a bllk boys love fanfiction

— itoshi rin x isagi yoichi #rinsagi

happy reading, guyss!

* * *

Kamar abu-abu gelap yang biasa terlihat bersih dan rapi, kini terlihat berantakan. Beberapa barang terlihat berserakan memenuhi segala sisi ruang, baik lantai maupun permukaan kasur. Si pemilik ruangan pun tampaknya masih sibuk membongkar dan mengorek laci bagian bawah lemari pakaian. Entah sudah berapa kali suara decak dan dengkusan keluar dari belah bibir lelaki jakung sangat kasar.

"Bangsat! Dimana sih kotaknya?!"

Rin tengah merutuki dirinya sendiri atas keteledoran yang telah dilakukan. Dirinya bukan tipikal seseorang yang mudah melupakan sesuatu dengan mudah, namun sepertinya Dewi Fortuna memang sedang tidak ingin bersandingan. Barang penting yang telah dia siapkan untuk malam ini mendadak tak dapat ditemukan.

Sebuah kotak beludru biru tua yang terdapat dua buah cincin di dalamnya.

Sepasang cincin itu telah dipesan Rin jauh-jauh hari, disimpannya dengan rapi di salah satu sudut laci yang sayangnya tak menampakkan diri di hari yang spesial ini.

Tepatnya tanggal sebelas di bulan Oktober. Hari dimana seorang Itoshi Rin hendak melamar Isagi Yoichi, mantan rival sejati yang sekarang telah berubah posisi menjadi pujaan hati.

Angka 10 dan 11 memiliki arti spesial bagi mereka berdua. Sepasang angka yang menjadi nomor punggung jersey keduanya saat pertama kali bertanding dalam satu tim yang sama. Memperkenalkan pada dunia akan keberadaan Blue Lock dan kehebatannya pada dunia.

Dan perpaduan kedua angka tersebut di dalam kalender dipilih Rin sebagai tanggal yang tepat untuk melamar sang kesayangan.

Terlihat romantis sekali bukan?

Meski gelar pujangga tidak mencerminkan Rin sekali, namun nyatanya seorang Isagi Yoichi mampu mengubah sosok yang selalu dingin dan acuh hati menjadi budak yang haus akan cinta seperti sekarang ini.

Semua persiapan telah disiapkan mulai dari reservasi makan malam di restoran ternama, menyiapkan setelan blazer yang secara khusus dipesannya, memesan bouquet bunga anyelir yang adiwarna, melakukan maintenance mobil agar prima saat digunakan berkendara, juga mengumpulkan saran kakak lelaki serta beberapa teman tentang cara melamar yang baik dan benar. Bahkan dirinya dengan sengaja menata rambutnya dengan pomade agar terlihat lebih menawan dari biasanya –juga karena Isagi pernah memujinya tampan.

Rencana meminang yang telah Rin tata jelas terlihat dengan sempurna, jika saja benda paling sakral itu menampakkan wujudnya.

"Sialan."

Sebuah ketukan pada pintu yang terdengar membuat Rin berhenti sejenak dari usahanya mengguncang isi kamar.

"Rin?" suara Yoichi tertangkap indra pendengar.

"Ada apa, Chi?"

"Sekarang udah jam setengah tujuh. Kemarin kamu bilang kita harus sampai di restonya sebelum jam delapan bukan?"

Oh Tuhan, sudah dua puluh lima menit Rin membuang waktu hanya untuk mengacaukan seisi kamar, demi mencari kotak sialan, bahkan menghiraukan eksistensi sang pacar. Dua tahun tinggal bersama terkadang masih sering membuatnya lupa dengan fakta bahwa dirinya tidak lagi hidup sendirian.

"Iya, tunggu sebentar ya, sayang. Habis ini kita berangkat," sahut Rin sambil terus mengorek barang-barang kasar hingga sepertinya suara gemerisik yang dibuatnya terdengar hingga ke luar.

"Is everything okay, Rin?"

Rin menghentikan pergerakan. "Kenapa?"

"Hmm … kamu kedengaran sibuk," beberapa detik diisi keheningan antara keduanya. "Boleh … aku masuk ke dalam?"

Helaan nafas ringan keluar dari bibir Rin. Yaudahlah, mau gimana lagi. Toh, dirinya memang tidak bisa menyembunyikan misi pencariannya lebih lama dari Yoichi.

"Boleh. Pintunya nggak dikunci, Chi."

Pintu di belakang Rin terbuka. Wajah Yoichi memang tidak terlihat tapi dapat dirinya gambar raut bingung di wajah manis sang pacar. Meski begitu, dirinya masih berusaha menggeledah ruangan dan mencari barang yang sangat dia butuhkan.

"Ini semua kamu yang berantakin? Are you trying to find something?"

"Hm."

"Apa yang kamu cari?"

Hening. Tak ada jawaban atas pertanyaan yang terlontar.

"Kamu lagi cari apa, Rin?"

Dia mikirnya aku nggak kedengaran ya?

Kembali tidak ada sahutan dan sepertinya Yoichi sadar bahwa lelakinya ini bukannya tidak dengar, melainkan memang sengaja tidak memberikan jawaban.

Tak lama, Yoichi berjongkok di sebelah Rin. "Butuh bantuan?"

"Nope. I'll try to find it by myself. Maaf kamu tunggu di luar aja, barang-barangnya berserakan semua di lantai."

Seperti mengerti kode bahwa Rin tidak ingin Yoichi mengetahui apa yang tengah dicari, yang lebih tua tak bertanya lagi.

Gelengan kepala pun menjadi jawaban. "Aku temenin kamu disini aja. Duduk diatas aja kasur boleh?"

"Boleh."

Sesaat kemudian hanya tidak ada suara di antara keduanya. Rin sibuk membongkar lemari pakaian dan memeriksa kantong baju serta celana, sedang Yoichi duduk manis sambil menggulir ponsel pintarnya.

Tak lama setelahnya Rin menghela nafas panjang sambil berdiri tegak berkacak pinggang.

"Udah ketemu yang dicari?"

"Nggak ketemu. Udahlah, biarin aja. Lima belas menit lagi udah jam delapan," pintu lemari ditutup kemudian Rin berdiri dari jongkoknya dan rapikan celana kainnya yang sedikit kusut.

"Barangnya diperlukan buat kapan deh? Nanti pulang dinner aku bantu cari deh."

"Gampang, dipikir nanti aja. Sekarang kita berangkat dulu, takutnya kena macet, makin telat sampai restonya."

Diraih tangan kanan Yoichi. "Udah siap?"

"Aku bahkan lebih dulu siap dari kamu, kalo kamu lupa."

Sedikit perasaan kecewa berusaha Rin tekan dan ia sembunyikan dibalik senyuman agar tak membuat malam istimewa mereka menjadi lebih berantakan.

Rin tautkan lebih erat tangan sang tercinta sebagai dorongan bahwa tanpa cincin yang tak tau berada dimana semua tetap akan berjalan sesuai yang semestinya.

Lagipula melamar dengan bunga anyelir sebagai simbolisasi bukan ide yang buruk bukan?

* * *

Keduanya sampai di restoran pukul delapan lewat sembilan. Tak lama, seorang staf menghampiri mereka dan menawarkan diri untuk mengantar menuju private room yang telah Rin pesan. Saling bertukar kode melewati bahasa tangan, Rin telah memastikan semua yang dia pinta sudah sesuai rencana kepada sang pelayan.

Ruangan yang dipilih Rin merupakan sebuah ruang terbuka, dimana pada sisi kirinya terdapat pemandangan mini pond berisi ikan koi dengan air mancur di bagian tengahnya.

"Wah! Ada ikannya ada banyak. Keren banget pemandangannya, Rin!" ucap Yoichi kegirangan.

Melihat betapa senangnya pemuda bersurai navy yang tengah berswafoto dengan pemandangan, Rin diam-diam mengulum sebuah senyuman.

Gak salah emang minta rekomendasi Reo.

Setelahnya, mereka berdua makan dengan tenang. Appetizer dan main course sudah dihidangkan, tinggal menunggu dessert sebagai penutup. Sedikit bumbu tawa dan rengut menyelingi keduanya dalam membunuh durasi. Perbincangan asyik itu sepertinya akan berlanjut jika saja tak ada ketukan menginterupsi.

Oh, udah waktunya ya?

"Eh? Itu ketukan di pintunya kita?"

"Iya, dessert mau dateng mungkin."

Rin bangkit dari duduknya mengundang wajah tanya wajah gemas dihadapan. "Aku ke toilet dulu. Kamu lanjutin makannya ya?" mengusap rambut sang kecintaan sebelum dirinya berjalan keluar ruangan.

Di luar, sudah ada empat staf yang menunggu; satu orang membawakan bouquet bunga, satu orang membawa cake yang telah dia pesan istimewa dan dua lainnya membawa alat musik berupa akordion dan biola.

Jika sesuai rencana, setelah ini dia akan masuk dengan buket anyelir di tangan yang akan diberikannya pada sang kekasih sambil menyatakan kalimat konfesi penuh cinta. Pipi tembam Yoichi pasti akan dipenuhi oleh rona kemerahan favoritnya, kemudian kedua pemain instrumen itu akan masuk dan memainkan melodi bahagia. Dan saat kata kesediaan telah diterima, dirinya keluarkan kotak beludru biru tua yang berisi cincin pertunangan. Adegan pun diakhiri dengan pelukan suka cita dan ciuman mesra.

Ck! Kotak cincin sialan. Plan sempurnanya terancam gagal di akhir sentuhan.

"Maaf, tuan. Apa tidak sebaiknya dimulai sekarang?" Hampir saja Rin bawa kembali emosi negatif di detik krusial.

Anggukan kepala kepada orang-orang di belakangnya menjadi penanda bahwa dirinya akan segera masuk kedalam dan memulai pertunjukan.

Setelah pintu dibuka, semua semua berjalan sesuai agenda. Momen pelukan dan ciuman yang paling Rin nantikan pun juga terlaksana.

Karena pada dasarnya Yoichi memang yang paling memahami, tentang apa-apa saja yang Rin hendaki.

* * *

Sekarang keduanya tengah menikmati pemandangan dengan Yoichi yang bersandar nyaman di pundak sang rupawan. Sepasang kaki yang sama-sama menggantung di pinggir badukan. Terlena menikmati euforia yang tumpah ruah memadati kantong perasaan.

"Rin."

"Hm?"

"Dapet insight dari siapa aja kamu sampai bisa bikin ide ngerencanain hal se-cringe itu?"

"Cringe gitu juga sukses bikin kamu salting."

Sebelah pipi Rin menjadi berhasil menjadi samsak cubitan. "Ihh! Rese banget ya kamu tuh," sementara si korban justru terkekeh ringan.

"Aku tanya-tanya ke kak Sae, sama beberapa anak Blue Lock terutama ke Reo, Karasu sama Yuki."

"Oh. Pantes restonya kelihatan mewah dan bagus banget, Reo ya ternyata?"

Rin mengubah posisi duduknya menjadi sedikit menyamping demi melihat paras manis Yoichi lebih leluasa. Diusap pipi gembil yang tersayang mengisyaratkan agar mencurahkan atensi penuh pada dirinya.

"Tapi jujur ya, Chi. Kamu suka nggak sama surprise tadi? Atau justru kamu ngerasa gak nyaman dan malu?"

Ada sebuah jeda yang mengawang.

"Bohong sih kalo aku bilang aku gak malu sama semuanya tadi. Tapi back again, for me, as long as you're the one who gives it to me, I'll always take it with all my whole heart.

Apalagi dengan fakta bahwa seorang Itoshi Rin mau ngelakuin hal-hal yang out of his characters and you did it special to me. Wah, aku bakal berdosa besar kalo sampai bilang gak suka sama semua yang udah kamu lakukan."

Rin mencintai Yoichi, begitu juga sebaliknya. Cinta keduanya terlihat berbeda, namun tetap mengandung besaran yang seimbang.

"Thank you ya, sayang. I really like it! Eh, bukan. I reaaally love the surprises you've made for me!"

Lihat? Betapa legit senyum yang dilukis sang kekasih setelah mengungkapkan rangkaian bait manis. Tanpa memperdulikan jantung Rin yang kain berdegup lantam, bibir tergurat senyum tentram dengan telinga yang telah serona biram.

"No need to thank me, Chi."

"Still. Thank you, Rin! Aku merasa bahagia banget malem ini sampai rasanya jantungku mau meledak."

Mungkin sebelum itu terjadi, milikku bakal meledak lebih dulu, Chi.

"Dasar lebay," meski yang terlontar di lidah lain dengan yang ada di hati, Yoichi selalu mampu benar dalam menangkap intensi. Keduanya tergelak yang renyah.

Suasana kembali hening dengan gemercik air kolam yang menjadi harmoni pengantar tenang bagi keduanya, seharusnya. Namun, secuil rasa gundah masih mengawang dalam hati salah satu makhluk adam disana.

"Rin?"

"Hm."

"Ada yang lagi ganggu pikiranmu ya?"

Rin memang tidak berbakat mendustai seorang Yoichi yang terkenal sangat ahli dalam berintuisi.

"Sejujurnya, masih ada satu lagi surprise yang mau aku kasih ke kamu. Cuma barangnya hilang," dengkusan nafas kasar lepas dari belah bibir Rin.

Udahlah, persetan sama harga diri daripada bikin kencan jadi gak nyaman.

"Cincin."

"Eh?"

"Ingat kan sebelum berangkat aku bongkar seisi kamar? Itu aku lagi cari kotak cincinnya. Aku ngerasa udah simpan baik-baik di dalam laci minggu lalu. Terus waktu tadi aku mau ambil kok nggak ada.

Well, salah aku juga sih nggak recheck barangnya habis aku letakkan soalnya latihan seminggu ini padat banget jadwalnya. Padahal aku gak pernah seteledor ini, kamu tahu 'kan? Makanya dari siang aku san–"

"Bentar, bentar." Yoichi melepaskan diri dari pelukan. "Kotak cincinnya warna biru dongker bukan?"

Rin mengernyit. "Kok kamu tau?"

"Wait."

Yoichi meraih pouch yang tergeletak di belakang tubuh, kemudian mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna navy yang sedang menjadi perbincangan utama beberapa waktu kebelakang. "Yang ini bukan barangnya?"

"Ya Tuhan," jadi sedari tadi cincin yang ingin diberikan pada Yoichi sudah ada di tangan yang bersangkutan? Jenaka mungkin salah satu genre hidup Rin.

Gelak Yoichi menggema di seisi ruangan, sementara Rin hanya bisa mengurut pangkal hidung mancung miliknya.

"Astaga. Aku gak tahu kalo ini barang yang kamu cari dari tadi," suaranya sedikit tersendat akibat harus berbicara menahan tawa juga menghapus

"Aku ketemu itu di laci dapur dua hari lalu. Aku bingung kok barang bagus gitu ada di tumpukan pasta. Sengaja aku simpan buat aku tanyain ke kamu, soalnya aku gak berani buka dan lihat isinya apa.

Tapi dua hari kebelakang kita jarang ada momen berdua dan aku jadi lupa buat tanya ke kamu," kali ini nada bicaranya sudah kembali tenang. "Aku minta maaf ya, sayang?"

Menyalahkan insiden lupanya Yoichi bukanlah hal tepat, justru disini dirinya merasa bodoh sangat karena spekulasi kelalaiannya ternyata justru akurat.

Helaian segelap gulita di hadapannya dibelai halus. "Jangan minta maaf, Chi. Aku yang salah dari awal karena memang lupa kalo aku masukkan kotak itu di laci dapur, bukan laci di dalam kamarku."

Laci dapur ya? Pantas aja.

Rin melupakan waktu dimana dirinya menyembunyikan kotak tersebut dari Bachira yang hendak mengintip bentukan dari cincinnya. Enak saja dia melihat bagaimana design spesialnya sebelum pemilik asli, Yoichi, mampu melihatnya.

Bergerak pergi dari badukan menuju yang tersayang, Rin bawa tubuh yang lebih kecil dalam dekap erat. Sandarkan empu Yoichi dalam hangat dada bidang.

"Lagipula bakal jadi lebih aneh kalo kamu kasih kotaknya sebelum hari ini, ya 'kan?

Bayangin aku udah siapin kejutan hari ini terus hadiah yang mau aku kasih ketahuan kamu duluan. Aku harus bilang apa coba sama kamu? Mentok ya aku bohongi kamu dan bilang itu hadiah ulang tahun buat kak Sae."

"Which is agak aneh gak sih? Masa kasih kak Sae cincin?" tawa keduanya kembali mengudara.

Dua tubuh yang berpelukan singkat itu pun perlahan luput, berganti sepasang kelereng teal dan navy saling bertaut. Bersama menyelami dalamnya dunia yang hanya tergambar di dalam masing-masing mata bola, merefleksikan wajah keduanya yang membahana.

Kotak beludru dibuka oleh Yoichi hingga menampilkan dua cincin perak mengkilap berbinar, ukiran elok sulur pada tiap sisi terpahat teratur, dengan sebuah permata mungil berkelir turquoise dan sapphire di masing-masing cincin yang tampak juwita bak nur.

"Cincin cantik untuk seseorang yang juga cantik," rayuan Rin meluncur dengan mudah. "Permata hijau itu untuk Yoichi sedang permata biru yang satunya punyaku."

Sepasang cincin yang bukan hanya sebagai pertanda ikatan, namun juga bukti bahwa akan selalu ada kepingan sukma yang seolah berperan sebagai penjaga, sedia mengawasi dimanapun keduanya berada.

Ketika Rin berusaha menggapai kotak Yoichi lebih dahulu menjauhkan telapak dan berdiri, menjulang menghadapi pemilik separuh hati.

"Karena aku yang nemuin cincinnya dan kamu udah lamar aku tadi, sekarang gantian aku," ucap Yoichi gamblang dengan secercah seringai yang tersungging.

Yoichi tumpukan kaki kiri pada tatami dan kaki kanan berjongkok di hadapan sang kekasih. Kedua tangannya menunjukkan cincin pada Rin.

"Dear my beloved, Itoshi Rin. Would you spend your whole life with me?"

Damn! Isagi Yoichi sure will be the death of me.

"Until we stop our career as football players?"

"Until we stop our career as football players."

"Until we choose to adopt a puppy and build a shelter?"

"Until we choose to adopt many puppies and even build a shelter together!"

"Together until rambut kita ubanan kayak Nagi?"

"Hahaha. Yup! together until rambut kita ubanan, putih, kayak Nagi."

"I'd love to, Yoichi. Please, stay with me forever, let me be your partner for the rest of our life."

Tak ada yang lebih indah dari cinta dua manusia yang saling berbagi janji bahagia bersama untuk selamanya.

* * *

fin.