Disclaimer : All characters belong to Masashi Kishimoto

Author's Notes : Halo pembaca, Maafkan saya karena masih belum bisa membuat regular update. Sulit menemukan waktu untuk bisa menulis sekarang. Berhubung lagi bulan puasa saya juga memutuskan jauh-jauh dulu deh dari menulis konten lemon. Fic ini udah ch 6 tapi gak ada adegan nganu, saya sendiri heran koq bisa.

Anyway.. selamat membaca dan let me know what you think? Buat berapa orang ceritanya terlalu lambat dan ngebosenin kali ya. ini juga belom masuk masalah intinya, tapi kalau masih ada yang suka saya akan tetap lanjutin.

Anna.


DANCE OF FLOWER

Chapter 6.

Ino merasa tegang menanti jawaban dari sang Jendral. Keberhasilannya akan sangat bergantung dari kesediaan orang ini untuk membantu. Dia sama sekali tak tahu apa yang bisa membuat Sabaku Gaara, Sosok yang tak pernah ia jumpai sebelumnya tergerak. Jadi Ino hanya bisa mencoba memancingnya dengan uang.

Uang adalah hal yang sulit untuk ditolak dan ia juga tahu orang yang sudah kaya pun tidak akan keberatan mempunyai lebih banyak uang, tapi Ino tak sepenuhnya yakin uang merupakan solusi untuk mendapatkan perhatian Jendral Sabaku, tapi ia tak punya ide yang lebih baik.

Dari semua cerita orang, Ino mendapatkan gambaran karakter Jendral Sabaku sebagai lelaki yang tak memiliki ambisi maupun keserakahan. Tujuan hidupnya tak jauh dari melindungi kota barat dari serangan dan menjaga wilayahnya agar selalu aman. Lelaki ini menolak gelar, jabatan dan tanah yang diberikan Kaisar, Seakan ia tak ingin terlihat berutang pada klan Uchiha atau terlibat dengan mereka. Dia cukup puas dengan posisi yang telah dimiliki.

Klan Sabaku selalu menjaga netralitas mereka di panggung politik dan pekerjaan Ino akan jadi kian sulit andaikata Sabaku Gaara tahu tujuan Ino sebenarnya untuk membantu Itachi dan memuluskan langkah putra mahkota menuju gelar Kaisar.

Klan Sabaku hanya bekerja untuk diri mereka sendiri, bahkan Kaisar pun tak berani memerintah mereka. Keresahan Ino kian menjadi ketika tak melihat antusiasme di wajah Gaara yang membisu cukup lama.

Manik hijau pupus menatap datar, menyembunyikan penilaiannya. Ekspresinya kaku meski tak terlihat bosan. Bukan pembicaraan bisnis yang membuat Gaara menyimak, melainkan sikap nona Yamanaka yang begitu tidak biasa bagi seorang wanita bangsawan.

Budaya Negeri Konoha berbeda dengan wilayah barat di mana para wanita bebas melakukan apa saja. Mereka memiliki hak yang sama seperti laki-laki bahkan bisa menjadi prajurit dan penasihatnya. Sedangkan di kerajaan ini dari utara, selatan maupun timur wanita dipandang sebagai sebuah aksesoris yang dinilai dari fisik dan kemampuannya untuk menyenangkan laki-laki. Gaara tak suka berbaur dengan bangsawan lainnya sebab mereka menganggap kebiasaan dan adat keluarga Sabaku yang ditinggalkan leluhur mereka yang berdarah suna diangap inferior dan primitif, tapi bagi Gaara sebaliknya. ia tak setuju dengan nilai yang dianut lelaki bangsawan kebanyakan, tapi ia tetap menghormati mereka.

Baginya, hidup wanita bangsawan cukup meyedihkan. Mereka dipingit, tak diajarkan hal-hal selain seni dan keterampilan. Jangan harap mereka diizinkan untuk membuat keputusan penting, Apalagi sampai diizinkan untuk mengurus usaha.

Di dataran ini berdagang dianggap hal rendah yang hanya layak dilakulan oleh rakyat jelata, Bangsawan memiliki banyak usaha, tapi mereka tak pernah turun tangan sendirian dan sekarang Nona Yamanaka yang merupakan wanita dengan posisi tertinggi di luar dinding istana malah datang ke mari untuk berbisnis. Bagaimana mungkin ia tak mendengarkan gadis yang baru saja melanggar tradisi.

"Tidak sopan bagiku untuk membiarkan kalian berdiri di sini. Mari kita berbicara di dalam." Gaara turun dari kuda dan menyerahkan tali kekang pada pelayan pribadinya yang tiba belakangan.

Ino mengikuti langkah lelaki berambut merah itu memasuki rumah yang cukup sederhana untuk ukuran bangsawan, Hanya tempat ini yang leluhur mereka mau terima dari kaisar. Kediaman keluarga Sabaku diberi nama Pavilliun pasir emas karena bangunannya didekorasi dengan batu gamping dengan warna kuning seperti emas. Mengingatkan Ino pada cerita tentang gurun pasir yang mendominasi wilayah mereka.

Di belakang tampak Temari dan Shikamaru yang masih cekcok.

"Kau tak boleh masuk ke rumahku." Temari menyetop langkah Shikamaru yang mencoba mengikuti Ino.

"Apa kau tak tahu, Aku ini Shikamaru Nara."

"Aku tak peduli margamu dan tak peduli siapa ayahmu. Aku tak menyukaimu dan enyah dari hadapanku."

Shikamaru geram. "Bila Ino tak memintaku menemaninya aku tak perlu melihatmu lagi. Siapa menduga Nona besar keluarga Sabaku adalah penjudi yang suka bermain curang dan tolong punya otak sedikit, bagaimana aku bisa pulang kalau kereta kudanya sudah pergi."

"Kau punya dua kaki, tinggal berjalan saja, tapi Jika kau tetap mencoba mengangguku aku pastikan kau tak akan bisa berdiri lagi."

Ino menoleh dengan khawatir, tak biasanya Shikamaru menunjukan sikap gusar secara berlebihan. Bocah malas itu lebih sering berlalu dari pertikaian, tapi sekarang ia malah perang kata dengan Temari.

Dahi Gaara pun berkerut. "Temari, Kita tidak sedang berada di barat. Di sini tak semua orang wajib mendengar dan menurutimu. Lagi pula tuan Nara adalah tamu kita. Sekarang aku paham mengapa aku tak mendengar kabar darimu. Ternyata kau belum berhasil menemukan calon suami. "

"Oh, Jadi karena itu kau datang sendiri ke Ibu kota tanpa memberi kabar, Gaara. Khawatir aku akan gagal mencari jodoh? Jangan salah aku lebih kompeten dari yang kau kira."

"Tentu Temari, Dari caramu memperlakukkan tuan Nara aku sudah melihat betapa kompetennya dirimu. Begitu anggun dan mempesona." Gaara dengan berani menyindir sang kakak. "Sampai kapan kau akan bersikap begini?"

Shikamaru mencoba menahan tawa, tapi Ia gagal. Sudah jelas, mana ada pria waras yang mau memiliki istri bak macan seperti Temari.

"Kau juga tahu aku tak pernah ingin menikah."

"…tapi ini demi kebaikanmu dan keluarga kita. Apa kau mau menjadi pengantin Uchiha? Kita bisa menolak hadiah dari kaisar berkali-kali, tapi jika kaisar akhirnya memintamu memasuki istana aku sebagai kepala keluarga tak akan bisa menolak."

"Tunggu, Aku tak pernah tahu Temari akan menjadi kandidat selir." Ino berhenti melangkah. Memang dikehidupan yang lalu Sasuke sempat meminta Temari menjadi salah satu dari tiga selir utama, tapi gadis itu menolak. Gaara mendukung keputusan saudarinya meski itu berarti menentang Kaisar. Meski telah diingatkan para pejabat betapa pentingnya stabilitas antara klan Sabaku dan Istana, Sasuke masih berniat membawa pasukannya ke barat untuk menghukum Jenderal Sabaku dan keluarganya yang dia anggap membangkang, tapi sebelum pertempuran terjadi tersiar kabar akan kematian Temari, rumor berkata gadis itu bunuh diri agar tak terjadi konflik karena dirinya dan Sasuke pun menuruti anjuran penasihatnya sehingga pergolakan tak pernah terjadi, tapi Gaara terlanjur tak menyukai Sasuke.

Ino tak tahu bagaimana kelanjutan masalah itu karena ia telah terkurung di istana dingin dan kemudian dipaksa minum racun, tapi konflik tersebut membuat jurang antara keluarga Sabaku dan istana melebar.

Temari membuka suara, "Bukan rahasia klan Uchiha ingin memperkuat dukungan dengan menggunakan pernikahan. Bukankah kau salah satunya? Mereka memilihmu karena kau dari klan Yamanaka. Dari tiga generasi, keluarga kami tak pernah memiliki anak perempuan. Jadi mereka gagal mengikat klan Sabaku, tapi dengan keberadaanku sekarang hal itu menjadi mungkin"

"Apa buruknya mendukung kaisar?" tanya Shikamaru.

"Jika kami mendukung mereka, pasukan kami hanya akan dijadikan tumbal untuk ambisi mereka yang berniat menaklukan negeri angin yang dengan susah payah kami ajak berdamai. Selama ini kami berusaha tetap netral, tapi pada dasarnya klan Sabaku dan Uchiha memiliki ideologi yang berbeda."

"..tapi, Meskipun menikah, Bisa saja kaisar Fugaku tidak mengakuinya dan membatalkan pernikahan itu. Bukankah sia-sia mencari suami kalau begini?"

"Tidak akan terjadi bila aku menikahi pewaris klan yang banyak membantu klan Uchiha di masa pemberontakkan. Sayang sekali kau tak punya saudara laki-laki Ino. Jika aku menjadi menantu perdana menteri, Kaisar tak akan berani mengganggu gugat."

"Kalau begitu pilihanmu tidak banyak. Hanya ada empat keluarga yang disegani kaisar. Yamanaka, Hyuuga, Shimura." Ujar Shikamaru menjabarkan.

"Dan Nara.." Sambung Temari sembari menatap Shikamaru bak menemukan sekarung berlian.

Pemuda berambut nanas itu langsung merinding.

Mereka tiba di ruang duduk. Tak lama pelayan datang dengan pot teh yang menggepul. Ke empat orang itu duduk di kursi mahoni berukir naga.

"Apa yang ingin kau bicarakan dengan kami, Nona Yamanaka?"

"Aku butuh bantuan kalian untuk bisa membeli beras dan biji-bijian dari pedagang di balik dinding."

"Pedangang dari Suna maksudmu?" Tanya Temari. "Mengapa pula kau ingin mengimpor beras dari negeri tetangga?"

"Karena ini kesempatan untuk mencari laba dan membuat nama. Tak lama beras akan menjadi langka. Cadangan lumbung kerajaan juga kosong. Jika aku menyimpan sekarang bukankah aku bisa menuai banyak keuntungan saat beras langka nanti. Yang aku inginkan kalian memberitahu para pedagang untuk menjual persediaan mereka padaku dan aku akan memberikan sepuluh persen nilai penjualannya." Ino menjelaskan.

"Kau terdengar tamak untuk ukuran gadis bangsawan. Kau tega mencari keuntungan diatas bencana?" Ujar Temari.

"Aku akan menjualnya dengan harga wajar. Niatku mencoba membangun persediaan untuk musim dingin sebab sepertinya istana melupakan hal ini. Kelangkaan akan membuat harga naik dan menyulitkan rakyat kecil. Aku mengerti daerah selatan harus secepatnya pulih agar produksi pangan berjalan normal, tapi hal itu butuh waktu dan sepertinya Kaisar mengabaikan apa yang akan terjadi di ibukota. Jendral, apa aku salah mencoba berbuat sesuatu? Anda juga tentunya tak akan diam saja bila bencana terjadi di Konoha kan?"

"Aku tentu saja akan membantu sebisa mungkin, tapi aku akan lebih mengutamakan kepentingan penduduk di barat."

"Hal itu bisa kami mengerti. Kami tak berniat meminta anda menjual isi lumbung keluarga Sabaku karena itu kami meminta anda memulai negosiasi dengan saudagar dari Suna. Mereka lebih mempercayai anda ketimbang kami dan tentunya anda punya kekuatan untuk menekan mereka agar memberikan harga yang terbaik." Sahut Shikamaru.

"Kalian tak perlu merepotkan Gaara hanya untuk membuat perjanjian dagang. Aku bisa melakukannya." Temari duduk menyilangkan kaki menunjukan wibawanya sebagai komandan prajurit garda barat.

"Apa kau akan membantuku?" Ino bertanya dengan penuh harap.

"Aku tak tertarik dengan uang, tapi kita bisa membuat kesepakatan yang cukup baik."

"Apa yang kau inginkan Temari?"

"Tuan muda Nara menjadi pengantinku."

Permintaan Nona besar itu membuat ke tiga orang lainnya tampak begitu terkejut. Terutama Shikamaru yang wajahnya jadi pucat pasi.

"Ini konyol, Aku tahu kau ingin menikahiku hanya untuk menyiksaku. Bukan begitu? Tak masuk akal."

Ino terdiam, Ia tentu tak bisa mendesak Shikamaru untuk memenuhi permintaan Temari.

"Temari, Kau tak bisa memaksa seseorang untuk menikahimu." Sambung Gaara mencoba bijak.

"Apa kau tahu permaisuri Mikoto sudah punya rencana untukku. Hanya ada dua keluarga yang cukup terpandang memiliki anak laki-laki. Aku tak mungkin menikahi Hyuga Neji yang merupakan kekasih temanku dan satu-satu nya yang tersisa hanya pecundang yang ternyata pewaris keluarga Nara ini."

"Oh..Kau membutuhkan aku, tapi malah bersikap angkuh. Nona Temari, Jika kau sebegitu inginnya lari dari takdirmu untuk menjadi wanita istana bukankah harusnya kau memohon padaku?"

"Nona dari barat tak akan pernah memohon dan menundukkan kepala pada siapa pun. Jadi Ino. Kau yakinkan lelaki ini untuk melamarku dan perjanjian dagang akan kau dapatkan."

"Mengambil wanita yang mematahkan hidungku sebagai istri? Aku belum gila." Sela Shikamaru. "Ino lupakan saja idemu, Aku menemanimu untuk bernegosiasi dan sepertinya tak ada yang bisa kau negosiasikan lagi. Aku tak akan mengadaikan diriku pada nenek sihir untuk membuatmu semakin kaya dan terkenal. Ayo kita pulang."

"Hey kepala Nanas, Jangan besar kepala. Aku tak menyukai pria lemah sepertimu. Kita hanya perlu pura-pura menikah untuk mengelabui Kaisar dan menjalani hidup kita masing-masing."

"Apa ada jaminan kau tak akan berbohong? Aku tak bodoh untuk mengambil langkah yang bisa menyengsarakan hidupku. Maaf Nona Sabaku Temari, Aku tak mau jadi solusi masalahmu."

"Jendral, Bagaimana pendapat anda tentang ini?" Ino berharap Gaara membantu.

"Nona Yamanaka, Saya akan mendukung keinginan saudari saya. Menikahkan Temari dengan bangsawan yang memiliki ranking di bawah keluarga Sabaku hanya akan membuat Kaisar tersinggung dan menganggap kami lancang. Beliau tak akan berani menunjukan keberatan bila kami memilih menikahkan Temari dengan keluarga pejabat pentingnya dan Tuan Nara, tolong pikirkan sekali lagi pernikahan ini tak ada ruginya bagi anda mau pun keluarga anda. Anggap saja ini adalah bisnis, lagi pula selain anda Temari tak punya pilihan lain"

"Apa tak terpikir oleh Jendral apa jadinya bila Kaisar jadi tak menyukai keluarga Nara? Ayahku sebagai penasihat kaisar belakangan ini lebih sering diabaikan. Posisi kami tak sekokoh dulu dan jika Saudari anda tak ingin menjadi selir ia bisa memilih menjadi bikshuni." Shikamaru benar-benar ingin keluar dari rumah ini. Dia sudah lelah terseret masalah yang sebenarnya bukan masalahnya. Niatnya membantu Ino malah jadi bumerang dan dia harus bertemu wanita setan ini pula.

"Hei kepala nanas, Solusi macam apa itu? Apa kau sadar kau tak akan menemukan calon istri yang lebih bermartabat."

Shikamaru mendengus, "Dibayar pun aku tak akan sudi pura-pura menikah dengan wanita bar-bar, Ino aku pulang." Tuan muda Nara berlalu tanpa melihat wajah Temari yang tampak begitu marah.

"Urgh…, Kenapa lelaki lembek dan menyedikan itu harus menjadi putra tunggal keluarga Nara."

Gaara jadi pusing mengetahui satu-satunya calon suami potensial bagi saudarinya kabur. Ia tak menyalahkan Shikamaru Nara. Temari memang sangat menakutkan. Dia dan Kankuro pun masih sering merinding bila melihat kakak perempuan mereka mengamuk.

"Temari, Bila Shikamaru setuju untuk pura-pura menikah denganmu kau akan membantuku kan?" tanya Ino sekali lagi.

"Tentu saja. Aku memegang kata-kataku. Bila perlu aku akan memberikan suplai beras dari lumbung kami."

"Kalau begitu ayo bergegas, Kita harus menemui seseorang."

"Siapa?" Tanya Temari

Ino tersenyum licik dari balik cadarnya. Dia akan minta maaf pada Shikamaru nanti. Saat ini upaya menyelamatkan reputasi putra mahkota lebih penting.

"Shikamaru tak akan bisa menolak perintah ibunya." Jawab Ino memberi petunjuk.

Temari menyeringai dan menepuk tangannya "Ah, Aku paham."

Gaara duduk manis menelan sisa teh nya, ternyata wanita memang menakutkan dan dia merasa kasihan pada tuan Nara yang tampaknya akan menjadi bulan-bulanan kakaknya. Bila Temari menginginkan sesuatu dia akan mendapatkannya.

Gaara memutuskan untuk tinggal sementara di Ibu kota sembari mengali informasi. Di wilayahnya telah terjadi beberapa kali serangan dari sekelompok orang yang mengatasnamakan diri mereka sebagai kelompok loyalis Sunagakure. Anehnya setelah investigasi mendalam. Kelompok ini dibiayai bangsawan Konohagakure bukan diprakarsai oleh Negeri Suna yang selama lima tahun belakangan ini menjalin hubungan baik dengannya. Sesuatu yang buruk telah terjadi, tapi untuk saat ini tidak terlihat. Sepertinya ada pihak yang diam-diam sedang mencoba meruntuhkan stabilitas yang ia miliki di wilayahnya. Pertanyaannya, Apakkah ini perintah kaisar atau ada sesuatu yang lain bersembunyi dari permukaan. Sepertinya situasi politik yang damai ini hanya kamuflase.

.

.

.

Ino merasa beruntung, Ibu Shikamaru sangat menyukai Temari dan gembira menemukan wanita hebat untuk dijadikan menantu dan Ino juga menjadi lebih dekat dengan gadis itu. Sayang sekali Shikamaru tak merasakkan hal yang sama. Pemuda itu tampak bersungut-sungut tiap kali sang Ibu memuji calon menantunya. Shikamaru bahkan tak diizinkan untuk berkata buruk mengenai tunangannya. Ia minta tolong pada sang ayah pun percuma karena ayahnya juga takut pada sang Ibu.

Beruntung ide pernikahan ini tak ditentang kaisar. Temari bisa bernafas lega. Ia hanya perlu menghindari tunangannya yang tampak bersungut-sungut.

"Tak bisa kah kau menunjukan ekspresi yang lebih baik? "

"Kau sudah merusak rencana hidupku." Keluh Shikamaru.

"Memang kau punya rencana hidup? Ibumu menggeluh padaku kalau kau tak punya ambisi apa-apa. Kau bahkan menolak jabatan magistrate muda. Dengar jika kau ingin seharian menatap awan, kau bisa melakukan nanti. Aku tak peduli akan apa yang kau lakukan. Lebih baik setelah menikah kita pindah ke barat dimana tak akan ada orang yang mengawasi kita. Cukup setengah tahun saja dan kau bisa kembali ke ibukota."

"Tapi aku tak bisa menceraikanmu."

"Tidak, tapi kau bisa mengambil istri ke dua, ke tiga dan seterusnya. Aku harus tetap menyandang posisi Nyonya Nara agar pihak istana tak mengusikku lagi."

"Temari, Maukah kau mendengar satu permintaanku?"

"Apa?"

"Jika kau ingin pernikahan ini berjalan lancar untuk kita berdua, bersikaplah baik padaku. Meski dukungan orang tua ku telah kau dapatkan bukan berarti aku tak bisa merusak rencanamu."

"Ah, Kau mau kabur, Aku bisa menangkapmu."

"Tapi itu akan mencoreng namamu. Apa kata kaisar bila tahu mempelai pria ternyata dipaksa."

"Hah.. baiklah, Mulai hari ini aku akan bersikap baik padamu." Temari memutuskan mengalah.

Ino sengaja tak memunculkan dirinya melihat kedua orang itu berdebat. Setelah berinteraksi dengan Temari, Ino tahu meski bersikap keras gadis itu baik dan lurus. Terbukti dengan adanya kereta-kereta pengangkut beras yang kini memenuhi gudangnya. Ino telah menggunakan separuh dari mas kawinnya untuk membayar ber ton-ton beras yang tiba di ibukota, kini ia harus menyiapkan ekspedisi untuk membawa beras itu ke selatan tanpa mengundang kecurigaan.

"Mereka bertengkar lagi sepertinya." Gaara sudah berdiri di samping Ino.

"Apa anda berpikir pernikahan mereka akan lancar-lancar saja?"

"Sebenarnya cukup aneh bagiku untuk melihat Temari begitu sibuk membuat masalah bagi Shikamaru. Biasanya ia tak mengubris kritik dari siapa pun atau merasa perlu membela diri. Tak usah khawatir Nona Yamanaka, Kita kaum bangsawan telah terbiasa melihat pernikahan tanpa cinta."

"Aku merasa sedikit bersalah pada Shikamaru."

"Aku berjanji padamu untuk membantu Tuan Nara bila kakakku melewati batas, tapi aku yakin tuan Nara cukup cerdas untuk mengatasi sikap buruk Temari."

"Aku percaya kata-katamu. Aku dengar kau baru saja kembali dari istana."

"Benar. Tak ada salahnya memberi salam pada kaisar. Apa kau tahu jika ada masalah antar pangeran?"

"Tidak sepengetahuanku, Pangeran Itachi dan Sasuke begitu akrab. Apa yang membuatmu bertanya?"

"Aku memberi selamat atas keberhasilan Pangeran Sasuke mengatasi penyerang di perbatasan timur, Nampaknya beliau tak suka. Secara implisit beliau memberitahuku untuk mendukung putra mahkota."

"Jenderal, Apa kau akan mendukung putra mahkota?"

"Kami keluarga Sabaku tetap tak ikut campur dengan politik, Kami akan bekerja sama dengan siapa pun yang duduk di singgasana nanti. Nona Ino, bukankah kau harus menghawatirkan pernikahanmu?"

"Tak masalah dengan siapa aku menikah."

"Jujur, Kau tak terlihat seperti wanita yang tak berdaya. Dengan mudah dirimu mengatur ekspedisi dan dengan cermat menegosiasikan harga dengan saudagar-saudagar itu. Sangat effisien. Jika kau terlahir lelaki mungkin kau akan menjadi salah satu pejabat di istana."

"Sayangnya aku hanya wanita yang hidupnya akan sangat bergantung pada pria."

Gaara menarik nafas panjang, budaya patriaki di wilayah ini tak akan berubah. "Di barat wanita memiliki lebih banyak pilihan. Kami tak memandang wanita sebagai pelengkap. Apa kau tak merasa sedih dihadapkan dengan keterbatasan?"

"Sedih? Banyak orang yang hidupnya lebih tidak beruntung. Menikahi anggota kerajaan bukan pilihanku, tapi lebih kepada takdirku yang terlahir sebagai putri perdana menteri. Jendral, Apa anda percaya sebuah takdir bisa dirubah?" sejak ia terlahir kembali memang banyak hal yang telah berubah, tapi dalam hati ia tetap bertanya akankah akhir hidupnya tetap sama? Mati sendirian di istana dingin? Mengetahui masa depan sangat menakutkan. Ino merasa bila ia salah memilih jalan dia akan tetap berada di rute yang sama. Kematian dan Pembantaian keluarganya.

Gaara menatap Ino. "Aku yakin tak ada yang namanya takdir. Masa depan adalah sebuah pilihan."

"Jendral begitu percaya diri, bagaimana kita bisa tahu pilihan yang kita buat adalah hal yang terbaik. Banyak faktor di luar sana yang tak dapat kita atur."

"Kau benar Nona Yamanaka, tapi keraguan akan membuatmu berhenti melangkah. Tak ada manusia yang terbebas dari membuat kesalahan. Haruskah kita takut pada kegagalan? "

"Tidak Jendral, dari kesalahan aku belajar tapi terkadang kita tak punya kesempatan ke dua untuk memperbaiki kesalahan itu." Ino tahu benar kali Ini ia tak bisa mengulangi kesalahan yang sama. "Aku telah memahami, hanya mendengarkan diri sendiri tanpa mempertimbaangkan masukan dari orang lain bukan hal yang bijak. Terkadang pemikiran seseorang begitu subjektif, Kebenaran adalah apa yang ingin mereka lihat dan dengar dengan sengaja membutakan diri dari fakta."

"Bukan berarti kau harus memperhitungkan ucapan semua orang, tak ada salahnya untuk berhati-hati dan waspada. Tak semua orang disekeliling kita punya niat baik. Aku pribadi hanya mau mendengarkan nasihat orang yang benar-benar aku percaya."

"Bagaimana bila mereka berhasil mengelabuimu kemudian mengkhianatimu dan menjerumuskanmu dalam masalah?"

"Orang-orang yang benar peduli padaku tak akan berkhianat. Jika pun ada, saat aku merangkak keluar dari lubang yang mereka gali. Aku akan membawa neraka bagi mereka."

Ino tersenyum. "Ternyata kau bukan orang yang pemaaf."

"Maaf hanya berlaku bagi orang-orang yang layak mendapatkannya."

"Aku setuju."

"Nona Yamanaka, Bukannya aku ingin ikut campur, tapi mengapa kau diam-diam mengirimkan beras yang kau beli dari jauh ke selatan. Sedangkan sebentar lagi putra mahkota akan membawa bantuan bagi korban bencana."

" Tak ada salahnya aku ingin menyelamatkan lebih banyak orang. Berderma adalah ajaran dewa dan aku harap karma baik akan melindungiku dari marabahaya."

Gaara tak sepenuhnya paham maksud Ino. Mengapa gadis itu harus mengkhawatirkan marabahaya? Siapa yang berani mengganggu putri perdana mentri?

"Nona, bila kau mengalami kesulitan jangan segan untuk menghubungiku. Aku berhutang soal Temari, tanpa bantuanmu mungkin perjodohan ini tak akan pernah terjadi. Aku lega saudariku bisa tetap menjalani hidup atas pilihannya sendiri, meski ini tak adil bagi Shikamaru."

"Aku pikir lama-lama Shikamaru tak akan keberatan dengan pengaturan ini. Kau tak perlu merasa berterima kasih padaku karena keluarga Sabaku telah melakukan hal lebih dari cukup." Ino melirik pasangan yang kini terlihat fokus menatap papan Shogi di hadapan mereka dan Ino diam-diam tersenyum "Mungkin dengan waktu Shimaru dan Temari bisa akrab. Di balik perdebatan mereka aku bisa melihat ketertarikan."

" Hal yang baik jika pernikahan pura-pura ini menjadi sesuatu yang riil. Aku mengharapkan Temari hidup bebas dan bahagia menjalani hal yang ingin dia lakukan. Nona Yamanaka, Kita tak mengenal cukup lama, tapi kau cukup berkesan di mataku. Aku harap kau juga akan menemukan kebahagiaanmu."

"Aku ragu Jendral. Aku bahkan tak bisa memutuskan apa yang akan membuatku bahagia."

"Tidakkah prospek menjadi wanita penting di kerajaan ini membuatmu senang?"

"Aku hanya melihat jalan terjal dihadapan ku."

"Nona Yamanaka. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Perdana menteri tak akan membiarkan bunga yang dia rawat sepenuh hati layu begitu saja."

"Perdana mentri pun punya batasan dalam istana."

"Karena Itu Nona, Saat kau menjadi seorang putri atau selir pupuklah kekuatan. Jangan biarkan orang lain mendominasimu bahkan tidak juga suamimu. Dalam istana kau hanya bisa melindungi dirimu dengan menjadi kuat."

"Sebab cinta lelaki tak bisa dipercaya benarkah begitu jendral? pada akhirnya wanita tak boleh hanya memasrahkan diri." Ino berkaca pada satu-satunya pengalaman tentang cinta, ketika ia memberikan dunia dan segalanya pada Sasuke karena ia gagal menemukan dirinya sendiri.

"Setiap lelaki berbeda. Kau tak bisa menyamaratakan semua orang. Aku pun awam soal cinta dan tak pernah merasakannya, tapi jika aku telah mengucapkan sumpah pada seseorang aku akan memenuhinya. Cinta atau tidak, tugas suami untuk melindungi istrinya."

"Wanita yang akan menjadi istrimu tentunya akan merasa aman. Apakah kau akan bisa bersikap adil dengan istri-istrimu nanti?"

"Istri-istri? Apa aku terlihat seperti lelaki yang butuh banyak wanita untuk mengurus diriku? Menghadapi satu wanita saja sudah sulit. Aku tak merasa perlu menambahkan sumber sakit kepala. Aku bahkan tak ingin menikah, tapi aku tahu setelah hal ini Temari tak akan memberikan aku keleluasaan lagi."

"Kau aneh Jendral, Yang aku tahu pada umumnya lelaki sukses senang memamerkan wanita-wanita mereka."

"Aku tak perlu mengoleksi wanita untuk menopang egoku. Ayahmu adalah salah satu contoh nyata."

"Lelaki seperti ayahku tidak banyak. Aku kadang khawatir ayahku akan kesepian. Apalagi jika aku menikah nanti siapa yang akan menjaganya." Ino menatap langit yang mulai mendung. Angin berhembus lebih kencang. "Sepertinya cuaca memburuk."

"Nona Yamanaka, Kau cukup cerdas dan sepertinya sangat dekat dengan ayahmu. Apa kau mendengar sesuatu yang mencurigakan tengah terjadi dikalangan bangsawan?"

"Aku ragu jika ayahku mendengar sesuatu."

"Sebenarnya aku datang ke ibukota bukan hanya untuk Temari, tapi aku juga sedang menginvestigasi sesuatu. Aku curiga seseorang berpengaruh tengah mencoba membuat kekacauan."

Ino terenyak, "Apa dasar kecurigaan anda?"

"Aku menangkap beberapa pemberontak yang mengaku dari Suna, tapi mereka tak berasal dari sana. Kecurigaan ku semakin meningkat dengan banyaknya propaganda yang mengatakan Sunagakure menginginkan wilyahnya kembali. Aku punya hubungan personal yang baik dengan raja mereka dan sudah mengkonfirmasi hal tersebut tak benar. Rakyat merasa tidak aman, ketakutan akan kemungkinan perang dan kericuhan. Apalagi sekarang ini di perbatasan timur juga sedang terjadi pertempuran. Aku merasa seorang dengan sengaja merusak stabilitas dan meningkatkan kebencian untuk mendapatkan keuntungan."

"Mengapa Jenderal tak menyampaikan hal ini pada Kaisar?"

"Tanpa bukti sulit untuk berbicara, lagi pula kaisar Fugaku sangat tak menyukai negeri Suna. Dia akan membuat hal ini sebagai alasan untuk membatalkan perjanjian dan menginvasi negeri tetangga. Lalu posisiku akan menjadi makin sulit."

"Tak kusangka jendral menyadari apa yang tak disadari ayahku sendiri. Aku pernah membaca sebuah buku, Jika ada kekacauan maka akan muncul pahlawan. Pahlawan yang mendapat simpati rakyat akan mampu menggapai kekuasaan."

"Apa kau mengimplikasikan pemberontakkan? sebuah revolusi? Aku rasa saat ini tak satu pun bangsawan Konoha terlihat menentang Uchiha."

"Tapi bagaimana bila bibit-bibit konflik berasal dari klan Uchiha sendiri?"

Gaara tak habis pikir bagaimana gadis seperti Nona Yamanaka tahu musuh berasal dari dalam? Ia sendiri tak yakin karena semua saksi yang dia kumpulkan mati terbunuh dan catatan penting juga lenyap. Penyidikannya selalu berakhir dengan jalan buntu. Masuk akal bila seseorang yang lebih besar darinya mampu menghalangi investigasi yang dia upayakan.

Gaara kembali mengutarakan pemikirannya. "Satu-satunya konflik internal yang masih bisa terjadi adalah perebutan status putra mahkota dan itu mustahil terjadi mengingat hanya klan Otsutsuki yang mendukung pangeran Sasuke."

"Hal tersebut masih mungkin bila peta kekuatan berubah, tak ada hal yang pasti."

"Kau tahu banyak hal yang aku tak tahu."

"Ini lah kelebihan tinggal di Ibu kota. Aku bisa menganati semuanya dari dekat." Ino mengarahkan pandangannya ke tempat di mana Shikamaru dan Temari berdiskusi. Mereka terlihat nyaris baku hantam sekarang. " Jendral sebaiknya kita melerai mereka sekarang."

Gaara tertawa, "Menyelesaikan masalah di depan mata jauh lebih penting."

Gaara berakhir dengan memegangi tangan Temari yang terlihat emosi hendak memukul Shikamaru lagi.

"Ada apa lagi Shikamaru?" Tanya Ino membantu temannya berdiri.

"Temari sepertinya tak ingin menerima kalau aku tak semenyedihkan bayangannya."

Ino melihat papan Shogi dan bidak nya berserakan. Sepertinya seseorang menjatuhkan benda itu ke lantai.

"Aku tidak bodoh." Teriak Temari yang merasa amat kesal karena tak satu kali pun ia menang dalam permainan ini.

"Kalau begitu apa kau menerima kenyataan kalau diriku yang lebih pintar? Temari, hanya mengandalkan otot tanpa otak juga tak berguna."

Temari merasa tertampar oleh kalimat Shikamaru. Selama ini ia menganggap lelaki itu tak berguna tak punya bakat dan malas. Baru kali ini ia melihat kecerdasan lelakinya merangkai strategi dan menebak langkah lawan.

Shikamaru tersenyum lalu membersihkan debu dari pakaiannya. "Sepertinya kau sudah paham. Jangan pernah meremehkan seseorang, Ingat nona Temari. Semut pun bisa menggigit."

Seusai berkata begitu Shikamaru lantas pergi, tapi ia berbalik sejenak. "Kalau kau tak suka, silahkan mengadu pada ibuku lagi, tapi dengan begitu kau hanya semakin menunjukan sikap kanak-kanakmu yang tak mau mengakui kekalahan."

"Oh, Shikamaru membuatmu membisu lagi." Gaara terheran-heran melihat kediaman kakaknya.

"Diam-diam lelaki itu punya lidah setan. Aku tak yakin pernikahan ini akan berjalan sesuai keinginanku."

"Paling tidak kau menikah dengan lelaki pilihanmu." Gaara mencoba menghibur.

"Pilihan, Andai aku punya pilihan lain." Temari menarik nafas panjang. "Ini seperti memilih mati dengan racun atau pedang." ujarnya dengan dramatis.

.

.

.

Itachi menundukan kepala di depan sang ayah. Semua detail ekspedisinya ke selatan sudah beres, Lusa dia akan berangkat mengawasi seratus orang prajurit mengawal bantuan bencana. Dari berita yang dia terima kondisi tidak tampak terlalu buruk, tapi dia sudah bersiap bila kondisi di lapangan tak sesuai dengan kenyataan.

"Ayahanda, Hamba datang untuk melaporkan semua persiapanya telah siap. Untuk berjaga-jaga hamba juga membawa obat-obatan dan tabib. Hamba dengar banyak penduduk yang sakit."

Fugaku meletakkan gulungan yang dibacanya untuk memberikan Itachi atensi. "Bagus, Jika kau mendengar isu adanya wabah segera lakukan isolasi, tiap kali banjir besar datang selalu ada wabah yang mengikuti. Kita tak akan bisa menanganinya jika sampai tersebar terlalu luas."

"Hamba mengerti, karena itu hamba juga membawa dua orang tabib istana yang paham dengan penanganan wabah."

"Putraku, Kau telah berkerja keras selama ini. Aku yakin kau akan menjadi Kaisar yang baik." Fugaku terbatuk-batuk. "Aku merasa usiaku tak panjang, sebisa mungkin aku akan membuat jalanmu menuju singgasana menjadi lapang."

"Apa yang ayahanda ucapkan? Bukankah pendeta tinggi sedang berusaha mencari obat untuk menyembuhkanmu?"

"Aku tak terlalu berharap. Dengar Itachi bila kau kembali dari selatan ayah akan mengumumkan pernikahanmu dengan Ino Yamanaka."

Wajah Itachi berubah pias. "Mengapa? Aku sudah memiliki Izumi."

"Apa perlu aku menjelaskannya padamu? Bila Klan Yamanaka setia padamu posisi sebagai penerusku akan aman."

"Ayahanda, Tolong pertimbangkan lagi. Hamba merasa keputusan ini salah. Tolong hargai juga permintaan perdana mentri." Itachi membungkuk sekali lagi meminta Kaisar mempertimbangkan keputusannya.

"Perdana mentri tak akan keberatan selama kau memperlakukan putrinya dengan baik dan layak."

"Bagaimana dengan Sasuke, Apa ayah tak memikirkan Sasuke sama sekali?"

"Jika dia tak punya keinginan politik seperti yang kau yakinkan. Kau menikahi Ino Yamanaka atau tidak, tak akan merubah apa pun baginya."

"Maafkan putramu yang lancang, Hamba tak mengerti mengapa ayahanda memperlakukan Sasuke seperti ini. Bukankah ayahhanda hanya akan menebar benih kebencian dalam diri Sasuke yang diperlakukan tidak adil. Hamba dan Sasuke sama-sama putramu. Bukankah sebaiknya kami diberikan kesempatan yang sama."

"Dan membiarkan dirimu terbunuh dalam prosesnya? Putraku sejak dulu klan Uchiha saling membunuh, Persaudaraan tak ada artinya bagi orang-orang yang memiliki peluang menjadi tangan dewa."

"Jadi itu benar? Ayah yang menjebak paman hingga dia dijatuhi hukuman?"

"Kau tahu dosaku yang paling besar Itachi? Aku membunuh Ibuku sendiri agar bisa berada di posisi ini, dan kau sebaiknya belajar untuk tak punya hati. Jika kau tak mau menyingkirkan Sasuke biar aku yang melakukannya."

"Ayahanda, Sasuke selalu mendukungku. Dia bukan halangan yang perlu disingkirkan. Pikirkanlah, Apa kerajaan kita tidak akan rugi bila kehilangan seseorang yang begitu ahli?"

"Kau tahu apa bedanya dirimu dan anak itu? Kau terlahir dari rahim seorang Uchiha dan Sasuke tak lebih dari boneka klan Otsusuki yang mencoba merebut kerajaan ini dari kita. Apa kau tak sadar tindak-tanduk Sasuke semakin mencurigakan?"

", Tapi Sasuke adalah saudara hamba dan hamba tetap menyayanginya meski ayahhanda tak peduli. Bukankah ayahanda meminta pendeta tinggi untuk mengawasi dan mendidik Sasuke agar dia melangkah dikoridor yang dikehendaki? Mengapa ayahanda masih berpikir perlu menyingkirkannya?"

"Kau..Sejak kapan kau menentangku."

"Aku akan menerima keputusan ayah untuk menikahi Ino Yamanaka, tapi aku tak akan menerima begitu saja bila suatu hal buruk terjadi pada adikku. Silahkan hukum saja putramu yang durkaha ini." Itachi berlutut di depan meja sang Kaisar. Ia tak menyangka kebusukan keluarganya begini dalam. Apa yang Izumi curigai benar adanya. Apa dia masih ingin menjadi raja bila harus menumpahkan darah saudaranya? Tidak, ia lebih memilih mengalah jika memang Sasuke menginginkan tahkta.

"Hah.. kau sama sekali tak mengerti. Sudah pergi saja. Aku hanya berusaha melindungimu."

"Ayahanda, Biarkan hamba menilai sendiri siapa yang pantas dipercayai dan tidak. Hamba tak selemah yang ayahanda pikirkan. Hamba bisa mengatasi masalah sendiri."

"Jika kau berkata begitu, Dengarkan aku baik-baik. Sebelum aku mati, pastikan kau memiliki kesetiaan semua orang dan dukungan keluarga Sabaku dengan begitu pondasimu sebagai Kaisar tak akan goyah meski Sasuke mencoba melakukan sesuatu."

"Hamba paham. Izikan Hamba mohon diri untuk memgurus hal lainnya."

"Pergilah dan tetap waspada."

Begitu banyak hal berkecamuk dalam pikiran Itachi saat ini, seperti halnya fakta kejahatan luar biasa yang diceritakan tanpa emosi oleh ayahnya. Sejarah Klan Uchiha begitu kelam, tapi ia sendiri tidak tahu karena kenyataan disapu dan disembunyikan dibalik parmandai. Hanya hal-hal megah dan heroik boleh diceritakan. Lama ia tahu jalan menuju singgasana adalah jalan yang terjal dan berliku, tapi menumpuk mayat orang yang memiliki darah yang sama sebagai batu pijakan untuk memenuhi ambisi apakah itu pantas?

Ayahnya menginginkan apa yang seharusnya bukan miliknya dan Sasuke tidak seperti itu. Sepanjang waktu mereka tumbuh bersama tak sekali pun ia mendengar adiknya ingin menjadi raja. Dia merasa kasihan pada Sasuke yang tumbuh tanpa Ibu dan juga tak dipedulikan sang ayah, Maka dia sendiri yang berusaha menjaga Sasuke dengan segala keterbatasannya hingga anak itu tumbuh menjadi seorang panglima hebat. Bagi dirinya ikatan persaudaraan ini sangat berharga, rasanya tak mungkin Sasuke akan menikamnya dari belakang.

Lalu ada Ino Yamanaka. Akankah wanita ini yang akan membuka jurang diantara mereka? Seperti kata ayahnya, Bila Sasuke tak memiliki motivasi tersendiri pernikahan ini tak akan berarti apa-apa, tapi bila Sasuke menyukai nona Yamanaka apakah adiknya akan merasa ia sebagai sebuah penghalang? Sang putra mahkota menghela kudanya, ada rasa sesal akibat tak bisa memegang kata-katanya sendiri, tapi dia hanya seorang pangeran yang tak dapat membantah keputusan kaisar. Itachi cuma bisa berharap adiknya tak mengangap dirinya pembohong.

.

.

Ino membaca surat dari Sai. Sepertinya pemuda itu berkembang dengan pesat dibawah naungan Kakashi Hatake, tak lama lagi Sai akan kembali ke rumah ini dan melakukan pekerjaan sebagai tangan kirinya.

"Nona kenapa masih belum membuka kotak itu?"

"Apa menurut mu penting, Shion?"

"Bukankah hadiah ini dikirim oleh pangeran Sasuke, harusnya anda senang."

"Hm…kau saja yang membuka kotaknya." Sahut Ino sembari menuliskan surat bagi Sai. Ia harus mengabarkan guru Tsunade masih berusaha untuk menemukan sumber dari racun yang digunakan pada Sai. Ino begitu sibuk belakangan ini, antara menjadi mak comblang untuk Temari, bernegosiasi dengan saudagar Suna. Menyiapkan Expedisi tanpa membuat ayahnya curiga. Ia juga menyempatkan diri untuk membaca buku-buku tentang tanaman dan hewan beracun yang diberikan oleh gurunya.

Dia telah berhasil meracik sendiri racun dari buah belladona yang begitu mematikan untuk dikonsumsi, tapi racun seperti ini sulit untuk diaplikasikan terkecuali ia berhasil menyelipkannya dalam makanan atau minuman. Ino menghela nafas dan kembali menggerakkan jarinya. Akan ada waktu dimana dia mungkin harus membunuh seseorang.

"Nona, Lihat ini." Shion terlihat girang. "Sepertinya pangeran Sasuke benar-benar menyukai anda. Ini sungguh kebetulan, baru saja anda bilang menginginkan ornamen rambut yang baru. Hampir setiap minggu beliau mengirimkan hadiah, padahal beliau sedang di medan perang. Nona, Apa mungkin pangeran Sasuke tergila-gila pada anda."

Ino nyaris mendengus mendengar deduksi Shion. Dari luar memang terlihat begitu, tapi Ino yakin hadiah-hadiah ini tak memiliki ketulusan, sebuah sirkam emas bertabur batuan eksotis dihadiahkan padanya dan gadis itu tahu berapa nilai hadiah ini, sebab batu garnet, amethys dan turquise hanya ditemukan di Negeri Jaha. Tempat yang begitu jauh. Bagaimana mungkin pangeran Sasuke bisa membelikannya hadiah yang begini mahal. Bukan rahasia bila kaisar hanya memberikan uang sekedarnya bagi si bungsu. Di samping itu bagaimana Pangeran Sasuke bisa tahu apa yang dia inginkan?

Ino mengetuk-ngetuk jarinya di meja kayu. Kemungkinan pertama Sasuke memiliki seseorang untuk mengawasi dirinya. Jika benar, ia tak bisa terlihat bertingkah aneh. Ino mencoba mengingat-ingat siapa gerangan yang berada disekitarnya ketika ia mengutarakan keinginannya. Hanya ada Shion, Sakura dan dua orang pelayan yang memang selalu siaga membantu Shion mengurusi keperluannya. Kecurigaannya mengerucut pada satu orang.

Pintu ruang studinya terhempas dengan tiba-tiba, Sakura melengang seakan dia adalah pemilik rumah. "Ino…" gadis berambut pink itu memanggil dan menapakkan kedua tangannya di meja kayu yang digunakan Ino untuk menulis.

"Sampai kapan kau mau mengurung diri di sini? Cuaca begitu bagus dan ada drama dari petapa tua yang akan dimainkan di kedai teh yang baru."

"Sakura, Maaf… aku sedang sibuk." Ino menunjukkan pembukuan keluarga Yamanaka yang sedang ia kerjakan. "Ajaklah orang lain."

Sakura menunjukkan wajah memelas atas penolakan Ino. "Bagaimana kau bisa berucap seperti itu padaku? Kau satu-satu nya temanku di Ibu kota."

Di lain waktu dan tempat Ino akan merasa bersalah dan kasihan melihat mata jamrut yang mulai berkaca-kaca.

"Oh, Aku mengerti. Kau sudah tak mau menjadi temanku lagi. Aku dengar belakangan ini kau sibuk bertemu dengan Temari. Ino bukankah aku selalu ada untukmu, kenapa begitu memiliki teman baru kau sengaja menjauhiku. Apa kau kini terganggu dengan statusku."

"Sakura, Aku tak menjauhimu, tapi aku benar-benar sibuk."

"Lalu mengapa tak memintaku membantumu?"

"Ini permasalahan internal klan Yamanaka. Aku tak bisa melibatkan orang lain." Ino meletakkan kuas. Menarik nafas panjang seakan dia merasa penat. "Aku tak bisa pergi sekarang Sakura, tapi lain waktu kita akan ke kedai teh baru itu. Agar kau tak datang ke mari dengan percuma bagaimana bila kita berbincang-bincang sambil minum teh."

"Baiklah, sepertinya kau juga butuh istirahat sejenak."

"Shion, Siapkan teh yang dikirimkan pangeran Sasuke padaku."

"Baik nona." Jawab sang pelayan patuh.

Sakura tampak terkejut. "Pangeran Sasuke memberimu hadiah?"

Ino mengangguk senang. "Aku juga nyaris tak percaya. Aku hanya bertemu pangeran Sasuke sekali dan beliau terus mengirimkan hadiah ke mari. Kau lihat kotak itu, baru saja tiba kemarin."

Sakura menyimpan rasa iri hatinya. Melihat pemberian Sasuke pada Ino jauh lebih bagus dari apa yang diberikan padanya, tapi gadis itu paham. Pangeran Sasuke harus berhasil membuat Ino benar-benar terkesan. "Sepertinya dia benar-benar menyukaimu. Jika kau menikah dengannya aku yakin kau akan bahagia, Ino."

"Apa kau pikir aku harus membalas perasaannya? Pernikahan ini belum diputuskan."

"Jika kau juga menyukai pangeran Sasuke. Kau bisa meminta ayahmu memohon pada kaisar. Rasanya tak mungkin Kaisar memisahkan Pasangan yang saling mencintai. Ino, pangeran Sasuke lebih cocok untukmu ketimbang pangeran Itachi yang lebih tua dan sudah beristri. Aku rasa banyak orang juga setuju. Kalian berdua cantik dan tampan. Selain pangeran siapa lagi yang pantas bersanding denganmu."

"Aku tak berani berharap terlalu tinggi. Aku dan pangeran tidak saling mengenal, tapi beliau sudah mengirimi aku hadiah sebanyak ini. Aku merasa tidak nyaman."

"Apa kau tidak terkesan Ino? Hadiah-hadiah ini dikirimkan untuk membuatmu senang. Jangan berpikir terlalu banyak. Kalau pria sudah tergila-gila dengan wanita mereka bisa memberikan apa saja. Kau harus memanfaatkaan hal ini dengan baik."

"Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus mengirimkan hadiah balasan untuk pangeran?"

"Kau kan pintar menyulam, mengapa tak memberikan kantung atau sapu tangan pada beliau?"

"Aku merasa hadiah buatan tangan terlalu personal."

" Tapi pangeran Sasuke pasti akan menghargainya melebihi harta terbaik di dunia. Seluruh Negeri akan iri padamu Ino, Kau mendapatkan persahabatan putri Izumi, Putra mahkota terlihat kagum padamu dan Pangeran Sasuke sudah jelas jatuh cinta. Kehidupanmu di istana sudah pasti terjamin dan bahagia. Oh, bayangkan juga pesta pernikahannya yang megah."

"Aku menantikannya, Ayah telah meminta waktu tiga tahun untuk mempersiapkan diriku menjadi anggota kerajaan."

"Pastinya membosankan."

Ino tertawa, "iya..benar-benar membosankan."

Setelah berbincang-bincang. Sakura tak lantas pulang. Ia melangkah ke bagian belakang Rumah keluarga Yamanaka menuju bangunan yang menjadi akomodasi para pekerja yang bekerja untuk Inoichi. Ia menyerahkan sekantong uang pada seorang remaja yang tadinya sibuk menjemur cucian. Sakura memastikan tak ada yang melihat aksinya. Kebanyakan pelayan sedang berada di pos nya masing-masing menjelang makan siang.

"Apa yang terjadi di rumah ini?"

"Em..Para pekerja sibuk mengisi lumbung. Nona besar membeli begitu banyak beras bahkan lumbung keluarga Yamanaka tak cukup untuk menyimpan semuanya hingga harus disimpan di tempat lain."

"Ada yang lain?"

Pelayan itu menjawab dengan gelengan kepala. "Nona sering berpergian sekarang."

"Tetap pasang mata dan telinga dan jangan pernah memberitahu siapa pun aku bertanya."

"Saya mengerti."

Setibanya di rumah Sakura bergegas menulis surat untuk melaporkan apa yang dia ketahui pada Sasuke.

Dalam tendanya Sasuke membakar surat yang dia terima dari Sakura. Tak ada hal yang belum dia ketahui. Sakura bukan satu-satunya orang yang dia pekerjakan untuk mengawasi Ino. Laporan sudah dia terima. Mulai dari keterlibatan Ino dengan perjodohan Sabaku Temari dan Shikamaru Nara. Hingga pembelian beras yang begitu banyak dari saudagar di Suna. Sasuke heran, Spekulasi macam apa lagi yang dilakukan klan Yamanaka. Beras-beras yang didatangankan dari Suna sudah pasti lebih mahal dari produksi lokal karena biaya pengiriman yang tinggi. Apa yang akan mereka lakukan? Menanti musim dingin untuk menjual stock itu. Sasuke merasa tak perlu curiga. Klan Yamanaka meliliki banyak bisnis dan toko bukan hal yang aneh bila mereka membeli komoditi untuk dijual kembali.

Ia kembali memikirkan jebakan macam apa yang dipersiapkan oleh Danzo untuk kakaknya. Ia tertawa licik, Itachi tak akan luput dari hukuman saat ia kembali dari menjalankan misi nya.

.

.

.