saw Superman fucks a Bunny Girl in someone's backyard," sahut Alfred santai.
"Oh My God," erang Arthur dengan suara jengah, "Do you have to be so crass?!"
Alfred meluruskan pandangannya, dan terkejut kecil saat matanya hampir ditusuk oleh pinggiran topi penyihir Arthur. Topi itu menghalanginya untuk mengintip kebalik bahu Arthur. Mengganggu.
Jadi Alfred rengut dan buang begitu saja ke trotoar.
"Hei, kau bisa membuatnya kotor! Topi itu cukup mahal, tahu!" protes Arthur.
"Kubersihkan nanti," balas Alfred. Kedua tangannya memegang erat kedua sisi pinggang Arthur. Menempelkan dadanya sepenuhnya dengan punggung Arthur. Begitu juga dengan pinggul mereka.
Alfred mendorong kejantannya ke belahan paha Arthur. Mengerang nikmat saat merasakan kulit lembut paha dalam Arthur dan juga betapa kenyalnya daging paha tebal tersebut. Gerakannya terasa licin akibat air liurnya sendiri.
Arthur mengeluarkan desahan. Kejantanan Alfred menggesek ke buah zakarnya. Bersentuhan dengan bagian bawah penisnya.
Kembali menarik keluar, lalu mendorong masuk. Pelan-pelan. Alfred terlalu menyukai sensasi kekenyalan dan kelembutan paha Arthur yang mengapit kejantannya dengan sempurna. Sensasi yang ingin ia nikmati dengan cermat. Ingin ia hapalkan setiap rasanya pada memori.
Setiap kali dorongan pinggul Alfred menyebabkan mereka mengeluarkan desah berat bersamaan. Napas panas Alfred menyapu tengkuk Arthur, membuat pria bermata hijau itu bergidik.
"Shit, your thighs are divine," erang Alfred, akhirnya tidak bisa menahan diri lagi untuk mempercepat dorongan pinggulnya. Ingin mengejar gesekan nikmat tersebut lebih lagi. Pinggulnya menabrak pantat Arthur.
"Ahh… Alfred…" Arthur mendesah, kejantanannya yang sesekali ditabrak oleh Alfred membuat tubuhnya berjengit. Badannya terhentak setiap kali Alfred mendorong masuk ke pahanya.
Alfred terus menambah kecepatan dorongannya. Tubuhnya memanas dan nafsu menggelegak di perutnya. Ia bisa merasakan kejantannya berkedut, cairan precum mulai menetes keluar. Menambah pelumas gesekannya pada paha Arthur.
Tangan Alfred yang memegang pinggul Arthur mengangkat pinggul pria itu agar memberikannya sudut terbaik dan kemudahan untuk menyodok paha Arthur. Tubuh bagian atas Arthur harus semakin menunduk ke arah tiang dan kakinya harus berjinjit.
"Rapatkan pahamu lagi, babe," bisik Alfred dengan suara serak, nafsunya bisa memuncak kapan saja.
Arthur mengerang dan menuruti permintaan Alfred, menyilangkan kakinya sehingga kejantanan Alfred merasakan tekanan dan rasa sempit yang begitu nikmat. Pemuda itu melenguh dan sodokannya semakin cepat dan brutal.
Suara tamparan kulit pinggulnya dengan pantat Arthur terdengar nyaring. Arthur sempat takut ada yang keluar dari rumah untuk mengecek dan melihat pemandangan vulgar yang mereka lakukan. Tapi ketakutan itu malah dengan seketika berubah menjadi libido karena membayangkan mereka ketahuan orang lain membuat jantungnya berdetak. Menambahkan adrenalin.
"Hahhh… Al…" desahan Arthur terpotong menjadi pekikan kecil saat Alfred melepaskan satu tangan yang memegang pinggul Arthur dan menyalipkannya ke depan untuk menggenggam kejantanan mereka bersamaan.
Pria Amerika itu menggenggam erat sehingga Arthur tak hanya merasakan rangsangan sentuhannya tetapi juga kejantannya yang menggesek batang penis Arthur. Rangsannya membuat tubuh Arthur lemas, kehilangan tenaga sesaat dan ia jadi menubruk tiang saat Alfred menyodok dengan kuat. Dadanya sepenuhnya menempel pada tiang listrik.
Kemudian Alfred menggerakkan tangannya. Mengocok penis mereka bersamaan.
"Ahhhnnnn!" Arthur melenguh, melempar kepala kebelakang pada pundak Alfred. Dan Alfred mengambil kesempatan itu untuk mencumbu lehernya. Memberikan gigitan dan hisapan besar.
"Arthur, Arthur…" panggil Alfred dengan napas terengah-engah, dorongan pinggulnya semakin kacau dan genggamannya pada penis mereka berdua semakin erat dan kocokannya pun makin cepat.
"Ahh, Arthur… Artie…" desahan Alfred terdengar seperti rengekan dan membuat Arthur menoleh padanya. Begitu memutar wajah bibirnya langsung diburu bibir Alfred. Mulut mereka saling berpagut, melakukan ciuman dengan antusias dan panas.
Ciuman yang amat serampangan karena mereka tidak bisa berpikir jernih. Suara ecapan, desahan, dan lidah yang saling memasuki rongga mulut masing-masing dengan liar. Air liur mereka menetes dan membuat kekacauan basah, sama seperti bagian bawah tubuh mereka.
"Fuck, I'm close," erang Alfred di sela ciuman basah mereka.
"Ahh, ahhhn, ah, ah, Alfred!" Arthur melenguh saat tangan Alfred kini hanya berfokus mengocok penis Arthur dan pinggulnya makin menggila menyodok paha Arthur.
Dan dengan jerit nikmat, mereka berdua klimaks bersamaan. Arthur membasahi tangan Alfred dan Alfred membasahi paha Arthur.
Napas mereka terengah-engah tetapi begitu mata mereka bertemu, kembali mereka berciuman. Menikmati euforia dan serotonin yang mengalir deras di tubuh.
Dan setelah beberapa menit, pikiran yang dipenuhi kabut nikmat itu jernih kembali.
Arthur menyandarkan tubuh pada Alfred lalu melirik kebawah. Berjengit melihat cairan putih kental yang menodai pahanya, serta sensasi cairan sperma yang menuruni kakinya.
"Git! Lihat apa yang kau lakukan! Tidak nyaman, tahu! Membersihkannya juga repot!" langsung semburan omelan dilayangkan.
Alfred memutar bola mata dan mendecak. "Aku tahu, aku tahu. Tidak perlu harus meneriakiku seperti itu segala. Kau terlihat sangat menikmati dan sama sekali tidak protes sedari tadi."
"Siapa juga yang bisa kalau langsung kau serang begitu!" balas Arthur, tangannya terangkat untuk menjengut sejumput rambut pirang Alfred dengan kuat. "And we're late now."
"Aw, oke, oke. Kita bersihkan sebentar dan lalu kita pergi."
Arthur yang kini memutar bola mata. Tapi dengan segera menegakkan tubuhnya untuk membereskan penampilan mereka.
.
.
.
"Tumben kau telat," komentar Francis ketika melihat Arthur baru memasuki ruangan yang sudah hingar bingar tersebut. Gadis yang tadi dirayunya sudah menghilang kemana padahal Francis baru menoleh ke arah lain sebentar.
Arthur mengeluarkan gerutuan tak jelas dan merebut gelas plastik di tangan Francis tanpa mengindahkan protes si pria pirang berambut panjang yang memakai bando telinga kucing, baju macam aristokrat dan sebuah jubah—entah tema macam apa kostumnya itu.
Francis menggerutu sebal pada Arthur yang sudah menegak minuman miliknya. Kemudian ia menelik topi dan jubah yang dikenakan oleh Arthur. "Bagus juga kostummu, rosbif. Beda dari penampilan membosankanmu sehari-hari," celanya. Terus menilik dengan ketertarikan, apalagi pada jahitan berpola yang amat rapi di bagian bawah jubah Arthur.
"Kau beli dima—" mata Francis membola. Lalu dengan perlahan ia mengangkat pandangan dan melempar seringai jahil penuh arti pada Arthur. "Ohoho."
Pipi Arthur memerah, tangannya dengan refleks menutup kakinya dengan jubah. "Not a bloody word," desisnya lalu langsung pergi kabur dari Francis menuju Gilbert yang sedang mencampur vodka dengan sirup stroberi.
Francis tertawa lepas.
"Heya, Francis, kenapa kau tertawa-tawa sendiri?" seseorang merangkulnya dan Francis refleks menoleh pada sumber suara ceria tersebut.
"Kau pakai kostum Zombie, Alfred? Kukira kau jadi Vampir," cetusnya terkikik pada leluconnya sendiri. Alfred menatapnya tak mengerti.
"Atau werewolf, yang sangat teritorial," lanjut Francis menelengkan kepala ke arah Arthur.
Pipi Alfred merona, akhirnya mengerti maksud Francis. "Well…" ia mencuri lirikan ke arah Arthur.
Tapi ia tidak bisa membuat alasan. Yang ada malah senyum bangga terulas di wajahnya.
Semua orang yang memandang Arthur dengan tertarik langsung membuang muka begitu melihat mahakarya Alfred, gugusan gigitan besar dan merah yang penuh tanda kepemilikan pada pahanya.
Ia kembali menoleh pada Francis, mengedipkan mata. "Human and monster are the same after all. We are full of jealousy."
.
.
.
.
.
A/N:
Terinspirasi dari kostum merch Hetalia yang merupakan kolaborasi dari Amo cafe. Juga dari gimana luar biasanya penampilan paha Arthur di Gangsta AU :)
This is not my best work, but I hope you still find it hot enough…
Ciao,
Ai19
