salam dariku, terimakasih untuk pembaca budiman yang mengikuti cerita ini dari tahun 2020.. ini adalah karyaku yang paling panjang. banyak plot hole sebenarnya dan seharusnya bisa lebih baik lagi. tapi karena aku gak ingin menunda lebih lama. cerita ini ingin aku tamatkan segera apa adanya. yang penting pembaca tahu ke mana Ino akan berlabuh.
btw aku nulis ini sambil denger chinese epic music play list di spotify dan berharap pembaca juga membayangkan adegan epik dan dramatis. sekalian cinematography ala-ala c-drama.
oke udahan deh cuap-cuapnya. aku menunggu komentar kalian.
ps. tinggal 1 chapter lagi.. tamat .. semangat!!
The Dance of The Flower
Chapter 29
The Duel
Meski di luar sana dipenuhi keributan. Itachi tak mendengar suara apa pun. Konsentrasinya tertuju pada Sang adik yang bersiap menyerang. Mereka berdiri saling berhadapan, pedang terhunus di tangan. Semua indera aktif dan siaga bahkan mereka bisa mendengar suara gemersik rambut yang melambai.
Layaknya macan kumbang ditengah perburuan. Keduanya menunggu, membaca mata masing-masing untuk membuat keputusan vital. Satu gerakan kecil akan menyimpulkan langkah berikutnya karena di sini tidak ada mangsa yang tak berdaya, hanya dua hewan buas memperebutkan wilayah.
Tarikan nafas mereka begitu teratur seakan menjalani meditasi dengan mata terbuka. Yang menjadi pembeda hanyalah ketenangan di wajah Itachi terlihat kontras dengan amarah yang terlukis diwajah adiknya.
Aura ketegangan meningkat sedangkan dua orang lainnya berdiri diam menjadi penonton, menantikan hasil dari duel kedua bersaudara ini. Siapa pun yang bertahan hidup akan membuat kebenarannya tersendiri. Duel adalah salah satu cara tradisional untuk menyelesaikan konflik ketika agrumen tak lagi bermakna.
Kesunyian yang mencekik dipupus oleh kobaran aura membunuh dan teriakan lantang. Sasuke menerjang ke arah saudaranya, mengayunkan pedang dengan kekuatan penuh. Mereka telah berlatih bersama selama bertahun-tahun. Ia tak akan lupa Itachi datang kepadanya dan memberikan pedang kayu. Diam-diam mengajarinya dasar-dasar berpedang karena ayah mereka sama sekali tak peduli akan dirinya.
Ketika ia ketahuan belajar ilmu bela diri permaisuri Mikoto menghukum dan mencambuknya sementara Itachi hanya diam membeku berdiri dibelakang sang ibu, tak berani membelanya. Sejak itu dia dikirim ke medan perang.
Tidak seperti Itachi, dia memegang pedang untuk bertahan hidup dan dia tak pernah kalah. Serangan Sasuke didasari kemuakan. Dia melepaskan semua kebencian dan sakit hati yang terpendam pada sosok yang menjadi bayangan terbesar dalam hidupnya. Membunuh Itachi dengan tangannya sendiri akan memberikanya kedamaian.
Itachi menangkis serangan yang membuat pergelangan tangannya langsung menjadi ngilu. Dia tahu berduel dengan adiknya merupakan sebuah keputusan bodoh. Di luar sana banyak tentara dan dia bisa memerintahkan mereka untuk meringkus adiknya, tapi ia merasa ingin menyelesaikan masalah ini secara personal meskipun membahayakan dirinya.
Kemarahan dan kegilaan yang merasuki Sasuke membuat Itachi kewalahan. Satu-satunya suara terdengar di aula itu berasal dari langkah kaki mereka dan pedang yang berpalu. Serangan Sasuke yang makin agresif membuat Itachi terdesak, akan tetapi dia tetap tenang. Mereka yang dikuasai emosi akan menunjukan celah dan ia menunggu dengan sabar.
"Kenapa kau tidak mati!" Sasuke mengarahkan ujung pedangnya ke arah dada sang kakak. Urat kemarahan mencuat dipelipisnya ditemani rasa frustasi melihat semua serangannya mampu ditepis dengan sempurna.
Meski mendapatkan serangan bertubi-tubi. Itachi tetap bertahan dengan apik, setiap gerakannya terkontrol seirama dengan ayunan pedang lawannya. Tak satu pun sayatan mampu menembus pertahanannya. Senjata utamanya adalah ketenangan.
"Tuhan belum ingin aku mati."
Dia tak memiliki kekuatan eksplosif seperti Sasuke dan dia juga tak memiliki pengalaman banyak melewati pertempuran hidup mati, tapi Itachi adalah murid terbaik dari setiap pendekar yang dihadirkan untuk mengajarinya di istana. Jika Sasuke punya pengalaman dan insting maka dirinya memiliki teknik dan fundamental yang lebih baik. Itachi mengengam pedangnya lebih erat.
Pertarungan menjadi kian sengit, gema logam yang berbertabrakan memenuhi ruangan. Sinar mentari yang melewati kisi-kisi jendela memudar menyisakan bayangan gelap yang menutupi ruang singgasana. Senja telah datang di sambut oleh desah nafas lelah. Meski begitu langkah-langkah kaki mereka tak goyah, Saling mengitari bagaikan elang mengejar mangsa berusaha melukai dan mengalirkan darah, melenyapkan satu dan lainnya dari dunia. Inilah penghabisan dari sebuah tragedi.
Jugoo dan Suigetsu telah lama pergi. Duel di tempat itu bukan urusan mereka. Mereka telah memutuskan untuk meninggalkan Sasuke hanya saja mereka tidak berhasil menemukan Karin dimana-mana. Saudari mereka juga sudah gila, gila karena obsesinya. Meski begitu mereka tak bisa meninggalkan gadis itu sendirian untuk membalas dendam.
Menginjakkan kaki di salah satu sudut aula kemegahan Jugoo mencium sesuatu. "Suigetsu, apa kau mencium aroma itu?"
"Bubuk Mesiu. Kenapa ada bubuk mesiu? Apakah kita harus menyelidikinya?"
Jugoo mengelengkan kepala. "Biarkan saja, bukan urusan kita. Mungkin ini juga rencana Sasuke."
"Rencana orang putus asa," Suigetsu berkata dengan iba. "Sebaiknya kita pergi segera dari sini, tapi ke mana Karin? Aku yakin dia akan muncul di dekat Sasuke." Lanjutnya lagi.
Pertempuran di istana jauh dari kata usai, Meski sudah terkepung Prajurit Susanoo menolak untuk menyerah dan memilih bertempur sampai mati. Sementara prajurit kerajaan yang bersikap netral memilih nyawa mereka dengan meletalkan senjata. Sungguh tidak lucu untuk mati membela orang yang bahkan tak peduli denganmu. Tentara bukan bidak politik yang bisa digerakkan para pangeran.
Gaara berdiri di atas jembatan yang menghubungkan Istana dalam, lokasi kediaman para selir dan permaisuri dengan alun-alun. Dia membopong Ino yang masih pingsan dalam pelukannya dan minimbang langkah selanjutnya. Apakah ia harus membawa Ino kembali ke Pavilliun permata dalam situasi seperti ini atau mencari Itachi yang tak terlihat sejak tadi.
Akhirnya ia memutuskan membawa Ino ke tengah pertempuran yang sudah mereda. Kekacauan dan rasa lelah akibat perjalanan panjang membuat para prajurit tidak memperhatikan sang jendral tengah melintasi alun-alun.
Gaara menemukan Azuma Sarutobi dan sekelompok prajurit berdiri mengitari aula kemegahan dalam posisi siaga. Gaara pun bergegas ke sana menghampiri meminta laporan situasi terkini. Ia tidak melihat Kaisar di sana dan ia juga belum mendengar berita Sasuke.
Wajah-wajah serius dan cemas para prajurit menatap pintu masuk aula kemegahan membuat Gaara bertanya, " Apa yang terjadi di sini?"
"Yang mulia tengah berusaha menangkap Pangeran Sasuke kami diminta untuk diam di sini."
Dalam hati Gaara merasa geram. Apa gerangan yang dipikirkan Itachi?, ini bukan saatnya menunjukan sikap kesatria dengan mengalahkan adiknya dalam duel.
"Jendral Gaara, apakah permaisuri baik-baik saja?" Azuma melirik Ino yang tidak sadarkan diri. Menurut protokoler istana, wanita istana tidak boleh disentuh lelaki yang bukan kaisar. Mungkin karena ini situasi darurat tata krama tak diindahkan oleh sang Jendral.
"Beliau pingsan setelah melihat Pangeran Sasuke membunuh perdana menteri. Kapten Azuma aku akan masuk ke aula kemegahan."
"Membawa permaisuri ke tempat berbahaya?"
"Aku diperintahkan kaisar untuk tetap berada disampaing beliau, tapi aku juga perlu memastikan keselamatan Kaisar Itachi. Berikan Pedangmu pada kasim ini."
Sai yang berdiri di dekat Gaara menerima pedang dari Azuma. "Apa yang kita lakukan sekarang, Jenderal?"
"Mencari Kaisar. Kau ikut denganku!"
Gaara menarik nafas panjang saat melihat pertarungan keduanya di hall besar itu. Orang-orang yang tadinya ada di sana telah menjadi mayat. Kursi terlempar dan meja terbelah, bahkan pilar kayu pun tergores. Dia lega melihat Itachi mampu mengimbangi adiknya meski sang kaisar terlihat lebih lelah. Mereka sepertinya tak menyadari kehadiran Gaara dan Sai di sana karena sibuk berusaha saling membunuh.
"Tempat ini mengerikan, Apakah prajurit anda yang melakukannya?" ucap Sai dengan wajah muram. Tubuh para dayang, kasim dan sejumlah pejabat administrasi tergeletak begitu saja. Mereka orang-orang tidak berdosa yang hanya melakukan pekerjaannya. Sai membelokkan langkah kakinya untuk menghindari mayat kasim yang tergeletak di lantai.
"Tidak mungkin, Prajuritku hanya menembus area alun-alun dan gerbang belakang. Mereka tidak akan membunuh orang yang tak bisa melawan."
Gaara menyerahkan Ino pada Sai. "Jaga Permaisuri. Aku akan membantu Yang mulia."
"Baik."
Gaara menghunus pedangnya. "Yang Mulia, Izinkan saya membantu." Teriak Gaara dan meluncur ke dalam area pertarungan.
Itachi yang sedang mengunci serangan adiknya terpaksa menoleh, ia tak ingin seorang pun ikut campur. Matanya tertuju pada sosok Ino yang terkulai tak sadarkan diri dalam gendongan Sai. Hal itu membuat tumpuan kakinya goyah dan Sasuke pun berhasil mendorong dan menebas lengan kanan Itachi. Sayang sekali pedangnya harus tertahan oleh baju zirah, tapi Itachi terjatuh dan senjata ditangannya terhempas.
Gaara dengan refleks bergerak melindungi Itachi, membendung tusukan vertikal yang ditujukan ke dada Kaisar.
"Cih… selalu saja ada penganggu," ujar Sasuke geram melihat serangannya dipatahkan.
Itachi berguling dan meraih pedangnya di lantai kemudian berdiri. "Ini pertarunganku Jendral." Itachi bersikeras melakukan semuanya sendiri.
"Berhenti bersikap bodoh, Pertama anda harus ingat anda adalah seorang Kaisar, baru kemudian seorang kakak. Apa pun Ide anda untuk menjaga martabat pangeran Sasuke harus dihentikan. Dia adalah pemberontak. Perintahkan prajurit untuk meringkusnya. Segera!"
Kali ini Sasuke harus menghadapi dua orang. Gaara dan Itachi sekaligus "Ah, Kau pengecut Itachi. Menyuruh anjingmu untuk mengigitku."
"Ino,..Bagaimana Ino?" Itachi bertanya dengan pelan saat berdiri bersisan dengan Gaara. Rasa cemas terasa meremas hati sang Kaisar. Berbulan-bulan ia tidak melihat Ino, meski melirik sepintas dia bisa melihat kulit wanita itu sangat pucat. Dia bersalah telah menempatkan wanita itu dalam bahaya.
"Beliau tidak terluka hanya pingsan. Sebaiknya kita serang Sasuke dari dua arah."
Itachi mengangguk.
Sai menonton dengan mawas kedua orang itu sama sekali tak mengalami kesulitan untuk mendesak pangeran Sasuke yang energinya terkuras.
Dari atap bangunan yang terletak di seberang aula kemegahan, seorang wanita bertiarap menyembunyikan sosoknya dari pandangan. Ia menarik busur dan melepaskan panah api ke arah salah satu jendela.
Ketika semua orang sedang sibuk, Dia menyamar sebagai dayang menyembunyikan tong kecil berisikan bahan peledak dan kembang api di sudut-sudut aula kemegahan. Dia juga menyirami beberapa ruas jendela dengan minyak tanah. Stuktur bangunan utama istana terbuat sepenuhnya dari kayu yang pasti mudah terbakar. Sasuke mengeyahkan musuhnya dalam api dan dia akan memberikan lelaki itu karma nan indah.
Sasuke diujung tanduk, lihat saja jumlah prajurit yang bersiaga di bawah tak ada cara untuk selamat, tapi wanita itu bersikeras untuk membasuh tangannya dengan darah dari lelaki yang dia pernah dan masih cintai.
'Bakar saja dan hanguskan' Karin menatap puas percikan api yang melalap jendela kayu dengan cepat.
Ia tak diam di sana, Karin melompat dengan sigap ke aula kemegahan. Entah apa yang dia pikirkan. Menyelinap ke dalam gedung yang dia bakar. Masuk dengan membuka atap, wanita itu dengan kemampuan asasinnya meluncur dengan senyap dibalik tirai yang berada di belakang singgasana kemudian bersembunyi. Karin mengintip, melihat mereka masih bertarung tanpa menyadari hall megah itu sedang terbakar.
"Api…ada api, cepat ambil air." Para prajurit bergegas mencari-cari ember. Sumber air terdekat adalah parit istana dan sumur yang terletak di istana dalam. Letaknya cukup jauh. Meski mereka bergegas, api melahap kayu lebih cepat ketimbang airnya datang.
Gaara terdiam, hidungnya dengan segera menangkap aroma asap.
"Yang mulia, Sepertinya ada kebakaran."
Api lambat laun menjalar membakar kayu dan pilar kemudian merambat melewati tong berisi bubuk mesiu yang Karin sembunyikan di belakang pilar utama. Ledakkannya mengagetkan mereka semua. Mereka tak lagi bertempur melainkan tertegun melihat api yang membesar membakar jendela dan pilar dari arah samping.
Aula kemegahan mulai dilingkupi asap. Bahkan api sudah hampir mencapai pintu utama. Itachi mengedarkan tatapan ke sekelilingnya berupaya memikirkan jalan teraman untuk keluar.
Ledakan membuat Ino tersadar. Ia membuka mata hanya untuk melihat raut wajah cemas Sai dan api yang mengelilingi mereka.
"Yang mulia kita harus keluar dari sini." Gaara memotong kayu plafon yang terbakar dan jatuh ke arah mereka.
Sasuke tak peduli pada ruang yang kini terbakar. Dia hanya punya satu kesempatan. Matanya pun melihat Ino yang kini berpijak dengan kakinya sendiri, Selagi Gaara dan Itachi tak memperhatikanya. Sasuke dengan ilmu meringankan tubuh meluncur ke arah Sai dan mendorong sang kasim dengan kekuatan tapak tangan kirinya.
Sai terempas tanpa bisa melawan dan Sasuke berhasil menawan Ino. Pedang lelaki itu melekat di leher sang permisuri.
Ino baru menyadari sosok berbaju zirah yang berada di sebelah Gaara adalah Itachi. Dia terlihat kotor tapi hidup. Pedang tajam yang mengancam hidupnya terlupakan melihat sosok itu di sana, tapi Ino tak melewatkan kepanikan di mata Itachi.
"Jangan mendekat atau aku akan membunuhnya." Ancam Sasuke. Ia mundur membawa Ino mendekati singgasana satu-satunya sudut yang belum terlalap api.
Begitu banyak asap membuat Ino merasa sesak. Ia mengerjapkan mata yang kebas.
"Sasuke lepaskan Ino, kita harus keluar dari sini." Itachi memohon.
"Aku tidak mau. Kau tahu kakak aku akan membawa wanita ini bersamaku ke neraka."
"Hentikan."
"Jika dia begitu berharga bagimu kenapa tidak kau tukarkan saja nyawanya dengan nyawamu. Jika kau memotong lehermu aku akan melepaskannya." Sasuke dengan marah menekan pedangnya ke leher Ino.
Itachi menatap Ino yang menggelengkan kepala untuk tidak mengikuti permintaan Sasuke. Ia melihat keletihan dan kesedihan di raut wajah wanita itu. Ia juga melihat perut Ino yang membesar, tanda kehamilannya. Tidak ia tak bisa mengorbankan mereka. Itachi meletakkan pedangnya di leher.
"Yang mulia hentikan, anda mati atau tidak Sasuke akan tetap membunuh Ino."
Itachi tersenyum sedih pada Gaara. "Aku menganggapmu sebagai temanku. Bereskan semua ini dan jagalah Ino dan anakku." Ia pun memejamkan mata, bersiap mengakhiri hidupnya.
Ino tak ingin pasrah, Ia tak ingin Itachi kehilangan nyawa. Sampai pada titik ini takdir telah berubah Itachi rupanya masih hidup dan ia tak akan membiarkan lelaki itu mati hanya memperpanjang usianya beberapa menit. Ino mengerahkan keberaniannya, Ia harus melakukan sesuatu. dengan sigap Ino meraih belati yang ia sembunyikan di balik lengan baju. Belati yang dihadiahkan Itachi padanya. Ino menusuk lengan kanan Sasuke yang kebetulan hanya terbalut pelindung berbahan kulit. Serangan mengejutkan itu membuat Sasuke menjatuhkan pedangnya.
"Itachi… Hentikan!" Ia berlari ke arah suaminya berharap suaranya terdengar sebelum terlambat.
Mendengar pekikan Sasuke dan teriakan Ino, Ia pun ragu menyabetkan pedang itu, Lantas ia membuka mata dan melihat Ino sudah lepas dari kukungan adiknya.
Walau belati yang melukai Sasuke diolesi racun, racun itu tak bekerja seketika. Sasuke mengejar Ino. Belum sempat Gaara bereaksi untuk mengentikan usaha itu. Sasuke mendadak tumbang dengan mulut berlumuran darah. Sebuah anak panah menacap di punggungnya. Panah itu terbang dari balik tirai.
Gaara tak berniat mencari tahu karena situasi sudah gawat. Siapapun yang membantu menyerang Sasuke pasti bukan musuh. Asap semakin tebal dan semua pintu terlalap api. Mereka semua bisa mati terpangang kalau begini. Baju zirahnya yang terbuat dari logam memanas. Gaara cepat-cepat melepaskannya.
Ino meletakkan tangannya diatas tangan Itachi yang mengengam pedang dan menangis "Kau masih hidup."
Itachi memeluk Ino seerat mungkin. "Aku kembali." Ia melihat Sasuke yang terbujur di lantai terlihat sekarat. Sang Kaisar menitikkan air mata. Ia tak bisa membenci adikknya. "Semua sudah berakhir Ino, sudah berakhir." Kemenangan ini terasa pahit.
"Yang mulia, kita harus keluar dari sini segera lepaskan baju besi anda." Gaara mencari-cari pintu atau jendela yang belum sepenuhnya terbakar.
Itachi menanggalkan baju zirah dan merobek jubahnya untuk membungkus tubuh Ino, melindunginya dari asap dan panasnya api. Kemudian mengendong wanita itu dan mengikuti Gaara berlari.
Sai yang telah merangkak keluar lebih dulu, bersama puluhan prajurit menyirami menyirami pintu barat dengan air agar apinya tidak jadi terlalu besar. Gaara melihat satu pintu sangat lembab ia ke sana dan menebas pintu yang menjadi arang . Menghirup udara segar. Gaara lega akhirnya mereka berhasil keluar.
"Yang mulia dan permaisuri selamat."
Mereka semua menjauh dari bangunan yang nampaknya sudah tak bisa diselamatkan lagi.
Sasuke tahu dia akan mati. Dia masih mencoba tertawa ketika melihat lautan api disekelilingnya. Dia akan mati seperti ini sendirian?
Dari tempat ia berbaring, Sasuke melihat sepasang kaki bersepatu hitam. Dengan sisa tenaganya ia mendongak untuk melihat rambut merah dan wajah yang dihiasi luka bakar.
"Karin? Kau yang melepaskan panah sialan itu?"
"Ini balasanku." Wanita itu berlutut mencabut anak panah dipunggung Sasuke. Mulut lelaki itu pun menyemburkan darah.
Ia membalikkan tubuh lelaki itu dan meletakkan kepalanya di pangkuan. Karin membelai rambut hitam Sasuke dengan lembut. "Aku membencimu. Membenci semua yang kau lakukan padaku."
"Mengapa kau tak pergi?" Sasuke memejamkan mata. Nafasnya sudah mulai habis. Panas, ia tak bisa lagi bernafas. Ia ingat sudah membakar Karin, ia juga membakar kemah Itachi dan sekarang tubuhnya pun akan dilalap api. Karma. Ini adalah karma.
"Karena aku mencintaimu sebodoh itu."
"Maafkan aku, Karin." ucapnya sasuke lirih dengan nafas terakhir yang bisa ia hembuskan.
Bibir Karin bergetar dan ia meneteskan air mata. Berdoa dikehidupan lain mereka bisa menemukan bahagia dan kedamaian. Ia terdiam pasrah melihat langit-langit mulai rubuh dan akan menimpa mereka. Ia memegang tangan Sasuke dan menutup mata. Benci dan cinta, obesesi dan penderitaan. Semua derita serta kekejamannya berakhir di sini. Sasuke tak pernah melihatnya sampai akhir, tapi ia tak akan membiarkan lelaki itu sendiri.
Semua orang melihat bagaimana aula kemegahan terbakar. Syukur angin tidak berembus kencang hingga api tak menjalar ke mana-mana.
Itachi menatap singgasana yang terbakar begitu pula dengan sejarah keluarga dan altar leluhurnya. Segalanya menjadi abu dan Ino berdiri bersamanya melihat dan menjalani semua ini.
"Kita menang Yang mulia, Kita telah berhasil merubah takdir."
"Dengan harga yang mahal." ungkapnya penuh sesal. "Yang pergi tak akan pernah kembali."
"Mereka berkorban untuk hal mulia. Istana bisa dibangun kembali dan anda jangan sampai menyia-nyiakan pengorbanan mereka." Ino sedih mengenang ayahnya.
Itachi meraih tanggan Ino, "Apakah kau akan selalu berdiri di sisiku? Membantuku membesarkan negeri ini?" tanya sang Kaisar dengan lirih dan penuh harap. Ia ingat kesepakatan mereka dan berharap Ino berubah pikiran.
Ino memandang jauh. Menganalisa pikiran dan hatinya. "Maaf, Yang mulia. Saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu saat ini."
Aula kemegahan hanya menyisakan abu dan puing-puing. Sang permaisuri tak tahu lagi dimana dia ingin berdiri.
…………. Bersambung…………
