Dance of Flower
Chapter 14
Di luar aula hujan masih turun meski intensitasnya telah berkurang. Awan hitam pekat masih menaungi langit ibu kota, sesekali terdengar suara guntur dan petir dari kejauhan. Suasana yang suram dan hujan yang terjatuh laksana tangisan bukan hal yang diharapkan terjadi pada hari penobatan yang seharusnya berlangsung dengan sempurna.
Di antara para tamu yang sebagian besar adalah pejabat dalam jubah seragam berwarna biru kebanggaan mereka terdengar bisik-bisik penuh spekulasi apakah hujan hari ini akan menjadi lebih dari sebuah hujan. Mungkinkah ini petanda dari dewa yang kuasa?
Dengan pakaian berwarna merah gelap bersulam naga emas. Pangeran Itachi menjejakkan kakinya di atas lantai beralas kain merah. Tiap langkah diambil tanpa goyah. Dia merasa siap menerima semua tanggung jawab besar yang sekarang disematkan di pundaknya.
Di atas panggung pendeta memegang mahkota. Simbol yang melambangkan kekuasaan absolut seorang pemimpin. Semua orang bisa melihat tekad dan keteguhan hati sang pangeran yang terpancar dari tubuhnya. Detik-detik ini akan tercatat di buku sejarah. Kejadian penting dimana era akan berganti.
Dengan anggun Ia merendahkan tubuhnya membiarkan orang yang dianggap sebagai pembawa pesan dari dewa meletakkan mahkota di atas kepalanya. Sekarang dia adalah Kaisar ke tiga dari dinasti Uchiha.
Sang pangeran yang telah ditasbihkan menjadi Kaisar berlutut memberi hormat di muka abu para leluhur, meminta restu dan bimbingan dari arwah mereka yang telah meninggal, Tiba-tiba saja terdengar petir menyambar. Kilat masuk dari kisi-kisi pintu dan jendela Membuat hadirin terdiam, Petir menandakan hukuman dan peringatan. Kecemasan di wajah para pendeta dan pejabat jelas terlihat. Apakah di tangan Kaisar Itachi Uchiha dewa berencana mengirim malapetaka bagi negeri ini?.
Mereka tak bisa sesumbar mengatakan Konoha sebagai negeri yang makmur dan damai. Perang dan kekeringan di satu sisi. Banjir dan pergulatan politik di sisi lain. Saat ini kemiskinan meningkat begitu pula tindakan kriminal. Para bangsawan tutup mata akan apa yang terjadi diluar tembok yang mengelilingi rumahnya, tapi mereka tahu betapa besar masalah yang harus diselesaikan oleh Kaisar baru.
Hari penobatan yang diringi guntur dan petir membuat rakyat enggan memenuhi jalanan kota untuk menanti iring-iringan pawai. Mereka merasa pesimis. Sepertinya langit ingin menjauhkan mereka dari asa untuk melihat sedikit kemakmuran di masa depan.
Sementara banyak orang resah, Itachi sendiri tak merasa cemas. Dia bukan orang yang percaya takhayul. Ino yang mengaku telah menjalani masa depan pun tak bisa memprediksi lagi apa yang terjadi. Ia percaya satu demi satu aksi yang mereka ambil telah mengubah perjalanan hidup.
Andai kata suatu hari nanti dengan segala upaya ia tetap berakhir mati ditangan Sasuke dengan cara yang berbeda itu hanya berarti ia memang tak digariskan untuk memiliki umur panjang.
Itachi tak takut akan masa depan karena ia yakin sepanjang dia masih bernafas dan berdaya ia akan berusaha memberikan hal terbaik bagi negeri ini dan rakyatnya. Ia akan berusaha meneggakkan keadilan bagi mereka yang tertindas dan semua reformasi itu akan diawali dari dalam istana.
Pendeta merasakan pergolakan batin. Menurut hematnya langit tak setuju dengan penobatan ini, tapi ia tetap melanjutkan upacara. Jika langit menolak putranya, siapa lagi yang layak duduk di takhta ini? Apakah ini pertanda akhir sebuah dinasti? ataukah dewa menurunkan berkahnya pada orang lain?
Lelaki tua itu memanjatkan doa, Memohon restu para dewa untuk memberkati kaisar. Sumpah telah diambil dan Itachi Uchiha siap menjalani perannya menjadi seorang pemimpin.
"Putra langit telah menduduki takhta Naga, Atas restu dewa beliau akan memimpin Konoha menuju kejayaan dan kemakmuran. Hormat kepada Kaisar Itachi Uchiha."
Sang pendeta berlutut di hadapan Itachi yang duduk di singgasana. Semua orang yang berdiri di ruangan itu mengikuti. Dahi mereka menyentuh lantai dan dengan kompak memberi salam.
"Hormat pada Yang Mulia Kaisar Itachi Uchiha, Semoga Yang mulia panjang umur."
Suara ratusan orang bergaung dalam ruangan. Di luar istana prajurit, kasim dan pelayan ikut bersujud memberi penghormatan pada matahari baru yang akan menyinari Konoha.
"Kalian berdirilah, Ini hari pertama pemerintahanku dan aku mengharapkan kesediaan dan kesetiaan kalian untuk membantuku. Di hari ini juga aku akan menobatkan Yamanaka Ino sebagai permaisuri. Dia akan memerintah bersamaku di atas singgasana ini."
Sebagian orang yang tak tahu merasa terkejut, Berita tersebut menyebar dengan cepat melewati tembok istana. Rakyat yang mengenal Ino dan kebaikannya bersuka cita. Mengetahui seseorang yang memiliki hati mulia menjadi Ibu dari negeri ini.
Inoichi Yamanaka membantu putrinya keluar dari tandu. Dari pintu masuk aula ia melintasi deratan hadirin yang menundukan wajah, tak berani mengarahkan pandangan pada wanita yang dengan anggun berjalan ke arah suaminya.
Jubah berwarna merah hati dengan sulaman emas dan motif burung phonix di punggung hanya boleh dipakai olehnya. Rambut pirang tertata dengan rumit di puncak kepala dan hiasan burung berekor sembilan menempel di sana. Wajahnya yang dipulas dengan serbuk mutiara berbinar. Ino Yamanaka adalah sebuah epitome keanggunan.
Izumi tak bisa menatap Ino. Ia selalu bermimpi untuk memakai mahkota phonix bersanding di sebelah suaminya dan sekarang ia hanya bisa menjadi penonton dan bertepuk tangan untuk wanita lain. Menyakitkan sungguh menyakitkan. Ia tak beranjak dari tempat duduknya. Diam dengan tenang menyaksikan wanita lain mendapatkan kejayaan sementara hati dan harga dirinya remuk redam.
Mikoto yang sekarang resmi menjadi ibu suri terlihat cemberut. Ia tak punya jalan untuk mengubah pikiran Itachi. Meski telah menahan Sakura Haruno dan mendengar ceritanya, Mikoto tidak menemukan kesempatan untuk membuat rencana. Sasuke juga tidak berada di istana dan gadis jalang itu menjelang penobatan menghabiskan semua waktunya bersama Itachi. Bagaimana bisa dia meletakkan sasarannya dalam satu posisi yang membuat skandal?
Ino berlutut di depan Itachi yang memahkotainya. Keduanya saling tatap dengan pandangan pengertian. Rumor demi rumor tersebar, Ada yang berkata Kaisar memahkotai selir Yamanaka karena rasa cintanya yang begitu besar. Ada pula yang dengan sinis bicara Kaisar telah tertipu oleh rubah betina. Pro dan kontra dimana-mana, Tapi kenyataan hanya mereka berdua yang tahu.
Berdiri di depan semua orang. Kaisar mengenggam tangan Ino memberikan dukungan.
"Selama Yamanaka Ino memegang mahkota phonix, Dia adalah ibu negara ini. Kalian semua harus menghormatinya seperti seorang ibu. Orang yang berani menghina kaisar dan permaisuri berarti mencoreng harkat dan martabat negeri ini dan akan di hukum seberat-beratnya."
"Kami mengerti, Yang mulia." Ucap para pejabat dan bangsawan yang hadir. Mereka kembali membungkuk. Termasuk Danzo dan Inoichi yang merupakan ayah Ino.
"Hormat kepada permaisuri, Semoga permaisuri panjang umur." Ucap mereka dengan lantang.
Inoichi melihat putrinya bersanding bersama Kaisar, tak pernah sekali pun ia membayangkan hal ini terjadi. Gadis itu terlihat tenang seakan telah berkali-kali duduk di singgasana. Ia memancarkan kebijakan melewati usianya yang masih belia. Terkadang Inoichi pun bingung bagaimana putrinya bisa memiliki kegetiran dan rasa sinis yang hanya ia temukan dari wanita-wanita yang telah lama saling mencakar di balik tembok istana padahal ia membesarkan putrinya di rumah kaca. Jika Ino sudah menjadi permaisuri seperti ini, tak ada hal lain yang bisa dia lakukan selain mengerahkan semua kekuatan politik untuk mendukung dan melindunginya.
Setelah Ino di mahkotai hujan berhenti, langit kembali cerah dan pelangi menghiasi langit ibu kota Konoha. Kebetulan ini langsung menjadi pembicaraan sepanjang perjamuan. Mereka merasa keputusan Itachi yang kontroversial memiliki alasan lebih dari sekedar meletakkan wanita favoritnya sebagai permaisuri. Mungkinkah Ino dipilih karena membawa keberuntungan bagi kasiar yang diramalkan akan memiliki nasib buruk?
Setelah berpawai mengelilingi kota. Ino dan Itachi kembali ke istana menikmati jamuan yang diadakan untuk mereka, Beberapa perwakilan dari negara lain juga datang membawakan hadiah bagi Kaisar baru Konoha.
"Dari tadi mereka membicarakanmu. Mereka percaya pelangi merupakan pertanda baik dan aku memilihmu menjadi permaisuri untuk menangkal nasib buruk."
"Hamba senang tidak mendengar banyak penolakan dari bangsawan, Bahkan faksi Danzo setuju."
"Apa kau tahu rakyat juga gembira mendengar kau menjadi permaisuri. Kau banyak membantu mereka sampai-sampai dijuluki dewi. Sekarang ketika kau menjadi permaisuri. Badai berlalu dan Pelangi menghiasi langit sudah tentu mereka akan berpikiran baik tentangmu. Apa aku harus merasa terancam? Pamormu di mata masyarakat lebih baik dari pada diriku sekarang."
"Yang mulia, Anda tahu saya tak berniat berkuasa. Ini hanya untuk memancing musuh anda. Yang saya herankan mengapa putri Izumi tak menunjukkan penolakan sedikit pun soal ini? Saya menanti dia datang untuk memaki saya, tapi dia malah tersenyum dan mengucapkan selamat. Putri Izumi memang berjiwa besar."
"Pertama Izumi wanita yang besar di istana, Dia tak pernah menunjukkan emosi dan maksud buruk dengan terang-terangan. Kedua aku telah berjanji jika kau melahirkan seorang pangeran aku akan menjadikannya putra mahkota dan membiarkan Izumi mengasuhnya dan tak membiarkanmu ikut campur sama sekali."
"Anda menjanjikan hal itu tanpa bicara padaku. Bisa-bisanya anda dengan mudah setuju memisahkan ibu dari anaknya?" Ino terkejut dan marah. Ia kembali teringat putranya yang dirampas oleh Sakura. Putra yang dia hanya bisa peluk sesaat.
Mengapa Itachi membuat keputusan tanpa menanyakan opininya? Sepanjang minggu mereka bertemu Itachi tak membahas soal ini seakan ini bukan hal penting.
"Aku tak ingin Izumi membuat masalah bagi kita, Ia mengancamku jadi aku mengiyakannya dengan cepat. Lagi pula anak yang diminta Izumi tak akan pernah ada. Jadi kau tak perlu khawatir harus berpisah dari seorang anak. Meski kau telah diberikan padaku, aku tak berniat melakukan apa pun padamu. Jika semua telah selesai. Kau bebas melakukan hal yang kau inginkan dan aku rasa tinggal selamanya di istana menjadi permaisuri bersamaku bukan sesuatu yang kau impikan. Jika kau menginginkan anak dan keluarga kau bisa mendapatkannya dari lelaki yang kau cintai."
"Apa anda tak pernah melihatku sebagai wanita?"
"Apa kau ingin aku melihatmu sebagai wanita?"
Ino bingung sendiri, Apa yang selama ini dia lihat pada diri sang kaisar? Tak seperti perasaannya pada Sasuke. Itachi tak membuat jantungnya berdebar kencang. Meski selalu dekat dia tak membuat Ino tersipu. Keberadaannya menenangkan. Tak seperti cinta yang dia kenal. Cinta yang membuatnya resah, gelisah. Cinta yang membuatnya merindu dan gelap mata. Dia dan Itachi adalah rekan dan kekaguman lelaki itu padanya bukan karena ia seorang wanita.
Itachi menatap Ino yang masih membisu. Jujur saja, sulit baginya untuk tidur nyenyak di sebelah gadis itu tanpa merasakan apa-apa. Semakin sulit baginya untuk tidak terhanyut saat menatap wajahnya. Setiap kata yang terucap dari bibirnya membuat pikirannya terusik.
Ketika ia menutup mata pun sosok Ino tetap tergambar sebagai wanita dan dia meski ia seorang yang rasional dan berpendirian ia tetap seorang laki-laki yang terkadang lemah melihat kecantikan.
Untung saja kontrol dirinya luar biasa. Kedekatan mereka secara fisik membuat pikirannya menjadi tak jernih. Ino sudah berkorban banyak dan dia tak bisa menodai hubungan mereka dengan mencari kesempatan.
Ino layak mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Seseorang yang mencintainya dan tak melihat gadis itu sebagai keuntungan politik semata. Ia berhak untuk terbang tidak terkurung dalam dinding istana yang dingin dan tak menawarkan apa-apa.
Ino tak jua menjawab pertanyaannya. Itachi lanjut bicara. "Aku melihatmu sebagai rekan bukan wanita. Bagiku wanita tak berarti banyak. Kau adalah rekanku dan Izumi adalah keluargaku."
"Itu bagus, Setidaknya saya memenangkan rasa hormat anda. Kenapa saya tak melihat pangeran Sasuke dan Jendral Gaara hari ini?"
"Jendral Gaara sedang sibuk memotong ekor ular dan Sasuke harus meninjau perbatasan, tapi dia akan kembali segera. Apa kau merindukannya?" Tanya Itachi dengan iseng pada permaisurinya. "Aku tahu kalian berdua diam-diam sering bertemu." Itachi menuang arak dan meminumnya. Kenapa tiba-tiba arak ini terasa sedikit pahit?
"Soal Sasuke, ada yang harus saya bicarakan dengan anda, tapi kita tak bisa melakukannya di sini." Bisik Ino ditelinga kaisar.
"Baiklah, Nanti malam saja di kamar tidurmu."
.
.
Sai menyelinap keluar istana dengan membawa surat rahasia dari Nona nya. Untunglah hari ini istana tengah sibuk dengan acara penobatan. Jadi semua penjaga fokus mengamankan aula keadilan.
Tiba di rumah teh Katsuyu. Sai menyerahkan surat itu pada Nyonya Tsunade. Wanita itu membaca dengan kening berkerut kemudian membakar suratnya. Ia pun memanggil salah seorang pekerja wanita membisikan sesuatu yang Sai tidak mengerti dan kembali dengan sebuah kotak hitam berbalut beludru.
"Apa kau tahu isi surat majikanmu?"
Sai menggeleng.
"Kalau begitu, Jangan pernah buka kotak ini dan berikan pada majikanmu secara langsung. Jangan sampai orang lain menemukannya."
"Saya mengerti. Akan saya bawa dengan selamat."
"Baguslah."
Sai kembali ke istana. Dia membawa kotak itu melompati atap dan tembok dengan hati-hati. Jika Nyonya Tsunade memperingatkannya dengan serius. Benda ini pasti benar-benar penting bagi Nona.
Pekerja wanita heran mendengar perintah Nona Tsunade pada lelaki berpakaian serba hitam itu.
"Nyonya, Itu bukan benda yang penting bukan? semua rumah bordil memilikinya. Mengapa harus dijaga seperti itu?"
"Sebab mungkin saja benda itu bisa membantu menyelesaikan masalah besar."
Wanita bercepol dua itu tertawa. "Nyonya, Ternyata anda suka bercanda."
Ino memiliki dua permintaan. Yang pertama dia mengerti. Permintaan kedua Ino cukup mencengangkan, tapi ia tetap memberikannya. Mungkin anak didiknya sedang belajar hal baru. Jika Ino tetap ingin menjadi wanita kesayangan kaisar dia memang harus bekerja keras.
.
.
Ino meninggalkan tempat perjamuan lebih dulu. Ia telah mandi dan berganti pakaian dengan jubah tidurnya. Hari ini melelahkan dan dia sedikit mabuk akibat banyak orang bersulang untuknya.
Shion menyisir rambut pirang majikannya. Mengurai semua kekusutan yang disebabkan oleh tatanan rambut rumit yang dia gunakan untuk acara penobatan.
"Nona, Sai telah membawa apa yang Anda minta. Hamba meletakkan kotak itu di atas meja."
"Bagus aku akan memeriksanya nanti, Ini hari yang panjang. Aku merasa sangat lelah."
"Nona, Tidak-tidak... Shion harus memanggil anda Yang mulia mulai sekarang. Hamba masih tidak percaya anda menjadi permaisuri."
"Apa kau masih tak mempercayai jubah phonix yang tergantung di situ?" Ino menunjuk sudut ruangan. "Sekarang kau adalah dayang permaisuri. Tidak ada lagi yang boleh menginjak-injak dirimu Shion."
Gadis itu menangis terharu. "Yang mulia, Hamba sungguh bangga bisa melayani seorang permaisuri. Hamba tak pernah bermimpi bisa mengikuti anda hingga ke istana. Hamba sungguh berterima kasih karena yang mulia tetap mempertahankan hamba sebagai dayang dan pelayan pribadi meski status anda begitu tinggi. Hamba merasa tidak pantas mendapatkan semua ini."
Shion berlutut di depan Ino. Hanya karena mengikuti Nona dia yang hanya rakyat jelata bisa terangkat statusnya sampai sejauh ini. Nona-nona bangsawan pun iri pada Shion karena ia bisa melayani permaisuri.
"Shion, Kau lebih dari sekedar pelayan bagiku. Kau orang kepercayaanku. Kesetiaanmu lebih berharga dari pada persahabatan pura-pura yang aku dapatkan dari wanita-wanita istana."
"Hamba akan berusaha melayani anda sebaik-baiknya. Apakah Putra mahkota. Ah bukan, Kaisar akan berkunjung malam ini?
"Mungkin saja Shion, Jika beliau bisa lepas dari para pejabat yang mulai menawarkan putri-putri mereka untuk memenuhi istana."
"Kalau begitu anda tak boleh bersikap santai permaisuri. Anda tak boleh sampai kehilangan perhatian Yang Mulia Kaisar." Pelayan itu langsung sibuk menyiapkan lilin dan menebar wangi-wangian di ranjang Ino. Kemudian menyiapkan buah, arak dan kudapan di atas meja.
Ino hanya terkikik, Semua hal yang selama ini dengan susah payah Shion siapkan tak pernah digunakan karena dia dan Itachi hanya menghabiskan malam mereka dengan berbicara. Kadang dia merasa kasihan menemukan lelaki itu terbaring di bangku atau di lantai. Segala rasa tidak nyaman itu dia jalani untuk tetap menyokong rumor tentang mereka.
Ino tertidur karena Itachi tak jua datang. Tetapi lewat tengah malam gadis itu terjaga karena pintu kamarnya terbuka.
"Apa kau terbangun?"
"Ya, Anda membangunkan saya yang mulia."
"Maaf, Aku tak bermaksud merusak tidurmu Ino, tapi kau bilang ingin membicarakan sesuatu yang penting." Itachi mendudukkan dirinya di bangku. Ia minum terlalu banyak dan sekarang merasa sedikit mabuk. Kotak hitam besar yang tergeletak di atas meja menarik perhatiannya.
Ino menggosok mata, mencoba mengenyahkan kantuk. "Aku perlu kesediaan anda."
"Kesediaan untuk apa?"
Ino melihat apa yang lelaki itu lakukan. "Jangan dibuka!" Jerit Ino, tapi terlambat. Sang Kaisar sudah melihat isinya.
"Apa seseorang mengirimkanmu hadiah Permaisuri?"
Pipi Ino bersemu merah syukurnya lilin telah dimatikan Itachi tak akan melihat wajahnya dengan jelas. Ino mendekat dan ikut duduk di meja. Ia dengan cepat menutup benda itu dan menyingkirkannya dari hadapan Itachi.
"Siapa yang memberikannya padamu? Batu giok yang digunakan merupakan kualitas terbaik. Kau bisa lihat dari warna nya, tapi mengapa bentuknya seperti lingga?" Desak lelaki berambut hitam itu.
"Anda tak perlu tahu."
"Tentu aku perlu tahu, Siapa yang berani menghina permaisuriku di hari penobatannya dengan memberikan hadiah yang terlihat seperti alat kelamin laki-laki." Ujar lelaki itu geram.
Duduk berseberangan Ino bisa mencium bau alkohol dari tubuh Kaisar. "Apa anda mabuk, Yang Mulia?"
"Tidak, Aku rasa tidak karena aku masih bisa menyimak dengan saksama. Apa kau punya ide siapa pelakunya, Aku akan menginvestigasi."
Wajah Ino jadi semakin merah. "Tak perlu investigasi, tak ada yang menghina saya karena saya sendiri yang memintanya dari Nyonya Tsunade."
Itachi tersadar kemudian terdiam sesaat. Wajahnya yang merah karena alkohol menjadi bertambah merah saat ia paham apa fungsi dari benda di dalam kotak. "Aku kira itu hanya pajangan bagi mereka yang berselera buruk."
"Benda dengan bentuk seperti itu tak mungkin bisa dipajang. Mari kita kembali ke pembahasan utama Yang Mulia. Anda tahu tujuan kita adalah untuk menemukan siapa-siapa saja yang mendukung pangeran Sasuke dan sejauh ini saya tidak menemukan informasi apa-apa. Malah adik anda semakin mencurigai saya. Saya harus melakukan sesuatu yang cukup ekstrem untuk mendapatkan kepercayaannya karena mengusai anda saja tidak cukup."
"Apa yang akan kau lakukan?"
"Saya akan membunuh anda, Apa anda bersedia?"
"Membunuhku, Apa kau benar-benar ingin aku mati?"
"Tentu saja ini pura-pura, tapi kita harus membuatnya peristiwa ini benar-benar nyata. Nyonya Tsunade dan Sai akan membantu kita dan sebaiknya kita juga melibatkan jendral Gaara. Apakah Yang mulia bisa percaya padaku?" Ino menatap Itachi meminta persetujuan.
"Katakanlah aku mati, kemudian apa rencanamu?"
"Jika anda dinyatakan meninggal dan saya memberikan tubuh ini padanya. Apakah dia punya alasan untuk tidak percaya lagi?"
"Kau benar-benar berencana untuk tidur dengan Sasuke?"
"Dia menginginkan bukti, Jadi saya harus menyerahkan sesuatu sebagai bukti ketulusan saya."
Ino menutup mata, tak ingin mengingat bagaimana lelaki itu memperlakukannya dengan kasar di tempat tidur dan ia hanya bisa menerima karena ia pikir hubungan badan memang wajar seperti itu. Ia berpikir jika ia tak menikmati semua itu karena ada yang salah dengan tubuhnya, tapi ia mencintai Sasuke dan ia juga adalah istrinya. Ino tak pernah mengeluh karena sudah kewajiban istri melayani suami.
Tubuh Ino bergidik membayangkan tangan dan mulut laki-laki itu menyentuhnya lagi. Bisakah ia bertahan dan bersikap normal. Tak membiarkan kenangan buruk menguasainya. Sampai saat ini pun dia dihantui mimpi buruk.
"Mungkin melenyapkanku saja sudah cukup baginya untuk menerimamu. Aku tak ingin kau terpaksa merayu Sasuke."
"Saya siap melakukannya. Lagi pula itu bukan masalah besar. Di kehidupan lalu dia adalah suami saya. Saya bisa menghadapinya, tapi saya tidak bisa memberikan tubuh yang masih perawan ini karena dia sudah pasti mengetahui persekongkolan kita."
"Dan kau berencana untuk merusak keperawananmu sendiri?"
"Aku tak bisa meminta tolong pada Sai dan Shion kan? Lagi pula itu hal mudah untuk dilakukan, hanya perlu memasukkan sesuatu yang cukup besar ke dalam sana dan urusannya beres." Ino mengibas-kibaskan tangan di udara. Malu membicarakan hal seperti ini pada Itachi.
Itachi menuangkan arak untuk menenangkan diri. "Kau bisa terluka. Kau berniat menggunakan benda yang diberikan Nyonya Tsunade? Aku tak yakin itu aman. Apalagi ini pengalaman pertamamu."
"Wanita-wanita itu menggunakannya tanpa masalah meski yah, Mereka profesional di bidangnya dan merobek selaput dara sudah pasti akan sakit."
"Tidak sakit jika dilakukan dengan benar." Itachi menegak dua cawan arak lagi dengan cepat. Pembicaraan macam apa ini. Seks dan Ino bukan perpaduan yang tepat.
"Apa anda mau membantuku?"
Itachi tersedak dan kehilangan kata-kata. Apa yang harus dia lakukan sekarang. "Apakah memikat adikku adalah sesuatu yang penting?"
"Katakan padaku, apakah mata-mata yang anda kirimkan untuk mengawasi Sasuke pernah kembali untuk melapor?"
Itachi menggeleng.
"Mereka sudah pasti terbunuh dan apakah anda yakin saat ini adik anda sedang meninjau perbatasan bukan untuk melakukan hal lain? Sasuke tahu dia sedang diawasi. Sebab itu Yang mulia anda harus pura-pura mati dan saya harus pura-pura tunduk padanya. Biarkan dia merasa jumawa dan kita akan menyerang balik."
"Aku mengerti, tapi kita butuh rencana yang benar-benar matang atau semuanya akan jadi bencana. Kau benar kita tak boleh membuat celah." Itachi menarik nafas panjang. "dan aku akan membantumu. Kapan kau siap untuk melakukannya?"
"Sekarang."
Itachi pun menelan ludah. Semoga dia bisa melewati hal gila ini.
.
.
Kedua orang itu merasa aneh dan canggung. Ino berbaring di ranjangnya. Pakaiannya tergulung di pinggang. kakinya terentang. Ia mencoba tenang membaringkan kepala di atas bantal dan merasa begitu sadar ia tengah mengekspos organ intimnya yang tak pernah dilihat oleh laki-laki. Termasuk sang kaisar yang sekarang duduk di dekatnya menutup matanya dengan secarik kain. Itachi memutuskan tidak melihat untuk menjaga harga diri Ino.
"Apa kau pikir kita bisa melakukannya dengan seperti ini?"
"Aku tak bisa melihat, Jadi kau harus membimbingku. Jangan lupa buka kakimu selebar-lebarnya agar jadi lebih mudah."
"Aku mengerti." Sebelum ke Istana Ino juga di suruh membuka kakinya. Dayang dan tabib memeriksa apakah keperawanannya masih utuh.
Ino membawa tangan sang kaisar mendekat pada kewanitaannya. "Saya serahkan padamu yang mulia." Ino mempersiapkan dirinya merasakan sakit, tapi yang ia rasakan hanya belaian lembut di bawah sana.
Tangan yang besar itu memijat dan meremas kemaluannya. Rasanya tidak buruk.
"Kau harus tenang. Rileks dan pejamkan matamu. Biarkan aku bekerja."
"Aku tak tahu bagian ini bisa dipijat dan rasanya tidak buruk."
"Aku mencoba melemaskan ototmu." Itachi hanya mengandalkan indra perabanya. Ujung jarinya bisa merasakan tekstur kulit Ino yang pelan-pelan menjadi lembap.
Ino merintih dan menggeliat, Jari-jari Sang Kaisar yang kasar oleh kegiatan berkuda dan berpedang menggesek klitorisnya. Getaran ia rasakan menyebar di area panggul. Lama-lama selangkangannya terasa berkedut.
"Aku merasa aneh." Keluh Ino sambil mengerang.
"Kau sudah basah." Lelaki itu bisa merasakan permukaan organ intim permaisurinya sudah menjadi licin. "Aku rasa ini cukup. Bersiaplah."
Ino menggigit bibir, satu jari telunjuk menembus tubuhnya dengan mudah. Ia merasa sedikit direnggangkan tapi tidak sakit.
"Ahn..n." Apa ini sudah selesai.
"Tidak akan rusak hanya dengan satu jari. Tetap tenang Ino. Percaya padaku " Ujung jarinya menemukan selaput tipis yang menutup jalan untuk bisa lewat lebih dalam. Dia menambahkan jari kedua membuat gerakan menusuk mencoba melubangi selaput itu tapi sepertinya tak cukup. Ino menggeliat dan mendesah dengan gelisah.
"Yang mulia saya merasa makin aneh."
"Tahan Ino, Buka kakimu lebih lebar lagi. Aku harap aku tak perlu menggunakan barang yang lebih besar untuk menembusnya." Keluh sang Kaisar. Dia menambahkan jari ke tiga dan menusuk sedalam mungkin. Akhirnya selaput dara itu robek.
Ino memekik sakit dan Itachi tahu harusnya dia berhenti dan menarik jarinya keluar dari sana karena tujuan utama mereka sudah tercapai, tapi ia tetap melanjutkannya.
Jarinya terus menari hingga rasa nyeri Ino terlupakan oleh kenikmatan yang mengaliri tubuhnya. Ia benar-benar ingin melihat ekspresi wanita itu, tapi ia tak kuasa menarik penutup matanya. Mendengar pekik manis Ino mencapai puncak meninggalkan rasa mendamba kemudian rasa pahit menyapa mengingat wanita ini akan berlabuh di pelukan adiknya.
"Sudah selesai." Itachi mengembuskan nafas yang sudah ia tahan beberapa waktu. "Kau sudah tidak perawan lagi."
Ino menutup tubuh bagian bawahnya dengan selimut dan membuka ikatan kain yang menutup mata Kaisar "Apa anda akan tidur di sini? Hari sudah sangat larut."
Tatapan Itachi membuat nafas Ino tercekat. Apakah Yang mulia selalu menatapnya seperti ini?
"Aku akan kembali ke istana naga. Aku tak ingin mengganggumu jika aku tak bisa tidur malam ini."
Lelaki itu membasuh tangannya, kemudian berjalan ke pintu.
"Selamat tidur, permaisuriku." Dia pergi setelah memberikan Ino seulas senyum.
Ino membuka selimut memeriksa darah dan kelembapan di antara kedua kakinya. Ia harus membersihkan diri. Menatap ruang yang telah kosong. Ino merasakan hatinya menjadi sunyi. Kenapa ia merasa jari lelaki itu menyusup dalam tubuhnya meninggalkan rongga.
Ino pun berguling. Berpikir untuk membersihkan diri besok saja. Malam begitu dingin dan ia bergelung dalam selimut berharap sang kaisar tinggal dan berbaring bersamanya.
.
.
