The Dance of The Flower
Part 18.
Itachi tak lagi merasakan keraguan atau rasa bersalah. Apa pun yang terjadi nanti ia akan menghadapi dan menerimanya, tapi sekarang ia memilih untuk menutup pintu kecemasan dan menikmati saat ini. Membiarkan dirinya bebas tanpa memikirkan sebab dan akibat.
Satu per satu ia melepas layer demi layer pakaian yang melekat di tubuh permaisurinya hingga hanya meninggalkan ketelanjangan yang membuat gadis itu terlihat rapuh. Ino tak terlihat takut, melainkan menatapnya dengan rasa ingin tahu. Begitu telapak tangannya menyentuh kulitnya yang gading, ia merasakan tubuh gadis itu gemetar. Mungkin kamar ini terlalu dingin lantaran dia menyuruh dayang mematikan perapian setelah mengusir Haruno.
Ia mengambil inisiatif untuk memeluk gadis itu agar dia merasa lebih hangat. Ino menyurukkan kepala di dada Itachi, menutup mata mendengarkan irama detak jantungnya yang membuatnya rileks.
Sang kaisar memanfaatkan waktu yang terasa lambat untuk membuat dirinya lebih mengenali tubuh permaisurinya. Telapak tangannya membelai tengkuk, punggung, pinggang. Sembari memberi kecupan lembut sepanjang leher dan tulang belikat Ino yang sensitif.
Gadis itu mendesah karena nyaman, Meski Itachi bicara seakan kebutuhannya begitu mendesak tapi dia tetap memperlakukan dirinya dengan lembut dan penuh kesabaran. Ino menyembunyikan senyumnya. Kaisar mungkin berpikir kalau dia bagaikan porselen yang mudah pecah, tapi Ino jauh dari itu, tapi diperlakukan penuh kehati-hatian juga tidak buruk.
Sang Kaisar memberi atensi pada tiap tempat yang ia jelajahi. Dia berusaha mengingat setiap detail lekuk dan sudut tubuh wanita yang begitu lembut dalam pelukannya.
Beginikah rasanya benar-benar menginginkan seseorang?
Ekspresi Ino saat ia meremas bokongnya membuat lelaki itu gemas. Ia ingin melihat dan merasakan lebih banyak hal dengan permaisuri.
Ino semakin merapatkan tubuh mereka. Dia tahu dengan pasti hubungan intim bisa memberikan kegembiraan dan bisa juga memberikan rasa sakit dan trauma yang mengerikan. Mendadak tubuhnya menegang teringat akan trauma masa lalu, Sasuke selalu berkata dia wanita yang membosankan di ranjang."
Itachi merasakan perubahan Ino yang mendadak, "Apa ada yang salah?" Dia bertanya.
"Maaf, Aku merasa sedikit takut. Pengalamanku tak begitu menyenangkan."
Itachi mengerti maksud Ino, "Aku akan berusaha membuat hal ini menyenangkan bagi kita berdua. Apa aku terlihat hendak menyakitimu?"
Ino menatap Itachi untuk menemukan kembali keyakinannya jika tak semua lelaki ingin melukai dan memanfaatkannya. Mata yang kelam berpendar merah oleh cahaya lilin. Kedua lelaki dalam masa lalu dan masa kini membagi wajah yang mirip, tetapi Itachi tak memandang Ino dengan keculasan. Dalam tatapan lelaki itu ia hanya menemukan kejujuran.
"Ino, aku hanya akan mengambil apa yang mau kau berikan." Lanjut lelaki itu.
"Aku tahu, Aku bisa mempercayaimu."
Itachi tahu ia tak boleh mencintai, Ino sendiri bertekad untuk tak jatuh cinta. Mereka berdua sama-sama membungkus hati dan jiwa dengan kawat berduri dan menganggapnya tak ada.
Menjalani hidup minus guncangan emosi merupakan jalan terbaik. Itachi berpikir yang ia lakukan sekarang sekedar upaya memadamkan api, yang menyulitkannya untuk berkonsentrasi. Bagi Ino sendiri tindakan ini sekedar untuk mencari kesenangan duniawi.
Mereka dengan keras kepala tak ingin mengakui adanya perasaan dan setuju ini hanya sebuah reaksi fisik yang normal karena mereka selalu berdekatan dan saling menyentuh.
Itachi membopong dan membaringkan Ino di ranjang. Mengabaikan sejuta alasan yang dikemukakan otaknya untuk tidak melakukan hal ini.
Sekali saja, Biarlah dia menjadi egois. Lagi pula ia tak akan mendekap Ino selamanya seperti ini. Suatu hari wanita ini akan pergi dan Itachi akan mendoakan kebahagiaan untuknya.
Ino mengalungkan lengan di leher sang kaisar menariknya mendekat dan menciumnya. Lembut dan menenangkan, membuat Ino merasa terbuai dan terapung. Perlahan bibir lelaki itu bergerak turun meninggalkan jejak merah di kulit seputih pualam.
Kedua telapak tangannya memijat lembut sepasang payudara yang membuncah. Sesekali ia menggosokkan ibu jari pada puncaknya. Permaisuri mendesah hanya untuk memekik kemudian.
Ino tak sanggup lagi menahan suara meracau yang mencoba menerobos dari tenggorokannya. Bibir dan lidah lelaki itu bekerja sama merangsang puting susu yang kian menegang. Elusan yang ia rasakan di paha sama sekali tak membantu. Perlahan tapi pasti dia merasa basah.
Itachi tak menyisakan satu tempat pun ditubuh Ino tanpa jejak. Dia meninggalkan kecupan dari ujung rambut hingga ujung kaki. Membuat Ino merasa untuk saat ini ia sedang di puja.
Rasanya aneh melihat orang paling berkuasa di kerajaan ini menunduk di antara kedua kakinya yang terbuka. Seakan ia memegang lebih banyak kekuasaan dari kaisar sendiri. Mungkin ia punya sisi ambisius sebab mengangkangi seorang kaisar membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Cairan meluber dari vaginanya dengan deras, seiring hasrat yang makin berkobar. Tubuhnya terasa membara dan kekosongan dalam lubang yang terletak di bawah perutnya semakin kentara.
Ino ingin memohon tapi ia terlalu bermartabat. Gadis itu menggigit bibir bawahnya menanti dengan sabar. Sejak malam itu Ino memimpikan jari-jarinya yang besar dan panjang memberikannya kenikmatan sekali lagi dan sekarang ia bisa mengingat kembali bagaimana rasanya dipenuhi.
Jari telunjuk masuk dengan mudah, menyusul kemudian jari tengahnya. Melihat jari-jarinya terbenam, keluar masuk dalam liang yang basah dan hangat itu membuat Itachi takjub dan semakin tak sabar. Meski begitu ia tak mau terburu-buru karena dari respons tubuhnya, Ino menyukai apa pun yang tengah dia lakukan sekarang.
Sungguh tak lazim baginya menjadikan persetubuhan yang notabene sebuah tugas sebagai sarana untuk mencari kepuasan. Apakah karena wanita ini adalah Ino, membuat ia bersuka cita melakukannya? Ia baru saja menolak selir Haruno, meski dalam pengaruh afrodisiak kontrol dirinya tak goyah sedikit pun tapi sekarang lihat lah dia. Semua yang dia pelajari roboh bak istana pasir. Bahkan desahan yang meluncur dari bibir permaisuri terdengar bagaikan musik di telinga.
Ino dibuat belingsatan lagi dengan isapan pada kelentitnya. Lidah Itachi dengan lihat menari dan mengusap bagian tubuh Ino yang sangat sensitif itu. Ia dibuat menjerit dan Shion yang masih menanti dengan setia di luar pintu bisa mendengarnya.
Shion dan sang kasim saling menatap penuh arti. Pelan-pelan mereka menyingkir dari sana.
Ino kehilangan kemampuannya untuk berkata-kata dan bernalar. Jari-jari itu memompa keluar semua kewarasannya dan mengisinya kembali dengan kenikmatan yang asing, tapi Ino tetap merasa tak puas. Titik terdalam pada dirinya tak dapat disentuh.
Ia meraih wajah Itachi yang kini lembap oleh cairan kewanitaannya. Akhirnya Ino membuang martabatnya dan memohon.
"Izinkan aku merasakanmu juga." Ino sedikit kesal, sebab ketika ia sudah telanjang bulat begini Itachi masih mengenakan jubahnya. Ini tak adil sama sekali. Seolah lelaki itu penuh dengan kendali.
"Bukannya aku tak ingin, tapi aku takut jika kau menyentuhku sekarang aku akan berakhir dengan cepat."
"Demi dewa, Jangan buat aku kesal."
"Apa kau pikir kau sudah siap?"
"Aku sudah begitu basah, Apalagi yang mau ditunggu?"
"Aku tak ingin menyakitimu."
Ino merenggut. "Kau tahu itu tidak mungkin."
Ino menelan ludah saat melihat Itachi menanggalkan jubahnya dan sekarang ia tak begitu yakin lagi kalau dia bisa menampung penis sebesar itu. Putri Izumi juga salah, Kaisar sehat-sehat saja. Paling tidak terlihat sehat sekarang.
"Ino, Ini bukan saatnya tertegun." Itachi meraih kedua kaki Ino dan merentangkannya selebar mungkin. Terlambat bagi permaisuri untuk merasa malu. Ia terhidang bagaikan bebek panggang utuh di atas piring. Semua bagian intimnya terlihat dengan jelas.
Itachi memicing. Tempat yang ia tuju tampak begitu kecil, ia takut Ino akan terkoyak. "Beritahu aku jika sakit."
Mata Ino terbelalak. Dia benar-benar lupa bagaimana rasanya dijejali benda yang begitu besar. "Aw.." Ino meringis. Secara spontan air matanya menggenang. Meski sudah begitu licin sepasang Jari tak bisa dibandingkan dengan ini. Vaginanya yang rapat dipaksa memuai untuk menampung penis yang menurutnya cukup besar itu. "Apa sudah semua?" Ino bertanya menghindari melihat kenyataan.
Itachi menggeleng dan Ino mengembuskan nafas pasrah dan berserah.
"Aku akan pelan-pelan." Ia mendorong pinggulnya perlahan, sedikit demi sedikit mengisi Ino yang terasa rapat dan sesak hingga ke ujungnya. Tak ada lagi jarak antara dia dan gadis itu. Mereka benar-benar bersatu.
Tak butuh waktu lama bagi Ino menyesuaikan diri. Ia berhenti meringis. Rasa nyeri telah berbaur tergantikan oleh getar-getar kenikmatan. Ino menggenggam tangan Itachi membiarkan lelaki itu membawa entah ke mana.
Apa ini Surga atau neraka ia tak tahu, Hanya sanggup mengerang dalam irama ritmis tiada bernada. Masuk dan keluar dengan tempo yang semakin cepat, Menghantam tepat pada titik sensitifnya.
Gadis itu berupaya mengimbangi dengan menggoyangkan pinggulnya. Tarian sensual yang dihadiahi sebuah erangan pendek dari Kaisar, tapi Ino merasa tak sanggup lagi. Ia menegang bagaikan dawai guzheng yang ditarik dengan kencang sebelum akhirnya putus dengan menghasilkan nada tinggi.
Peluh bercucuran meluncur bersama nafas yang terengah. Dua insan serasa melaksanakan pertarungan gulat yang dimenangkan oleh kedua belah pihak. Ketika sepasang mata yang dipenuhi kepuasan beradu. Seulas senyum pun bertemu.
Itachi mencium Ino sekali lagi, mengungkapkan rasa terima kasihnya. Dengan ini dia bisa berharap hasrat yang menghantuinya bisa padam.
"Apa kau menyesali?" Itachi bertanya sekali lagi. Sesal selalu datang kemudian. Bagi wanita hal terpenting adalah kesucian dan Itachi telah mengambilnya dari Ino.
"Saya tak menganggap hal ini penting, Lagi pula anda suami saya. Jika saya ingin melakukannya tentu saja harus bersama anda." Jawab Ino dengan mudahnya. "Tak ada yang berubah di antara kita hanya karena Yang mulia dan saya tidur bersama." Ino kembali membuka jarak dengan memakai lagi formalitasnya tapi ia masih bergelung dalam pelukan Itachi demi merasakan secuil kehangatan. Dalam hati Ino bertanya, Bolehkan dia begini?
Mendengar nada suara Ino yang tak acuh membuat Itachi merasa sedikit kecewa.
"Aku paham, Seperti yang kau tahu. Aku akan selalu membiarkanmu mempunyai pilihan dan menjalani keputusanmu sendiri, tapi aku akan merasa sangat buruk jika harus membiarkanmu tidur dengan adikku."
"Anda masih mengkhawatirkan masalah itu? Tubuh ini milikku dan saya bisa memperlakukannya sesuka hati. Tentu lain ceritanya jika anda menganggap saya sebagai properti anda."
"Kau tahu aku tak pernah melihatmu sebagai objek."
"Yang mulia sadarlah, Jika lelaki memiliki tinju dan pedang untuk berperang. Wanita seperti saya hanya punya kata-kata, tubuh dan pesonanya untuk digunakan sebagai senjata."
Itachi tak bisa membantah lagi karena itu memang kenyataan. Apa haknya untuk menghentikan Ino, Lagi pula pengorbanan itu untuk kepentingannya bukan orang lain.
Bicara soal senjata ia teringat sebuah hadiah yang belum dia berikan. Itachi bangkit dari ranjang dan berpakaian. Kemudian mengambil kotak kayu yang dia simpan di atas rak.
"Belati?" Ino menerima benda yang diserahkan kaisar padanya.
"Aku memesankan ini pada pandai besi di barat untukmu. Bawalah selalu sebagai pembawa keberuntungan."
Ino membuka sarungnya dan terkesima melihat kilatan besi yang tipis dan tajam. Ini sempurna untuknya. Ia bisa menyimpannya di balik pakaian dan melumurinya dengan racun agar lebih mematikan.
"Ini sempurna."
"Kau menyukainya, Syukurlah."
Ino memunguti pakaiannya yang berserakan kemudian mulai mengikat baju dalamnya.
"Apa kau mau bermalam di sini?"
Ino menggeleng. "Saya akan kembali ke paviliun permata. Apakah anda sudi membantu saya berpakaian?"
Itachi lekas-lekas membantu Ino. Karena dia tidak terbiasa, Jubah yang dikenakan gadis itu masih terlihat berantakan. Ino bisa saja memanggil shion tapi ia terlalu malu untuk melakukannya.
"Kenapa kau tak mau bermalam di sini?"
"Saya hanya ingin menjaga perasaan putri Izumi. Kami baru saja setuju untuk berjabat tangan. Meski beliau berkata telah berlapang dada dan menyerah, Jika beliau mendengar anda mengizinkan saya bermalam di sini. Beliau pasti akan sedih lagi. Saya tak ingin menabur garam pada luka orang lain."
"Izumi ternyata lebih menurut padaku dari pada Ibunda. Aku pikir ia tak akan berubah pikiran dan tetap memusuhimu."
"Yang mulia. Mungkin ada baiknya kita melibatkan putri Izumi dalam pihak kita. Ini juga untuk mencegah salah paham."
"Apa menurutmu Izumi tak akan menjadi titik lemah."
"Dia begitu setia dan mencintai anda sampai-sampai rela mengikuti anda ke liang kubur. Apakah wanita seperti itu akan berani melakukan sesuatu yang bisa membahayakan jiwa Yang mulia?"
"Terserah padamu saja. Jika menurutmu merangkul Izumi dapat mengurangi konflik lakukanlah. Aku pernah berpikir seandainya kita gagal dan aku tetap terbunuh apa yang akan kau lakukan?"
"Saya akan berusaha sekuat tenaga untuk tetap hidup. Sebab itu saya harap anda sedikit lebih memperhatikan putri Izumi karena wanita yang akan selalu mengikuti anda bahkan ke neraka sekalipun bukanlah saya. Anda tahu impian saya bukan kehidupan istana karena itu jangan pernah lupa pada janji anda."
"Aku tak akan lupa. Yang kita lakukan hari ini tak berarti apa-apa. Permaisuri. Aku selalu bisa mendapatkan wanita-wanita baru untuk menghiburku." Ucap Itachi dengan angkuh. Egonya sebagai lelaki sedikit terluka, sebab tak pernah terpikir ada wanita yang dengan sengaja menolak perhatiannya. Ino secara tersirat menyampaikan padanya Dia tak akan pernah jatuh cinta pada kaisar. Itachi sudah tahu soal itu tapi kenapa ia tetap merasa sakit hati?
Ino tak membutuhkan perhatian dan perasaannya. Jadi untuk apa dia menunjukkannya. Lagi pula jika ia membiarkan rasa ini berkembang mungkin saja suatu hari ia tak sanggup melihat wanita itu pergi.
"Hal itu membuat saya merasa lebih tenang. Kita tak memerlukan ikatan emosi yang tak perlu dan sebaiknya saya mohon diri sekarang."
"Tunggu sebentar, Bukannya kau datang ke mari untuk menyampaikan sesuatu?"
"Oh, Saya hampir lupa. Ibu suri meminta saya dan putri Izumi untuk memilihkan kandidat selir tingkat ke tiga dan empat. Kami memilih dua puluh orang gadis untuk mengikuti seleksi. Ibu suri berkata jika anda menolak dan tidak menghadiri seleksi selir, Maka ibu suri yang akan memutuskannya untuk anda."
"Ibunda bertindak semaunya. Apa aku tidak bisa mengelak?"
Ino menggeleng. "Tak ada gunanya, Yang mulia."
"Kalau begitu bawa daftar gadis-gadis yang kau calonkan ke ruang kebijakan besok. Aku akan memeriksanya sendiri."
"Baiklah, dan bisakah anda memanggil Jendral Gaara?"
"Gaara?. Apa kau punya keperluan?"
"Bukankah kita harus membahas rencana perburuan? Kita perlu meminta bantuan Jendral Gaara untuk menyembunyikan anda."
"Apa rencanamu?"
"Selama anda berpura-pura mati, Anda akan berbaur dengan prajurit klan Sabaku. Begitu Sasuke mau menobatkan dirinya sebagai Kaisar, anda harus kembali. Kita akan menyingkap kebobrokannya dan dia tak akan bisa berkelit."
"Kau pikir dia tak akan percaya jika aku mati tanpa melihat bukti kematianku?"
"Penyusup akan membakar perkemahan, kemudian kita akan mempersiapkan badan ganda bagi anda. Jika tubuh terbakar kobaran api tentu mayat tak akan dikenali lagi."
"Apa kau sudah berpikir kalau rencanamu untuk menyerang dan membakar perkemahan bisa melukai orang-orang yang tidak tahu apa-apa?"
"Yang mulia. Jika pecah konflik jatuhnya korban tak bisa dihindari, tapi bukankah lebih baik mengorbankan sepuluh orang dari pada ribuan orang? Kita tak bisa membawa standar moral untuk bisa menang sebab musuh kita tak memedulikan semua itu."
"Permaisuri, Aku ragu kau masih akan bisa bicara begitu jika sepuluh orang yang akan kau korbankan itu adalah orang-orang yang kau sayangi dan dekat denganmu."
Ino terdiam. "Mengevakuasi orang-orang sebelum penyerangan juga akan menimbulkan kecurigaan. Kita tak punya pilihan lain selain membuat aksi pembunuhan anda realistis."
"Kalau kau bicara soal realistis, Bagaimana caramu membiarkan satu lusin orang bisa melakukan penyerangan di tempat yang telah dijaga ketat."
"Penjagaan yang ketat pun bisa dijebol jika tidak solid. Bisa saja ada yang berkhianat dan berkonspirasi. Bukankah anda menyerahkan tanggung jawab pengamanan pada jendral Sasuke? Anda sengaja melakukan itu karena Jika ada kecelakaan saat perburuan maka kesalahan akan dilimpahkan padanya."
"Jika rencanamu sudah valid. Pastikan keluarga Yamanaka dan dirimu memiliki alibi yang kuat. Aku tak ingin Sasuke memanfaatkan situasi ini dengan menjadikan kalian kambing hitam."
"Hal seperti itu sudah saya pikirkan juga. Malam sudah larut dan saya ingin undur diri dari hadapan Yang mulia."
"Silahkan permaisuri. Aku tak akan menahan dirimu lebih lama."
Ino pun keluar dan memanggil Shion. Dayang itu tak terkejut melihat majikannya begitu berantakan. Ino juga bersyukur Kasim Li berinisiatif untuk menyiapkan tandu baginya karena jujur saja Ino tak sanggup berjalan. Ia sengaja tak bermalam bukan hanya karena memikirkan perasaan putri Izumi, tapi juga keselamatan dirinya. Siapa yang bisa menjamin kaisar akan puas dengan itu saja.
Sekarang Ino jadi sakit kepala. Mereka masih harus bersandiwara dan setelah semua ini apa mungkin mereka berdua bisa tidur seranjang tanpa saling menyentuh lagi.
Kenapa semuanya jadi tambah rumit.
Itachi memilih tidur, tapi bercak darah di atas seprainya membuat dia tak bisa berhenti berpikir tentang apa yang sudah dia lakukan. Tubuhnya sudah terpuaskan, seharusnya hasrat ini hilang bukan? Tapi mengapa ia tetap saja merasakan dorongan gairah yang kuat.
Mengapa permaisuri berasa seperti candu? Niat awalnya hanya untuk memuaskan hasrat dan keingintahuannya yang mengganggu dan sekarang setelah mengetahui menikmatinya dengan nyata. Ia tak ingin berhenti mencarinya.
' Tidak aku tak akan mengganggu Ino lagi kemauan gadis itu sudah jelas, tapi jika dia yang mencariku aku tak akan menolak'
Itachi mengerang kesal. Mengapa ia jadi seperti binatang saja? Padahal banyak hal lebih penting dari sekedar selangkangan yang harus dia pikirkan.
