Bab 16: Satu Hal Baru Lagi

Pelajaran terasa begitu lama sampai Naruto tidak begitu fokus dan mudah kesal karena penjelasan sensei bertele-tele. Dia menggoyang-goyangkan kakinya selama pelajaran sampai mejanya bergoyang. Sakura menampar kakinya dan memelototinya. Namun, kecemasan Naruto tidak berkurang. Selama pelajaran, Sasuke tidak ada memasuki kelas. Padahal, seharusnya percakapan di Ruang BK tidak selama itu.

Pada akhirnya jam pelajaran selesai dan bel istirahat berbunyi, Naruto bahkan tidak repot-repot memasukkan buku pelajarannya dan merapikan mejanya, dia sudah keluar kelas.

"Naruto? Kau tidak makan?" tanya Sakura bingung yang melihat pacarnya melesat keluar kelas seperti orang menahan kencing.

"Mungkin Uzumaki sudah tidak tahan mau buang air kecil," komentar Kiba ketika melihat Naruto melesat keluar begitu saja.

"Bodoh kau," balas Shino.

Sakura hanya menghela napas dan mengeluarkan bekalnya. Namun, gadis itu tahu bahwa mungkin Naruto ingin mengetahui kabar terbaru dari Sasuke yang terekam berkelahi. Apapun yang diketahui Naruto nanti, dia akan menanyakannya, lalu membicarakannya dengan Ino. Gadis Yamanaka itu pasti akan sangat semangat menyambut gossip tersebut.

Insting pertama Naruto adalah pergi ke Ruang BK, meskipun dia tahu bahwa hal itu sia-sia. Sasuke sudah lama tidak berada di sana, dan dari jendelanya yang tertutup oleh gorden dan lampu yang dimatikan, Naruto bisa melihat ruangan tersebut tidak dibuka. Lagipula, tidak mungkin Sasuke akan ditahan selama itu di Ruang BK. Karena Ruang BK sudah dicoret dari daftar pencarian, Naruto beralih ke opsi selanjutnya; menanyakan kondisi Sasuke via chat.

Sasuke sudah membaca seluruh pesan yang dikirim oleh Naruto tadi pagi, tapi pemuda itu sama sekali tidak membalas satu pesan pun. Naruto berdecak kesal, tapi dia tetap mengirim pesan kepada Sasuke.

Naruto: Aku sudah dengar. Bagaimana tadi di Ruang BK? Apa kau baik-baik saja?

Naruto melihat sejenak layar Blackberry-nya, tapi Sasuke tidak merespon apapun.

Naruto: PING!

Naruto: Kau dimana sekarang?

Dengan gusar, Naruto berjalan di sepanjang koridor gedung, berharap dia menemukan sosok Sasuke. Namun, hal itu tidaklah segampang yang diharapkan.

Naruto: Apa kau sudah pulang? Tolong balas pesanku!

Saat Naruto sudah ingin menelepon si Uchiha muda, Sasuke membalas pesannya.

Uchiha: Aku ada di balkon.

Hanya butuh 1 jawaban dari Sasuke, Naruto segera berlari dari lantai 1 menuju balkon di lantai 4. Dia menabrak semua murid yang tidak sempat menghindar, tidak membalas sapaan para teman-temannya, bahkan rasanya dia tidak melihat apapun kecuali bahwa dia tahu orang yang dicarinya ada di balkon lantai 4. Rupanya, Sasuke belum pulang. Dia juga tidak masuk kelas. Namun, itu semua tidak penting. Yang terpenting saat ini hanyalah keberadaan Sasuke.

Pintu besi balkon tidak ditutup rapat dan Naruto membukanya tanpa kesusahan. Angin yang menggigit di akhir bulan Oktober tidak dihiraukannya. Blazer-nya berkibar tertiup angin, rambutnya yang sudah diberi hair gel pagi itu sudah acak-acakan lagi karena angin yang kencang. Seperti biasa, balkon bukanlah tempat favorit siswa di Musim Gugur. Namun, Naruto tidak peduli. Dia berjalan menyusuri seluruh balkon untuk menemukan sosok Sasuke.

Sosok yang sedari pagi dicarinya sedang duduk bersandar di tembok. Kedua telinganya disumpal headphone dan tas sekolahnya diletakkan begitu saja di sebelahnya. Kali ini, tidak terlihat batang rokok di antara kedua tangannya. Perasaan Naruto campur aduk, antara cemas, penasaran, marah, dan takut jika konsekuensi dari tindakan Sasuke adalah dikeluarkan dari sekolah.

Setidaknya dia ada di sini, batin Naruto ketika dia memutuskan untuk duduk di samping pemuda Uchiha tersebut.

Dia menepuk bahu Sasuke, barulah pemuda itu menyadari kehadiran Naruto. Dia melepaskan headset yang ada di kedua telinganya dan menggulungnya.

"Hai," sapa Naruto.

Sasuke mendengus geli.

"Jadi… apa yang terjadi? Kata anak-anak kau berkelahi?" tanya Naruto.

Sasuke menghela napas tajam sebelum bicara. "Kau ingat anak dari sekolah lamaku? Yang kakinya kupatahkan dan sekarang direhabilitasi?"

Naruto mengangguk dalam diam. Sasuke menyandarkan kepalanya ke tembok dan menatap Naruto. "Ternyata teman-temannya mendatangiku di Tokyo dan kebetulan kami bertemu. Saling menyapa dan berfoto untuk kenang-kenangan," ujar Sasuke sambil diakhiri dengan kekehan.

Namun, Naruto tidak tertawa. Kali ini, dia melihat seluruh wajah Sasuke yang babak belur dan ditutupi oleh banyak plester. Matanya masih bengkak, sudut bibirnya biru, dan kedua pipinya berwarna ungu. Kondisi Sasuke sangat mengerikan, membuat Naruto meringis ketika membayangkan betapa menyakitkannya wajah Sasuke.

"Lalu video berkelahimu, apa itu benar?" tanya Naruto. "Kau tahu siapa yang merekamnya?"

Sasuke mengangkat bahunya. "Seseorang yang menganggap dirinya lucu."

Naruto memutar bola matanya secara sinis. "Lalu, bagaimana percakapanmu di Ruang BK? Kenapa kau tidak langsung masuk kelas setelahnya?" tanyanya beruntun.

Sasuke menghela napas. "Pertama, aku tidak dikeluarkan dari sekolah. Kedua, aku hanya diskors selama 1 minggu. Ketiga, masa skors-ku dimulai hari ini, jadi aku tidak harus masuk kelas."

Naruto mendengar penjelasan itu dengan wajah berkerut. Dia senang bahwa Sasuke tidak dikeluarkan dari sekolah, yang berarti pemuda itu punya kesempatan satu kali lagi untuk menyelesaikan masa SMA-nya dan mendapat ijazah. Yang kedua, dia bingung mengapa Sasuke malah menghabiskan waktu di balkon yang dingin dibandingkan pulang ke rumahnya.

"Setidaknya 1 minggu waktu yang cukup untuk pemulihan operasi plastik," komentar Naruto.

Sasuke tertawa mendengarya. "Kau masih berpegang teguh pada saranmu itu?"

Naruto mengangkat bahunya. "Jangan sampai kau menakuti anak kecil dan ditangkap polisi karena mengganggu ketertiban umum."

Sasuke hanya mendengus. "Kau masih bisa menceramahiku soal ketertiban umum. Serius, kau cocok sekali jadi politikus."

Naruto hanya melambaikan tangannya. "Terserahlah, Uchiha."

Bel tanda selesai istirahat telah berbunyi, membuat Naruto refleks bangkit dan menepuk-nepuk celananya yang kotor. "Yah, aku sudah harus masuk kelas lagi," katanya.

Sasuke masih duduk, dia belum merubah posisinya. "Selamat berjuang, Uzumaki."

"Jangan meledekku, Uchiha." Dia menatap Sasuke. "Apa kau mau di sini sampai jam pulang sekolah?" tanya Naruto.

"Tentu saja tidak. Aku hanya menunggu Game Centre buka saja," jawab Sasuke santai.

Naruto mendengus. "Enak sekali jadi dirimu."

Lalu, dia turun dari balkon. Mungkin Sasuke akan langsung pergi dari gedung sekolah begitu situasi sudah tidak ramai lagi. Bukannya tidak mungkin jika Sasuke langsung pergi ke Game Centre. Mengingat Uchiha muda tersebut sudah familiar dengan membolos sekolah dan berkelahi, Game Centre adalah tempat paling tepat untuk menghabiskan waktu.

Sesampainya di kelas, Sakura sudah menantinya dengan mata berkilat-kilat. Matanya tidak lepas memandang Naruto, bahkan ketika pemuda itu duduk dan membereskan buku-buku pelajarannya yang tadi tidak sempat dimasukkan ke dalam tas.

"Jadi, apa kau bertemu dengan Uchiha?" tanya Sakura tanpa basa basi. "Apa dia benar-benar berkelahi? Siapa yang merekam videonya?" tanyanya beruntun. Bahkan, Naruto saja belum selesai memasukkan buku pelajarannya.

"Dia di balkon," jawab Naruto.

"Kenapa dia tidak masuk kelas?" tanya Sakura lagi.

Naruto melirik sekeliling mereka, dimana para siswa masih sibuk dengan urusan masing-masing sambil menunggu sensei yang mengajar masuk ke dalam kelas. Tampaknya tidak ada yang mendengarkan percakapan mereka, tapi telinga manusia jauh lebih tajam dari milik kelelawar jika menyangkut urusan gossip orang.

"Nanti saja," bisik Naruto. Dia tidak mau orang lain mendengarkan hal-hal tidak mengenakkan tentang Sasuke. Meskipun cepat atau lambat orang-orang akan tahu, tapi Naruto tidak mau menjadi sumber informasi. Biarkan orang lain tahu dengan cara mereka sendiri, yang jelas tidak darinya. Hanya saja, jika dia memberitahu Sakura, sudah pasti Ino akan tahu juga. Mereka berdua itu satu paket dalam menerima informasi. Sakura tidak akan bisa menyimpan informasi pribadi tersebut lebih dari 2 jam. Lalu, jika Ino sudah tahu, maka informasi yang bobol sudah tidak bisa dicegah lagi untuk mengalir deras.

Sakura mengangguk, meskipun matanya masih sangat penasaran dan tidak sabar. Namun, jika dia mau informasi lengkap dari Naruto mau tidak mau dia harus menunggu. Setelah berpacaran selama 2 tahun, dia tahu beberapa karakteristik Naruto Uzumaki. Salah satunya, pemuda itu terlalu serius dalam menanggapi suatu masalah yang dia anggap penting, sehingga kadang sulit mendapatkan informasi darinya. Bukannya Sakura tidak suka sifat Naruto yang seperti itu, hanya saja kadang dia merasa gemas karena Naruto seharusnya bisa lebih santai.

Seorang sensei masuk ke dalam kelas dan suasana kelas menjadi hening. Buku pelajaran dibuka dan untuk 100 menit ke depan, rasa penasaran itu menghilang dari otak Sakura.

.

"Serius? 1 minggu?" ulang Sakura dengan nada penuh penekanan. Naruto mengangguk dan menyesap cola-nya. "Tapi, kenapa dia berkelahi? Dengan siapa?"

Naruto mengangkat bahunya. "Dengan anak dari sekolah lamanya."

"Ha?" Sakura membuat raut wajah bingung. "Sekolah lamanya, maksudmu di Kyoto? Anak Kyoto datang jauh-jauh hanya untuk berkelahi dengan Uchiha?" tanyanya bingung.

Naruto lagi-lagi hanya mengangkat bahu. "Seperti itu penjelasan darinya."

Sakura mendengus. "Tidak masuk akal. Konyol sekali. Untuk apa mereka datang jauh-jauh naik Shinkansen hanya untuk berkelahi di pinggir jalan?"

Memang aneh dan tidak masuk akal, Naruto juga berpikir seperti itu. Sebenci apapun mereka pada Sasuke, mendatangi Tokyo di hari random hanya untuk mencegat Sasuke berkelahi, itu sudah terlalu aneh. Kecuali, tentu saja ada pemicu lain yang membuat mereka rela datang jauh-jauh ke Tokyo dan mencegat Sasuke. Mungkin, sebuah faktor luar yang menyulut api kebencian yang hampir dilupakan, tapi dengan siraman bensin yang tepat, api tersebut bisa kembali berkobar lagi.

Dan, Naruto hanya memikirkan satu nama saat ini. Satu-satunya orang yang punya kemampuan dan kekuasaan yang cukup besar untuk menyelidiki masa lalu Sasuke sendirian, serta orang yang punya cukup uang untuk dihamburkan untuk memberi modal para pemangsa yang kelaparan.

"Naruto?" celetuk Sakura sambil menjentikkan jarinya di depan Naruto. Pemuda itu mengerjapkan matanya beberapa kali hingga kembali fokus pada kekasihnya.

"Maaf, kau bicara apa tadi, Sakura-chan?" tanya Naruto.

"Aku bilang, apa kau tahu sesuatu?" ulangnya.

"Sesuatu… maksudnya seperti apa?" Naruto bertanya balik.

Sakura melahap kentang gorengnya. "Apa kau tahu siapa yang merekam video tersebut? Bukankah orang yang merekam juga seharusnya terlibat perkelahian?"

Naruto menggeleng. "Aku tidak tahu. Kurasa siapapun yang mengirimnya, dia pasti memberikan video itu secara anonim. Itu adalah trik lama."

Sakura mengangguk. "Benar juga," ujarnya. Sakura mengambil satu butir kentang gorengnya dan mencocolkan sambal sebelum memakannya. "Tipikal pengecut. Aku benci sekali menghadapi tipe seperti itu."

"Begitulah," sahut Naruto.

Pikirannya tidak fokus pada Sakura maupun percakapan mereka. Dia terus-menerus kembali memikirkan Sasuke dan hukumannya, serta kemungkinan orang yang merekam kejadian tersebut. Dia memikirkan dua minggu yang akan Sasuke jalani.

"Apa kau akan mengunjunginya?" tanya Sakura.

"Siapa?"

Sakura memutar matanya bosan. "Uchiha. Atau mungkin kau sudah lupa percakapan kita 5 menit yang lalu?"

"Mengunjunginya?" tanya Naruto tidak paham.

Sakura menghela napas dengan gusar. Naruto itu bisa sangat pintar, tapi juga kadang jalan pikirnya tidak tertebak. "Bukankah kau tinggal dalam satu kompleks perumahan? Kau bisa memberikan materi pelajaran hari ini sepulang sekolah. Supaya dia tidak terlalu tertinggal."

Seolah ada bola lampu yang akhirnya menyala di kepala Naruto, pikirannya menjadi jernih. "Benar juga!" katanya sambil menyunggingkan sebuah senyuman yang cerah, sampai membuat matahari malu. "Sakura-chan, kau jenius!"

Sakura mendengus geli. "Kau memang aneh." Gadis Haruno itu meneguk cola-nya sebelum kembali memakan kentang gorengnya. "Nanti kabari aku jika kau tahu kabar terbarunya ya," kata Sakura lagi.

"Iya iya. Memangnya kau pembawa acara gossip?" tanya Naruto.

Dari balik meja, Sakura menendang kaki Naruto dengan main-main. "Diam kau."

Naruto hanya tertawa terbahak-bahak.

Setelah mereka menghabiskan makanan mereka di restoran cepat saji, Sakura berpisah dengan Naruto. Gadis itu pulang ke rumahnya sementara Naruto melanjutkan langkahnya menuju tempat bimbelnya. Meskipun dia penasaran dan belum puas dengan jawaban Sasuke, pemuda itu masih harus melakukan kewajibannya untuk belajar di bimbel.

Selama di bimbel, Naruto sudah gatal untuk meraih ponselnya dan mengirimi Sasuke pesan. Namun, tentu saja dia tidak melakukannya. Dia harus fokus pada pelajaran yang sedang diajarkan. Karena itu, selama bimbelnya berlangsung, Naruto tidak henti-hentinya menatap jam dinding di depan kelas dan mengutuki betapa lamanya waktu berjalan.

Ketika waktu menunjukan pukul 6 sore, Naruto bahkan tidak berpikir dua kali untuk keluar dari kelas, membuat guru bimbelnya menatapnya bingung, karena Naruto selalu aktif bertanya dan berdiskusi. Langkahnya lebar-lebar dan dia sedikit berlari-lari kecil di sepanjang jalan. Angin musim gugur bertiup kencang dan Naruto mengeratkan syal yang dipakainya. Sweater yang diberikan Sakura menjaga tubuhnya supaya tetap hangat.

Uap dingin keluar dari mulut dan hidung Naruto setiap kali dia bernapas. Hingga akhirnya dia sampai ke lingkungan yang sudah sangat familiar, kompleks perumahannya. Tidak sulit melangkah menuju kediaman Uchiha, tapi ketika Naruto sampai di depan gerbang rumahnya, dia terdiam. Lampu-lampu telah dinyalakan dan sama seperti rumah lainnya di kompleks, suasana hening mendominasi. Naruto mengeluarkan ponselnya dan mulai mengetik pesan pada Sasuke.

Naruto: Lihat keluar jendelamu.

Naruto berdiri di tepi jalan sambil menunggu Sasuke membaca pesannya. Dia kira akan memakan waktu lama, tapi Sasuke langsung membaca pesannya dan dia mendongak menatap lantai dua, tempat jendela kamar Sasuke berada. Dengan perlahan, ada sebuah siluet yang bergerak dari dalam dan menyibak gorden jendela tersebut.

Naruto menyengir lima jari ketika melihat Sasuke balas menatapnya dari jendela kamarnya. Lalu, pemuda berambut pirang itu mengambil ponselnya dan menelepon Sasuke. Sasuke mengangkat telepon itu tidak sampai dua detik setelah ponselnya berdering.

"Bisa tolong turunkan rambutmu supaya aku bisa naik ke kamarmu?" tanya Naruto sambil tertawa.

"Pernahkah ada orang yang berkata bahwa kau tampak seperti penguntit dari atas sini?" balas Sasuke.

Naruto tertawa mendengar kalimat tersebut. "Aku hampir mati membeku di sini, Uchiha."

Dia mendengar Sasuke mendengus. Eskpresi Sasuke yang skeptis tapi juga terhibur sangat menyenangkan untuk dilihat. "Tunggu sebentar," kata Sasuke. Dia tidak terlihat lagi dari jendela kamarnya, tapi dari suara telepon mereka yang masih tersambung, Naruto bisa mendengar suara pintu kamar Sasuke terbuka dan suaranya berjalan menuruni tangga.

Tak berselang lama, dari suara telepon terdengar bunyi kunci pintu depan terbuka dan bersamaan dengan pintu depan yang terbuka. Sosok Sasuke yang memakai pakaian rumah sambil menggenggam ponsel tampak begitu nyata.

"Hai," kata Naruto.

"Kau memang aneh," ujar Sasuke sambil mematikan sambungan teleponnya. Dia berjalan keluar rumah dan membuka pintu pagar agar Naruto bisa memasuki rumahnya.

"Kenapa kau datang?" tanya Sasuke sambil masuk ke dalam rumahnya diikuti oleh Naruto.

"Aku membawa catatan pelajaran hari ini," jawab Naruto.

"Naruto-kun!" sapa Mikoto sambil keluar dari dalam rumah. Seperti biasa, rambut hitam legamnya disanggul rendah dan wanita itu memakai gaun rumahan. "Apa kalian ada kerja kelompok lagi?" tanya Mikoto.

"Begitulah," jawab Naruto.

"Ayo naik," kata Sasuke. Naruto membungkuk pada Mikoto sebelum mengikuti Sasuke naik ke lantai dua, menuju kamar Sasuke.

"Kau sudah memberitahu Mikoto-san mengenai skorsmu?" tanya Naruto sambil naik di tangga.

Sasuke membuka pintu kamarnya dan memasukinya. "Sudah," jawab Sasuke singkat.

"Apa tanggapannya?"

Sasuke mengangkat bahunya. "Tidak ada. Aku pernah diberikan hukuman yang lebih buruk dari ini," ujar Sasuke.

Naruto tidak menanggapi. Dia mengeluarkan fotokopi buku catatannya dan menaruhnya di meja belajar Sasuke. Si pemilik kamar sendiri tidak tertarik untuk melihat fotokopi catatan pelajaran yang telah susah payah diberikan oleh Naruto.

"Kau bisa membuka sweater dan syalmu," ujar Sasuke.

"Ah, iya." Naruto mulai membuka syal dan sweater-nya. Rambutnya menjadi sedikit berantakan karena membuka sweater yang merupakan hadiah dari Sakura. Naruto meletakkan sweater dan syalnya di punggung kursi belajar Sasuke. Lalu, dengan santai, Naruto duduk di pinggir ranjang Sasuke.

"Sudah merasa di rumah sendiri?" tanya Sasuke sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana training hitamnya.

"Jadi… bagaimana keadaanmu?" tanya Naruto. Plester-plesster di wajah Sasuke sudah diperbaharui, tapi masih terlihat sangat bengkak dan mengerikan.

"Kita baru saja bertemu beberapa jam yang lalu di sekolah. Kau bersikap seolah-olah aku sedang sekarat di ICU," jawab Sasuke.

Naruto mendengus. "Kondisimu masih bagus kalau kau masih bisa bersikap brengsek," kata Naruto.

Sasuke hanya mengangkat bahunya tidak peduli. Naruto memandang ke sekeliling kamar Sasuke dan melihat bahwa PS4 di kamar Sasuke masih menyala dan game yang sedang dimainkan Sasuke sedang di-pause. Joystick yang tergeletak di lantai yang dilapisi karpet dan penghangat.

"Aku sedang menginterupsi sesuatu yang penting ya?" kata Naruto sambil berjalan menuju PS4 dan duduk di depan layar televisi Sasuke.

"Begitulah. Aku sedang turnamen," jawab Sasuke.

Naruto mengambil joystick PS4 dan memulai lagi game yang sedang dimainkan Sasuke. "Awas kalau kau sampai membunuh karakterku," kata Sasuke sambil duduk didekatnya. Dengan lihai, jari jemari Naruto mulai menekan-nekan berbagai fitur di joystick dan karakter game Sasuke juga bergerak sebagaimana Naruto mengendalikannya.

"Diluar dugaan, kau jago bermain," komentar Sasuke.

Naruto tertawa lebar sambil melirik Sasuke. "Aku punya game ini di rumah," jawab Naruto.

"Aku tidak melihat PS4 di kamarmu saat itu," kata Sasuke.

Naruto masih menatap tajam ke layar. Dia masih sibuk membuat karakter game Sasuke hilir mudik menembaki musuh. "Ibuku tidak memasangnya di kamarku, tapi di Ruang Keluarga."

"Kenapa di Ruang Keluarga?" tanya Sasuke.

"Supaya Ibuku bisa memantau bahwa kami tidak terus-menerus bermain PS4 jika di kamar."

"Kami?"

"Aku dan kakakku."

Sasuke mengangguk mengerti. Dia hanya mengamati cara Naruto memainkan game di PS4-nya dan memutuskan bahwa Naruto cukup lihai. Sebenarnya, Sasuke sudah tahu bahwa tidak bisa hanya menilai Naruto dari tampilan luarnya, tapi dia tidak bisa berhenti terkejut ketika melihat Naruto melakukan suatu hal baru yang belum pernah dilihatnya. Cara kedua tangannya memainkan joystick, lalu pandangan matanya yang penuh determinasi dalam menyelesaikan game, kedua alisnya yang berkerut, bibirnya yang terkatup rapat, jelas bahwa Naruto sudah sering dan familiar dengan PS4.

"YES! Aku menang!" seru Naruto setelah seluruh musuh ditembakinya tanpa henti. Tulisan di layar televisi menunjukkan bahwa Naruto telah memenangi game tersebut. Dia meletakkan joystick-nya.

"Sudah puas menyabotase kamarku?" tanya Sasuke.

"Kau ini pelit sekali," ujar Naruto. "Aku berbaik hati mengantarkan catatan pelajaran dan seharusnya kau berterima kasih padaku."

"Aku sudah membiarkanmu menyabotase game-ku."

Naruto hanya melambaikan tangannya acuh tak acuh. Dia berdiri dan mengambil sweater dan syalnya. "Terserahlah, Uchiha." Dia memakai lagi sweater dan syalnya.

"Kau sudah mau pulang?" tanya Sasuke, meskipun sebenarnya dia tahu bahwa Naruto tidak datang hanya untuk bermain bersama.

"Aku sudah mengantar catatan pelajaran untukmu. Jangan lupa dipelajari, Uchiha~" kata Naruto.

Sasuke mengantarnya keluar dari rumah, setelah bertegur sapa sejenak dengan Mikoto. Mikoto menawarkan Naruto untuk makan malam bersama, tapi Naruto menolak dengan halus. Dia melilitkan lagi syalnya karena udara semakin dingin di malam hari.

"Sampai jumpa besok."

Sasuke hanya menaikkan alisnya. Dia ingin menjawab Naruto, tapi pemuda itu sudah menghilang dengan cepat di jalanan. Karena udara semakin dingin, Sasuke juga merasa semakin dingin sehingga dia masuk ke dalam rumahnya lagi.

.

Kegiatan Sasuke ketika diskors tidak begitu buruk. Dia bangun siang, tidak harus mendengar Ibunya mengoceh panjang lebar karena akan telat masuk sekolah, tidak harus duduk di tempat yang sama selama berjam-jam, mendengar Shikamaru mendengkur dan dilempar kapur (kadang pecahan kapurnya mengenai meja Sasuke yang duduk di belakangnya), ataupun mengerjakan tugas-tugas tidak penting. Dia bermain PS4 seharian, makan ketika lapar, dan kembali bermain PS4 hingga dia bosan dan akhirnya membaca komik. Atau menggambar di buku sketsanya.

Namun, dia tidak bisa bertemu Naruto di pagi hari, tidak bisa berjalan bersama dengannya menuju sekolah, lalu menatapnya di kelas, lalu pulang bersama. Mungkin hanya itu satu-satunya hal yang disayangkan oleh Sasuke. Dia membayangkan betapa banyaknya waktu yang akan Naruto habiskan dengan Sakura. Mungkin Naruto tidak akan merasa kehilangan, karena sebelum ini pun, Sasuke tidak ada di dalam hidupnya. Memikirkan hal itu hanya membutnya gusar karena dia diskors untuk hal konyol yang bahkan tidak merupakan sepenuhnya kesalahannya. Dia menutup komiknya dan meraih fotokopi catatan pelajaran yang diberikan oleh Naruto kemarin malam.

Sebenarnya, Sasuke tidak ada niat untuk belajar. Dia hanya meraih tumpukan kertas itu karena sudah dari kemarin malam tergeletak begitu saja di meja belajar Sasuke. Dan sekarang, karena dia sudah bosan, akhirnya dia meraihnya. Seperti yang diharapkan dari seorang Naruto Uzumaki, catatannya begitu rapi dan mudah dibaca. Naruto mencatat semua hal penting, semua rumus penting yang biasa keluar di ujian, dan menggarisbawahi semua poin penting. Hanya dari membacanya saja, Sasuke merasa dia sudah paham semua materi yang diajarkan hari itu.

Setelah puas membacanya, Sasuke menaruh lagi catatan tersebut di rak bukunya. Lalu, dia melihat jam dinding di kamarnya dan ternyata waktu sudah berlalu hingga lewat 5 sore. Begitu cepatnya waktu berlalu ketika Sasuke sedang bersenang-senang dan tidak berada di sekolah. Sebenarnya, dia ingin sekali pergi ke Game Centre daripada terkurung di rumah seperti tahanan rumah. Namun, Mikoto pasti tidak akan mengizinkannya. Apalagi, Suigetsu saat ini pasti sedang berada di atas angin. Sasuke memikirkan berbagai cara untuk membalas pemuda sialan itu ketika dia masuk sekolah lagi.

Ketika Sasuke ingin menutup gordennya, dia melihat lagi ke arah jalan, tempat Naruto berdiri kemarin malam seperti orang aneh. Namun, semangat Sasuke meningkat ketika melihat lelaki itu mendatanginya di malam hari. Kali ini, matahari masih bersinar, langit senja berwarna kelabu bersemburat jingga. Pepohonan di sekitar rumah Sasuke bergoyang kencang ditiup oleh angin. Naruto tidak ada di depan rumahnya, tidak menyengir seperti orang bodoh yang terlalu banyak serotonin.

Sasuke mendengus. Dia tidak mengharapkan kedatangan Naruto lagi hari ini. Dia tidak boleh. Naruto memang bisa bersikap manis, mungkin itu bagian dari sifat alaminya atau karena kebiasaannya selama ini sebagai pemuda yang sempurna. Sasuke tidak boleh salah paham dengan tindakan itu. Seperti kata Shikamaru, dia tidak bisa menginginkan semuanya. Mungkin Naruto melakukan tindakan itu ke semua siswa yang diskors, karena dia peduli. Hanya karena Sasuke diperlakukan dengan baik oleh Naruto, bukan berarti dia spesial.

Dia menutup gordennya dan memutuskan untuk tidak menatap ke jalanan lagi.

.