Lemah adalah sesuatu yang tidak dapat diterima.
Makhluk lemah tidak akan dihargai. Dan akan selamanya menjadi pecundang.
Dia akan selalu tunduk pada otoritas yang mutlak.
Dia hanya akan menyusahkan makhluk lainnya. Seperti benalu.
Makhluk lemah akan dengan mudah tersingkirkan. Tidak peduli siapapun dia.
•••••
"Jelaskan maksudmu."
Suara baritone menyambut percakapan keduanya. Volume yang tidak begitu tinggi, akan tetapi seperti perintah yang mampu membuat orang lain gemetar.
"Tepat seperti yang kukatakan, Ayah. Aku bergabung dalam tim bas—"
—Brakk!
"Kau pikir aku tidak mendengarmu, hm? Yang kutanyakan adalah kejelasanmu mengenai hal ini! Tidakkah kau berpikir bahwa basket hanya kesia-siaan yang akan menyita waktu belajarmu?!"
Sang anak menggeleng kecil, sedikit iba dengan meja yang terkena imbasnya. "Tidak, Ayah. Maaf atas kelancanganku, tapi bukankah lebih baik jika aku bisa menguasai apapun? Seperti yang Ayah ketahui, nilai akademik ku sejauh ini yang paling baik dari seluruh siswa yang seangkatan denganku. Aku yakin ayah sudah mendengarnya dari guru dan kepala sekolah. Aku pun selalu memenangkan perlombaan sains yang kuikuti. Jadi aku berpikir, akan lebih baik jika aku juga bisa berprestasi dalam dunia non-akademik juga."
"Lagipula, Ayah tidak perlu khawatir mengenai itu. Aku pun sudah mencari tahu lebih dulu mengenai olahraga basket di Teikō dan mereka sudah banyak memenangkan pertandingan dan kejuaraan.", lugasnya.
Hening.
Dia paham betul apa yang dipertimbangkan oleh ayahnya. Namun dia pun tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bisa menikmati kegiatan yang disukainya sejak kecil. Walau tetap dibumbui dengan beban prestasi non-akademik, setidaknya dengan bermain basket dapat membuatnya masih waras dan merasa tetap hidup dari banyaknya tuntutan sebagai penerus keluarganya sampai saat ini.
Harus ada penyeimbang.
Dia bahkan tidak begitu ingat sejak kapan dia menyukai olahraga tersebut. Olahraga yang dimana fisik dan intelegensi harus bisa seimbang untuk bisa menang. Tapi satu hal yang dia tahu pasti, sejak dia mulai kembali mengenal bola oranye di sekolahnya, hatinya langsung terpikat. Dia merasa cukup bahagia dan sedikit nostalgia.
Ia lalu melayangkan pandangannya ke arah sang Ayah, hanya untuk mendapati dirinya ternyata sedang diamati oleh sepasang iris yang sama dengannya.
Tidak.
Bukannya dia begitu takut untuk bertatapan lama dengan pria di depannya itu. Hanya saja, sejak tadi jam antik yang berada di ruang kerja ayahnya itu terlihat lebih menarik daripada tatapan tajam ayahnya yang seakan-akan ingin menguliti seluruh isi kepalanya.
Ia berdeham.
"Kau tidak lupa prinsip hidup seorang Akashi, kan, Seijuurou?" tanyanya mempertegas.
"Tentu saja tidak, Ayah."
Masaomi menyilangkan kedua tangannya, "Baiklah. Pastikan kau tidak membuat malu marga keluarga kita. Kau seorang Akashi. Kekalahan dalam bentuk apapun tidak akan ditoleransi. Paham?"
—Wow. Cukup cepat.
"Iya, Ayah."
"Pergilah. Lanjutkan belajarmu."
Seijuurou membungkuk berterima kasih pada ayahnya dan dengan segera meninggalkan ruangan tersebut. Meskipun dia tidak bersorak kegirangan seperti anak remaja pada umumnya, tapi sinar di kedua matanya dan senyuman tipisnya sudah bisa membuktikan betapa bahagianya dia.
Setidaknya dia bisa tertidur nyenyak malam ini.
Tiga bulan telah berlalu semenjak negosiasi dengan ayahnya berakhir. Kini ia berada di first string klub basket Teiko bersamaan dengan keempat anak lainnya yang juga seangkatan dengan dirinya.
Perlu ditekankan, tidak semua orang bisa masuk di first string. Ada beberapa tes kemampuan dan uji coba yang harus diselesaikan oleh setiap peserta yang bahkan beberapa kakak kelas pun tidak mampu melulusi standarnya. Istilahnya, masuk dalam second string saja sudah hebat.
Dan di sinilah dia. Remaja beriris crimson tersebut mampu untuk langsung masuk ke first string tanpa harus melewati tahapan di third string dan second string seperti orang pada umumnya. Tentu saja, hal ini sudah merupakan keberhasilan pada langkah awal yang membuktikan bahwa ia mampu.
Selain dirinya, ada pula empat orang anak dengan surai rambut warna warni yang juga langsung diterima di first string. Seijuurou menilai bahwa keempat orang lainnya terbilang cukup... "menarik".
Yah— atau mungkin pelatihnya hanya menyukai warna warni rambut mereka yang kebetulan mampu melengkapi kapten tim basket first string pada saat itu. Nijimura Shuuzo. Secara, "Niji" berarti "pelangi", bukan? Seijuurou mengernyit heran.
"Apa yang kau pikirkan, nanodayo?"
"Akashi pasti sedang menghayalkan wanita-wanita seksi yang ada di majalah", ujar Aomine menyeringai.
—bukkk!
Satu lemparan botol berhasil dilayangkan oleh satu-satunya gadis berambut pink di lapangan first string.
Seijuurou bersyukur.
Oh ya, selain keempat pemain utama yang diterima di first string, pelatih juga menerima seorang manager klub basket yang handal. Cukup mencengangkan, karena gadis itu pun memiliki surai rambut yang unik seperti yang lainnya.
"Ahomine-kun! Akashi-kun tidak seperti kau! Jangan samakan dia denganmu, Aho!"
"Ittee—! Apaan sih, Satsuki! Sakit tahu!"
Ia mengelus kepalanya yang sudah menjadi korban kekerasan. Dan kemudian menjadi geram ketika mendengar tawa terbahak-bahak dari rekan setimnya, Haizaki Shougo.
"Good job, Momoi! Dia pantas menerimanya!", si surai abu memegang perutnya sambil terus tertawa geli.
"Haizakiii!"
Mereka pun memulai adegan kejar-kejaran bagai polisi memburu maling. Keduanya memiliki stamina yang cukup banyak dibandingkan dengan yang lain, sehingga kejar-kejaran seperti ini sama sekali tidak berpengaruh bagi fisiknya. Meskipun aksi mereka ini tidak bertahan lama.
Nijimura dengan sigap meng-tackle si surai abu ketika keduanya lewat di depan kapten tim mereka. Keduanya bahkan tidak menyadari kalau di situ pun ada pelatih.
Satu tumbang, yang lain pun tumbang.
Sekali mendayung, 2-3 pulau terlampaui.
'Perfect domino effect', batinnya bangga.
"Nijimura-senpai.."
Nijimura tersadarkan dari pikirannya. Ia mendapati surai merah kini berada dalam jangkauan iris matanya. Hanya dari tatapan, Nijimura paham. Seijuurou menuntut penjelasan. Pasalnya, hari itu bukanlah hari yang biasanya mereka gunakan untuk berlatih, tetapi semuanya harus berkumpul pada saat itu juga tanpa alasan yang jelas.
Tanpa diaba lagi, satu per satu penghuni lapangan tersebut berkumpul di sekitar Seijuurou.
Nijimura berdeham, sedangkan pelatih tertawa.
"Tidak apa.. Tidak apa.. Aku suka semangat masa muda. Semangat itu sangat penting agar bisa menjadi juara."
"Maaf jika sedikit lancang, tapi tumben Pak Pelatih hadir di sini, nanodayo.", tukas Midorima
"Tidak. Kau salah Midorima.", potong Seijuurou, "Pak Kepala selalu hadir di setiap latihan kita. Beliau biasanya memperhatikan kita dari atas balkon."
"Tajam seperti biasanya ya, Akashi-kun. Tidak heran mengapa Nijimura-kun memilihmu", ujar pelatih seraya tersenyum.
Memilih? Memilih apa? Soal bagaimana Seijuurou masuk di first string? Tentang terpilihnya dia menjadi wakil kapten segera setelah dia bergabung dalam tim? Atau soal bagaimana Seijūrou menjadi penjaga neraka kedua setelah Nijimura?
"Akashi-kun, silahkan maju ke depan."
'Iya, karena kalau ke belakang itu namanya mundur,' gumam Haizaki cengengesan.
Masa bodoh dengan Haizaki, dengan sigap Seijuurou berjalan keluar dari tempatnya yang sejak tadi tertutupi oleh badan si surai ungu. Semua mata tertuju padanya. Ia lalu berdiri tepat di samping pelatih yang kemudian mengarahkan dirinya untuk balik menghadap ke arah teman-teman setimnya.
"Mulai hari ini, Akashi Seijuurou akan menjadi kapten tim basket first string! Hal ini sudah dipertimbangkan dan didiskusikan bersama dengan Nijimura-kun dengan melihat bagaimana potensi dan kontribusi yang sudah dilakukan oleh Akashi-kun hingga saat ini. Untuk itu, aku harap tidak ada yang menentang akan hal ini.
Dan untuk Nijimura Shūzo, terima kasih atas kerja kerasmu dari awal hingga saat ini. Berkat pimpinanmu selama masa jabatanmu sebagai kapten di tim ini, tim basket Teiko tetap mampu menjadi yang terbaik."
Nijimura membungkuk, "Aku sangat bersyukur untuk kesempatan yang sudah dipercayakan padaku. Dan untuk kerja sama kalian selama ini, aku ucapkan terima kasih! Semoga tim basket Teiko tetap berjaya dan semakin maju!"
Alasannya?
Nijimura harus pindah dari Teiko ke sekolah di kota lain karena ia harus merawat ayahnya yang sakit. Dan sejak saat itu, ia tidak pernah lagi terlihat.
Waktu berlalu dengan cepat.
Seperti biasanya, tim basket first string berulang kali memenangkan kejuaraan antar sekolah. Bahkan tak sekalipun mereka pernah menurunkan pemain cadangan mereka ke dalam pertandingan. Namun tetap saja, Seijuurou merasa ada yang kurang. Ia tidak suka fakta yang di mana mereka pada akhir-akhir ini, walau berhasil memenangkan pertandingan, ada kalanya mereka hampir dikalahkan. Ia butuh "sesuatu" atau "seseorang" yang mampu mengubah alur permainan. "Sesuatu" yang bisa mengubah kebiasaan bermain mereka.
'A Phantom Sixth-man misalnya', batinnya.
Seijuurou membenci ini. Ia merasa lemah karena belum menemukan jawaban. Ia sudah paham mengenai akar dari masalahnya saat ini. Tapi tetap saja belum menemukan "siapa" atau "apa" yang dapat memperbaikinya.
Menyebalkan.
"Aree? Akashi-kun?"
Seijuurou tersentak, tapi tetap memasang tampang wibawanya. Ia lalu melirik ke arah sumber suara tersebut.
Suara Momoi ternyata cukup menyadarkannya kembali. Tanpa ia sadari, ternyata hari sudah mulai gelap. Kepalanya penat. Ternyata ia terlalu lama tenggelam dalam pikirannya, sampai-sampai tidak sadar kalau di ruang kelas itu hanya tersisa dirinya saja seorang diri.
Surai pink hinggap di pintu kelas, "Akashi-kun belum pulang?"
"Hanya memikirkan sesuatu. Kau sendiri kenapa belum pulang, Momoi-san?"
Momoi menepuk jidatnya, "Ah ya! Akashi-kun, apa kau melihat Dai-chan? Seharusnya kami pulang bersama hari ini. Tapi sejak tadi aku belum menemukannya."
"Bukankah kalian sekelas?"
"Iya. Tapi aku ditugaskan untuk membawa kertas-kertas ujian ke ruang guru." Mulutnya mengerucut. "Mou! Padahal hanya kusuruh tunggu sebentar saja!", ujarnya kesal.
Seijuurou meraih tasnya, "Tenanglah. Aomine bukan tipe orang yang akan meninggalkanmu begitu saja."
Memastikan tidak ada lagi yang tertingal, kakinya melangkah keluar dari ruang kelasnya.
"Ikut aku. Akan kutemani mencari Aomine."
"Terima kasih, Akashi-kun!"
Seijuurou dan Momoi mulai mencari Aomine di atap sekolah mereka. Kali ini atas saran dari si surai pink. Ia bilang bahwa atap sekolah adalah sarang tempat Aomine bertelur.
Membolos maksudnya.
Tapi hasilnya nihil.
"Bagaimana kalau kita mencarinya di gedung olahraga? Aku punya firasat bahwa ia berada di situ, Momoi-san."
Kali ini si surai merah yang menyarankan.
"Aku sudah kesana, Akashi-kun. Tapi dia tidak ada juga di sana."
"Apa kau mencarinya di seluruh gedung? Atau hanya mencari di gedung pertama saja? Toh sekolah kita kan punya 5 gedung olahraga."
Momoi menghentikan langkahnya.
"Belum sih," Ia melanjutkan langkahnya kembali. Malas betul dia kesulitan seperti ini hanya karena satu makhluk tidak jelas.
"Kenapa, Tetsu?"
"Aku menyerah, Aomine-kun. Pada basket, pada mimpiku. Aku yang sekarang ini, takkan mungkin bisa bermain basket seperti dirimu."
Aomine menatap surai baby blue di hadapannya dengan tatapan tidak menyangka separuh kecewa. Pasalnya, remaja bernama Tetsu ini merupakan teman bermain basketnya di luar teman se-tim nya. Mereka berdua sudah lama bermain dan berlatih bersama sekalipun Tetsu sendiri berasal dari third string.
Aomine pertama kali bertemu dengan Tetsu di lapangan third string. Saat itu dia cukup penasaran dengan rumor yang mengatakan bahwa lapangan third string sedang dihantui oleh hantu jahat yang katanya memiliki dendam karena pada saat hantu tersebut masih hidup, ia tidak mampu mengikuti kerasnya latihan basket di sekolah itu dan akhirnya bunuh diri karena merasa putus asa.
—Brrr.
Remaja berkulit eksotis itu cukup penakut sebenarnya. Tapi ia sudah terbiasa di sekitar iblis berwujud manusia dengan surai merah, jadi tidak masalah jika ia bertemu dengan kawanan hantu lainnya. Paling hantu tersebut akan kalah jika Aomine menyebut nama kapten mereka.
Namun, alih-alih bertemu dengan hantu, ia malah bertemu dengan malaikat.
Tidak ada iblis berwajah polos nan unyu seperti Tetsu!
Dan lebih bagusnya lagi, anak polos tersebut mencintai basket. Seperti dirinya! Bahkan Tetsu lebih sering berlatih dan bermain basket daripada dia.
Itulah alasannya, mengapa kalimat yang diucapkan oleh sahabatnya ini cukup membuat dirinya terguncang.
"Kenapa, Tetsu?! Tidak ada yang menyukai basket lebih daripada dirimu! Bahkan akupun belajar cinta basket dari kau! Tapi kenapa sekarang kau malah ingin berhenti?"
Tetsuya mencengkram surat pengunduran dirinya dengan erat. Kepalanya tertunduk, "Aomine-kun tidak akan mengerti. Tidak peduli sekeras apapun aku berjuang, seberapa seringnya aku berlatih, aku tetap payah dalam bermain basket.
Bahkan tim basket third string sudah menyerah menghadapi diriku. Aku tidak ingin lagi menyita waktu dan tenaga siapapun agar bisa selaras denganku. Kau tidak pantas bermain basket denganku, Aomine-kun. Kau hanya menyia-nyiakan potensimu jika terus bermain denganku."
'Oke. Akan kupukul anak-anak di third string nanti. Bisa-bisanya mereka membuat Tetsu putus asa seperti ini!,' batinnya geram.
"Berhentilah berkata omong kosong seperti itu, Tetsu! Tidak ada orang yang payah apalagi jika ia berlatih setiap hari!"
"Kau tidak mengerti!," hardiknya.
"DAI-CHAN! MOU! DI SITU KAU RUPANYA!"
Aomine tersentak untuk kedua kalinya. Ia menolehkan kepalanya ke belakang, menampakkan Momoi yang sedang on-fire dan Seijuurou yang tanpa ekspresi dari balik pintu gedung tersebut.
Ia mendengus, "Momoi dan Akashi rupanya."
"Dai-chan bodoh! Kenapa tidak bilang kalau kau mau kemana?! Kutinggal sebentar saja malah pergi keluyuran tidak jelas! Menyusahkan!"
Aomine hanya mengibaskan tangannya malas. Ia kehilangan mood untuk berdebat.
"Lagian kau ngapain sendirian di sini?!"
"Hah? Sendirian? Aku tidak send—!"
"Ugh.."
—brukk!
Seketika semuanya terkejut yang kemudian fokus mereka tertuju pada satu orang yang separuh bertaruh nyawa.
DOUMO~
Setelah sekian lama vakum dari dunia penulisan, akhirnya tergerak lagi dengan cerita baru :))
#mohonampunihamba
Read n Review?
