Dance of The Flower
Chapter 10
.
.
"Pangeran hentikan, Anda menekan terlalu keras." Ino menggeliat di atas kasur. Tangannya mencengkeram seprai. Sensasi geli diiringi rasa sakit ia rasakan.
"Sabarlah, Ini belum selesai."
Ino pun merintih. "Siapa yang mengajari Anda melakukan hal seperti ini?"
"Dari buku yang kubaca ketika bosan. Aku tak menyangka akan berguna, Apa kau merasa lebih baik sekarang?"
"Ah...rasanya enak sekali. Jangan berhenti." Ino memejamkan mata dan menikmati sentuhan putra mahkota. "Aku tak akan keberatan bila Anda melakukannya tiap hari."
Itachi tertawa, "Kau akan membuatku kelelahan kalau begitu."
"Ayolah pangeran, Jangan bilang anda tak menikmati ini." Ino mengerang cukup keras ketika Itachi menyentuh area otot yang tegang.
"Oh, Aku menikmatinya. Jangan malu-malu selirku, Aku ingin mendengar suaramu." Itachi berusaha menahan tawa melihat ekspresi Ino. Sambil memijat telapak kaki gadis itu. Seharian ini Ino berdiri kaki nya pasti pegal. Jadi Itachi berinisiatif membantu melemaskan otot betis dan telapak kakinya, sekaligus mempraktikkan ilmu refleksologi yang sempat dia baca.
Ino melirik ke arah pintu sudah sejam lebih mereka berdua membuat suara ribut-ribut tak jelas. Tak mungkin pelayan dan kasim senior masih berdiri di sana. Memastikan mereka membuat anak.
Dengan anggukan kecil Ino memberi isyarat pada Itachi. Putra mahkota pun mengendap-endap memeriksa situasi. Orang-orang yang dari tadi menguping sudah pergi. Ia mendorong sedikit pintu dan lega tak melihat kedua orang suruhan ibundanya itu.
"Ini konyol sekali." Itachi menggelengkan kepala sebab hal yang sama terjadi saat malam pernikahannya, tapi ini jauh lebih baik ketimbang tradisi zaman dulu di mana kegiatan malam pertama wajib disaksikan oleh pendeta dan penasihat kerajaan. Membayangkannya saja sudah membuat Itachi merinding. Bagaimana ia bisa menunaikan kewajibannya dengan baik sambil ditonton. Bersyukur aturannya sudah berubah.
"Jangan salahkan mereka, Pangeran. Pernikahan tidak sah apabila tak terjadi penyatuan dua tubuh. Mereka hanya memastikan kita sudah menunaikan kewajiban. Aku yakin besok pagi para pelayan permaisuri juga akan memeriksa tempat ini mencari barang bukti."
"Karena mereka sudah pergi. Aku akan kembali ke istanaku." Putus Itachi. Ia merasa tak nyaman berduaan dengan Ino Yamanaka di dalam kamar yang dipenuhi aroma semerbak mawar. Sepertinya dari tadi ia terus menerus menatap bibir berwarna merah muda itu atau bagaimana ia tak bisa berhenti menyentuh kakinya yang mungil dan halus. Seorang lelaki tidak boleh menyentuh betis wanita yang bukan miliknya dan Itachi telah melakukannya. Walau secara teknis Ino adalah selir miliknya yang berhak dia apa-apa kan, tetapi tetap saja merasa tak enak hati.
"Tidak boleh. Anda harus berada di sini sampai pagi. Anda harus terlihat benar-benar menyukaiku."
"Apa perlu sampai begitu?"
"Apa anda paham, Bila anda terlihat menyayangi hamba. Pejabat-pejabat itu akan mulai mendekati hamba untuk menjalin koneksi, dengan begitu kita akan tahu jelas apa maksud mereka, lagi pula Sasuke harus diyakinkan kalau anda berada dalam genggaman hamba."
"Ya sudah, aku akan tidur di kursi."
"Kursi itu tidak nyaman. Anda bisa tidur di ranjang ini bersamaku. Hamba akan merasa bersalah bila pangeran terbangun dengan tubuh yang pegal."
"Kalau kau merasa tak terganggu aku akan tidur di ranjang."
Ino beringsut ke pojok, membuat ruang bagi sang pangeran.
"Besok anda akan sangat sibuk, sebaiknya kita tidur sekarang."
Ino membungkus tubuhnya dengan selimut dan Itachi memadamkan lentera. Ia merebahkan tubuhnya, tapi kantuk tak jua datang. Ketika ia menoleh ke samping Ino sudah mendengkur memunggunginya. Gadis itu pasti lelah dengan semua persiapan upacara hingga dengan mudahnya tertidur pulas.
Itachi pun memejamkan mata fokus pada suara nafas di sebelahnya, ia menemukan tarikan nafas teratur Ino sebagai suatu hal yang menenangkan. Lalu ia pun tertidur dengan dihantui mimpi aneh. Ketika ia terbangun di pagi hari. Ia terkejut menemukan Ino bergelung padanya dan ia bingung bagaimana cara melepaskan diri dari pelukan gadis itu tanpa membangunkannya. Situasinya akan canggung bila Ino menemukan mereka tidur dengan posisi seperti ini.
Itachi diam membeku di ranjang diam dengan kaku berharap Ino akan melepaskan dirinya tetapi gadis itu malah beringsut semakin dekat. Sampai-sampai sampai bisa merasakan payudara Ino menempel di lengannya dan embusan nafas di lehernya.
Sang putra mahkota mengerang pelan, Ia ingin segera bangkit dari tempat tidur karena kedekatan gadis itu membuat pikiran aneh-aneh bermunculan, Meski ia bukan lelaki yang mengutamakan nafsu, tetap saja tubuhnya bereaksi dengan normal. Tak tahan lagi dengan siksaan ini. Itachi pun mendorong tubuh Ino menjauh. Gadis itu terbangun dengan pekikan terkejut.
"Maafkan aku membangunkanmu." Pangeran Itachi buru-buru turun dari ranjang meraih dan mengikat sendiri jubahnya guna menyembunyikan sesuatu yang tampaknya bisa mengintimidasi gadis perawan.
Ino mengerjapkan mata, mencoba menghilangkan kantuk yang masih terasa. "Anda sudah mau pergi?"
"Aku perlu kembali ke istanaku dan bersiap-siap."
Ino kembali berbaring di kasur, tanpa peduli posisinya itu sama sekali tak terlihat elegan "Anda bisa meminta kepala pelayan mengambil pakaian Anda dan membawanya ke sini. Pelayan di paviliun permata akan dengan senang hati melayani."
"Aku tak ingin mengganggumu lebih lama." Itachi membungkuk mengambil pisau buah yang tergeletak di lantai.
"Apa yang Anda lakukan?" tanya Ino keheranan.
Lelaki itu menoreh jari telunjuk kirinya dan menodai seprai sutra berwarna putih itu dengan darah. "Mempersiapkan barang bukti. Kau akan dicurigai tidak perawan jika mereka tak menemukan darah."
"Tsk...bagaimana bisa aku lupa masalah ini."
"...dan kau selir Ino, bertindaklah seakan-akan aku memberikanmu malam yang luar biasa."
Ino tersenyum. " Tentu saja dan sebisa mungkin pangeran tak boleh menelantarkan hamba."
"Tentu saja, Aku akan mencurahkan banyak perhatian padamu selirku tercinta."
Shion sepanjang malam mengkhawatirkan nona nya. Ia selalu mendengar dari gadis-gadis pelayan lainnya berkata malam pertama sangat menyakitkan. Begitu melihat putra mahkota keluar dari kamar Ino. Shion buru-buru ke sana. Ia mengetuk pintu
"Nona, Shion datang untuk melayani."
"Masuklah." Ino masih terbaring di kasur menatap kelambu di atasnya. Sesaat setelah Itachi pergi Ino menanggalkan sisa pakaiannya dan telanjang di balik selimut.
"Aiya... Apa yang terjadi, Nona?" Shion terkejut melihat pecahan piring. Makanan dan jubah pengantin yang Ino kenakan kemarin tergeletak di lantai.
"Pangeran Itachi terlalu bersemangat."
Wajah Shion langsung bersemu merah muda membayangkan apa yang terjdi antara nona-nya dan putra mahkota.
"Pantas saja Putra mahkota tersenyum-senyum sendiri ketika keluar dari kamar Nona."
"Suruh pelayan lainnya membawa bak mandi ke mari. Aku ingin membersihkan diri."
Bak mandi yang diminta telah siap di tengah-tengah ruangan dan satu lusin dayang-dayang mengisinya dengan air hangat. Shion menaburkan kelopak mawar dan mengecek suhu airnya.
"Nona, semuanya sudah siap."
Ino tak beranjak dari kasurnya. Ia mengernyit. "Bantu aku, Aku tak bisa berdiri."
Shion memapah Ino yang berjalan dengan aneh. Seolah ada sesuatu yang terselip di antara kedua kakinya.
"Pangeran Itachi keterlaluan sekali Shion. Aku bahkan tak bisa merapatkan kakiku tanpa merasa sakit. Bagaimana aku bisa berjalan dengan benar." Ino mengeluh tanpa memedulikan dayang-dayang lain yang juga berada di sana.
"Ibu hamba berkata malam pertama memang menyakitkan." Lanjut Shion membimbing Nona nya menuju bak mandi.
"...,Tapi juga sangat menyenangkan, Shion." Ino terkikik geli.
Apa yang terjadi di Paviliun permata tersebar begitu cepat. Izumi pun mendengarnya dari para pelayan.
Sebagai istri tua yang perhatian Izumi pun mengunjungi Ino membawa obat yang mungkin dibutuhkan oleh sang selir.
Ino menyambut kedatangan sang putri yang cukup mengejutkan. Gadis pirang itu pun memberi salam.
"Maafkan hamba tidak bisa memberi salam pada putri Izumi dengan benar."
"Duduklah Ino, Kau tak perlu menyambutku seperti itu. Bagaimana tubuhmu? Apa aku perlu memanggilkan tabib?" Tanya Izumi dengan perhatian.
"Hamba rasa tidak perlu, Hanya perih di bagian itu dan mungkin sedikit bengkak. Apa malam pertama memang selalu membuat wanita tak nyaman seperti ini?"
"Lama-lama kau akan terbiasa, Ino. Pengalamanku memang sakit sedikit, tapi putra mahkota memperlakukanku dengan lembut. Aku membawakan obat untukmu."
Pelayan Izumi menyerahkan sebuah pot kecil dari keramik ke tangan Shion.
"Oleskan salep ini dan besok kau akan baik-baik saja."
"Terima kasih sudah memperhatikanku."
"Sudah menjadi tugasku memperhatikanmu. Oh iya, Kau tak perlu datang ke istana permaisuri. Aku akan memberitahu Ibunda kalau kau tidak enak badan. Beristirahatlah hari ini."
"Apa putri Izumi berkenan minum teh dengan hamba?"
"Mungkin lain kali, Ino. Aku akan pergi sekarang."
"Terima kasih sudah datang."
Shion lega melihat putri Izumi pergi, Suasana ini sangat aneh menurutnya. Apa putri Izumi datang hanya untuk memantau Nona-nya atau memang benar peduli? Selama ini Shion jarang sekali mendengar ada istri tua dan istri muda yang akur. Selalu saja ada masalah dan Shion agak khawatir Nona Ino juga tak akan luput dari masalah.
.
.
Pangeran Sasuke merasa sedikit kesal saat ia kembali ke istana. Naruto, membawa berita soal kakaknya dan Ino.
"Apa peduliku dengan berita itu Naruto."
"Tidak kah terasa janggal. Pangeran Itachi yang dikenal sehangat mentimun pada wanita menghabiskan malam dengan heboh bersama selirnya. Dia hanya menghabiskan sebulan dua kali bersama putri Izumi, tapi mengunjungi paviliun permata hampir setiap malam. Bisa-bisa selir Ino melahirkan anak lebih dulu ketimbang putri Izumi. "
"Mungkin saja ia menemukan Ino Yamanaka sebagai gadis yang menggairahkan."
"Aku ragu putri bangsawan lebih menghibur ketimbang pelacur di rumah bordil." Ujar Naruto dengan santainya. Sebagai bocah lelaki yang di bawa-bawa Jiraiya keluar masuk rumah pelacuran dia bisa melihat kelebihan gadis-gadis binal ketimbang Nona-nona bangsawan kemayu yang tertawa saja wajib menyembunyikan wajah mereka di balik kipas.
"Jangan meremehkan wanita di dalam istana. Mereka bisa melakukan apa saja untuk mendapat perhatian."
Bukan kah ini bagus untuknya bila Ino disukai Itachi. Jika wanita itu bisa mempengaruhi kakaknya, rencana pembunuhan bisa berlangsung dengan mudah, tapi kenapa ia merasa kesal dengan fakta Itachi menyentuh dan mencicipi gadis itu lebih dulu. Dia bahkan belum mencium Ino dan kakaknya sudah meniduri gadis itu entah berapa kali.
Sasuke memutuskan rasa kesal ini hanya karena rivalitas seperti biasa, Itachi selalu mendapatkan dengan mudah apa yang Sasuke inginkan. Ia yakin ia tak punya emosi apa pun pada Ino, Mungkin sebagai lelaki ia hanya tertarik secara fisik karena tak bisa dipungkiri gadis itu memang molek, siapa yang tak ingin menyetubuhinya?
Ino tak lebih dari pion yang akan dia pergunakan untuk menumbangkan Itachi. Tidak kurang dan tak lebih, tapi akan lebih menyenangkan lagi bila kakaknya itu benar-benar jatuh cinta pada sang selir. Dua pengkhianatan lebih baik dari satu. Apalagi bila ia juga bisa meracuni pikiran Izumi untuk menentang Itachi. Ia ingin kakaknya merasakan rasa putus asa ketika satu per satu orang yang dia percayai berpaling darinya dan merasakan arti kesepian sebelum membunuhnya.
Melangkah menuju ruang Kaisar Sasuke berharap menemukan Danzo, tapi ia malah berhadapan dengan Itachi yang sibuk bekerja. Sepertinya sang Kakak merasa ruangan ini miliknya.
"Salam bagimu, Kak. Bukankah terlalu pagi untuk bekerja?"
" Jika aku tak di sini, siapa yang akan menyelesaikannya. Ayahanda tidak dalam kondisi yang baik untuk membuat keputusan."
"Bukankah ada Danzo? Biasanya Ayahanda membiarkan dia yang menyelesaikannya."
"Aku lebih mempercayai pertimbangan perdana menteri ketimbang Danzo." Itachi menggulung kertas yang dia tulis dan membubuhkan stempel kaisar.
Membuat keputusan bagi banyak orang sangat sulit dan butuh berbagai macam pertimbangan dalam hal ini Itachi lebih percaya pada penilaian Inoichi Yamanaka yang tidak bias. Lelaki itu berani berkata jujur di hadapan Kaisar meski nyawa adalah taruhannya.
Inoichi adalah lelaki yang berkata hitam adalah hitam dan putih adalah putih meski tidak sesuai dengan niatan Kaisar, Tak seperti Danzo yang hanya menyampaikan hal-hal yang ingin didengar ayahandanya.
"Kenapa kau lebih percaya pada perdana menteri ketimbang Danzo. Apa kau merasa penilaian ayah buruk? Atau jangan-jangan selirmu itu sudah mempengaruhimu."
"Kenapa tiba-tiba kau membawa-bawa Ino?"
"Di dalam istana aku mendengar rumor kalau putra mahkota tergila-gila pada selirnya seorang Yamanaka. Di sisi lain aku juga mendengar putra mahkota menyerahkan urusan penting kepada Inoichi Yamanaka. Orang buta pun bisa membuat kesimpulan."
Itachi tertawa, "Ino memang meyakinkanku kalau ayahnya memiliki kemampuan dan aku juga setuju. Inoichi Yamanaka pilihan yang lebih baik dari Danzo."
"Hm... Aku harap Ino tak memanfaatkan rasa sukamu untuk mencari keuntungan bagi keluarganya."
"Aku sepenuhnya yakin dia bukan gadis seperti itu. Apa yang membawamu ke mari Sasuke?"
"Bukankah aku harus memberi laporan tentang misi terakhirku?"
"Aku sudah menerima beritanya, Aku tak menyangka kau akan menyelesaikan perintahku dengan cepat. Aku harus minta maaf. Baru saja kau kembali dari perbatasan aku malah membuatmu pergi lagi ke wilayah klan Otsutsuki."
"Toneri telah dieksekusi. Kekuatan militer klan Otsusuki juga telah dibubarkan. Pertempuran tak terelakkan, tapi aku bisa menyelesaikannya tanpa melibatkan pasukan kerajaan. Sayang sekali masalah baru muncul, dengan jatuhnya klan Otsutsuki tak ada lagi yang mengontrol wilayah timur sedangkan kabar terakhir yang aku terima Otogakure berupaya menyiapkan invasi lagi. Kita tak bisa membiarkan wilayah timur kosong tanpa mengangkat pemimpin baru."
"Masalah penunjukan penjaga wilayah timur hanya bisa diputuskan oleh kaisar."
"Bagaimana kondisi ayahanda?"
"Buruk. Ayahanda bisa pergi kapan saja."
"Kalau begitu kau sebagai putra mahkota bisa menunjuk seseorang untuk menggantikan kekuasaan klan Otsutsuki."
Sasuke yakin Itachi akan memberikannya gelar itu padanya. Bukankah tak ada orang lain yang lebih pantas darinya untuk mewarisi klan Otsutsuki yang kini punah. Ia bisa menjadi penguasa wilayah timur.
"Aku tak bisa memutuskan apa-apa sampai aku dinobatkan, untuk sementara aku akan mengirim menteri urusan dalam negeri Shihaku Nara untuk mengisi kekosongan di timur dan berdiskusi dengan bangsawan di sana"
"Apa kau lupa aku adalah keturunan Otsutsuki terakhir, Bukankah aku bisa jadi calon yang tepat? Rakyat dan bangsawan wilayah timur tak akan menolak kehadiranku."
"Bukankah kau tak ingin diasosiasikan dengan nama keluarga itu. Mengapa kali ini kau berniat menggunakan nama keluarga Ibumu?"
"Aku hanya merasa masuk akal bila aku menjadi penguasa wilayah timur dan apa kau pikir ada orang lain yang lebih pantas?"
"Aku setuju kau layak menjadi pemimpin di timur, tetapi Aku lebih membutuhkanmu di ibukota. Apa kau mengerti Sasuke?"
Pangeran ke dua terdiam. Apa Itachi sengaja melakukan ini untuk meredam kekuatannya. Ia hanya punya status sebagai pangeran ke dua, tanpa wilayah tanpa harta. Ia sama sekali tak punya kekuasaan bahkan di antara para bangsawan. Itu membuatnya menjadi pangeran yang menyedihkan.
Kali ini pun setelah melakukan sesuatu untuk Itachi. Ia kembali menelan kecewa. Kerja kerasnya sekali lagi tak diberikan apresiasi. Sifat kakaknya sedikit berubah, Itachi yang dia kenal tak akan segan mengabulkan keinginannya.
"Apa rencanamu untukku Itachi, Apa kau tak akan memberikan penghargaan padaku seperti ayahanda?"
"Aku punya ide yang lebih bagus dari sekedar menjadikanmu pemimpin wilayah timur. Aku akan mengangkatmu menjadi jendral utama. Apa kau senang?"
"Tanpa izin Kaisar kau tak bisa memutuskan begitu saja."
"Aku bisa dan aku akan melakukannya. Para pejabat tak akan menolak ideku."
"Aku ragu, Mereka tak akan suka melihat aku memegang kekuasaan militer yang absolut."
Itachi tertawa, "Ketakutan para pejabat padamu tak beralasan, Meski kau akan menjadi Jendral utama. Pasukan kerajaan akan tetap mematuhi perintahku. Hanya kekuasaan kaisar yang bersifat absolut. Aku yakin adikku, kau dan aku tak punya konflik kepentingan."
"Tentu saja kita tak punya. Kakak tahu sendiri loyalitasku terbaring di mana."
"Apa kau tak akan kerepotan nantinya dengan tanggung jawab ini? Bagaimana dengan prajurit Amaterasu yang kini aku dengar jumlahnya mencapai dua puluh lima ribu orang. Itu bahkan lebih banyak dari rata-rata pasukan milik keluarga bangsawan. Dengan anggota sebanyak itu aku tak bisa mengabaikan lagi keberadaannya. Apalagi menteri keuangan melaporkan pasukan Amaterasu dibiayai oleh kerajaan."
"Bukankah itu wajar, Mereka bekerja demi kepentingan Uchiha meski mereka bukan bagian dari pasukan kerajaan. Mereka adalah prajurit spesial yang berada di bawah pengawasanku. Katakan padaku bagaimana aku bisa menunaikan tugas tanpa prajurit. Ayahanda melarangku menggunakan prajurit klan Uchiha, jadi aku membuat sendiri prajuritku."
"Jadi mereka hanya setia padamu?"
Pertanyaan Itachi menjebak, tapi Sasuke menjawabnya dengan cukup diplomatis.
"Mereka memang pasukanku, tapi aku sebagai pemimpin dari Amaterasu akan menjawab semua panggilan kaisar."
"Begitu? Ketika kau menjadi pemimpin pasukan kerajaan kau tak akan membutuhkan pasukan Amaterasu lagi. Jadi aku berniat membubarkannya untuk mengurangi beban keuangan negara. Kita tak bisa membiayai lebih dari dua ratus ribu prajurit."
"Keputusanmu begitu kejam, Aku tak bisa menerima orang-orang yang mempertaruhkan nyawa demi klan Uchiha dibuang begitu saja setelah dianggap tak diperlukan. Pasukan Amaterasu jauh lebih berjasa ketimbang pasukan kerajaan. Apa kau juga akan menyangkalnya." Sasuke terdengar gusar. Mengapa Itachi seakan berniat mengurangi setiap senti kekuasaan yang dia punya.
"Kalau begitu bagaimana bila kau berikan mereka pilihan. Tawarkan kompensasi bagi yang tak ingin lagi menjadi prajurit dan bergabung dengan pasukan kerajaan bagi yang ingin melanjutkan pelayanan mereka. Kita tak perlu memiliki dua unit pasukan Uchiha. Untuk biaya aku akan mendiskusikannya lagi dengan menteri keuangan. Mungkin dengan ditemukannya tambang emas baru kita bisa mempertahankan beberapa orang dari pasukan Amaterasu."
Sasuke menyimpan ekspresi tak suka nya. Rencana Itachi membuatnya sebagai jenderal besar dan menjadikan pasukan Amaterasu sebagai bagian dari pasukan kerajaan hanya akan membatasi pergerakannya. Ia tak bisa begitu saja melakukan kudeta sebab jika ia ingin menggerakkan pasukan untuk menentang Itachi maka ia akan butuh kooperasi dari ketiga orang jendral divisi, Yamato, Gai dan Azuma. Ketiga orang itu akan sulit dipengaruhi. Mereka punya opsi untuk menolak permintaan jendral besar bila dirasa tak sesuai dengan kepentingan kaisar.
Lagi-lagi Sasuke tak bisa menolak. Jika ia berusaha untuk tetap mempertahankan pasukan Amaterasu akan jelas terlihat ia sedang merencanakan pertumpahan darah.
"Baiklah aku setuju, Aku akan menyampaikan keputusanmu pada prajuritku sekarang."
Putra mahkota melucuti tentaranya merupakan suatu yang tak masuk akal dikepala Sasuke. Pasti ada sebab Itachi berbuat demikian, Apa kakaknya mulai curiga? Atau ini hanya sebuah kebetulan semata. Terlalu banyak kebetulan yang mempersulit jalannya terjadi, hingga mustahil untuk percaya langkah yang Itachi ambil merupakan langkah tanpa perhitungan.
"Pergilah, Saat aku naik takhta. Jabatanmu akan aku resmikan."
"Aku berterima kasih. Kakak memberikanku kehormatan seperti ini." Sasuke membungkukkan badannya.
"Kau layak mendapatkannya. Aku tak bisa mempercayakan keamanan negara ini pada orang lain."
Meski berkata begitu pada Sasuke, Diam-diam Itachi memberitahu pejabat militer lain untuk mengawasi tindak tanduk adiknya. Meski menyandang status Jendral besar, apa pun keputusan militer yang dilakukan Sasuke akan memerlukan izin kaisar dan kooperasi dari jendral lainnya artinya Sasuke tak bisa berbuat semaunya. Ini pilihan yang lebih baik ketimbang membiarkan dia memiliki kekuatan militernya sendiri, apalagi jumlah pasukan Sasuke semakin besar setiap tahun. Dulu ia berpikir positif. Adiknya membangun prajurit hanya untuk melindungi nyawanya karena ayahanda memintanya berperang tanpa memberi sokongan, tapi kini kekuatan Sasuke menjadi kian besar dan bisa saja digunakan untuk menentangnya.
Ino adalah kunci dari semua ini, Gadis itu menunjukkan padanya bahwa hanya memiliki satu arah pandang bisa menjadi sebuah kelemahan. Dari informasi yang telah dikumpulkan Ino, ia mulai memilah fakta dan mencoba menghentikan pikiran biasnya.
Kejanggalan demi kejanggalan pun terkuak. Mulai dari menteri keuangan yang tutup mulut soal pembiayaan prajurit Sasuke, Danzo yang sengaja menutupi informasi dan sekarang Sasuke meminta dijadikan penguasa wikayah timur. Kali ini Itachi merasa harus menyeleksi dengan ketat orang-orang yang berada di sampingnya.
Dia pun berinisiatif menempatkan mata-mata di setiap rumah bangsawan termasuk orang-orang yang berucap setia padanya, perdana menteri pun tak dikecualikan. Tentu saja Ino sama sekali tidak tahu soal ini, meski berkata ingin mempercayai gadis itu. Dia tetap harus berhati-hati, siapa yang tahu suatu hari Ino juga akan menikamnya. Gadis itu berkata telah membunuhnya sekali, tak menutup kemungkinan kejadian itu biasa terulang. Meski mereka adalah sekutu, Itachi tak memiliki hal yang bisa mengikat kesetiaan Ino padanya.
Orang memilih setia karena merasa kagum padanya, sebagian lagi memilih setia karena yakin Itachi akan mewujudkan impian mereka. Lalu ada kaum yang mengikutinya karena ia memberikan harta dan kekuasaan. Bahkan kesetiaan muncul karena adanya rasa cinta. Hubungannya dengan Ino tak memiliki semua itu. Gadis itu bisa saja berpindah haluan sesuai keinginannya tanpa merasa kehilangan apa pun.
Dia dan Ino memang menghabiskan banyak waktu bersama. Dia bahkan tertidur di ranjang Ino nyaris setiap malam, tapi bukan berarti ia tahu perangai asli gadis itu.
Di depannya Ino selalu tenang dan bijak. Di depan Sasuke sifat wanita itu jadi berbeda. Begitu pula saat menghadapi permaisuri dan Putri Izumi. Ino bagaikan bunglon yang berkamuflase sesuai dengan situasi.
Yang membuatnya cemas, Ino sama sekali tak pernah menunjukkan kelemahan padanya sekalipun. Hal itu membuat Itachi percaya meski mereka sekutu, Ino tak memperlihatkan semua kartu miliknya.
.
.
Waktu terasa lamban di paviliun permata, Ino tak memiliki banyak kegiatan jadi ia menghabiskan waktu mempelajari buku tentang obat-obatan dan racun. Ilmunya masih rendah, Akibat pernikahan yang dipercepat ia pun tak punya waktu untuk benar-benar belajar.
Dalam istana, ia tak punya material untuk meracik racun sebanyak yang dia punya di kediaman Yamanaka. Beberapa jenis rumpun dan bunga masih bisa dia tanam di kebun paviliun ini. Orang lain tak akan curiga karena jenis tanaman-tanaman tersebut lumrah untuk dipelihara.
Permasalahannya Ino masih tak bisa keluar istana dan ia khawatir bila ia mengirim Shion untuk kembali ke kediaman Yamanaka dan mengumpulkan sisa barang yang ia butuhkah, pelayannya sudah pasti akan diinterogasi oleh permaisuri. Ia tak pernah lupa kalau setiap tindak tanduknya diawasi.
Untuk sementara komunikasinya dengan Nona Tsunade juga terputus, tapi Pangeran Itachi berjanji akan membawa Ino ke kota segera setelah dia bisa membawa Sai ke istana. Dia akan merasa lebih aman bila Sai berada di dekatnya karena saat ini di paviliun permata orang yang bisa dia percaya hanya Shion.
Ino menguap dan mengantuk. Bersikap was-was sepanjang waktu membuatnya lelah. Belum lagi sepanjang malam ia berbagi ranjang dengan Pangeran Itachi. Rasanya canggung, Apalagi ketika Ino sering terbangun menemukan tubuhnya merangkul putra mahkota. Bersyukur lelaki itu tak pernah mempermasalahkan kebiasaan tidur Ino yang buruk. Untungnya ketidaknyamanan yang mereka harus jalani berbuah manis.
Kabar dirinya yang disukai oleh Itachi melebihi putri Izumi membuat beberapa orang penting mengunjunginya. Berbagai hadiah mahal berjejer di ruang duduk. Ino tak tertarik untuk memeriksanya. Mereka datang untuk memberi penghormatan pada selir, tapi Ino tahu semua benda-benda ini hanya lah sogokan agar Ino mau menjual nama mereka di hadapan putra mahkota.
"Nona minumlah ini." Shion datang membawa pot keramik yang panas. Aroma herbal menusuk hidung Ino. Dari aromanya sudah bisa ia tebak ini bukan teh.
"Shion, Apa ini?"
"Ini ramuan penyubur kandungan, Hamba memintanya dari tabib istana."
"Untuk apa Shion?"
"Nona ini bagaimana, sih. Putra mahkota setiap malam menghabiskan malam bersama anda, ramuan ini akan membantu anda lebih cepat mengandung. Coba pikirkan, Jika anda melahirkan anak lebih dahulu daripada putri Izumi posisi anda di istana akan jadi jauh lebih aman."
Sepertinya Shion salah paham, tapi ia tak ingin menceritakan kesepakatannya pada putra mahkota. "Aku tak mau."
"Aiya... , Nona tak menghargai usaha Shion yang merebus ramuan ini berjam-jam." Sang pelayan cemberut.
"Tinggalkan saja di meja. Aku akan meminumnya nanti." Ujar Ino yang tak ingin pelayannya kecewa. "Shion, apa yang kau dengar dari para dayang?"
"Semua pekerja di Paviliun permata menyukai anda dan mereka juga senang putra mahkota rajin berkunjung, tetapi ada juga yang merasa tak senang."
Pelayan pirang itu mendekat untuk meletakkan poci di atas meja. Mata Ino melihat bilur-bilur merah bekas pukulan bambu di pergelangan tangan pelayannya. Ia pun meraih tangan Shion yang berusaha menyembunyikan lukanya.
"Siapa yang berani melakukan ini?"
Shion berlutut, "Hamba mohon, Nona tidak melakukan apa-apa. Ini bukan masalah besar."
"Menyakiti pelayanku sama saja dengan berusaha menyakitiku. Katakan siapa pelakunya Shion."
"Dayang dari istana putri Izumi. Mereka berkata hamba perlu dididik karena hamba tidak paham protokol istana."
"Memang apa yang kau lakukan?"
"Hamba tidak menjawab pertanyaan dayang senior saat bertemu di dapur istana. Mereka bertanya tentang Nona, jadi hamba tak ingin memberitahu."
Ino memukul meja, "Siapkan pakaianku. Kita akan menemui putri Izumi untuk meminta penjelasan."
"Hamba mohon jangan, Anda tak boleh membuat Putri Izumi tersinggung."
"Apa artinya aku harus diam saja melihatmu dilukai Shion?"
"Hamba hanya seorang pelayan. Tidak penting untuk membela hamba."
Percakapan Ino disela oleh seorang kasim yang mengetuk pintu.
"Selir Yamanaka, Jenderal Barat ingin menjumpai anda."
Gaara? Ino memang mendengar dia dipanggil oleh Itachi, tapi untuk apa lelaki itu menjumpainya.
"Persilahkan beliau menunggu di ruang duduk, hidangkan teh."
Ino kembali menghadapi Shion. "Setelah ini kita akan tetap mengunjungi putri Izumi."
Ino merapikan diri dan bergegas menuju ruang duduk. Ia senang melihat Gaara datang ke ibu kota. Itu berarti sang jenderal menyetujui usulan putra mahkota dan semakin sedikit hal yang Ino harus pikirkan.
Melihat Ino datang Gaara berdiri dan memberi salam.
"Jendral Sabaku, Apa yang membawa anda datang ke mari?"
"Maaf saya terlambat mengucapkan selamat atas pengangkatan anda menjadi selir utama."
"Semuanya terjadi terlalu cepat. Bagaimana kabar Saudari anda?"
"Berkat campur tangan anda Temari kini berbahagia dengan suaminya."
Ino tertawa, "Aku sudah menduga Shikamaru dan Temari akan cocok."
"Bagaimana dengan Anda?"
"Seperti yang kau lihat Jenderal, Aku baik-baik saja di dalam istana. Putra mahkota memperlakukanku dengan baik."
"Selir Yamanaka, hamba membawakan hadiah dari wilayah barat untuk anda." Gaara meraih kotak kayu berukir yang tadi ia letakkan di atas meja.
"Terima kasih." Ino membukanya. Biasanya ia menyuruh Shion yang mengurus hadiah dari para tamu, tapi karena kali ini hadiah datang dari seseorang yang dia anggap sekutu. Ino menerimanya sendiri. Gaara menghadiahkan sebuah tusuk konde dari emas bertatahkan berlian. "Ini indah sekali."
"Perhiasan ini dibuat oleh pengrajin terbaik di barat, berliannya juga merupakan hasil tambang di wilayah kami."
"Wilayah barat sangat makmur meski tanpa adanya campur tangan kerajaan."
"Bukankah karena itu anda menganjurkan putra mahkota memanggil saya ke ibu kota."
Ino khawatir dengan sekelilingnya. Ruangan itu dipenuhi dayang dan kasim. Gaara tak tahu situasinya tak cukup aman untuk membuat percakapan politik.
"Jenderal, Anda bisa saja. Mana mungkin wanita sepertiku bisa memberikan nasihat pada putra mahkota. Meski aku putri perdana menteri aku tak paham urusan politik yang dimainkan laki-laki."
Melihat Ino tak ingin membicarakan alasan pemanggilannya. Gaara tak mendesak. Ia tak tahu posisi Ino di istana seperti apa. Memang lebih baik membicarakan hal-hal umum. Dia lupa di istana semua dinding memiliki mata dan telinga.
"Selir Yamanaka, Anda suka merendah padahal Putra mahkota memuji Anda."
"Itu karena beliau terlalu baik. Jadi anda telah bertemu pangeran Itachi?"
Gaara mengangguk lalu berkata, " Saya juga akan menjumpai ayah anda."
"Kapan?"
"Hari ini. Ayah anda juga melayangkan surat padaku."
"Bila kau bertemu dengannya tolong sampaikan aku baik-baik saja."
"Tentu saja, Hamba mohon pamit sekarang. Semoga hadiah dari hamba akan berguna."
"Terima kasih sudah datang jenderal, Sampai kapan kau akan tinggal di ibu kota?"
"Sampai semua masalahnya selesai."
"Kalau begitu sampai jumpa dilain waktu. Jenderal"
"Terima kasih sudah membiarkan hamba mengganggu istirahat anda, Selir Yamanaka."
Pertemuan ini berasa singkat, ada banyak hal yang ingin Ino ingin tanyakan dan jelaskan pada Gaara tetapi berbicara di istana hanya meningkatkan risiko. Baru beberapa bulan lalu Ino merasa akrab dengannya dan memanggil Sang Jenderal dengan nama depan, tapi kini Mereka tak bisa lagi melupakan formalitas. Ino merasa Gaara adalah sedikit orang yang bisa dia percaya selain Itachi dan dia akan menjadi figur penting untuk menuntaskan usaha pemberontakan Sasuke.
"Nona, Di mana saya harus menyimpan hadiah dari Jenderal Sabaku?" tanya Shion pada majikannya.
"Letakkan saja di meja riasku. Aku akan memakainya nanti." Ino benar-benar menyukai hadiah itu, mungkin karena hadiah itu diberikan tanpa ada maksud apa-apa "Sekarang kita akan menemui putri Izumi."
Ketika hari menjelang petang, Itachi tak menemukan Ino di paviliun permata. Ia diberitahu selir barunya pergi mengunjungi Izumi. Itachi pun buru-buru ke sana. Ia tak ingin berpikiran buruk, Mungkin saja kedua istrinya menjalin keakraban seperti yang dia harapkan. Akan tetapi harapan itu kandas begitu ia menemukan Ino dan Izumi duduk dengan wajah tegang, tiada tawa dan percakapan riang hanya sebuah cawan teh pecah di lantai dan para pelayan yang berdiri di belakang Majikan mereka.
"Ada apa ini?" Tanya Itachi pada kedua istrinya.
"Anda datang di saat yang tepat. Selir Yamanaka datang untuk membuat masalah."
"Benarkah itu Ino?"
"Pangeran, Hamba datang meminta keadilan bagai pelayan hamba."
"Aku merasa tak ada yang salah dengan memberikan hukuman pada pelayan yang tak tahu aturan."
"Jelaskan apa yang terjadi?" Itachi duduk dengan gundah. Masalah kerajaan belum beres dan sekarang masalah Istri. Kapan seorang kaisar bisa hidup tenang?
"Shion dilukai oleh Dayang putri Izumi. Anda bisa lihat lukanya sendiri."
Itachi melihat bilur merah di tangan pelayan Ino, "Itu hanya luka kecil, Mengapa kau membuat keributan? Aku kira kau bisa berpikir lebih jauh dari ini."
Izumi tampak senang melihat dirinya dibela oleh sang suami. Sebenarnya ia tak tahu menahu urusan para dayang, dia pun tak pernah meminta mereka untuk mengganggu orang-orang di paviliun permata. Izumi selama ini menahan diri dan berusaha untuk tidak mengatakan hal buruk tentang Ino meski ia kesal karena suaminya terus menerus bersama sang selir, tapi gadis itu dengan berani datang dan bersikeras meminta Izumi untuk menyerahkan pelayannya agar bisa di hukum. Sebagai selir bukankah Ino wajib menghormati dia yang merupakan istri tua dan menerima keputusannya.
"Anda tak mengerti Pangeran, Jika sekarang hamba diam saja dan membiarkan pelayan hamba dipukuli oleh mereka bukan mustahil mereka akan melakukan hal yang lebih buruk dari ini jika hamba tak bertindak."
"Izumi apa alasan pelayanmu memukul pelayan Ino?"
"Pelayanku berkata gadis itu sudah bertindak tidak sopan."
"Itu tidak benar." Shion menyela.
Alis Izumi bertaut, "Selir Ino, pelayanmu memang tak punya tata krama. Apa dia tahu pelayan hanya boleh bicara jika diminta. Kau lihat sendiri tadi bagaimana pelayan itu bersikap."
Shion tampak pucat, Ia sama sekali tak tahu kekurangannya akan membuat Sang majikan susah. Aturan di rumah keluarga Yamanaka dan Istana jauh berbeda dan dia tak tahu tentang semua itu.
"Apa tindakan tidak sopan yang dayang ini lakukan sehingga kau merasa perlu memerintahkan pelayanmu untuk menghukumnya Izumi?"
"Aku tidak tahu detailnya dan aku tak pernah mengeluarkan perintah untuk menghukum pelayan Selir Ino. Ye-er, Kau jelaskan pada putra mahkota apa kesalahan pelayan itu."
Salah seorang pelayan Izumi berlutut di depan putra mahkota. "Gadis ini bersikap lancang dengan tak memberi salam dan tak mengacuhkan kami yang merupakan pelayan senior di istana."
"Sejak kapan pelayan boleh menghukum pelayan lainnya? Perintah untuk menghukum seseorang hanya boleh datang dari mulut anggota keluarga kerajaan. Putri Izumi tadi berkata tak pernah menurunkan perintah. Kalian bisa memperingatkan Shion jika dia salah, tapi kalian tak bisa menghukumnya sendiri."
"Maafkan hamba putra mahkota." Kali ini pelayan bernama Yu-er itu bersujud.
Itachi pun kembali menatap Izumi, " Kau harus mendidik pelayanmu dengan lebih baik, Mereka merasa pantas menghakimi pelayan lainnya hanya karena melayanimu yang posisinya lebih tinggi dari selir Ino. Jangan biarkan orang-orang yang bekerja untukmu menjadi sombong. Aku tak ingin kesalahan seperti ini terjadi lagi."
"Aku mengerti, Aku yang akan menghukum mereka sendiri."
"Bagus, Apa ini sudah cukup bagimu Ino?"
"Terima kasih telah memberikan keadilan pada Shion."
"Kau pun tak lepas dari kesalahan Ino. Luangkan waktu untuk mendidik pelayanmu. Aturan istana tak sama seperti di luar sana. Jika sikap pelayanmu menyinggung orang lain, maka kau akan menerima akibatnya juga. Untuk sementara kesalahan Shion bisa dimaklumi karena ia tidak tahu, tapi apabila pelayanmu tak mau belajar memahami tata krama istana aku merasa akan lebih baik mengembalikannya ke kediaman Keluarga Yamanaka."
"Hamba akan mengajari Shion dengan lebih baik."
"Kalau begitu masalahnya aku anggap sudah selesai. Kedua pihak sama-sama salah dan aku harap kalian berdua tak lagi memperpanjang hal ini."
"Hamba ingin minta maaf pada Putri Izumi sudah datang begitu saja."
"Karena hari sudah petang, Apa kalian bisa makan malam bersamaku?"
Tanpa memikirkan perasaan Izumi Sang pangeran menolak tawaran itu. "Lain kali saja Izumi, Masih ada hal yang harus aku kerjakan dan aku juga harus membawa Ino."
"Bolehkah hamba menolak. Hamba ingin menemani putri Izumi."
"Tidak bisa. Ini hal penting yang membutuhkan pertimbangan darimu sekarang."
Ino terpaksa mengikuti Itachi pergi setelah pamit pada wanita berambut hitam itu.
Izumi hanya bisa menatap kepergian mereka dan memikirkan apa yang Itachi ingin tunjukan pada Ino tanpa melibatkan dirinya. Hal apa yang dilakukan putra mahkota hingga perlu menanyakan pendapat seorang selir?
Sejak Ino datang, Itachi semakin hari semakin asing. Ia mendengar Suaminya menghabiskan waktu setiap malam bersama sang selir dan hari ini pun Itachi tak meluangkan waktu untuk makan dengannya, tapi malah menyeret sang selir untuk dibawa entah ke mana. Hatinya terluka.
"Yu-er kenapa kalian mengganggu pelayan Ino. Kalian lihat sendiri putra mahkota jadi marah padaku."
"Putri maafkan kami. Kami kesal, Sejak kedatangan Selir Ino Anda terus menerus bersedih."
"Apa kalian pernah mendengar aku mengeluh, Apa kalian pernah mendengar aku menginginkan sesuatu yang buruk terjadi pada Selir Ino. Jika kalian ingin membantuku jangan buat masalah. Kalian juga pastinya tak ingin aku kehilangan martabat di depan putra mahkota. Saat ini putra mahkota menyukai Ino, kita tak boleh bertindak gegabah."
"Kami mengerti, Putri. Semoga saja Pangeran Itachi akan segera kembali ke pelukan anda."
"Aku juga berharap begitu. Aku yakin ketertarikan pangeran pada selir Ino hanya sementara. "
.
.
.
Ino mengikuti langkah Itachi, Mereka tak menuju ke istana kaisar tempat di mana lelaki itu tinggal, tapi kembali ke paviliun permata. Melintasi jalan kompleks istana yang sepi, Itachi merasa aman berbicara pada Ino.
"Ino, Aku mohon untuk tidak mencari masalah dengan Izumi atau ibunda. Aku bisa melindungimu dari banyak orang, tapi tidak dari ibuku."
"Hamba tak paham mengapa pangeran khawatir, Hamba hanya meminta penjelasan. Apakah permaisuri begitu mudahnya tersinggung hanya karena hamba mendatangi istana putri Izumi."
Langkah lelaki itu berhenti dan ia membalikkan badan untuk meletakkan tangannya di bahu sang selir. Ia memberi Ino tatapan paling serius yang mengandung peringatan agar Ino tak menganggap remeh permintaannya.
"Kau tak kenal ibuku sebaik aku Ino. Lain kali kalau kau ingin melakukan sesuatu diskusikan dulu denganku." Itachi tahu banyak hal tentang ibunya, termasuk alasan mengapa dari sekian banyak selir di istana hanya dia dan Sasuke putra kaisar yang tersisa.
"Berhentilah menghawatirkan hamba, pangeran. Hamba bisa mengatasi masalah yang hamba timbulkan sendiri. Apa perlu putra mahkota ikut campur mengatasi konflik kecil dalam istana? Waktu anda lebih baik dipergunakan untuk mengurusi hal yang lebih besar."
"Ino, Apa penting bagimu untuk terlihat selalu kuat di depanku. Aku tahu kau pernah diperalat, tapi apa salahnya sekali-kali kau bersandar padaku. Bukankah kita sekutu? Kalau kau butuh bantuan mintalah. Tak semua hal harus kau tanggung sendiri. Lagi pula aku tak ingin merasa aku tak memberikanmu apa-apa sedangkan kau membantuku begitu banyak."
Ino tersenyum melihat ketulusan Itachi, "Hamba akan minta bantuan anda bila memang perlu."
"Aku ragu kau akan melakukannya. Kau tak sepenuhnya terbuka padaku soal rencanamu."
"Anda tak perlu tahu semua pekerjaan Hamba. "
"Dalam persekutuan ini aku merasa jadi pihak yang lemah dan Ayahmu diam-diam mendekati bangsawan lainnya, termasuk Jendral Gaara. Apakah kau akan membalikkan punggungmu dariku bila semua ini berakhir? Apa kau membenci semua Uchiha?"
"Pangeran apa anda diam-diam memata-matai keluarga Yamanaka?
"Ino, Apa kita bisa membahas hal ini di depan pelayanmu." Bisik Itachi di telinga sang selir. Shion berdiri sepuluh langkah di belakang Ino, Meski mereka berbicara dengan suara rendah Itachi berpikir pelayan itu bisa mendengar mereka.
"Shion, Bisakah kau pergi ke paviliun permata lebih dulu? Aku dan pangeran butuh privasi."
"Ah...hamba mengerti." Wajah Shion bersemu merah jambu. Putra mahkota ingin berduaan saja dengan Nona di tengah jalanan yang sunyi dan gelap. Bukankan ini sedikit tak sopan, tapi Shion juga pernah mendengar rumor kisah-kisah bangsawan dan kegilaan mereka. Siapalah dia mempertanyakan selera putra mahkota dan sepertinya Nona Ino juga menyukainya. Shion sudah menduga dibalik sikap Nona Ino yang kalem, tersembunyi gadis liar yang suka petualangan. Kalau tidak seperti itu bagaimana mungkin Nona sanggup meladeni putra mahkota tanpa jeda. Belum lagi Nona suka melakukan hal nekat dan berbahaya.
Melihat sekelilingnya hanya ada mereka berdua, Itachi dan Ino merasa lebih aman. Bukannya Ino tak mempercayai Shion, tapi pelayannya lebih baik tak tahu apa-apa.
"Pangeran, Apa anda memata-matai ayah hamba?"
"Aku memutuskan untuk memata-matai semua orang dan Jelaskan padaku kenapa Jendral Gaara bertemu ayahmu setelah dia membuat kesepakatan denganku?"
"Hamba sama sekali tidak tahu rencana ayah hamba. Bukankah dua minggu ini hamba terjebak di istana tanpa bisa keluar. Banyak hal yang hamba lewatkan karena jaringan informasi hamba terputus. Jika anda penasaran kenapa tak bertanya langsung pada Jendral Gaara dan ayahku? Dari kunjungan singkat beliau hamba mendapatkan kesan beliau akan tinggal cukup lama di ibukota."
"Aku tak pernah tahu sebelumnya kau begitu akrab dengan Jendral Gaara sampai-sampai dia mengunjungi secara pribadi."
"Bukan hal yang aneh jika seorang bangsawan mengucapkan selamat pada selir yang baru diangkat dan jika Jenderal Gaara sudah menerima proposal anda, Maka tak akan ada yang perlu dikhawatirkan. Kita memiliki dukungan dari keluarga Sabaku dan prajuritnya."
"Bisakah kita mempercayai Gaara? Aku merasa memberitahunya soal kecurigaanku pada Sasuke bisa menjadi bumerang."
"Hamba percaya pada penilaian hamba dan jangan khawatirkan ayah. Jika dia melakukan sesuatu, itu pastinya demi kebaikan anda."
"Aku harap begitu, Aku tak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika semua orang di sekelilingku punya potensi berkhianat."
"Hamba akan memastikan semua pejabat yang masih ragu pada anda memberikan dukungan total. Kita harus menunjukkan mendukung pangeran Sasuke adalah sebuah kerugian."
"Besok aku akan ke luar istana, sebaiknya kau ikut keluar bersamaku. Kita akan menemui ayahmu dan Jendral Gaara."
"Baiklah, Hamba juga ingin mampir ke kedai teh. Haruskah kita menyamar?"
"Ide yang bagus. Kita akan keluar diam-diam."
Indra sang putra mahkota yang memiliki kemampuan bela diri merasakan ada orang yang mendekat. Ia pun menarik tubuh Ino agar bersandar padanya.
Ino terkejut. "Ada apa?"
"Rangkul aku!"
Ino menurut saja ia melingkarkan lengannya dengan patuh di leher Itachi. Waktunya membuat pertunjukkan, tapi Ino jadi lebih terkejut lagi karena mendadak putra mahkota menciumnya.
Sasuke melihat Itachi dan Ino, Dia tak percaya dengan apa yang dia lihat. Sepertinya benar kakaknya sudah berada di bawah genggaman selir itu. Kakaknya bukan tipe lelaki yang bisa mencumbu wanita di luar kamar tidur, tapi sekarang ia menyaksikan langsung di depan matanya sendiri.
Naruto dan prajurit yang mengikuti Sasuke menunduk melihat ujung alas kaki mereka. Tak pantas menatap putra mahkota dan selir yang asyik bermesraan di tengah jalan.
"Ehem..., Kakak."
Itachi berhenti mencium Ino tapi tak melepaskan sang selir dari pelukannya.
