Di antara kerumunan dari padatnya kehidupan kota Kyoto, ada sebuah bangunan Cafe antik yang berdiri tegak. Di pintunya menggantung sebuah tanda bertuliskan "Tutup". Namun jika kalian berjalan mendekat, ada berbagai suara sayup-sayup yang bisa kalian dengar di dalam sana.
"Naruto-san, aku pesan satu lagi minuman ini!" Seorang gadis berambut biru ponytail berujar, lalu mengembuskan napas lelah.
Sang pemilik Cafe menengok sekilas, lalu beranjak untuk menyiapkan pesanan orang tadi. Dia memiliki perawakan laki-laki dewasa berumur 20 tahunan dengan rambut kuning jabrik. Namanya adalah Uzumaki Naruto.
"Kau baik-baik saja, Ayaka-san? Kurasa meminum ini dalam jumlah banyak akan berpengaruh buruk ke kesehatanmu." Dengan tangan yang masih bergerak cekatan membuat sebuah minuman, Naruto pun tak bisa menahan untuk tidak bertanya.
Dengan bibir yang dimajukan, Ayaka menjawab dengan malas, "Aku tidak meminum ini tiap hari, jadi tak akan ada masalah."
"Maa … itu tidak salah juga, sih." Dia menyajikan gelas ketiga untuk gadis yang duduk di meja konter tepat di depannya.
Kamisato Ayaka mengaduk pelan minuman itu menggunakan sedotan, kemudian menyeruputnya. Ice Coffee Milk buatan Naruto memang yang terbaik. Ia terlampau bosan karena Thoma selalu membawakan teh hijau setiap hari kepadanya.
"Aku ingin sekali berada di sini selama mungkin. Bertemu dan berbincang dengan orang-orang seperti mereka sungguh melelahkan. Haah~" Gadis itu meracau tidak jelas.
Sambil mengelap gelas di tangannya, Naruto pun menyahuti, "Masalah pekerjaan?"
"Begitulah~"
"Pekerjaanmu yang sebelum-sebelumnya juga selesai dengan sempurna, 'kan? Kau akan baik-baik saja."
Ayaka memandang Naruto sesaat. Lalu, senyum simpul pun tercipta di bibirnya. "Terima kasih, Naruto-san." Gadis itu kembali menyedot minumannya yang masih tersisa banyak.
Naruto sering mendengar keluhan tiap pelanggannya; entah itu mengenai pekerjaan, hubungan asmara, atau bahkan masalah lainnya. Tapi melihat pelanggannya yang kembali ceria adalah sesuatu yang membuatnya betah dalam menjalani pekerjaan ini. Karena itulah, ia tak pernah menolak siapapun yang datang ke Cafe miliknya, tak peduli seabsurd apa tingkah mereka.
.
.
.
Cafeteria Isekai
Summary: Keluarganya memiliki sebuah Cafe yang telah berdiri selama beberapa generasi. Begitu saat waktunya tiba, Naruto tak keberatan mewarisi Cafe tersebut. Setiap minggunya, pasti ada hal baru yang selalu ia lihat; orang asing dengan berbagai latar belakang cerita mereka masing-masing, setiap pertemuan yag menjalin sebuah benang baru
Disclaimer: Naruto by Masashi Kishimoto, Fate Series by Type-Moon, Genshin Impact by MihoYo, RWBY by Mount Oum (Dirusak sama agenda LGBT njir)
.
Pair: ?
Rated: Teen
Genre: Slice of Life, Isekai, comedy(?), etc.
Warning: Alternate Universe, Out of Character(?), etc.
.
Start story
Pagi hari datang. Meski matahari baru terbit, nyatanya Naruto sudah bangun sejak tadi dan mempersiapkan segala hal di Cafe milik keluarganya. Tidak seperti tempat lain, meski di hari minggu sekalipun … tempat ini tetaplah buka. Tapi bukan berarti ia bekerja seminggu penuh, hanya saja Naruto menutup Cafe miliknya di hari lain.
Hari minggu, salah satu dari tujuh hari yang ada, merupakan hari dimana ia selalu kedatangan pelanggan misterius secara tak terduga. Misterius di sini merujuk pada orang-orang yang memang bukan berasal dari "dunia" ini.
Naruto mengelap keringat di dahinya. Mengecek jam di dinding sudah menunjuk pada pukul 8 pagi, ternyata hampir 3 jam dia menyiapkan ini seorang diri. Sungguh melelahkan saat tak ada yang membantu.
"Yosh! Kurasa sudah saatnya buka?"
Ia melihat di bagian ujung Cafe miliknya, sisi yang berseberangan dari pintu masuk Cafe miliknya. Itu adalah pintu dengan ukuran spiral berwarna merah dengan sebuah lonceng perak yang menggantung di atasnya. Di hari-hari biasa itu hanyalah pintu normal … namun saat hari minggu tiba, pintu itu mulai dipenuhi oleh keajaiban yang sulit dinalar oleh akal sehat.
Clink!
Lonceng itu berbunyi sebagai pertanda pintu disana terbuka.
"…?"
Naruto mengangkat sebelah alisnya. Aneh sekali? Tak ada yang muncul dari dalam sana meski hampir semenit berlalu. Pemuda berumur 20 tahunan itu memutuskan untuk mendekat dan mengeceknya.
"Minggirlah! Aku mau lewat, Miss Tohsaka!"
"Tidak! Aku yang membukanya, jadi akulah yang seharusnya lebih dulu lewat!"
"Coba pikir lagi! Itu adalah sebuah kehormatan yang kuberikan padamu karena kamu membukakan pintu untukku!"
"Dalam mimpimu, Luvia! Kehormatan seperti itu tak 'kan membuatku senang sama sekali!"
Ada semacam pertengkaran yang ia dengar. Tentu saja Naruto kenal siapa pemilik kedua suara ini.
"Aw-wawawa!"
"Kyaaah!"
Bruk!
Pada akhirnya mereka berdua melewati pintu itu dalam keadaan terjatuh bersama-sama. Naruto tertawa kaku melihatnya. "Selamat datang, kurasa …?"
Orang yang berdiri pertama kali adalah perempuan tinggi dengan rambut kuning yang diikat layaknya bor. Pakaian mewah yang dikenakannya didominasi oleh warna biru. Namanya adalah Luviagelita Edelfelt.
"Naruuu~" Wajahnya berbinar-binar saat memanggil si pemilik Cafe.
Sementara perempuan satunya mengerutkan kedua alisnya. Ia menggosok jidatnya yang sakit karena membentur lantai. Ini gara-gara Luvia yang mendorongnya!
"Rin-san, kau tidak apa-apa?" Naruto mengulurkan tangannya untuk membantu orang itu berdiri.
Sosok bernama Tohsaka Rin terkesiap dengan pipi sedikit merona. Dia berdehem sekali sebelum menerima bantuan Naruto.
"Terima kasih, Uzumaki-kun." Rin mengibaskan rambut hitam panjangnya yang sedikit berantakan. Padahal ia sudah berdandan cukup rapi, tapi Luvia mengacaukannya sekarang.
Luvia mengembungkan pipinya. "Curaaaang~! Kenapa kamu tidak membantuku?"
"Eh …?!" Naruto menggaruk kepala belakangnya karena bingung sesaat untuk menanggapinya. "Tapi kau tadi langsung berdiri sebelum aku sempat membantu, jadi yah … ahaha!"
"Sudah, sudah. Kita tak punya banyak waktu meladeni sikapmu, oke!" Rin mendorong Luvia untuk segara menuju tempat duduk. Ia menoleh ke belakang sambil berucap, "Ah, aku pesan yang biasanya, Uzumaki-kun."
Naruto mengangkat ke atas ibu jarinya. "Siap! Kalau Luvia-san bagaimana?"
"Huft. Aku juga pesan yang biasanya, Naru," jawabnya masih merajuk. Luvia duduk di meja yang sama dengan Rin.
Setelah memastikan pesanan kedua perempuan itu, Naruto segera bergegas ke belakang. Dia sudah sering melihat keduanya datang ke sini secara bersamaan, keributan kecil seperti tadi tidaklah asing bagi Naruto.
Kembali ke sisi dua gadis tadi, mereka lagi-lagi sibuk mendebatkan sesuatu. Rin menunjuk-nunjuk kertas di meja, wajahnya diliputi kemarahan. "Coba jelaskan padaku kenapa laporan ini belum kau selesaikan, Luvia?!"
"Membuat laporan adalah hal mudah, aku bisa menyelesaikannya dengan cepat. Kau selalu saja menganggapnya serius, Miss Tohsaka. Oh-ho ho ho!" Luvia mengakhiri perkataannya dengan tawa khas miliknya, membuat Rin menggertakkan giginya karena kesal.
Ngomong-ngomong … Rin dan Luvia berasal dari dunia yang sama, dan sering mengunjungi Cafe ini saat pertama kali tak sengaja menemukan sebuah pintu misterius di loteng dari bangunan asrama yang Rin tinggali. Mereka saat ini sedang menimba ilmu di tempat yang bernama Clock Tower.
Tugas yang Rin bicarakan barusan diberikan oleh Lord El-Melloi II, seseorang bernama asli Waver Velvet, dari Department of Modern Magecraft Theory. Penelitian yang mereka lakukan sudah rampung sejak beberapa hari yang lalu, dan tinggal menyerahkan laporannya kepada Lord El-Melloi II. Batas penyerahannya adalah besok pagi, maka dari itu wajar jika Rin memarahi Luvia yang seolah menyepelekan tugas bagiannya.
Lain kali saat dirinya ditunjuk lagi membuat tugas bersama Luvia, Rin bersumpah akan langsung menolaknya!
"Maaf sudah menunggu lama. Ini pesanan kalian!" Naruto datang sambil membawa sebuah nampan dengan di atasnya ada dua jenis makanan dan minuman yang berbeda. Pemuda itu menyajikannya di meja pelanggannya.
Setelah mengucapkan terima kasih kepada Naruto, Rin mengambil sepotong sandwich di piring itu. "Kita akan melanjutkan hal itu nanti, Luvia," ujarnya lalu memasukkan makanan tadi ke mulutnya. Berdebat dengan Luvia dalam keadaan perut kosong adalah pilihan yang salah.
Luvia mengangguk singkat untuk membalas perkataan Rin. Ia mengaduk kopi di depannya sebelum menyeruputnya. Kedua gadis itu pun menikmati pagi mereka dengan sarapan yang tenang.
.
.
~o0o~
.
.
Di suatu tempat dengan banyaknya gedung-gedung yang terlihat hancur, seseorang tengah berjalan tertatih dengan darah kering di lengan kirinya. Sepertinya bekas luka itu tercipta beberapa hari yang lalu.
Itu adalah seorang wanita muda berusia 17 tahun dengan mata biru pucat dan rambut putih panjang. Rambutnya kini diikat kepang di sisi kanan dan disematkan dengan tiara perak berbentuk es. Namanya Weiss Schnee.
"Huh! Aku tak bisa menemukan yang lain," gumamnya pada dirinya sendiri. Weiss terpisah dengan Ruby dan teman-temannya saat mereka disergap oleh kawanan Grimm—sebutan monster di dunia ini.
Selama beberapa hari ini dia bersembunyi di stasiun kereta bawah tanah dan baru saja keluar ke permukaan untuk mencari temannya. Siapa sangka kalau tak ada sedikitpun jejak manusia yang ia temukan, malahan semua ini adalah bekas kaki para monster. Ia tak bisa sembarangan meneriaki nama Ruby dan yang lain, karena para monster yang mendengar suaranya akan mengejarnya lagi.
"Tempat ini sungguh sunyi," ujar Weiss. Dia menyandarkan punggungnya ke bangunan hancur di belakangnya, kemudian tubuhnya merosot hingga terduduk di tanah yang kotor. Memandang betapa suramnya kota di hadapannya … pikirannya kembali melayang pada tugas penyelidikan yang ia terima dari Akademi Beacon.
Mountain Glenn merupakan bekas perluasan wilayah dari tenggara Kota Vale, yang mana sekarang telah hancur dan dikuasai oleh Makhluk Grimm. Bisa dibilang, itu sebuah kota mati dan kini yang tersisa di dalamnya hanyalah sejarah.
Weiss berkedip dua kali. Sepertinya ia melihat suatu cahaya yang bersinar di dalam bangunan runtuh di depannya. Mungkinkah ada yang bertarung dengan monster? Memberanikan dirinya untuk mengeceknya, ia mulai berdiri dan bergerak perlahan mendekatinya.
Dari balik dinding, gadis itu melongokkan sedikit kepalanya. 'Sepi sekali …,' batinnya. Tak ada monster ataupun manusia, yang Weiss lihat hanyalah sebuah pintu antik dengan lambang spiral merah di tengah pintu tadi.
Ia memeriksa sekelilingnya, namun semuanya terlihat normal. "Sebuah pintu di tempat seperti ini …?"
Tak ada yang lebih membingungkannya ketimbang hal ini. Bukankah aneh jika pintu ini masih berdiri kokoh tanpa kerusakan sama sekali, meski bangunan luar dan peralatan di sekitarnya hampir tidak utuh lagi?
Karena rasa penasaran, Weiss mengangkat tangan kanannya menuju gagang pintu. Ia memutarnya hingga pintu di depannya terbuka dengan suara lonceng sebagai penyambutnya.
Kling~ Krieeeett!
Mulut gadis itu menganga, terkejut karena pemandangan di depannya kini sama sekali berubah total. Untuk memastikan bahwa penglihatannya masih berfungsi normal, Weiss berulang kali menengok ke belakang dan ke depan. "Apa ini semacam ilusi yang diciptakan oleh monster jenis baru?" tungkasnya.
Dia pun melangkah melewati garis pintu demi memasuki tempat yang dipenuhi oleh meja dan kursi. Bagaimana pun, ia masih dalam tugas penyelidikan, jadi memastikan keamanan ruangan ini adalah tindakan yang tepat.
"Selamat datang—"
Sriiiing!
Ucapannya terhenti seketika saat sebuah rapier mengarah ke lehernya. Weiss menoleh ke arah orang yang berbicara padanya. "Katakan padaku … dimana dan tempat apa ini sebenarnya?" ujarnya masih waspada.
Naruto menggaruk pipinya. "Etto … ini adalah sebuah Cafe."
"Cafe?!" teriak Weiss terkejut. "Mustahil ada Cafe sebagus ini di sebuah reruntuhan kota!"
Naruto senang karena gadis ini memuji Cafe miliknya. "Maa, terima kasih. Tapi sebelum itu … bisakah kau menyimpan senjatamu lebih dulu?"
Weiss memandang ke arah yang ditunjuk Naruto. Ia mengangguk lalu menyimpan senjata rapiernya yang bernama Myrtenaster. Ia kembali menanyakan hal yang sama, "Jadi, katakan padaku … bagaimana kau membangun tempat ini di antara reruntuhan kota yang ditinggalkan? Apa tidak ada monster yang menyerang ke sini?"
"Reruntuhan …? Ah, jadi kau menemukan pintunya disana." Naruto menunjuk pintu yang ada di belakang Weiss.
"Aku sebenarnya tidak begitu mengerti, namun dari apa yang pernah dikatakan salah satu Nenek pelanggan di sini, ia bilang bahwa pintu ini telah membengkokkan waktu dan menghubungkannya ke berbagai dunia lain yang ada di luar sana. Jadi, pada hari minggu, 1 dari 7 hari yang ada, pintu ini akan muncul di suatu tempat kalian."
"Hanya muncul satu hari, ya. Jadi, karena aku membuka pintunya maka aku bisa menemukan Cafe ini?" Weiss terdiam mendengar penjelasan panjang Naruto. "Dan siapa pula mereka?"
Naruto menoleh ke belakang dengan helaan napas berat. Bagaimana ia tidak khawatir? Karena tadi Rin maupun Luvia sudah siap-siap dengan sebuah kristal di tangan mereka saat melihat Naruto diancam, ia berpikir akan terjadi pertarungan di Cafe miliknya. Pemuda itu bersyukur karena kekacauan tadi berhasil terhindar.
"Ah, mereka berdua adalah penyihir dari dunia lain. Sama sepertimu, mereka pelanggan tetap yang datang ke sini lewat pintu yang terhubung ke dunia asal mereka. Untuk kasus mereka, pintunya muncul di loteng asrama Rin-san," jawab Naruto.
"Penyihir …? Mungkinkah kau juga seorang Penyihir, tujuanmu menciptakan pintu ini adalah agar bisa menyerang duniaku?!"
Sebelum Weiss menarik rapiernya untuk diarahkan padanya, Naruto buru-buru menolak pemikiran gadis itu. Ia sampai mengibaskan tangannya berulang kali. "Tidak, tidak, tidak. Aku hanya manusia normal, begitu pula dengan Cafe ini. Semua makanan dan minuman yang terjual di sini aman tanpa memakai bahan yang aneh-aneh, kok."
Weiss memasang pose berpikir dengan mencubit dagunya. "Ini masih sulit dipercaya."
Si pemilik Cafe mengembuskan napas lega. Saat ada pengunjung baru ke tempat ini, kejadian seperti tadi sering sekali terulang. "Oh iya, namaku Naruto. Mumpung kau sudah di sini, apa kau mau memesan sesuatu?"
"Kau bisa memanggilku Weiss." Gadis itu akhirnya memilih duduk di tengah-tengah ruangan demi bisa melihat berbagai hal. "Apakah ada makanan serta minuman yang kau rekomendasikan?"
"Bagaimana dengan Matcha Latte dan Matcha Roll Cake? Itu cukup populer di Cafe ini." Naruto menawarkan menu yang menurutnya bagus.
Weiss belum pernah mendengar nama itu di dunianya. "Aku akan mencobanya."
"Siap, Weiss-san! Tolong tunggu sebentar, ya."
Setelah Naruto kembali ke belakang untuk menyiapkan pesanannya, Weiss mulai mengedarkan pandangannya ke sekitar. Tempat memiliki interior yang bagus serta suasana yang tenang.
'Tidak ada benda-benda aneh. Sepertinya Cafe ini memang aman untuk dikunjungi,' batin Weiss Schnee.
Tak berselang lama, Naruto datang membawa pesanan gadis itu. Weiss menatap lekat-lekat minuman serta kue gulung berwarna hijau di depannya. Awalnya ia sedikit takut, namun dengan aroma menggugah yang berasal minuman itu, pada akhirnya Weiss mulai mencobanya.
"Apa ini?! Nikmat sekali!" Ia sama sekali tak menduganya.
Matcha Latte adalah minuman yang terbuat dari campuran bubuk matcha yang dilarutkan dengan susu steam sehingga menghasilkan minuman yang manis dan creamy dengan sedikit rasa pahit dari teh hijau.
"Sesuatu yang disebut Matcha Roll Cake ini juga tak kalah enak!" Weiss memasukkan gigitan kedua ke mulutnya. Senyumnya semakin melebar karena senang menyantap kue tersebut. Tidak rugi dirinya menerima saran menu dari Naruto.
Rin dan Luvia yang dari tadi mengawasi gerak-gerik Weiss, kini bisa bersifat santai setelah melihat betapa lahapnya gadis.
"Kurasa dia tak berbahaya," ujar Rin.
Luvia mengangguk setuju. "Benar. Dia hanya gadis biasa seperti pelanggan lain yang datang ke sini."
Kedua Penyihir itu kembali membicarakan masalah yang belakangan ini terjadi di Clock Tower. Sementara Weiss berbicara sendiri dan menyebut nama-nama yang terdengar asing. Entah apa itu, Naruto tak begitu paham mengenai dunia sihir ataupun para monster.
Cklek. Kliing~
Naruto menyapa nama pelanggan yang baru datang. Kamisato Ayaka berjalan masuk tanpa ragu dan duduk di depan meja konter disana. Itu adalah tempat favoritnya dimana ia bisa melihat dari dekat sosok Naruto yang bekerja menyiapkan minuman dan hal lainnya.
"Naruto-san, aku pesan Cheesecake, ya."
"Siap."
Ayaka menengok ke belakang. Ada wajah asing yang tak dia kenal. "Apa dia pelanggan baru?"
"Hm? Benar, dia baru datang hari ini," jawabnya singkat. Naruto meletakkan sebuah piring kecil di depan Ayaka. Di atasnya ada sepotong kue keju berbentuk segitiga panjang.
Ayaka tidak mengatakan apapun setelahnya. Ia memegang sendok kecil di tangan kanannya, lalu menikmati hidangan tadi. Pipinya merona kala merasakan enaknya kue keju yang memenuhi isi mulutnya.
"Kelihatannya itu enak~"
Ayaka menoleh ke samping, dimana Weiss sudah duduk di sampingnya. Ada sedikit air liur mengalir di ujung bibir gadis itu. Bahkan, meski orang-orang di akademi memanggilnya dengan sebutan "Putri Es", Weiss tak bisa menolak godaan dari makanan manis.
"Ettoo …?"
Weiss segera menggoyangkan kedua tangannya di depan dadanya. "Maaf, maaf, aku tidak bermaksud mengganggumu. Oh, kau bisa memanggilku Weiss."
Ia sebenarnya tak terganggu, kalau pun dia memintanya pun Ayaka tak keberatan sedikit membaginya. "Kamu mau, Weiss-san?"
"Benarkah? Terima kasih!"
Setelah Ayaka menyodorkan sendok dengan potongan kue keju miliknya, Weiss tanpa ragu langsung membuka mulutnya lebar-lebar. Rasa manis itu segera menyebar ke indra perasanya.
"Wow, semua makanan di Cafe milikmu enak, Tuan Naruto!"
Naruto tersenyum atas pernyataan jujur Weiss. "Senang mendengarnya."
Weiss kembali mempertanyakan kebingungannya, "Tapi kenapa di sini sepi sekali, meski kau punya banyak makanan serta minuman enak yang dijual?"
"Mungkin karena masih pagi? Ahaha!" jawabnya sambil setengah bercanda.
Sebenarnya alasan lainnya karena Cafe miliknya ditutup untuk umum di hari Minggu, dan hanya menerima pelanggan dari dunia lain "dunia lain". Ibunya pernah berkata kalau semisal ada kejadian yang tak terduga, mereka tak ingin jika pelanggan serta tetangganya jadi takut untuk kembali ke Cafe mereka. Misalnya seperti Weiss di awal-awal yang mengeluarkan senjata di dalam Cafe. Bagi orang biasa seperti Naruto, ia juga bisa terkena serangan jantung saking terkejutnya, loh!
"Apa kau mau tambah pesanan lagi?" tanya Naruto ke Weiss.
Gadis itu tiba-tiba murung. "Aku ingin sekali … tapi aku baru ingat tentang caraku membayarnya."
"Kalau kau lupa membawa uang, aku bisa menulisnya di buku catatanku. Jadi, saat kau kembali lagi kapan-kapan, kau bisa melunasi hutangmu."
"Bukan itu."
Naruto menghentikan gerakannya saat akan mengambil pulpen miliknya. Dia menunggu Weiss untuk melanjutkan ucapannya.
"Aku memiliki uang dari dunia asalku, tapi aku tak tahu apa ini bisa digunakan sebagai alat tukar di Cafe ini." Saat pergi bertugas, ia tak pernah lupa membawa uang. Karena di Mountain Glenn tak ada toko penjual dan sebagainya, uangnya bahkan tetap utuh sampai sekarang.
"Eh?! Benda-benda apa ini?"
Ia terkejut saat mengeluarkan dompetnya. Uang miliknya entah mengapa hilang dan digantikan oleh kertas serta koin yang asing baginya.
Naruto mengeceknya, lalu tersenyum kecil. "Sebenarnya saat kau melewati pintu disana, maka uang yang kau bawa akan secara otomatis berubah menjadi uang duniaku, ditukar dengan total nominal yang sama. Tenang saja, saat kau kembali ke dunia asalmu, maka uangmu juga akan kembali seperti semula."
Mendengar hal itu, Weiss pun sungguh kagum. Ia tak menyangka ada kekuatan misterius semacam ini. Bagi Naruto dan keluarganya, masih banyak misteri yang tak mereka ketahui mengenai pintu disana.
"Kalau begitu, aku mau dua porsi lagi Matcha Roll Cake tadi." Weiss kembali semangat saat menyadari tak perlu kesulitan dalam membayar.
Akhirnya, Naruto meninggalkan Weiss sendiri bersama dengan Ayaka untuk menyambut pelanggan lain yang datang kemari. Di luar dugaan, kedua gadis itu cepat sekali menjadi akrab dan merasa bahwa mereka memiliki sedikit persamaan. Di mana latar belakang mereka berdua rupanya sama-sama berasal dari keluarga ternama di dunianya masing-masing.
"Jadi di dunia Ms. Ayaka orang-orang bisa menggunakan kekuatan elemen melalui benda bernama Vision ini? Harus kuakui ini jauh lebih berguna dari Dust,"
Weiss tak bisa menahan rasa penasarannya ketika Ayaka memperlihatkan sebuah permata biru muda dengan lambang salju–Vision Cryro– pada Weiss. Dari penjelasan Ayaka, ia merasa benda ini jauh lebih efektif dan praktis jika dibandingkan dengan Dust yang sering digunakan di dunianya.
"Tepat sekali, hanya saja tidak semua orang bisa memilikinya, hanya mereka yang dianggap layak oleh para dewa yang bisa menerima berkah dari The Seven. Ngomong-ngomong, sebutan lainnya adalah Archon, 7 dewa-dewi yang memimpin 7 bangsa di duniaku, mereka juga yang memegang kuasa atas 7 elemen tersebut. Dan aku berasal dari negeri Inazuma, bangsa yang dipimpin langsung oleh Archon Electro, Raiden Shogun.
Ia mendengar cerita Ayaka dengan penuh antusias. Sebagai seorang siswi yang selalu serius dan suka belajar, tentu saja hal baru seperti ini tak bisa ia lewatkan begitu saja, meskipun itu juga tak akan berguna bagi Weiss di dunia asalnya, sih. Tapi hei, apa salahnya belajar hal baru?
"Kalau Weiss–San sendiri gimana? Aku juga ingin tahu seperti apa duniamu... itu pun jika kamu tak merasa keberatan, sih."
Weiss tersenyum, tentu saja ia tak akan merasa keberatan. Ia lalu merogoh Pocket khusus yang ada pinggangnya dan menaruh beberapa kristal dengan warna yang berbeda di atas meja, yang membuat Ayaka tentu saja bertanya-tanya benda apa itu.
"Di duniaku, kami menggunakan kristal yang disebut Dust ini. Kebanyakan digunakan sebagai senjata. Mereka sendiri ada banyak jenis dan bisa mengeluarkan elemen seperti Vision milik kamu, tergantung pada warna dan jenisnya. Sayangnya penggunaannya hanya bisa sekali dan kamu harus membeli yang baru lagi," pewaris kaya itu menghela nafas. Ini alasan mengapa ia menganggap Vision lebih fleksibel.
Dust itu ibarat amunisi, kau perlu mengeluarkan biaya yang kadang tak sedikit untuk membeli yang baru tergantung senjatamu, dan mengingat kebanyakan jenis senjata di dunianya, kebutuhan akan Dust menjadi sangat tinggi.
Kedua gadis kaya itu terus melanjutkan obrolan mereka yang mengasyikkan dan terus bertukar cerita. Sementara Naruto kembali ke posnya ketika bel sekali lagi berbunyi dan pelanggan lainnya datang.
Kali ini seorang wanita dewasa berambut hitam panjang dengan mata merah yang mencolok. Saat masuk, ia sempat melirik Weiss yang duduk di sana, "Pewaris Schnee juga menemukan jalan ke tempat ini, huh." Wanita itu bergumam sangat pelan sehingga hanya bisa didengar olehnya sendiri.
"Ah Raven–San, senang bisa melihatmu lagi di sini. Sudah sebulan ya kamu tidak mampir," Naruto menyapa pelanggan barunya itu dengan ramah.
"Ya begitulah, banyak urusan suku yang harus aku atasi," ujar wanita itu saat ia mengklaim sebuah kursi yang agak jauh dari Weiss dan Ayaka.
"Jadi, Caramel Macchiato seperti biasanya?"
Raven hanya mendengus sebagai tanggapannya, "Hmph! Memangnya kamu masih perlu bertanya?"
.
.
.
Setelah merasa kenyang, Weiss pun berpamitan pada Naruto. Ayaka pun juga sudah pulang lebih dulu tadi, "Besok aku akan datang lagi bersama temanku, Tuan Naruto!"
"Bukan besok, melainkan minggu depan." Naruto mengingatkan gadis itu.
"Oh, benar. Sangat disayangkan karena aku tak bisa ke Cafe-mu setiap hari."
"Begitulah. Lagipula, bukan aku yang menciptakan pintu ini dan segala aturannya."
Weiss pun melambaikan tangannya kemudian menutup pintu di depannya. Tak berselang lama, pintu dengan lambang Spiral Merah di tengahnya itu menghilang, mengurai menjadi partikel-partikel cahaya yang sangat banyak.
"Wow, uangku beneran kembali seperti semula. Sedikit berkurang karena aku makan dan minum banyak sekali tadi. Huft!" Weiss memasukkan dompetnya agar tak hilang di perjalanannya. Saatnya kembali mencari Ruby dan yang lain.
Pikirannya kembali melayang pada nama tempat yang pernah ia singgahi itu.
"Cafe Uzumaki dari Dunia Lain …, kah? Yang lain pasti akan berpikir aku gila jika aku menceritakan kejadian hari ini."
To Be Continued
A/N:
Halo semuanya ~ maaf ya yang kemarin saya hapus. Karena yang kemarin itu hanyalah sebuah percobaan. Apa cerita kemarin terasa hambar dan mati? Yah tak akan heran jika seperti itu. Saya hanya sedang mencoba akan seperti apa cerita yang dihasilkan oleh AI. Mungkin cerita yang baru ini multi fandom tapi, saya memutuskan untuk meletakkannya di Fandom ini. Yah sekalian memperamai, kan? Lagi pula juga bakal ada banyak karakter dari dunia yang sama dan berbeda.
Karakter yang saya ambil akan berasal dari Game dan Anime/manga favorit saya. Jadi, ya... gitulah.
Untuk cerita Memulai kehidupan baru saat ini jumlah word–nya mencapai 3K jadi harap bersabar aja jika ada yang menunggu. Mimin itu Mahasiswa peternakan semester 5 jadi udah mulai sibuk bet. Tapi ya tetap buat nulis karena hoby. See you~ sampai jumpa di lain kesempatan.
