Sahaja © Roux Marlet

BoBoiBoy © Monsta

-tidak ada keuntungan material apa pun yang diperoleh dari karya ini-

Alternate Universe, COVID-19 endemic

Untuk #LOVEctober2024 hari kedua puluh tiga: "Compliments"

Sekuel dari "Sugary Little Thing Called Love" & "Sweeter Than Honey"

.

.

.

.

.

Banyak kali di hidupnya, Ying pernah merasa gagal.

"Padahal kamu berhasil mencuri hatiku, lho, Ying."

Ying mengacak rambut Ice dengan gemas. "Gombal."

"Tapi kamu suka," sahut Ice, menahan senyum.

"Ice, minta dijewer?" Tangan Ying sudah siap di telinga Ice, yang memang sedang berbaring di pangkuannya, minta telinganya dibersihkan.

"Ampun, ampun."

Seumur hidupnya, Ying sudah berlari. Lari di lapangan dekat rumah, lari di lintasan sekolah, lari di gedung gimnasium. Ada lagi "lari" yang paling penting dari semuanya:

Lari dari tukang bully.

Ying dahulu bisa menyelesaikan pendidikan dasar karena mendapat beasiswa sekolah dari pamannya yang kaya. Anak-anak di kelas tahu bahwa dia anak beasiswa, yang aslinya miskin dan tak bisa pamer barang apa-apa sehabis liburan.

"Di sekolah dulu, aku anak yang pemalu karena latar belakang itu."

"Kamu berhasil buktiin bahwa anak pemalu ini bisa jadi atlet lari profesional." Ice tersenyum bangga. Televisi di depan mereka sedang menayangkan iklan, tapi pandangan Ice menyapu jejeran piala di meja—semua penghargaan yang pernah diraih Ying semasa kuliahnya di negeri orang ini, tempat dia akhirnya dipinang oleh teman sekampusnya sendiri.

"Belum profesional," desah Ying mengoreksi.

"Tapi tetep aja hebat," balas Ice.

"Ice, tolong, jangan buat aku nyesel memutuskan berhenti," gumam Ying, menyandarkan kepala ke bahu Ice. "Setelah tahu ternyata …." Kalimat Ying menggantung di udara. Bukankah mengundurkan diri dari dunia atlet sama saja dengan gagal meraih impian masa kecilnya? Namun, kalau dipikir-pikir lagi, mungkin keinginan Ying meneruskan karier jadi pelari profesional hanya karena sejak kecil dia sudah berlari.

Ice merangkul istrinya, mengusap-usap lengannya perlahan. "Nggak apa-apa. Dengan begini, Ying bisa jadi istriku penuh waktu." Tangan Ice bergerak ke depan, memeluk pinggang Ying, kemudian merambat naik.

"Ice …." Ying menahannya dengan gestur tak nyaman dan Ice berhenti. Sang suami kemudian mengecup lembut kening istrinya tanpa protes.

"Maaf," ujar Ice dengan sopannya.

Harusnya Ying yang meminta maaf. Dia merasa dirinya kini sedang lari dari kenyataan. Tentang pernikahannya dengan Ice. Seharusnya Ying merasa bersyukur, punya suami yang sebegitu mampu berbesar hati.

"Pernikahan bukan hanya soal hubungan seks." Ice berkata padanya hari itu, ketika pemeriksaan kesehatan pranikah justru menyingkap bencana dalam diri Ying.

Ying takut gagal lagi. Diagnosis dan tindakan yang telah dilakukan terhadap rahimnya sebulan yang lalu telah membuatnya gagal memberi Ice keturunan. Dia telah gagal menjadi istri yang baik bagi Ice, dan selamanya tak akan pernah menjadi seorang ibu.

Seperti biasanya, Ice tidak bicara panjang lebar saat Ying mengungkapkan lagi ketakutan itu.

"Aku seneng, lho, ada yang bisa masakin aku tiap hari dengan diet khususku yang nyusahin ini."

Ying mengernyit. "Nggak ada yang bilang kamu nyusahin, Ice." Meskipun, menu makan seseorang dengan Diabetes Mellitus tipe 2 memang tidak semudah yang dibaca di buku resep.

"Nggak ada juga yang bilang kamu istri yang gagal," balas Ice, datar tapi mengena.

"Sekarang belum. Lima tahun lagi, mungkin? Orang-orang bakal bertanya padamu, kalau tahu kamu sudah menikah: sudah punya anak? Orang-orang pasti tanya ini-itu." Astaga, Ying nyaris menangis saat mengucapkannya.

"Orang-orang siapa?" balas Ice. Pertanyaan sederhana itu membuat Ying betulan menangis. Ice menyeka air mata yang mengalir dengan jemarinya yang kaku. "Hanya keluarga dan sahabat sejati yang berhak dapat life update dari kita. Kamu perempuan tangguh, Ying. Sejarah hidupmu sudah membuktikannya."

Padahal Ying banyak berlari sepanjang sejarah hidupnya itu.

"Aku kuliah ke Malaysia juga karena gagal dapat beasiswa ke Amerika, ma. Daripada malu sama keluarga paman yang membiayaiku, jadi kuambil saja."

Ice tampak terkejut mendengarnya, kemudian tersenyum. "Oh, tapi, kalau kamu ke Amerika, nggak mungkin terjadi insiden es krim tumpah di teras pondokan mahasiswa. Di sana semua gedungnya pencakar langit."

Ying tertawa bersama Ice. Momen pertemuan pertama mereka selalu membekas di hati.

"Kalau nggak ada es krim tumpah, si Cantik dari Wuhan ini nggak mungkin ada di pelukanku sekarang," imbuh Ice dengan nada yang selalu bisa membuat Ying meleleh, seperti es krim dalam kisah mereka.

Betul apa kata orang: pujian paling tulus adalah dari yang empunya hati bersahaja kepada yang berani menerima diri apa adanya.

"Cantik?" gumam Ying.

"Waktu kita pacaran dulu, aku pernah bilang, kamu sudah cantik tanpa perlu pakai lipstik."

Ying mengangguk.

"Pendapatku nggak berubah, Ying. Kamu cantik."

"Meski nggak bisa punya anak?" tanya Ying, mendadak merasa getir lagi.

Ice mengulum senyum prihatin. "Coba dibalik, deh … apa perasaanmu bakal beda seandainya kamu ketemu aku waktu SMP? Waktu aku masih obesitas dengan lemak melebar ke mana-mana? Mantanku waktu SMA dulu ngakunya tertarik padaku karena tahu perutku sixpack, padahal itu hasil nge-gym demi penyakitku."

"Benarkah?" Ying merasa geli sekaligus sedih. Orang yang tidak tahu sejarah hidup Ice bisa saja terpikat dengan penampilan fisiknya yang saat ini, namun mencampakkannya begitu tahu yang sebenarnya. "Kalau aku kenal kamu waktu kamu masih obesitas, Ice, yaa … kamu bakal kusuruh diet dan olahraga tiap hari."

Ice tertawa pendek. "Sudah kuduga."

Ying ikut tertawa lagi. Dia sadar, Ice tidak pernah memanggilnya "Sayang" atau "Honey" atau "Baby" dan semacamnya, selalu langsung dengan nama. Tapi segala tindak-tanduknya jelas menunjukkan bahwa Ice memujanya. Fakta yang tidak berubah sejak Ying mengenal Ice di pondokan mahasiswa, sampai sekarang setelah mereka menikah diawali kabar petaka.

Ying masih belum sanggup untuk berhubungan intim dengan Ice.

"Aku nggak pernah memaksa. Kalau kamu nggak nyaman, it's okay. Kita bisa bobok bareng aja." Ice sudah bilang begitu padanya setelah operasi.

Sudah lebih dari sebulan sejak pernikahan dan operasi itu. Luka di perut Ying sudah mengering, tapi dia masih takut. Jangan-jangan dia memang tidak bisa memuaskan suaminya. Jangan-jangan nanti Ice akan menganggapnya membosankan dan pria itu akan mencari wanita lain di luar sana ….

"Ying," panggil sang suami suatu malam. Dua pasang iris biru bertemu. "Kamu satu-satunya." Seolah Ice bisa membaca kecamuk pikiran Ying yang mulai meneteskan air mata lagi. "Kamu hadir di hidupku saja, itu sudah suatu anugerah."

"Ice …." Ying menangis, mulanya terisak pelan, kemudian tersedu-sedu. Ice menciuminya sampai tenang kembali. "Maaf, Ice. Aku belum bisa."

"Nggak apa-apa." Ice bergerak di dalam selimutnya dan merangkul Ying erat-erat tanpa berbuat lebih jauh.

"Kamu … kamu mau nunggu?" Ying bertanya perlahan, membalas pelukan itu sama eratnya.

"Kenapa enggak?" Ice mengerjap, lalu menciumnya satu kali lagi. "Sampai mati pun akan kutunggu, Ying."

"Hiperbolis banget. Masa kamu mau nunggu kalau kita udah kakek-nenek?"

"Nggak apa-apa. Tapi mungkin kita akan perlu penyesuaian gaya tertentu karena osteoporosis."

Ying memukul bahu suaminya dengan main-main, tapi dia bersyukur karena cinta Ice kepadanya tidak berubah.

Hari-hari berikutnya, kadang mereka tidak membahas hal itu sama sekali. Mereka masih bersantap makan bersama, jogging sore berdua, menonton televisi di malam hari dengan duduk berangkulan. Atas saran dari Ice, Ying mencoba mengajar olahraga di sekolah terdekat, sehingga dia juga punya kesibukan selagi Ice bekerja di kantor berita. Ying tahu Ice bukan seorang yang suka bicara; tapi, melihatnya begitu lahap menyantap masakan Ying, mukanya yang berseri-seri meski berkeringat sehabis jogging, apalagi binar di matanya setiap kali menatap istrinya … cinta memang tak selalu butuh kata-kata.

Saat dahulu Ying hancur di ruang dokter, hati Ice juga turut menangis. Waktu itu mereka belum menikah; Ice bisa saja membatalkan rencana pernikahan ketika tahu calon pasangan sehidup sematinya tidak bisa punya anak.

Namun, Ice komitmen pada janjinya bahkan sebelum janji itu diikrarkan di hadapan para saksi. Cinta yang bersahaja menjaga mereka. Mengapa malah Ying yang sempat begitu tega mempertanyakan kesetiaan Ice? Justru pujian setinggi langit harusnya dilayangkan untuk ketegaran suaminya itu, yang tetap setia meski badai hidup melanda.

Saat Ying akhirnya merasa siap dan bersedia mencoba memadu kasih itu bersama Ice, bulan kelima setelah pernikahan mereka, sang suami terpukau. Ying sungguhan mau mengenakan lingerie yang dia pilihkan, dan ukurannya sungguh pas membalut tubuh itu dengan indahnya.

Ying tersenyum malu-malu seraya berbaring di sisi Ice, yang kemudian mengecupnya dengan lembut.

Mencintai dan dicintai rupanya sungguh anugerah yang luar biasa. Cinta yang apa adanya, menerima pasangan tanpa ada yang perlu disembunyikan, memeluk ketidaksempurnaan dan saling menyempurnakan.

"Cantik."

Ice membisikkan pujian itu di telinga Ying, sebelum tubuh mereka menyatu.

.

.

.

.

.

Catatan Penulis:

Ada alasannya cerita yang ini diberi rating M, ya X"D

Mulanya terinspirasi dari lagu "This is Me" oleh Adam Watts / Andy Dodd, yang Roux kenal lagunya dari "Camp Rock"-nya Demi Lovato. Semua karya Roux untuk event ini serba terinspirasi dari lagu XD tapi pengembangannya bisa jadi jauh banget dari makna lagunya.

Yang butuh manisan yang lebih manis, bisa mampir ke cerita Roux yang mengawali pertemuan Ying dengan Ice! :3

"Sugary Little Thing Called Love" & "Sweeter Than Honey"

Terima kasih sudah membaca!

[23 Oktober 2024]