Dance of The Flower

Chapter 21.


Di tengah ramainya pasar di ibu kota negeri Konoha, beberapa prajurit dengan pakaian sipil berbaur dengan orang-orang yang berlalu lalang. Mereka dengan strategis menempatkan diri dalam kelompok kecil terdiri dari tiga hingga lima orang mengelilingi sebuah toko obat.

Jendral Sabaku Gaara duduk di lantai dua sebuah rumah makan yang letaknya persis di seberang toko obat. Tangannya sibuk memegang cangkir arak tetapi matanya dengan awas mengamati situasi jalanan. Lebih dari tiga bulan dia dan Nyonya Tsunade memburu sang ular putih dan kini mereka tengah menyiapkan jebakan.

Beberapa kali ia menginterogasi pemilik toko. Lelaki yang diduga sebagai Ular putih ternyata menjual susu bunga opium. Dari toko obat yang sama sang ular membeli berbagai macam jenis herbal yang menurut Nyonya Tsunade, jika diolah dengan cermat memiliki efek halusinasi yang dibutuhkan organisasi itu untuk melakukan metode pencucian otak calon prajurit.

Bisa ditebak tujuan utama kelompok Hebi adalah untuk membentuk pasukan dan mendestabilisasi kerajaan, kalau begitu mungkin kah kepala dari ular-ular ini adalah Sasuke Uchiha atau Danzo Shimura? Karena hanya mereka berdua yang punya kepentingan.

Ia menunggu dengan sabar, menikmati guci araknya tanpa melepaskan pandangan sedikit pun dari keramaian. Jebakan mereka sukses, target operasi mereka sudah datang.

Nyonya Tsunade bersama pembisiknya menyebarkan berita toko obat memiliki jamur yang bernama Meng Lan. Tumbuhan langka yang hanya bisa ditemukan di rawa hitam.

Beliau yakin Ular Putih akan keluar dari persembunyiannya untuk mendapatkan benda itu, sebab efek halusinasi yang dihasilkan jauh lebih kuat dan efisien ketimbang racikan herbal yang selama ini mereka gunakan. Gaara tak mempertanyakan strategi Sang Putri Senju atau bagaimana ia mengetahui apa yang diinginkan musuh. Lebih cepat musuh ditangkap lebih cepat pula misteri terkuat. Dia sudah dibuat pusing oleh hal yang seharusnya tak menjadi urusannya, tapi bagaimana pun ia harus menyelesaikan kesepakatannya dengan kaisar.

Sudut mata Gaara menangkap pergerakan. Pasukannya yang menyamar tampak mengejar sosok lelaki bertudung hitam. Ia pun melompat dari lantai dua, menarik pedang dari sarungnya dan mendarat di depan lelaki yang tampak mencurigakan.

"Berhenti!" Perintah Gaara, memblokir langkah kaki lelaki itu.

Sisi tajam pedang sang jendral melayang di dekat lehernya membuat Kabuto tak punya pilihan selain menurut. Sepertinya ia telah masuk jebakan.

"Apakah tentara kerajaan selalu bersikap semena-mena pada rakyat sipil," ujar Kabuto kesal.

Gaara menekan pedangnya pada sosok yang terlihat terlalu tenang di bawah ancaman. Apa dia yakin bisa meloloskan diri darinya atau sudah menyerah? "Jika kau tak berbuat salah, kenapa harus lari?"

"Anak buahmu mengejarku. Wajar jika aku berlari. Aku tak akan bisa menghadapi pendekar pedang yang mencari masalah karena aku hanya seorang tabib keliling."

Gaara melihat helai keperakan mencuat dari bawah tudung kain berwarna gelap "Tabib keliling? Tidak ada tabib yang sibuk menjual susu bunga opium ke setiap pelosok toko obat dan rumah bordil. Ular putih, bukankah begitu mereka memanggilmu?", lanjut Gaara. "Jika kau masih ingin hidup, menurut dan ikutlah denganku."

Kabuto terlihat sinis, "Melihat bagaimana kalian berusaha menemukanku, ancamanmu terdengar kosong karena kau juga tahu aku terlalu berharga untuk dibunuh."

"Kepercayaan dirimu mencengangkan." Hanya dalam sedetik dan tanpa keraguan Gaara menebas leher lelaki itu. Mata Kabuto terbelalak karena keterkejutan. Ia memegang lehernya yang kini bersimbah darah. Nadinya telah terpotong. Ia berusaha melambatkan pendarahan dengan menotok titik di dada nya, tapi ia tahu jika dalam tiga menit ia tak mendapat penanganan ia akan mati karena tidak ada darah mengalir ke otak. Ia merasa limbung, pandangannya berkunang-kunang. Kabuto mencoba sadar, tapi percuma. Tubuhnya memilih untuk tumbang.

"Jendral Sabaku, ternyata anda cukup kejam juga. Bagaimana jika dia mati?"

Suara wanita terdengar dari belakang. Embusan angin mengibaskan lengan bajunya yang berwarna putih. Langkah wanita itu tak terdengar, tapi Gaara merasakan auranya dari tadi.

"Saya tahu anda sudah datang dan bisa menolongnya, Nyonya Tsunade."

Tsunade berjongkok mengalirkan chi nya. Menjaga lelaki itu agar tetap bernafas. "Selama ia tak mau buka mulut kita akan membuatnya memohon-mohon untuk mati ."

"Itu metode yang paling efektif, kesetiaan bisa tergerus oleh rasa sakit dan penderitaan." Gaara menyarungkan kembali pedangnya dan menatap tubuh Kabuto yang tak bergerak.

"Jenderal, Masalah menjadi kian pelik. Jiraya berkata ia tak mendapatkan kabar dari Naruto lagi."

"Apakah Pangeran Sasuke sadar kita mengirim mata-mata?"

"Belum jelas, Yang aku dengar saat ini pasukan Otogakure telah menguasai perbatasan timur. Katanya Pangeran Sasuke terluka parah dan mundur ke kota. Sekarang Shikaku Nara tengah sibuk menyiagakan kota timur dari gempuran Otogakure dan meminta kaisar mengirim bala bantuan. Aku curiga, Pangeran Sasuke memiliki hubungan dengan tentara musuh. Sayangnya kita tak bisa menemukan tali penghubung antara keduanya."

"Mungkin lelaki ini punya jawabannya."

Gaara memerintahkan anak buahnya memanggul tubuh Kabuto dan membawanya ke penjara rahasia.

.

.

Ino datang ke tempat Nyonya Tsunade, tapi orang yang dia cari sedang pergi. Dengan terburu-buru ia memerintahkan kusir untuk membawa kereta menuju kediaman Sabaku.

Jika Yang mulia telah menyebar perintah untuk mengadakan pertemuan. Bisa jadi Jenderal Gaara sudah berada di istana. Permasalahannya, kalau sudah di istana berbicara empat mata dengannya akan menjadi perkara sulit.

' Semoga saja Gaara masih di rumah,' Ino bergumam dalam hati.

"Tuan, Seorang wanita mencari anda." Pelayan Gaara memberitahu sang majikan yang baru saja beranjak dari bak mandinya. "Kami memintanya menunggu di luar gerbang."

"Siapa?"

"Beliau tidak menyebutkan nama, tapi penampilannya seperti nona bangsawan. Ia menyerahkan plakat ini pada saya."

Gaara langsung mengenali tanda pengenal keluarga Yamanaka. "Persilahkan wanita itu masuk dan layani dengan baik." Sang jendral bergegas mengenakan pakaian dan mengabaikan rambutnya yang masih basah. Ia tahu penampilannya tidak pantas untuk menyambut tamu, tapi Jika permaisuri mencarinya sampai ke mari, sudah tentu ini urusan genting.

Ino tidak tampak tenang, begitu ia melihat sang tuan rumah, dengan langkah cepat wanita pirang itu menghampiri.

"Salam, per...,"

"Tidak perlu memberi salam," ujar Ino pada Gaara sambil menyentuh lengannya. "Katakan padaku semua yang kau tahu."

Gaara menarik nafas panjang, Jika ada yang melihat permaisuri ke mari sendirian dan menyentuhnya ini akan menjadi masalah.

"Permaisuri, tenanglah. Apa anda kemari karena berita kejatuhan benteng timur?"

"Kau pun sudah mendengarnya?"

"Saya mendapatkan informasi itu dari Nyonya Tsunade. Mata yang mengawasi Pangeran Sasuke juga lenyap."

"Bagaimana ini, Ketika kita tak bisa melihat gerak langkah Sasuke, tiba-tiba Otogakure secara resmi mengirimkan deklarasi perang? Ini bukan kebetulan. Aku tak bisa membiarkan Yang Mulia pergi ke timur. Aku yakin kekalahan ini hanya sandiwara Sasuke untuk memancing kaisar meninggalkan ibu kota."

"Kami baru saja menangkap sang ular putih. Saat ini Nyonya Tsunade sedang mengurusnya, saya yakin jawaban dari orang itu akan memperjelas hubungan geng Hebi, Pangeran Sasuke, Danzo serta Otogakure. Anda tidak perlu panik, Kaisar punya banyak perwira yang bisa menggantikannya ke medan perang."

Ino duduk mengusap wajah yang dipenuhi kekhawatiran, "Apakah ada cara untuk membunuh Pangeran Sasuke? Aku lelah dihantui ketakutan," ucapnya dingin.

Gaara tertegun sejenak, tak menyangka wanita yang tampak lembut bisa mengucapkan kata yang begitu jahat. "Tentu saja ada, Dia bukan dewa. Semua manusia punya kelemahan."

"Hal-hal buruk yang terjadi padanya membuat pertahanan dan kewaspadaan Pangeran Sasuke susah ditembus. Dia tak percaya siapa pun, ia tak mencintai siapa pun. Kelemahan macam apa yang bisa digunakan dalam menghadapi musuh yang tak takut kehilangan apa pun karena ia tak memiliki apa-apa. Musuh yang paling menakutkan adalah mereka yang paling putus asa."

"Apa anda yakin Pangeran Sasuke tak menginginkan apa-apa selain kekuasaan?"

Ino menggeleng, "Meski Itachi bisa mencegah perang saudara dengan menyerahkan takhta pada adiknya. Pangeran Sasuke tak akan pernah memaafkan orang-orang yang selama ini hanya diam dan tidak mengukurkan tangan. Di matanya semua orang bersalah. Dia akan menyingkirkan semua orang yang tidak memilih berdiri di sisinya dari awal."

"Sepertinya garis takdir seorang Uchiha tidak dapat diubah."

Mata biru Ino terlihat menerawang dan dia pun mengembuskan nafas panjang. "Ternyata kutukan Tobirama belum berakhir. Salah satu di antara mereka akan mati dan Jika Yang Mulia ingin menjadi pemenang maka dia harus belajar melawan."

"Saya akan mencoba menganjurkan Yang Mulia untuk membuat strategi agresif. Hari ini juga beliau mengumpulkan semua orang untuk rapat darurat."

"Maaf, Aku jadi menyita waktumu. Tolong upayakan agar kaisar tidak memimpin pasukan sendiri ke timur karena aku merasa ini hanya sebuah jebakan."

"Jika permintaan anda sebagai permaisuri saja tidak didengar, bagaimana mungkin beliau akan menggubris saya."

Permaisuri mendengus dengan tidak anggun. "Itachi bisa jadi begitu keras kepala."

"...,tapi anda tak usah khawatir permaisuri. Saya akan bersamanya."

"Pergilah ke Istana sekarang, Aku akan mencari Nyonya Tsunade."

"Beliau sedang berada di penjara rahasia."

"Aku tahu lokasinya." Ino mengangkat tubuhnya untuk bangkit dari kursi. Mungkin sudah ada informasi baru yang masuk. Ino merasa tak boleh berdiam diri.

"Apa Baginda mengetahui anda keluar dari istana?," tanya Gaara menyidik.

"Aku datang dengan pengawalan."

"Kalau begitu saya bisa tenang."

"Sampai bertemu lagi, Jendral."

Gaara mengantar Ino dan melihat wanita itu naik ke dalam kereta, setelah itu ia bergegas menaiki dan memacu kudanya menuju istana.

.

.

Di atas sebuah meja besar, sebuah peta terpampang. Kaisar menolehkan pandangan pada pejabat yang mendampinginya. "Mengapa para perwira belum datang?"

Itachi memerintahkan para jendral untuk berkumpul dua jam lalu, tapi hingga saat ini tak ada yang muncul.

Seorang kasim muncul dari pintu membungkuk pada kaisar yang terlihay gundah. "Lapor Yang mulia, Panglima Gai dan Yamato tidak dapat ditemukan."

"Apa maksudmu?"

"Sejak semalam mereka berdua tidak kembali ke kediamannya." Sang kasim semakin membungkuk, merasa tidak nyaman membawa berita buruk.

"Apakah mereka tidak ada di barak?"

"Menurut para prajurit, semalam Jendral Gai melihat sosok mencurigakan di sekitar tempat latihan. Beliau dan beberapa prajurit pun melakukan pengejaran tetapi hingga subuh mereka tidak kembali. Pencarian telah dilakukan dan kami tak tahu apa yang terjadi dengan Jendral Yamato, beliau memilih pulang seorang diri setelah acara minum-minum bersama prajuritnya, tapi beliau tak pernah sampai di rumah."

Itachi tidak bisa menerima berita itu dengan baik, ia jadi bertambah pening. "Kumpulkan lebih banyak orang untuk mencari mereka."

"Baik, Yang Mulia."

Itachi duduk di kursi dan menuangkan minuman untuk menenangkan diri. Ada dua kemungkinan mengapa para panglimanya lenyap. Pertama, Musuh mengeliminasi mereka untuk mengurangi kekuatannya. Jika itu yang terjadi. Sekuat apakah musuh yang sedang dia hadapi? Gai dan Yamato bukanlah orang lemah. Mereka angkat menjadi perwira tinggi karena kemampuan bela diri yang hebat.

Alasan ke dua bisa jadi mereka membelot dan mendukung musuh. Danzo dan Sasuke, dua kubu yang diam-diam menanam akar-akar tersembunyi untuk memanjat singgasana. Itachi jelas tak bisa mencabuti tunas yang ditanam aejak satu dekade lalu dalam sehari. Yang jelas situasi saat ini sama sekali tak menguntungkan baginya.

"Jenderal Sabaku Gaara tiba."

Penjaga di luar mengumumkan kemunculan lelaki berambut merah itu.

"Hamba menghadap Yang Mulia Kaisar. Semoga Yang Mulia panjang umur."

Itachi menerima salam Gaara. "Aku senang melihatmu tidak menghilang seperti yang lainnya."

"Apa yang terjadi?"

"Aku kehilangan dua jenderalku, Gai dan Yamato. Entah diculik atau sudah terbunuh aku tidak tahu, tapi situasi ini tampaknya menguntungkan Sasuke. Tanpa ketiga Jenderal, Dia sebagai Panglima utama akan bebas memberikan perintah tanpa ada yang bisa mencegah terkecuali aku menanggalkan jubah ini dan menggantinya dengan baju zirahku."

"Jadi anda akan pergi berperang?"

"Jika bukan aku, siapa lagi yang akan memimpin pasukan kerajaan."

"Anda bisa menugaskan saya."

Itachi menggelengkan kepalanya. "Kau adalah penjaga perbatasan barat. Jika aku mengirimu ke timur, wilayahmu akan menjadi rentan. Aku tak ingin celah ini dimanfaatkan kerajaan Suna utara untuk menyerang."

"Mereka tak akan berbuat sejauh itu. Hubungan diplomasi wilayah saya dan Suna Utara saat ini cukup baik."

"Dan kau pikir raja mereka sudah menyerah dengan ambisinya untuk menyatukan Suna Utara dan selatan? Lihatlah Otogakure, mereka tak henti-hentinya mencoba menguasai kota timur, siapa yang menjamin Suna Utara akan diam? Lagi pula Jendral, kau datang dan membantuku di ibukota agar aku bisa mengakui Suna selatan menjadi wilayah yang merdeka dan menjadi raja. Bukan sekedar vasal dari Klan Uchiha. Apakah kau sudi berperang untuk kepentinganku? Penduduk kota barat akan protes jika aku menyuruhmu pergi."

"Apakah anda sadar ini terlihat seperti jebakan?"

Itachi menunjuk satu titik di peta. "Ini benteng timur." Kemudian dia menggeser jarinya ke titik lain. "Di sini adalah kota timur yang dikuasai klan Otsutsuki. Jika mereka berniat untuk merebut kota ini, seharusnya mereka langsung bergerak di saat kita belum siap. Akan tetapi sampai saat ini yang aku dengar pasukan Otogakure tak beranjak dari benteng seakan mereka sengaja mengulur waktu. Aku merasa sangat tidak wajar Otogakure menunggu lawan untuk bisa berbenah sebelum menyerang."

"Berarti anda sadar bahwa ini hanyalah pancingan dan anda masih tetap bersikeras untuk pergi? Kalau begitu izinkan hamba menemani anda."

"Gaara, kau tidak bisa ikut. Jika terjadi sesuatu padaku. Keselamatan Permaisuri Ino dan Putri Izumi aku percayakan padamu. Bawa mereka pergi sejauh mungkin dari ibu kota. Ini perintah terakhirku untukmu dan Jika aku jatuh. Kau harus persiapkan wilayahmu untuk memberontak terhadap siapa pun yang akan menjadi kaisar berikutnya."

"Permaisuri tak akan senang mendengar ini."

Suasana hati Itachi menjadi muram, tapi ia tetap melanjutkan rapat memutuskan strategi dan meminta pasukan kerajaan mempersiapkan keberangkatan dalam waktu dua hari.

.

.

Ino yang tiba menjelang malam di Istana mendengar percakapan resah para dayang.

"Bagaimana nasib kerajaan ini, Yang mulia belum memiliki penerus dan sekarang beliau akan pergi ke medan perang."

"Aku juga dengar Pangeran Sasuke terluka parah, Sementara Jendral Gai dan Yamato menghilang. Apakah kita tidak memiliki perwira lain yang mampu memimpin pasukan?"

"Mungkin Yang mulia tidak ingin dianggap pengecut. Selama ini Otogakure selalu kalah, tak seharusnya kita khawatir ini hanya pertempuran kecil."

"Tapi Pangeran Sasuke belum pernah kalah."

"Beliau kalah karena ternyata kita memiliki pembelot."

"Aku harap perang tak akan meluas."

"Aku juga berharap begitu, Saudara lelakiku akan dikirim ke kota timur besok lusa."

"Semoga mereka semua kembali dengan selamat."

Kedua dayang itu tidak menyadari Ino berjalan mendekat. Shion berdeham untuk mendapatkan perhatian.

Terkejut melihat kemunculan permaisuri keduanya langsung berlutut memberi salam. "Hormat permaisuri."

"Apakah semua hal yang aku dengarkan barusan benar?"

"Ampun permaisuri, Kami hanya mendengar rumor yang dibawa kasim yang bekerja di ruang keadilan."

Wanita pirang itu menggenggam kipas ditangannya dengan erat dan membalikan tubuh. Ia melangkahkan kakinya dengan cepat menuju istana naga.

"Yang Mulia!" Teriakan Ino membuat kaisar yang tengah disibukkan oleh pikirannya tersentak.

Ino melupakan tata krama dan membuka pintu dengan keras. "Apakah itu benar? Anda akan pergi ke timur?"

"Aku rasa itu bukan hal yang berbahaya, Kau terlalu khawatir permaisuri."

"Ini mungkin jebakan Sasuke untuk membunuhmu."

"Aku tahu, tapi aku tak ingin menghindar lagi." Itachi menutup buku yang dia baca dan berjalan mendekati Ino yang berdiri dengan tegang. "Kau sudah pernah melihat kematianku. Jika itu sudah menjadi suratan takdir, kita tak dapat mengubahnya. Ini adalah kutukan Uchiha. Tak seorang kaisar pun bisa bertakhta dengan tenang, tanpa mengucurkan darah saudaranya."

"Kau sangat bodoh." Ujar Ino lirih. "Apa kau masih berpikir Sasuke akan mengubah pikirannya meski kau pergi ke sana karena kau benar-benar khawatir? Kau tak bisa membawa kembali seseorang yang tak peduli padamu."

"Ini juga salahku, Ino. Yang tak bisa memberikan rumah pada siapa pun untuk kembali."

"Ini istana, Yang mulia. Anda selalu lupa keluarga kerajaan tak akan bisa hidup selayaknya rakyat jelata tempat ini akan selalu dipenuhi intrik serta politik. "

"..., dan kau membencinya. Jika aku tak kembali pergilah bersama Jenderal Gaara, Aku mungkin tak bisa menyelamatkan klan Yamanaka, tapi kau bisa pergi menggapai kebebasanmu. Lupakan balas dendam. Buatlah kehidupan baru. Kau tak perlu terbelenggu oleh Konoha atau Klan Uchiha."

"Anda berbicara seakan anda yakin anda akan mati. Saya tidak menyukainya dan mungkin saja jika Pengeran Sasuke menjadi pemenang dia akan mengejar saya."

Itachi meraih tangan Ino dan menggenggamnya. "Aku bersyukur saat itu kau menyelamatkan nyawaku, setidaknya aku telah menikmati hidupku sedikit lebih panjang dari yang seharusnya."

Ino menatap sang kaisar di tengah cahaya yang makin memudar. Sumbu yang menyalakan api lentera kian pendek seakan memberitahu waktu mereka tidaklah banyak. Ino merasakan hatinya tertusuk oleh kata-kata yang mengisyaratkan perpisahan. Itachi benar, Jika konflik pecah ia bisa diam-diam lari dari istana. Tak akan ada yang mencegahnya. Bukankah dia hanya ingin hidup dan tidak berakhir menjadi boneka Sasuke.

"Jika memang anda harus pergi, tolong kembali dengan selamat."

"Aku tak tahu yang akan aku hadapi nanti apakah Sasuke atau Pasukan Otogakure. Mungkin juga akan ada pemberontak di dalam barisan pasukan kerajaan. Maaf Ino, Saat ini boleh kah aku bersandar padamu?."

Ino mengangguk, kemudian sang Kaisar merangkul tubuh permaisuri dan menyandarkan kepalanya di bahu Ino yang mungil. Itachi terlihat begitu letih.

"Tak seharusnya aku seperti ini, tapi aku merasa lelah," ungkapnya dengan suara lirih.

"Semuanya akan baik-baik saja." Ino mencoba positif. "Anda tak perlu. bertindak gegabah."

"Aku punya rencana, tapi aku tak tahu ini akan bekerja atau tidak."

"Ide datang untuk di coba. Beristirahatlah, Yang mulia. Besok anda akan sangat sibuk." Ino melepaskan pelukannya.

Itachi dengan enggan menegakkan tubuh, melepaskan Ino dan duduk di sisi ranjang. "Jika kau pergi bawa Izumi bersamamu."

"Yang mulia, jangan pernah memikirkan kemungkinan terburuk. Sampai jumpa besok."

"Terima kasih permaisuri."

Ino mematikan lampu dan menutup pintu kamar kaisar meninggalkan lelaki itu seorang diri.

Di dalam kamarnya, Ino merenung. Ia membiarkan Shion melepas semua pernak-pernik yang menempel di kepalanya. Dengan hati-hati sang dayang menyisir untaian rambut pirang milik Nona-nya.

"Nona, Apa benar negeri kita sedang berperang dan bahkan Yang mulia akan turun ke medan perang?"

"Mereka membesar-besarkan masalah. Ini hanya konflik kecil di perbatasan. Kekalahan Pangeran Sasuke hanya satu dari sekian banyak pertempuran."

"...,tapi Pangeran Sasuke tak pernah kalah sebelumnya. Hamba takut ini bukan sekedar konflik biasa."

"Konoha tak akan jatuh karena kerajaan Otogakure," ujar Ino menghentikan pemikiran pelayannya.

Tak lama kemudian Sai muncul dengan seragam kasim nya. Ia membawa surat bersegel bunga krisan. Ino membaca kemudian membakar suratnya.

"Ular putih akhirnya buka suara."

Hal pertama yang Ino ingin lakukan besok adalah meminta Yang mulia menangkap Danzo dan menggeledah kantor dan rumah orang tua itu, tapi rasanya tidak bijak jika ia menambahkan masalah di tengah-tengah persiapan perang. Bisakah dia melakukannya sendiri tanpa campur tangan kaisar?

"Sai, tolong pergi ke rumah keluarga Yamanaka. Sampaikan pada ayahku untuk memanfaatkan tikus di rumah Danzo. Tampaknya dia menyimpan catatan uang yang dia berikan pada kelompok Hebi."

"Baik permaisuri.

.

.

.

Di tengah-tengah sibuknya persiapan pemberangkatan pasukan kerajaan ke kota timur. Istana utama terlihat lenggang. Semua kegiatan terpusat di barak militer, gudang senjata, istal kuda, dan gedung penyimpanan pangan. Kaisar dan para ajudannya sejak dini hari telah melakukan inspeksi.

Sementara para pria sibuk. Wanita-wanita istana menjalankan rutinitas mereka seperti biasa. Ino dan Izumi menikmati siang mereka di pinggir kolam teratai. Hidangan di atas meja tidak tersentuh karena keduanya tidak merasa lapar.

Ino berjongkok di tepiannya. Menjulurkan tangan untuk mematahkan tangkai bunga teratai yang bisa diraih. "Apa anda tidak merasa sedih?"

"Sedih...?, Yang Mulia pergi untuk menjalankan tugasnya. Khawatir, tentu saja. Wanita mana yang tidak cemas mengetahui suaminya akan pergi ke medan perang, tetapi aku memutuskan untuk optimis dan percaya tidak akan ada kejadian buruk menimpa Yang Mulia."

Ino mematahkan tangkai-tangkai bunga itu dengan keras, menyalurkan emosi tidak karuan yang membuat hatinya terasa remuk. Rasa takut dan putus asa ini harus disingkirkan. Andai kata Itachi gagal menghindari takdir, apakah dia juga akan gagal. Pada akhirnya ia akan tetap mati sendirian di istana dingin?

Tidak, Dia harus percaya semua usahanya tidak sia-sia. Ia harus percaya pada Itachi dan kemampuannya. Paling tidak Yang Mulia kini waspada dan siap menghadapi serangan musuh.

Putri Izumi melihat raut wajah Ino. "Apakah anda takut Yang Mulia tidak akan kembali?"

Ino berdiri dengan keteguhan hati. "Yang mulia sudah berjanji akan pulang dengan selamat dan ia bukan seseorang yang suka ingkar janji."

Ia tak bisa membantu Itachi di garis depan, tapi ia akan memulai pertempurannya sendiri di istana dengan bantuan perdana menteri.

Shion yang berdiri menjaga dan melayani permaisuri mendapat bisikan dari pelayan lain yang baru saja datang. Dengan segera ia menyampaikan informasi yang ia terima.

"Maaf permaisuri, Nyonya Temari Nara meminta bertemu dengan anda?"

"Bawakan aku satu gelas teh lagi dan persilahkan Nyonya Temari untuk minum teh denganku di sini."

"Baik Permaisuri." Sang pelayan pun segera pergi menjemput tamu.

.

.

"Temari, senang melihatmu lagi." Ino hendak merangkul wanita yang baru tiba dari Suna itu, tetapi buntalan kain yang bergerak-gerak dalam dekapan Temari membuat Ino berhenti.

"Apa itu bayi?," tanya Putri Izumi.

"Maafkan hamba. Seharusnya hamba tidak membawa bayi ini ke dalam istana, tapi hamba tak tega membiarkannya bersama pelayan," ujar Temari sembari menepuk-nepuk pantat Kazuto.

Begitu sampai di ibu kota, Yura menghilang meninggalkan bayinya begitu saja. Dia dan Shikamaru berpikir mungkin Yura sedang mencari kerabatnya, tapi gadis itu tak meninggalkan sepatah kata pun dan tidak kembali. Temari kasihan pada bayi yang tak diinginkan ini dan memutuskan merawatnya.

"Shikamaru tidak memberitahuku kalau kau telah hamil." Ino terkejut tak seorang pun bahkan Jenderal Gaara bercerita soal ini.

"Ini bukan anak kami. Dalam perjalanan dari kota timur ke wilayah Suna Hamba dan Shikamaru menyelamatkan seorang gadis yang ternyata sedang hamil. Kami membawanya ke Ibu kota karena dia berkata ia memiliki kerabat di sini, tapi dia menghilang dua hari yang lalu dan meninggalkan anak ini sendirian. Hamba memutuskan untuk mengasuhnya."

Izumi yang merindukan kehadiran seorang anak, tak bisa menolak pesona bayi tembam dan lucu. "Boleh aku menggendongnya?"

"Apakah Putri Izumi tidak keberatan. Anak ini adalah anak rakyat jelata yang tidak jelas asal-usulnya."

"Tidak mengapa, Apakah kau berpikir aku orang yang peduli dengan hal-hal seperti itu?"

Temari menyerahkan Kazuto pada Izumi yang dengan senang hati menggendongnya. "Dia bayi yang tampan, tapi kenapa nasibnya begini malang?"

"Tidak semua wanita melahirkan anak karena ingin," ujar Temari.

"Benar, tidak semua anak lahir diberkati oleh keluarga yang baik. Semoga anak ini tumbuh dengan menerima banyak cinta, meski tidak dari orang tua kandungnya sendiri." Izumi menimang-nimang sang bayi yang berambut hitam kelam. Tangan mungilnya terulur. Telapak tangan Kazuto mengepal dan terbuka menyentuh pipi sang putri.

Izumi meneteskan air mata. Betapa ia merindukan momen seperti ini. Ia tahu ia tak akan pernah bisa melahirkan anak, tapi bukan berarti ia tidak bisa menjadi seorang ibu. "Apakah kau akan mengadopsi anak ini, Temari?"

"Hamba tidak tahu, Jika kami masih tinggal di barat hamba sudah pasti akan menjadikan bayi ini sebagai anggota keluarga, tetapi mendengar permintaan Ibu Shikamaru sepertinya kami akan tinggal di ibu kota."

"Shikamaru tak bisa menghindari kewajibannya untuk memimpin keluarga Nara." Ino sudah tahu soal ini, Tetua keluarga Nara kerap berkeluh kesah pada ayahnya. Kaisar mengirim kepala keluarga mereka ke timur, sementara putranya berada jauh di ujung barat sehingga membuat klan Nara tanpa perwakilan. Melihat Temari berada di ibukota sepertinya Shikamaru kembali untuk mengisi posisi ayahnya untuk sementara.

"Sebagai pemimpin keluarga, sudah tentu para tetua yang kolot itu tidak akan menerima anak yang setetes pun tidak memiliki darah keluarga Nara di tubuhnya menjadi penerus," keluh Temari. "Hamba terlanjur menyukai Kazuto."

Ino beringsut untuk mendekati bayi yang sangat tenang dalam gendongan orang asing. Rambut hitam dan bola mata hitam, tapi ia tercengang melihat semburat merah dalam iris yang seharusnya di dominasi warna hitam. "Oh, Anak ini memiliki mata seperti seorang Uchiha."

Izumi juga mengamati, "Anda benar, Permaisuri."

"Mungkin karena ibu anak itu bermata merah dan ayahnya kemungkinan bermata hitam." Temari menepis kemungkinan Kazuto sebagai seorang Uchiha. "Apakah mungkin ada lelaki Uchiha di luar sana yang menyakiti dan memaksa wanita?"

"Yang sering berada di luar tembok istana hanyalah Obito dan Sasuke, Pangeran Sasuke tak akan pernah memaksakan kehendak pada wanita. Mereka yang mengerumuninya." Izumi membela sang adik ipar, "kalau Obito aku tidak tahu. Itachi pun tak bisa melacak dia ada di mana."

Ino lebih dari tahu Sasuke bisa sejahat apa, tapi Sasuke tak akan pernah mendekati wanita yang tak punya manfaat baginya. Temari yakin ibu anak ini hanya rakyat jelata, tak mungkin Sasuke mengenalnya. Akan tetapi Ino jadi penasaran juga dengan wanita yang melahirkan bayi ini.

Temari, Izumi dan Ino pun melanjutkan percakapan mereka. Yang dibicarakan tak jauh dari situasi yang tengah dialami Konoha.

"Sungguh disayangkan Yang Mulia tidak membiarkan Gaara memimpin pasukan kerajaan."

"Temari, Kaisar bukannya tak mengakui keterampilan Gaara di medan perang, tapi kau tahu garis barat sama pentingnya dengan timur. Aku juga tak ingin yang mulia pergi. Bagaimana mungkin Kaisar bisa kehilangan perwira pentingnya di saat mendesak."

"Putri Izumi, Apa anda pikir orang Otogakure bisa menyusup sampai di sini dan melenyapkan jenderal kita begitu saja? Asumsiku pelakunya tak jauh-jauh dari orang-orang kepercayaan mereka. Sudah pasti beberapa orang penting Konoha berkomplot dengan musuh dan mungkin saja Kaisar akan diserang dalam perjalanan, tidak oleh musuh tapi oleh orangnya sendiri."

Wajah Putri Izumi memucat, "Seseorang ingin membunuh suamiku?"

Ino pun mengungkapkan hal yang Putri Izumi tak pernah tahu. "Pangeran Sasuke ingin menyingkirkan Itachi."

"Itu tidak mungkin."

"Itu mungkin, Putri. Konoha hanya memiliki satu Takhta dan Pangeran Sasuke memiliki ambisi. Yang menghalanginya untuk menjadi kaisar hannyalah keberadaan kakaknya." Temari menimpali.

"Apakah Itachi tahu?"

"Dia berangkat ke kota timur dengan menyadari hal itu dan ada kemungkinan Pangeran Sasuke yang membantu Otogakure merampas benteng timur."

"Permaisuri, kau tak bisa berucap tanpa bukti. Selama ini Pangeran Sasuke lah yang berjasa melindungi benteng itu."

"..., dan bagaimana mungkin benteng yang dia pertahankan dengan dijaya selama beberapa tahun jatuh dalam semalam ditangan musuh?" Ino menyanggah. Dia bisa saja mengatakan pada Izumi kalau Sasuke juga memintanya untuk membunuh Itachi, tapi ia tak mau Izumi jadi salah paham.

"Konspirasi yang dikatakan permaisuri ada benarnya, Bagaimana mungkin hampir semua prajurit kerajaan tewas sementara yang bisa mundur ke kota timur meski dengan luka-luka hanya mantan anggota Prajurit khusus Susano yang dari awal dipimpin Pangeran Sasuke? "

"Temari, apakah kau mendengar detail itu dari Jenderal Gaara?," tanya Ino. "Aku sama sekali tidak tahu tentang itu."

"Benar, Kami bertemu Gaara kemarin. Mungkin adikku dan Yang Mulia beranggapan informasi ini tidak penting untuk anda."

"Saat seperti ini aku merasa tidak berguna, "sesal Ino

"Sudahlah, Permaisuri. Mungkin ada hal lain yang bisa kita lakukan untuk membantu Kaisar. Besok kita juga harus mengantar kepergiannya."

.

.

Itachi telah kembali ke istana setelah memastikan persiapan pasukan berjalan dengan lancar. Sekarang dia mempersiapkan diri untuk perjalanan. Pedangnya yang terasah tajam tergeletak di meja. Baju zirah pun telah dipoles hingga berkilau. Dia tinggal mempersiapkan mental. Perjalanan ini akan sangat berbahaya, tak peduli jika ia dikelilingi ribuan prajurit yang akan melindunginya, tapi jika satu tikus bisa menyusup dia juga akan tergigit.

Seorang lelaki dengan seragam militer berlutut di hadapan Itachi menanti perintah.

"Utakata, Kau telah menjadi bagian dari pengawal bayanganku sejak lama."

"Benar, Yang mulia. Apa yang hamba bisa lakukan untuk anda?"

"Selama perjalanan ke timur, pakailah baju zirah ini dan pura-pura menjadi diriku. Apakah kau mau menerima tugas ini?" Itachi sengaja memilih Utakata untuk menjalankan peran ini karena sosok dan perawakan mereka mirip. Di luar sana tak ada yang pernah melihat wajah kaisar, bahkan di istana pun para dayang dan kasim selalu menunduk tak berani menatap muka putra langit. Mungkin banyak lukisan wajahnya beredar di Konoha, tapi tak ada lukisan yang benar-benar akurat.

"Hamba dengan senang hati menerima tugas ini."

"Meski kau tahu kau mungkin akan mati menggantikan aku?"

"Kami prajurit bayangan hidup untuk menjaga Kaisar, Kami siap mengorbankan jiwa demi keselamatan Yang Mulia."

"Jangan membicarakan ini pada siapa pun dan jangan sampai ketahuan kalau kau hanya menyamar menjadi kaisar."

"Mengerti."

Itachi menyerahkan batu giok berukirkan karakter huruf naga dan langit yang menjadi simbol identifikasi dirinya. "Lakukan tugasmu dengan baik."

Mereka akan bergerak ke timur dalam jumlah yang besar. Pertama dia sudah menganalisis rute-rute yang memungkinkan musuh melakukan penyerangan tiba-tiba. Lokasi seperti lembah dan hutan memungkinkan musuh bersembunyi dan pasukannya tak akan bisa menyusun formasi. Sudah dipastikan siapa pun musuhnya mereka tak akan berani melakukan serangan langsung, melainkan operasi senyap hanya untuk menyingkirkan pemimpin musuh. Sementara Utakata berpura-pura menjadi kaisar, ia akan bergabung dengan prajurit elite yang mengawal kaisar sambil memantau pergerakan mencurigakan dari prajurit-prajuritnya sendiri.

Dia tak memberitahu siapa pun soal ini, tidak juga Ino. Ketika Kaisar hendak meniup lampu dan bersiap untuk tidur, kasim mengumumkan kedatangan permaisuri.

"Apa yang membawamu ke mari, Permaisuri."

"Apa kata orang jika saya tidak bermalam di sini sebelum anda pergi? Mereka akan mengira hubungan kita tidak harmonis."

"Sampai di fase seperti ini pun kita masih tetap memainkan sandiwara?"

"Selama saya tetap menjadi permaisuri, selama itu pula kita harus bersandiwara. Seharian ini saya tidak melihat anda. Apakah persiapan pasukan sudah beres?"

"Semuanya berjalan lancar. Aku sedikit merasa cemas. Hilangnya Gai dan Yamato masih menjadi misteri. Aku tak pernah terjun langsung ke medan perang seperti Sasuke dan pengalamanku hanya sebatas pelatihan. Aku takut aku tak bisa memimpin dengan baik."

"Anda orang yang cerdas. Yang mulia, dalam situasi segenting apa pun anda akan menemukan solusi."

"Hm.. kau menilaiku terlalu tinggi. Apa yang ingin kau sampaikan padaku Ino? Aku rasa kau mengunjungi tidak hanya untuk tidur bersama."

Itachi menelisik tubuh Ino yang terbalut jubah tidur sutra. Ingatan malam panas itu terlintas kembali di benaknya, tapi ia tak punya alasan untuk melakukannya lagi. Kesalahan tak boleh terulang.

Ino menarik bangku kecil dan duduk di depan lelaki itu dengan wajah serius. "Ular putih tertangkap dan dia mulai bicara. Apakah Jendral Gaara sudah memberitahumu?"

Itachi menggeleng, "Aku tahu dia tertangkap, tapi aku belum mendengar pengakuannya."

"Dugaan kita benar, Danzo adalah orang yang mendanai kelompok Hebi."

"..., tapi kita tak bisa menangkapnya hanya dengan pengakuan. Dia bisa mengelak dari tuduhan itu."

"Maka aku akan meminjam kuasamu untuk mencari bukti kongkret."

"Ah, Aku paham. Kau boleh menjungkir balikkan jajaran pemerintahanku jika perlu. Jangan biarkan pejabat-pejabat itu mempertanyakanmu. Selama aku pergi, kau yang memegang kekuasaan absolut di istana."

"Terima kasih."

"Apakah kita bisa tidur sekarang?"

"Baiklah, bisakah anda membuat ruang untukku?"

Itachi beringsut hingga ke pojok kasur, "Ranjang ini sangat luas, kau tak perlu khawatir kita akan bersentuhan."

Ino tertawa dan meniup lilin. "Saya tak mengkhawatirkan itu, kita telah melakukan yang lebih buruk."

"Aku akan selalu merasa bersalah padamu."

"Hentikan pemikiran itu, Yang Mulia. Susu yang telah tumpah tak bisa kembali." Ino menggulingkan tubuhnya untuk menatap Itachi. "Lebih baik memikirkan cara untuk menang dalam pertempuran, sebab saya akan menantikan anda kembali."

Melihat tatapan Ino, ia hampir saja melontarkan kata cinta, tapi ia amat sangat sadar tidak pantas baginya berucap seperti itu. "...dan kau, Siapkan dirimu menghadapi kemungkinan terburuk."

.

.

Iring-iringan pasukan kerajaan melintasi gerbang ibu kota. Panji-panji Uchiha berkibar diiringi derap kaki ribuan kuda dari pasukan kavaleri. Prajurit dengan perisai dan tombak berbaris rapi diikuti barisan kereta yang membawa suplai makanan dan senjata. Di susul barisan prajurit bangsawan pendukung kaisar.

Rakyat berkumpul dengan sorak-sorai membahana, mengharapkan Kaisar akan merebut kembali benteng timur, di lain sisi terlihat wajah-wajah cemas dan berurai air mata. Melambaikan salam perpisahan bagi suami, saudara dana anak mereka.

Berdiri di atas tembok gerbang bersama anggota kerajaan lainnya. Ino dan Izumi menatapi kepergian Itachi yang berkuda di garis terdepan dengan Baju zirah keperakan bersinar diterpa sinar mentari pagi. Sosok itu terlihat gagah.

"Semoga beruntung, Yang mulia." Ino berharap bisikannya terbawa oleh angin, tapi lelaki itu tak pernah menengok ke belakang hingga hilang dari pandangan.

"Yang Mulia telah pergi, Apakah yang akan anda lakukan?," tanya Perdana Menteri Yamanaka pada putrinya.

"Ayah, apakah kau menerima daftar nama yang Sai kirimkan padamu?"

"Tentu saja, Apa yang ingin kau lakukan pada mereka?"

"Kerahkan petugas peradilan untuk menangkap dan memenjarakan mereka. Buat mereka mengakui mereka telah menerima gratifikasi dari Danzo. Aku telah meminta Jendral Gaara untuk memblokade semua akses di kediaman Shimura. Saat ini Danzo sedang dalam status tahanan rumah."

"Putriku, Kau tidak punya kekuasaan untuk itu."

"Kaisar baru saja pergi. Menurut undang-undang jika Kaisar tidak dalam kondisi untuk memimpin kebijakan akan diputuskan oleh ibu suri, tetapi beliau juga sedang sakit. Siapa yang berhak mengambil keputusan itu, tentu saja aku yang seorang permaisuri."

"..., tapi apakah kau bisa mempertanggungjawabkan tindakanmu?"

"Koruptor dan pemberontak ibarat parasit. Jika kita tidak menghabisi mereka secepatnya, mereka akan membawa infeksi yang lebih serius untuk negeri ini. Aku tidak peduli jika harus mengeksekusi ratusan bahkan ribuan orang yang terlibat, jika itu akan membawa kemakmuran bagi negeri ini. Yang Mulia mendukung tindakanku. Jadi aku tak akan ragu."

"Ayah tentu saja akan membantumu juga. Musuh Permaisuri adalah musuh klan Yamanaka Juga."

"Sekarang kita akan pergi ke ruang arsip."

.

.

.

Bendahara dan sekretaris kerajaan panik. Permaisuri ditemani oleh perdana menteri datang dengan puluhan orang yang diorganisir oleh Shikamaru Nara. Mereka membongkar dan mengacak-acak semua dokumen yang terkait dengan keuangan.

"Permaisuri.. Permaisuri apa yang anda lakukan?" kedua lelaki itu mencoba mencegah Ino. "Anda tidak bisa melakukan ini."

Ino mengabaikan kedua kakek tua itu. "Ambil semua dokumen yang berkaitan dengan penerimaan istana selama lima tahun, periksa juga dana yang dikeluarkan dari kas kerajaan."

"Baik, Permaisuri."

"Anda tidak boleh mengacak-acak tempat ini Yang Mulia Permaisuri."

"Aku sedang mengadakan pemeriksaan. Mengapa kalian bersikeras menghalangiku? Apakah kalian menyembunyikan sesuatu?"

"Anda tak punya wewenang."

"Kaisar sedang tidak ada, menurut kalian siapa yang punya wewenang di istana sekarang? Sekali lagi jika kalian masih mencoba mencegahku. Aku akan menjebloskan kalian ke penjara karena berusaha menghalangi penyidikan."

Ino puas ketika kedua pejabat itu akhirnya memilih diam. Ino pun kemudian ikut membaca lembar-lembar dokumen.

" Semua dokumen terkait sudah hamba sita. Permaisuri."

"Shikamaru, telusuri transaksi-transaksi yang terlihat janggal dan periksa juga departemen terkait."

"Baiklah, semoga kita akan menemukan sesuatu."

Ino mulai bekerja, dengan sengaja dia menggunakan ruang kerja Itachi di aula keadilan. Pintu ruangan itu berderak kasar dan Ibu suri muncul dengan murka.

"Aku segera datang setelah mendengar keributan yang kau perbuat. Putraku baru saja pergi berperang dan sekarang kau dengan lancang duduk di kursinya."

"Ino memberi salam untuk Ibu suri. Maafkan hamba sudah lancang karena tidak menyambut kedatangan ibu suri yang tak diundang."

"Kau, Dasar rubah jalang! Aku masih hidup dan kau sudah bertindak menjadi penguasa istana."

Ino mendekat dengan tenang. "Hamba mencoba menjadi menantu yang berbakti, karena ibu suri sedang sakit hamba berusaha dengan keras mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Yang Mulia."

"Aku tidak sakit!"

Ino berbisik di telinga Ibu Suri Mikoto. "Hamba bisa membuat anda benar-benar sakit."

"Kau mengancamku?," desis Ibu Suri.

"Sebaiknya Ibu Suri kembali ke istana utara sebelum penyakit anda bertambah buruk," anjur Ino dengan santainya.

"Kau..." Mikoto kehabisan kata-kata.

Ino mengambil selembar dokumen dari mejanya. "Ibu suri, Anda lihat angka ini? Ini adalah jumlah uang yang diambil dari kas kerajaan untuk keperluan anda. Apakah menurut anda jumlah ini benar?"

Mikoto terdiam. Ia tidak tahu menahu perihal pengeluaran pribadinya. Semua diatur oleh Kasim Li. "Aku tidak tahu. Keuanganku diatur oleh kasim Li, tapi angka ini terlalu besar. Aku tak pernah membeli batu pirus dari Alexsandria."

"..., tapi tertulis anda membayar delapan ratus keping emas untuk sebongkah batu. Apakah anda sadar, sementara putra anda dipusingkan oleh ketiadaan dana untuk membangun negerinya. Orang-orang ini mencuri dari kita? Jika anda peduli dengan Putra anda, sebaiknya anda diam. Semua hal yang hamba lakukan di sini demi Yang Mulia."

"..., tapi bagaimana kau bisa memahami semua laporan dan angka-angka ini?"

"Itu karena ayah saya tak pernah melarang untuk belajar."

"Aku masih meragukan niatmu, Ino Yamanaka."

"Terserah ibu suri mau apa, tapi jangan sampai menghalangi pekerjaan saya."

"Aku tak mengerti apa yang dilihat Putraku darimu?"

"Barangkali karena saya lebih memahami Yang mulia, daripada wanita yang melahirkannya."

Kalimat terakhir Ino membuat Ibu Suri pergi.


Author Notes: Hampir setahun cerita ini tidak saya garap, bahkan saya sendiri lupa ceritanya sehingga harus mengulang membaca lagi.

Saya berniat menyelesaikannya hingga tamat, karena endingnya sudah terbayang-bayang dikepala. Sayangnya proses menulis tidak mudah hiks..hiks.. jalan terjal untuk menulis paragraf yang membawa karakter berjalan hingga titik akhir.

Saya harap kalian masih di sini. Mengikuti Ino menemukan "happy ending nya."