Dance of The Flower

Part 24


Setelah dua minggu melewati bukit kapur yang ditumbuhi sedikit rerumputan perlahan-lahan pemandangan berganti. Dataran menjadi semakin landai dan pepohonan pun semakin jarang terlihat. Mereka hanya menemukan mata air kecil yang cukup untuk mengisi tempat air mereka dan memberi minum kuda-kuda.

Mereka pergi mengikuti arah terbenamnya matahari, bergerak dalam barisan membawa sejumlah barang yang dipikul oleh binatang berkaki empat yang tampak letih. Kuda-kuda itu meringkik untuk mengeluh. Mereka berlari lebih lambat dari yang seharusnya sebab kaki-kaki mereka terbenam di lautan pasir yang sejauh mata memandang tiada habisnya.

Di tempat yang tampaknya tidak ada apa-apa, Mata seseorang menemukan peradaban manusia. Di kejauhan terlihat tembok tinggi berdiri menjulang dengan bendera berwarna merah tua berkibar dengan bangga di tiap puncak menaranya.

Untuk memastikan ia tidak melihat fatamorgana lelaki berambut hitam pun bertanya pada rekan-rekannya.

"Apakah kalian melihat gerbang barat?"

"Benar tuan, sepertinya kita sudah dekat," jawab salah satu anak buahnya.

Melintasi gurun dia menyadari mengapa penaklukan jarang terjadi di wilayah ini. Badai pasir menjadi pelindung alami dari serangan musuh yang tak tahu apa-apa, cuaca dan medan seperti ini akan membuat prajurit kerajaan dengan baju zirah besi mereka kesulitan. Pantas saja hanya Suna yang berani mengancam.

Kota dibalik dinding itu adalah wilayah kekuasaan keluarga Sabaku. Wilayah yang belum pernah dia kunjungi sebagai salah seorang anggota kerajaan. Dinding ini dibangun sebagai simbol pemberontakan dari kerajaan Suna.

Iring-iringan pedagang dihentikan oleh para prajurit. Berbeda dengan Ibu kota, prajurit kota barat hanya mengenakan pelindung tubuh dari kulit binatang yang ringan dan linen yang sewarna dengan pasir yang mengelilinginya. Kepala dan wajah mereka tertutup untuk menghalau panas dan pasir yang tertiup angin.

"Berhenti, Katakan apa urusan kalian?"

Dua tombak bersilang menghadang langkah kuda Itachi. Ia pun mengeluarkan plat emas yang tersimpan di balik pakaiannya. Kedua prajurit itu berbisik dan salah satunya bergegas berlari menuju salah satu menara pengawas.

Tak lama berselang Kankuro datang bersama lusinan prajurit setengah berlari kemudian memberi hormat pada seorang pedagang yang terlihat lusuh.

"Selamat datang, Yang Mulia. Hamba putra kedua keluarga Sabaku memberi salam."

"Sabaku Kankuro, komandan pasukan Barat. Apakah saudaramu telah memberikan perintahnya?"

"Kami siap melaksanakan tugas. Tiga puluh ribu pasukan akan diberangkatkan menuju ibu kota seperti yang diperintahkan oleh kakakku. Sisanya akan bersiaga di pos-pos terdekat."

"Mengapa Jenderal Gaara tidak ada di sini untuk menyambut?"

"Yang Mulia, Parmaisuri menolak untuk pergi dari Istana. Dengan kembalinya Pangeran Sasuke Saudara hamba memutuskan untuk tetap berada di ibukota."

"Aku mengerti. Aku sendiri yang memohon padanya untuk menjaga Istana, Kita harus bergerak cepat sebelum Sasuke bisa naik taktha. Begitu aku kembali secara otomatis aku akan mengambil alih pimpinan prajurit kerajaan aku akan menulis pesan pada Komandan Azuma untuk juga bersiap. Saat ini Sasuke sendirian dan dia sepertinya tak menyadari hal itu karena telah merasa di atas angin setelah membunuhku. Tidak ada pejabat yang akan bersisian dengannya sementara Danzo sudah di penjara. Kita semakin diuntungkan karena pasukan Susanoo dan Amaterasu masih berada di wilayah Timur."

"Sebaiknya anda dan pengawal anda beristirahat dulu. Kita masih punya banyak waktu. Buat Pangeran Sasuke merasa semakin aman dan dia akan semakin lengah," ujar Kankuro.

"Aku ragu anak yang sedang dikandung oleh Parmaisuri akan membuatnya merasa aman. Aku mengkhawatirkan keselamatan Ino. Keberadaan seorang anak membuat permaisuri memiliki hak atas tahkta itu."

"Hanya jika beliau melahirkan seorang putra," lanjut Kankuro membenarkan

"Bisakah kau meminta Jenderal Gaara untuk mengirimkan berita rutin tentang apa yang terjadi di istana dan ibu kota?,"

"Tentu saja, Tapi jarak yang jauh antara ibu kota dan kota barat kerap membuat informasi yang kami terima menjadi tidak relevan. Kita hanya bisa mengandalkan kelompok Hao. Yang punya jaringan informan dimana-mana."

"Apa kau tahu siapa pemimpin kelompok ini?"

"Tuan Jiraiya. Kakakku mengenalnya."

"Ah, Kalau itu tuan Jiraiya aku bisa mempercayainya." Itachi merasa kenalan Nyonya Tsunade tidak akan berkhianat.

Setelah ditempatkan di rumah utama keluarga Sabaku dan membersihkan dirinya. Itachi pun menemui orang-orang yang akan membantunya. Ketika malam tiba ia tak bisa berhenti memikirkan Ino dan kehamilannya yang meresahkan. Bagaimana mungkin waktunya terjadi dengan tepat. Di saat dia dianggap mati, seorang pewaris taktha mungkin terlahir. Ia merasa bersalah meninggalkan Ino seperti ini, ia bahkan meninggalkan wanita itu dalam gelap. Tak bisa tidur, Itachi pun memilih untuk menghirup udara luar.

"Apa anda tak bisa tidur, Yang Mulia?" Utakata yang berjaga di depan pintu kamarnya membuka suara.

"Utakata, Apa kau sepenuhnya yakin semua orang percaya aku sudah mati?"

"Kudengar mereka telah menyegel makam anda. Kita beruntung musuh memutuskan untuk membakar perkemahan. Sehingga tenda kaisar yang terbakar habis tidak terlihat aneh. Mereka tidak akan bisa membedakan mayat-mayat yang sudah terbakar bukan."

"Kau cerdas, menggunakan mayat musuh untuk mengelabui mereka."

"Hamba tak keberatan mati demi anda tapi pengorbanan hamba belum diperlukan.

Apa anda masih juga merasa bimbang, Yang Mulia?"

Itachi menatap bintang di langit. "Tidak Utakata, Aku tak lagi berharap adikku akan menghentikan ambisinya. Aku hanya khawatir dengan posisi permaisuri yang kini menjadi halangan baginya. Entah kekejian macam apa yang sedang direncanakan adikku untuk klan Yamanaka."

"Anda mengkhawatirkan permaisuri?"

"Aku menempatkannya dalam bahaya, karena itu aku berharap bisa segera kembali."

"Kenapa anda tidak memberitahu beliau anda masih hidup? Dengan begitu beliau akan lebih tenang."

"Pangeran Sasuke akan selalu berada di dekat permaisuri, Jika Ino terlihat tenang dan tidak terguncang oleh kematian kaisar bukankah itu akan mengundang kecurigaan. Aku harus menempatkan Izumi dan Ino dalam penderitaan ini untuk mengelabuinya."

Ia menengadah menatap langit. Bintang di langit kota barat tampak lebih terang dari pada Ibukota, Itachi pun mengikat jubah tebalnya lebih erat. Cuaca di gurun pasir cukup ekstrem, siang hari panas membakar kulit, malam hari dingin menusuk tulang. Ia pun berjalan menuju taman untuk menjernihkan pikiran. Sementara Utakata menjadi bayangannya.

Saat ini dia tak bisa apa-apa selain tetap bersembunyi dan meyakini kecerdasan Ino akan melindungi dirinya sendiri. Angin dingin yang bertiup membuatnya merindu. Apakah Ino juga sedang menatap bintang yang sama?

.


"Permaisuri, Putri Izumi masih mengurung dirinya di istana phonix. Dayang beliau meminta anda untuk menemuinya."

Ino yang dari tadi berdiri di tepi telaga sembari mengamati langit bintang terenyak. Upacara pemakaman telah selesai dan ia semakin merasakan kekosongan. Terkadang ia tanpa sengaja mencari-cari sosoknya tapi kaisar tidak ada dimana-mana. Istana menjadi tempat yang makin sunyi dan kosong. Membuat seseorang yang sudah rentan semakin mudah untuk merasa tertekan. Ino sudah mencicipi isolasi bertahun-tahun lamanya di istana dingin dia amat sangat paham derita dari kesepian.

Kenapa dia bisa lupa ada wanita yang lebih menderita karena kehilangannya. Seseorang yang perlu dihibur agar ia tak merasa sendirian. Sang permaisuri membalikkan tubuhnya, ia tak bisa juga kehilangan Izumi, seseorang yang dia sudah anggap sebagai saudari.

"Baiklah Shion. Aku akan ke sana."

Dalam langkahnya Ino berpikir bagaimana cara memberi harapan hidup bagi Izumi yang merasa kehilangan segalanya. Bagi wanita itu Itachi adalah dunia, Ino mulai mengerti kenapa Izumi bisa begitu jatuh cinta pada Kaisar. Dia lelaki yang baik dan betapa menyedihkan mereka yang baik selalu dikaruniai usia yang pendek.

Membuka pintu kamar, Ino menemukan Izumi terbaring di ranjang dengan lemah. Ia telah menolak untuk makan dan minum. Hanya menangis dan terus menangis hingga kehabisan air mata. Ino mengeraskan hati melihat bagaimana Izumi berduka.

'Mencintai seseorang hanya akan membuatmu serapuh ini.' putus Ino dengan segera

Ia mendekat duduk di tempat tidur meraih tangan Izumi. Raut wajah sedih dan pucat menatap Ino dengan sorot mata kosong.

"Saudariku, Kesedihan ini akan membunuhmu."

"Permaisuri, apa yang tersisa di sini untukku? Orang yang paling penting bagiku telah tiada. Aku tak ingin melanjutkan hidup."

"Pikirkan Izumi, apakah Itachi akan tenang di sana melihatmu menyiksa diri? Istana ini tidak akan berjalan jika tidak ada yang mengaturnya. Apakah kau ingin melalaikan tugasmu ini? Untuk menjaga apa yang dia tinggalkan?"

"Bagaimana anda tidak bersedih permaisuri, tak sekalipun anda meneteskan air mata untuk Yang Mulia? Apakah anda tak mencintainya?"

Ino terdiam, ia hanya berani menangisi Itachi dalam mimpinya. Bukannya ia tak berduka, dia telah kehilangan sekutu, teman tapi ia tak bisa berhenti untuk berusaha mengubah nasibnya, meski ia menyesal tak bisa mengubah nasib Itachi. Ia menatap Izumi yang terlihat begitu malang. Jangan sampai terjadi lagi. Izumi memutuskan untuk menyusul suaminya dalam kematian.

"Aku bertekad untuk hidup dengan menjaga dan mewujudkan keinginan yang mulia. Putri Izumi, Apa kau lupa Yang Mulia meninggalkan sesuatu untukku. Sesuatu untuk kita?" Ino membawa tangan Izumi untuk menyentuh perutnya. "Anak ini, Aku ingin kau menjaga dan menjadi ibunya." Ino tak keberatan untuk berbohong jika itu memberi sebuah harapan untuk orang lain.

Izumi terkejut, "Apa maksud anda permaisuri?"

"Izumi, aku memberikanmu tugas untuk merawat, membesarkan dan mendidik anak yang ditinggalkan Yang Mulia untukku. Aku akan mengizinkan dia untuk memanggilnya Ibu. Apa kau akan menolak permintaan?"

"Aku tidak berani, tapi mengapa?"

"Sebab kau selalu menginginkan seorang anak, tapi aku tidak."

Shion mendengar percakapan itu dengan wajah tertunduk, sejak kapan Nonanya yang polos bisa berbohong dengan begitu lancar.

"Shion, ambilkan sup bunga teratai yang aku bawa."

Shion dengan patuh mengambil mangkuk di atas meja dan menyerahkannya pada Ino. Ino memberikan senyuman kecil pada Izumi.

"Sekarang makanlah sup ini, bukankah kau sudah memiliki alasan untuk melanjutkan hidupmu?" Ino menyuapi wanita yang telah menjadi saingan dan temannya selama di istana.

"Permaisuri, Apa kau sedang berkorban untukku?"

"Putri Izumi, kau akan menjadi ibu yang lebih baik dariku. Saat ini kita tidak memiliki kaisar dan akulah yang akan mengemban tugas ini entah sampai kapan. Pekerjaan akan menyita waktuku, cepatlah sembuh dan bantu aku."

"Permaisuri, aku bersyukur Yang mulia memilihmu untuk dijadikan Saudariku."

"Jaga dirimu mulai sekarang. Putri Izumi, tiap orang memiliki waktu dan tujuan mereka. Yang Mulia tak akan suka melihat kita bersedih."

"Maafkan dirku yang lalai."

"Aku pergi sekarang dan akan menjenggukmu kembali. Aku harap sekarang kau merasa lebih baik."

"Terima kasih permaisuri."

Sasuke melihat rombongan permaisuri meninggalkan istana phonix, ia tak bisa berhenti menatap wanita itu, yang masih mengenakan warna putih tanda berduka. Tak sekalipun ia melihat Ino menangisi Itachi akan tetapi ia menyadari wanita itu tak lagi tersenyum, tak lagi polos seperti saat dia pertama kali bertemu dengannya. Istana ini telah berhasil mengubahnya. kekejaman dan politik membuat mereka semua berhati dingin, termasuk dirinya.

Apa yang harus dia lakukan dengan wanita itu? Jika dia membunuhnya maka keluarga Yamanaka dan pengikutnya akan memberontak . Meski ia membuatnya sebagai kecelakaan perdana menteri sudah pasti akan mencurigainya. Apakah dia bisa membuat setengah dari negara ini memusuhinya? Bagi rakyat Ino adalah dewi keselamatan. Di mata rakyat klan Yamanaka begitu terhormat.

Meski pun dia punya prajurit dan juga punya wewenang tapi kondisi ekonomi kerajaan yang compang-camping tidak akan memihaknya. Jika Itachi saja harus meminjam uang pada perdana menteri untuk mendanai perang dengan Otogakure berarti kas negara benar-benar kosong. Apa yang bisa dia lakukan untuk mendapatkan lebih banyak uang?

Oh, jika dia adalah Kaisar. Seluruh negeri ini adalah miliknya. Kenapa dia harus bingung. Ia tinggal menurunkan perintah agar para bangsawan menyerahkan seluruh aset mereka demi kerajaan. Ia juga bisa menarik pajak lebih banyak dari rakyat. Bukankah tanah yang mereka injak dan udara yang mereka hirup akan menjadi miliknya? Ia tak perlu bersalaman dengan perdana menteri. Solusi menyingkirkan klan Yamanaka sudah ditemukan. Ia hanya perlu menyebar fitnah. Fitnah keji yang akan merusak reputasi permaisuri.

Angin membelai jubah organza yang dikenakan Ino dan ia terus melangkah sembari memikirkan berapa banyak lagi dia harus berbohong. Apakah dia akan bisa hidup sampai akhir atau akan tetap mati ditangan Sasuke seperti yang telah terjadi pada Itachi.

Katanya jika musuhmu terlalu kuat untuk dikalahkan, maka jadikanlah dia temanmu. Akan tetapi, apakah Sasuke akan mau menerima usulannya begitu saja? Akibat ia menunda-nunda untuk meracuni Itachi, kepercayaan Sasuke pada dirinya luntur. Ino mempercepat langkah tanpa menyadari sepasang mata kelam mengamati.

.

.

Di ruang baca paviliun permata, Ino masih sibuk membaca-baca dokumen pemerintahan. Kepalanya sudah pening, mengurus negara jauh lebih kompleks daripada sekedar mengurus toko atau kediaman keluarga Yamanaka. Ini pekerjaan yang terlalu berat untuknya, tapi tetap harus dibereskan.

"Shion, tuangkan aku teh."

Shion melakukan hal yang diminta, tapi bibirnya terlihat mencebik. Teh yang dia tuang meluber dan tumpah dari cangkir.

"Maaf permaisuri, Maaf." Shion segera mengambil lap dan menyeka teh yang tumpah.

"Apa yang mengganggumu, Shion?"

"Yang mulia, Mengapa anda memberikan putri Izumi harapan palsu? Anda membohongi negeri ini dengan kehamilan anda."

"Shion ini langkah yang terbaik. Siapa yang akan tahu aku benar hamil atau tidak. Tabib kerajaan sudah dibeli, mereka tak akan mengatakan hal yang tak perlu dikatakan."

"Lalu bagaimana kita menjelaskan kenapa perut anda tidak besar-besar setelah lewat beberapa bulan?"

"Berpikirlah dengan cerdas Shion, kita bisa mengikat bantal diperutku."

"Ah, Baik permaisuri. Hamba akan membuat bantalan perut untuk anda, tapi apa untuk apa anda berbohong?"

"Mengulur waktu, Shion rencana yang tak berujung ini terlalu rumit untuk kau mengerti. Di mana Sai? Aku tak melihatnya dari tadi."

"Sai berkata ingin mengunjungi penjara, anda ingat saudaranya yang terbunuh? Dia dibunuh oleh anggota kelompok Hebi. Ada yang ingin dia tanyakan pada Danzo."

"Sai ingin membalaskan dendamnya, tapi dia tak bisa membunuh Danzo begitu saja. Ino meletakkan kuasnya dan berdiri. Ayo kita susul dia."

"Tapi ini sudah malam permaisuri."

Tidak mudah untuk masuk dalam penjara kerajaan, tapi Sai berhasil melakukannya bermodalkan nama permaisuri dan perintah Jenderal Gaara. Ia membawa keranjang makanan, tapi itu hanya dalil yang dia gunakan agar dia bisa melihat manusia macam apa yang bertanggung jawab atas kematian Shin.

"Tuan Danzo."

"Ah.. Kau kasim dari istana permaisuri. Apa gadis sombong itu yang menyuruhmu kemari?"

"Kakakku dibunuh oleh anggota kelompok Hebi."

"...dan kau datang ke mari untuk membunuhku dan balas dendam?" Danzo yang meringkuk di atas jerami tertawa.

"Kau mendirikan organisasi yang begitu jahat. Menculik para pemuda dari keluarganya dan mengubah mereka menjadi monster, tidakkah kau merasa bersalah?"

"Bah, aku tak memikirkan orang-orang itu. Mereka hanya butiran debu yang mati satu akan muncul seribu. Aku bahkan membuat hidup mereka lebih berguna menjadi alat perang ketimbang hidup menjadi beban negara."

"Beban negara? Pejabat negara sepertimu inilah yang membuat rakyat kecil sengsara."

"Jika rencanaku berhasil, aku akan jadi kaisar apa kau tahu itu. Aku begitu dekat dengan singgasana."

"Anda aneh sekali tuan Danzo, Meski Kaisar Itachi wafat, masih ada adiknya. Bagaimana mungkin anda bisa menjadi kaisar."

"Jika kau pikir Sasuke adalah satu-satunya penerus takhta kau salah. Aku sudah menyembunyikan satu orang lagi yang akan aku didik untuk menjadi bonekaku yang sempurna. Sayang aku tak berhasil menemukannya." Tiba-tiba Danzo berdiri dan mendekati Sai dari dalam sel nya. "Kau tahu, katakan pada permaisuri untuk bicara padaku. Aku punya informasi menarik untuknya."

"Danzo, Aku tidak tahu kau akan begitu murah hati." Ino memasuki areal penjara yang temaram.

"Permaisuri, anda pasti sudah sadar yang membunuh Kaisar Itachi adalah Sasuke dan Anda berserta klan Yamanaka tidak akan setuju dia menjadi Kaisar."

Ino merasa Danzo belum mendengar berita kehamilannya, jadi ia akan mendengarkan lelaki tua itu. "tapi kerajaan ini tak punya pilihan. Hanya tersisa pangeran Sasuke."

"Saya menawarkan kesepakatan, Ampuni nyawa saya, maka saya akan memberikan informasi ini."

"Baiklah Danzo, Kau tak akan dihukum pancung."

"Dua puluh lima tahun yang lalu saya menyelamatkan seorang bayi laki-laki. Bayi itu adalah adik bungsu putri Izumi. Saya menitipkannya bersama para bikshu. Seorang anak laki-laki dengan rambut hitam dan tanda bulan sabit di lengannya. Jika anda menemukan orang itu, mau tidak mau pangeran Sasuke harus kembali bersaing untuk takhta dan klan Yamanaka bisa menggunakannya sebagai kaisar boneka."

"Itukah rencanamu Danzo, Membuat Sasuke mengkhianati saudaranya, kemudian menikam balik Sasuke dan menggantikannya dengan pangeran yang kau sembunyikan?"

"Sayang sekali rencanaku tak berjalan mulus." Keluh sang mantan pejabat.

"Danzo, Jika kau tak ingin dipenggal sebaiknya kau memberikan kesaksian kalau pangeran Sasuke merencanakan kematian Kaisar dengan begitu aku bisa menyeretnya ke lubang hukum. Tanpa bukti, Apapun tuduhanku pada pangeran Sasuke akan dianggap konspirasi. Pikirkan baik-baik. Kau bisa menyelamatkan nyawamu dengan menyeret pangeran Sasuke. Sai, Shion. Ayo kita kembali. Penjara ini membuatku muak."

Sepanjang malam Sai berpikir, apakah dia harus mengatakannya pada permaisuri atau tidak. Sekarang Sai paham mengapa kelompok Hebi ingin menangkapnya, ternyata dia adalah bayi yang disembunyikan Danzo. Dia seorang Uchiha. Jika ia mengaku apakah situasinya menjadi semakin pelik?

Saat sarapan pagi Sai pun memutuskan untuk memberitahu Ino. Dia menggulung lengan bajunya menampakkan tanda lahir berwarna hitam berbentuk bulan sabit.

"Sepertinya saya adalah anak yang disembunyikan Danzo. Pantas saja kelompok Hebi ingin menangkap saya waktu itu."

Ino dan Shion terkejut, tapi semua itu terasa masuk akal dipikirkan Ino. Alasan Sai dijadikan pengawal oleh Danzo di kehidupan sebelumnya adalah karena kelahirannya. Alasan Sai dicuci otak hingga dia begitu patuh pun karena ia dipersiapkan sebagai boneka pengganti Sasuke.

"Sai, Kau seorang pangeran? Adik putri Izumi?." Shion terpana.

Sai pun berlutut di depan Ino, "Permaisuri biarkan hamba hidup menjadi Sai, bukan pangeran kerajaan."

"Mengapa?"

"Karena hamba tak pernah dibesarkan sebagai pangeran. Hamba tak memiliki pengetahuan."

"Sai apakah kau tidak akan mau mengambil statusmu bila itu bisa membantuku?"

"Jika status hamba naik menjadi pangeran bisa membatu anda, maka hamba akan menerima gelar itu, tapi jika identitas hamba akan membuat situasi semakin pelik, hamba puas hidup sebagai Sai saja. Apa anda akan memberitahu ini pada perdana menteri?"

"Entahlah Sai, mungkin aku akan memberitahu ayahku lain waktu."


di lapangan latihan prajurit. Kedua jenderal sedang beradu pedang. Semua prajurit berdiri membentuk lingkaran, Begitu jarang melihat pahlawan benteng timur bertarung dengan Jenderal barat.

Suara pedang beradu, diiringi kaki yang melangkah membentuk pola rumit. Jika yang satu menusuk maka yang lain bertahan. Tebasan pedang Gaara yang berat begitu kontras dengan teknik Sasuke yang mengalir bagaikan air. Mereka bertarung bagaikan dua elemen yang berbeda tanah dan api, tidak ada yang terpukul mundur. Kemampuan keduanya setara. dimana Gaara lebih unggul dalam kekuatan sementara Sasuke mengandalkan kecepatan dan intensitas.

"Jendral Gaara, Mengapa anda belum kembali ke perbatasan?" Tanya Sasuke di sela-sela pertandingan mereka.

"Belum ada perintah dari permaisuri."

"Tapi aku sudah kembali. Kita tidak memerlukan dua jenderal untuk menjaga istana dan Ibu kota. lagi pula tentara kerajaan di bawah pimpinanku. anda tak punya tugas lagi di sini."

"Apa anda sedang mencoba mengusirku pangeran Sasuke?" Gaara menyerang, tapi Sasuke menepisnya.

"Kepergian anda untuk kebaikan permaisuri, Sepertinya anda belum mendengar rumor yang begitu kencang di istana dan seluruh penjuru kota."

"Rumor?"

"Mereka berkata Permaisuri mempunyai hubungan gelap dengan anda. Anda selalu menemani permaisuri bahkan saat yang mulia tidak ada. Anda juga kerap mengunjungi paviliun permata. padahal ada alasan mengapa istana disebut kota terlarang. Banyak saksi mata melihat anda duduk minum teh dengan akrab, bahkan tersebar isu perihal pertemuan rahasia. Rakyat berpikir permaisuri bermoral rusak dan kebaikannya hanya sebuah pencitraan."

"Sungguh tuduhah bodoh dan tak masuk akal. Aku pergi ke istana hanya untuk urusan pekerjaan dan aku ditugaskan kaisar untuk menjaga permaisuri. Kenapa kau memberitahuku soal ini?"

"Orang tidak akan peduli dengan niat luhur dan kehormatan anda. Pikiran juga posisi permaisuri yang kini menjanda. lebih baik menjaga jarak dan menghindari skandal bukan?, " lanjut Sasuke sambil melakukan seranga bertubi-tubi. "Apa anda ingin orang-orang meragukan siapa ayah dari bayi yang dikandung permaisuri dan menyulitkan beliau dikemudian hari?"

Gaara terenyak, Sejenak dia melupakan pertarungan ini. Pedang ditangannya terlempar ke tanah. Sasuke menyarungkan kembali pedangnya dan terlihat puas.

"Sepertinya pertandingan kali ini berakhir dengan kemenangan untukku." Sasuke tersenyum meninggalkan arena, sementara Gaara menghadapi dillema.

Malam itu Gaara pergi minum bersama prajuritnya dan dia mendengar orang-orang menyanyikan lagu tentang permaisuri yang binal, tak hanya menundukkan kaisar. Sang permaisuri juga merayu Jendralnya. Memiliki dua pria berkuasa di satu ranjang mencium kakinya. Dia hampir saja membuat keributan dengan berniat membunuh penyanyi itu, tapi seperti kata Sasuke. Kisah permaisuri yang binal sedang populer di ibukota. Ini buruk bagi Ino. .

Dia pun pergi ke rumah teh Nyonya Tsunade.

"Aku tak pernah melihatmu begitu marah, Jendral." Tsunade menuangkan arak untuk Gaara.

"Apakah anda tidak mendengar lagu-lagu vulgar itu."

"Aha, Jadi jenderal yang dimaksud adalah dirimu." Tsunade tersenyum menahan geli. Jenderal yang begitu serius dan terhormat dijadikan sumber kisah vulgar. "Aku pikir ini ulah seseorang yang berniat menjatuhkan martabat permaisuri."

"Lalu apa yang harus aku lakukan? Hubunganku dan permaisuri disalah artikan. Kenapa orang begitu rendah."

"Jangan kau pusingkan masalah itu. jika kau pergi mereka akan menganggap cerita itu benar ada masalah yang lebih penting. aku sudah mengirim orang ke Otogakure, mereka berkata Orochimaru sudah kembali ke Konoha. Mengingat pangeran Sasuke yang merupakan muridnya di sini, mungkin dia akan muncul di istana."

"Apa kita harus menangkapnya?"

"Tentu saja."

.

.

.

.