Bersua dalam Rencana-Nya © Roux Marlet
BoBoiBoy © Monsta
-tidak ada keuntungan material apa pun yang diperoleh dari karya ini-
Untuk #LOVEctober2024 hari ketiga puluh satu
Bersifat sebagai cerita sampingan dari "The Concealed Wound"
Catatan Penulis: di cerita ini, agama para tokoh adalah Kristen.
.
.
.
.
.
Semarang, 2004.
.
Kirana bersenandung di dapur sembari mengaduk kuah sup yang mulai mendidih. Tangan kirinya mengusap lembut perutnya yang sudah besar, tempat seorang janin sedang bersemayam selama tujuh bulan. Wanita berambut merah itu menoleh saat mendengar pintu rumah terbuka. Rumah mereka didesain minimalis, jadi jarak antara dapur dan pintu depan sangat dekat. Kirana bisa melihat suaminya sedang melepas sepatu di ambang pintu.
"Kira," panggil sang suami, Kaizo. Sambil berjalan masuk, diacungkannya sebungkus kresek. "Ini pesananmu."
"Makasih, Kai." Kirana kembali fokus membumbui supnya. Dia menunjuk dengan tangan kirinya. "Taruh di meja sini, ya."
"Oke." Kaizo meletakkan kresek itu lalu pergi ke dekat dispenser air. Sambil duduk di sofa, dia minum dalam diam.
Kirana mencicipi sedikit kuahnya dan menambahkan sedikit lagi garam. Setelah puas, dimatikannya api kompor dan diraihnya bungkusan yang dibelikan Kaizo. Tiba-tiba, Kirana berdecak.
"Aduh, Kai! Disuruh beli jahe, kenapa malah beli lengkuas?!"
Kaizo tidak meresponnya. Kebetulan sofa itu membelakangi pintu dapur. Kirana mengelap tangannya ke celemek, melepas kain itu, lalu berjalan ke sofa.
"Kai?" Kirana merasa ada yang janggal. Kaizo tidak pernah tidak menanggapi panggilan kesayangan itu. Dia melihat ekspresi Kaizo dari samping, tampak termangu dengan pandangan menerawang.
"Kira," gumam Kaizo, menoleh saat menyadari Kirana duduk di sampingnya di sofa. Dia mengerjapkan mata dengan gelisah.
"Kamu kenapa?" desak Kirana sambil menempelkan punggung tangannya ke dahi Kaizo. "Sori, tanganku bau bawang. Kok, kamu keringet dingin begini? Tadi, pas pamit ke warung, nggak apa-apa, 'kan?"
Kaizo hanya menggeleng, genggaman tangannya pada gelas mengerat. Kirana mendadak meraih pergelangan tangannya dan menempelkan ibu jari pada posisi yang familier.
"Nadimu cepet banget," desah Kirana, yang kemudian mengamankan gelas itu ke atas meja. "Ada apa, Kai?"
"Ajarannya Pang, ya, ngukur nadi sendiri," gumam Kaizo, berbeda topik.
Kirana manyun sedikit. Bisa-bisanya Kaizo mencoba mengalihkan pembicaraan. Dia cemas, tahu?! "Iya, Dokter Pang yang ajarin. Sekarang jawab, kamu kenapa."
Kaizo malah membisu lagi, pandangannya terarah ke pot bunga matahari di teras rumah yang tampak dari jendela. Hampir semenit Kirana bersabar menanti, tapi sesungguhnya sabar bukan kosakata dalam kamusnya. Biasanya Kaizo selalu cepat tanggap, 'kan?
"Maaf." Sebelum Kirana sempat bicara lagi, Kaizo mendahuluinya. Kini mereka bertatapan.
"Kok, maaf?" Kirana mengernyit melihat ekspresi Kaizo berubah menjadi penuh penyesalan.
"Aku salah beli lengkuas, ya."
"Iya, sih. Nah, kok, bisa sampai salah beli? Kamu, 'kan, tahu bentuknya dan aromanya jahe kayak apa?"
Kaizo masih diam lagi, tapi kali ini sambil menatap mata Kirana. Sepertinya dia dilanda bimbang, mau bercerita atau tidak. Kirana makin curiga, sepertinya memang ada sesuatu yang salah.
"Tadi itu di dekat warung ada orang berkerumun ramai-ramai." Akhirnya Kaizo bicara setelah satu menit lagi berlalu.
Kirana tak paham. "Warungnya penuh?"
Kaizo menggeleng. "Kerumunannya di dekat warung. Tahu-tahu, aku deg-degan dan berkeringat dingin. Pas sampai di warung, aku linglung, jadi salah pilih barang."
Sang istri masih mengernyit dan berpikir, apa hubungannya ada orang berkerumun dengan deg-degan dan berkeringat dingin? Kalau dengar-dengar gosip ibu-ibu sebelah rumah tadi pagi, sih, sepertinya sore itu para tetangga mau menyabung ayam. Lalu, kenapa? Tiba-tiba, sesuatu melintas di pikiran Kirana.
"Kamu … masih keinget waktu kerusuhan '98?" Kirana menebak. Mata Kaizo melebar mendengarnya.
"Kupikir enggak. Ternyata … mungkin aja iya." Kaizo membuka-tutup jari-jari tangannya yang masih terasa dingin. "Mungkin alam bawah sadarku masih melihat kerumunan orang sebagai pengalaman yang memancing trauma."
Kirana spontan merangkul suaminya, membuat Kaizo kaget dengan gerakan mendadak itu.
"Kai! Bayi kita!" Kaizo panik, mengira perut Kirana yang besar itu tergencet oleh badannya.
"Tenang, Kai. Nggak apa-apa." Kirana merangkul Kaizo dari samping. "Udah enam tahun. Aku nggak nyangka kamu masih trauma." Mata Kirana berkaca-kaca, campur aduk antara kasihan dan sedih.
Tanggal empat belas Mei tahun '98 memang suatu tragedi bagi Kaizo, yang terjebak di kos dan nyaris jadi korban kerusuhan. Orang-orang membakar rumah-rumah dan pertokoan milik orang keturunan Tionghoa. Kaizo, yang keturunan Jepang-Tionghoa, bisa selamat karena pemilik kos yang ditinggalinya adalah Bude Ratna yang orang Jawa.
Kali ini, Kaizo diajak Kirana untuk mengenang masa itu dari sudut pandang yang lain.
"Kai," Kirana memulai, "ini klasik banget tapi bener. Nggak ada satu pun pertemuan di dunia ini yang diizinkan Tuhan, terjadi karena kebetulan."
Kaizo termenung sejenak. "Iya juga, ya …. Kalau waktu dulu itu kita nggak kenalan di gereja, lalu aku tinggal di kosnya bude kamu, mungkin aku nggak ada di sini sekarang."
Kirana juga terkenang perkenalan pertamanya dengan Kaizo. Komunitas paduan suara dari kampusnya berkolaborasi dengan grup gereja lokal, yang mana Kaizo merupakan anggotanya. Karena Sopran dan Tenor sama-sama kelompok suara dengan jangkauan nada tinggi, mereka dilatih bersama-sama. Selama latihan, pandangan mata mereka jatuh ke satu sama lain.
Kenangan yang sungguh manis dan membuat Kirana masih tersenyum ketika mengingatnya. Wajah Kaizo yang malu-malu, pura-pura serius bernyanyi, padahal curi-curi pandang ke arah Kirana.
"Kai, kamu masih inget waktu pertama dateng ke rumah dan yang buka pintu adalah Papaku?"
Kaizo mengernyit. "Mana mungkin lupa. Garang banget pas aku nanya, 'Kirana ada, Om?' Dijawabnya 'Mau apa sama Kirana?!' Suaranya menggelegar, pula. Astaga, hampir copot jantungku."
Kirana terkikik. "Aku nguping dan ngintip dari kamar, tahu? Terus kamu jawab dengan gagah berani, 'Mau ngasih teks lagu, Om.' Modus yang brilian! Papaku luluh karena dia juga suka nyanyi. Pasti senang punya calon mantu yang sama-sama pegiat paduan suara."
Kaizo mengusap bagian belakang kepalanya, salah tingkah. "Bisa-bisanya inget bagian itu."
"Jangan bilang kamu malah lupa?!" Kirana pura-pura sewot.
"Bukan gitu. Saking tegangnya, aku lupa detailnya aku ngejawab apa waktu itu. Klasik banget, cowok ditodong bapaknya calon pacarnya."
Mereka tertawa bersama.
"Nggak ada pertemuan yang kebetulan di dunia ini, Kai." Kirana mengulangi diiringi senyum. "Semua sudah digariskan Tuhan."
Kaizo ikut tersenyum simpul. Dibisikkannya kalimat berikut sambil mengelus calon buah hati mereka, "Kamu benar, Kira."
.
.
.
.
.
Catatan Penulis:
Bagian pengalaman Kaizo waktu tragedi Mei '98 itu kisah nyata yang dialami Papa Roux di Solo, yang sampai sekarang katanya masih trauma kalau lihat orang kerumun-kerumun :") karena hari ini "free day" di event LOVEctober2024, Roux menginterpretasikan bentuk cinta yang membantu orang untuk bisa "bebas" dari trauma. Bukan dengan melupakannya, tapi mensyukuri tiap pertemuan dengan orang lain.
Oh, soal pertemuan Kaizo dengan Kirana seputar paduan suara, juga dari pengalaman Papa-Mama Roux hehe
Sedikit terinspirasi dari fanfic-nya Fanlady di mana Kaizo punya trauma masa lalu yang terpelatuk saat dia sudah jadi calon ayah, dan juga fanart karyanya yang kocak untuk "The Concealed Wound" (fokusnya seharusnya Kaizo dan Fang, Roux malah gagal fokus ke jahe dan lengkuas XD)
Dan, happy belated birthday untuk Fanlady!
(Roux berencana nulis satu cerita lagi untuk LOVEctober2024, semoga masih sempat dalam hari ini)
Akhir kata, terima kasih sudah membaca!
[31 Oktober 2024]
