Attack on Titan milik Hajime Isayama
Fanfiksi oleh KiRyuu
.
.
"Eh, ada ramai-ramai apa itu?"
Armin Arlert, si kutu buku yang baru saja memasuki area sekolah harus kembali membetulkan kacamata tebalnya—untuk kali kedua puluh sejak ia berangkat dari rumah—guna melihat dengan jelas apa gerangan gerombolan besar di depan sana. Laptop yang ia bawa teronggok tanpa perhatian di tangan kirinya, padahal persis sebelum ini, benda tersebut masih aktif digunakan oleh si empunya yang kini memilih untuk melongo khidmat.
Di samping Armin, berdiri Mikasa Ackerman, dengan gaya busana dan berbicara eksentrik yang sepenuhnya normal dipakai oleh siswi SMA manapun di pusat Distrik Stohess, menjawab dengan raut wajah masam, "Ada aura hitam menjijikkan penuh dendam di depan sana." Lantas ia meludah ke sebelah kiri sebagai gestur tolak bala, lalu melakukan pemberkatan untuk diri sendiri dan sobatnya.
Armin mengangguk pelan. Mikasa selalu bisa menyimpulkan banyak hal absurd ke dalam kalimat simpel yang mudah dimengerti orang-orang.
"Anu, kita lanjut masuk saja, Mikasa," ucap Armin acuh tak acuh, tidak berniat ikut-ikutan bergabung dengan sekumpulan siswa itu. "Oh, iya, kita harus laporkan pada guru."
Dengan begitu, Armin dan Mikasa memilih memutari gedung untuk masuk lewat pintu samping, menghindari keramaian.
Halaman parkir Karl Fritz Academy pagi ini dipenuhi oleh para murid yang berkerumun mengelilingi sesuatu. Beberapa di antaranya siaga dengan ponsel terangkat; merekam kejadian yang barangkali jika diunggah ke media sosial bisa melejitkan ketenaran akun masing-masing. Ada yang bersorak-sorak seperti sedang menonton pertandingan basket di gimnasium, ada yang menggerutu karena akses menuju pintu utama gedung sekolah diblokade massa.
Di tengah kerumunan, berdiri dengan babak belur Jean Kirstein, bad boy yang terkenal memiliki hobi paling produktif seantero sekolah—sebut saja menendang bokong murid lain atau menumpahkan cup noodle di bangku orang—terbahak leluasa saat melihat lawan bertarungnya jatuh terduduk di hadapan mata. Adalah Reiner Braun, pemegang kasta tinggi sekelas jock, menyentuh rahang sendiri usai kena hantam besi penyok yang saat ini pun masih ada di tangan Jean.
"Berengsek," ucap Reiner pelan. Harga dirinya sudah turun anjlok layaknya nilai matematika si slacker Connie Springer.
Anak-anak di sekeliling tidak membantu. Banyak yang melempar jempol terbalik seraya melafalkan boo dengan antusias, merayakan kekalahan jock sekolah di tangan murid tidak penting sekelas bad boy. Beberapa lainnya menggumamkan rekaman anyar adegan tersebut akan mendekam lama di internet. Namun ada pula yang bertanya-tanya dari mana gerangan Jean mendapat batang besi sepanjang tongkat bisbol itu secara mendadak, yang jujur saja memberi Reiner nyala lampu khayali di atas kepalanya.
"Heh, pengecut," kata Reiner sambil bangkit berdiri. "Jangan gembira cuma karena kau berhasil memukulku dengan besi antah-berantah. Tidak ada kehormatan di situ."
"Siapa yang peduli dengan kehormatan, bung?" Jean menaikkan kedua bahu, mulutnya menyunggingkan senyum cemooh. "Ini cuma kegiatan harian di parkiran sekolah."
"Kegiatan harian? Mengganggu murid-murid cewek?"
"Bung, bersihkan telinga badakmu. Kubilang aku tidak mengganggu Historia Reiss."
Dan seketika, Reiner Braun maju menghadiahkan satu tinjuan lagi di area abdomen Jean Kirstein.
Sorak-sorai kembali terdengar dari penonton yang tadinya mulai merasa bosan menyaksikan obrolan sesaat antara dua orang pusat perhatian tersebut. Salah satunya adalah Hitch Dreyse, queen bee wannabe, yang sejak awal sudah merekam perkelahian tersebut dan memanfaatkan momen obrolan tadi untuk mengunggah sebagian rekaman ke media sosial dengan caption beken seperti "Jock vs Bad Boy, Karl Fritz Academy, hari yang bagus untuk Jock mengelap pantatnya!"
"Hitch, ayo masuk ke kelas." Marlowe Freudenberg, preps yang menjalankan tugasnya sebagai murid teladan nan rapi setiap saat—namun entah kenapa selalu beredar bersama Hitch—akhirnya berkata demikian setelah sebelumnya mengecek arloji berkali-kali. "Sudah mau bel."
"Nanti, ah," jawab Hitch santai. Ia menyorot ponselnya ke arah perkelahian dan sesekali ke arah kerumunan untuk menunjukkan reaksi di wajah penonton. "Lihat, semua orang bersenang-senang!"
Tak lama setelah memasuki ronde dua pertarungan, semua pandangan teralihkan menuju dua orang guru yang datang membubarkan massa. Yang satu adalah guru sejarah, Mr. Erwin Smith, dengan muka garang dan alis tertaut seperti biasa. Satu lagi adalah Mr. Moblit Berner, guru bimbingan konseling yang alih-alih marah, malah lebih memilih memasang wajah lelah. Mungkin karena dari sekian banyak siswa remaja usia sekolah di dunia ini, ia harus berurusan dengan yang paling nakal dan hobi membuat pusing tujuh keliling.
"Semuanya, masuk ke kelas masing-masing!" Mr. Smith menepuk tangan dan berseru lantang. Seolah dikomandoi, bel sekolah tanda pelajaran pertama dimulai pun berdering.
Mr. Berner memisahkan Jean dan Reiner yang masih saling adu tatap—Reiner dengan pandangan kesal, dan Jean dengan pandangan meremehkan—dan menggiring dua murid tersebut ke ruang konseling. Sementara Mr. Smith mengawasi para siswa lain yang masuk ke gedung sekolah beramai-ramai.
"Jadi, ada apa ini?"
Mr. Berner membuka sesi interogasi sedetik setelah menyuruh Jean dan Reiner duduk di bangku ruang konseling. Kasus ini lumayan menarik perhatiannya. Jean Kirstein berkelahi dengan sesama murid adalah satu hal. Namun Reiner Braun, murid dengan reputasi baik, adalah lawannya? Harus ditelaah lebih lanjut.
"Jean mengganggu Historia Reiss di parkiran," jawab Reiner dengan emosi tertahan.
Jean memutar bola mata. "Fitnah. Saya tidak melakukan itu. Sama sekali." Ia mengeluarkan jari telunjuk dan diarahkan kepada Reiner. "Orang ini tiba-tiba datang dan meninju saya yang sedang berdiri di parkiran."
"Cuma orang aneh yang berjalan mondar-mandir di parkiran satu jam sebelum bel masuk."
"Hah? Semua orang boleh berjalan mondar-mandir di parkiran, Itu bukan hal wow."
"Lalu satu jam sebelum bel masuk? Kau saja biasanya selalu datang telat ke kelas, 'kan, Jeanboy?"
Panggilan itu membuat kepala Jean mendidih lagi. Tidak ada yang boleh memanggilnya Jeanboy, apalagi di sekolah. Terlebih lagi pelakunya adalah jock yang sok jadi penguasa. Di depan seorang guru pula.
Jean kembali melayangkan tinju ke arah Reiner, yang untung saja berhasil diinterupsi oleh Mr. Berner. "Yah, anak-anak, tidak ada adu tinju di ruang konseling," katanya. "Jadi, Reiner, kau melihat Jean mengganggu Historia Reiss di parkiran?"
Yang ditanya malah terdiam. Jean meliriknya dengan kesal dan bertanya-tanya omong kosong apa yang akan Reiner keluarkan.
"Tidak. Saya tidak melihatnya dengan mata sendiri," jawab Reiner. Kemudian melanjutkan perkataan sebelum Jean memotong, "Saya dapat pesan dari Ymir bahwa Historia diganggu Jean. Jadi saya segera datang ke parkiran."
"Dan langsung meninju orang tanpa basa-basi," sahut Jean ketus. "Nah, kita panggil Ymir dan Historia ke sini sekalian. Bukankah begitu seharusnya, Pak Konselor?"
Mr. Berner menghela napas berat. Sejauh ini, fakta yang didapat adalah Reiner menerima pesan dari Ymir bahwa Historia diganggu Jean di parkiran. Ia sudah membaca pesan teks itu langsung di ponsel Reiner. Kebetulan Jean benar ada di parkiran, satu jam sebelum bel masuk sekolah, yang pada hari biasa tidak mungkin anak itu sudah datang. Reiner yang pertama memantik perkelahian. Belum ada bukti Jean mengganggu Historia, namun mengingat rekam jejak kenakalan, bukan hal mengejutkan jika Jean melakukannya.
"Saya akan panggil Ymir dan Historia nanti," ucap Mr. Berner. "Untuk kalian, karena sudah melanggar peraturan, yaitu berkelahi dan membuat keributan di lingkungan sekolah, tetap akan dapat hukuman."
Jean mengangkat bahu. Hukuman bukan hal baru untuknya. Berbeda dengan Reiner yang kini bergerak tak nyaman di bangku karena memiliki kekhawatiran sendiri.
"Akan saya ikuti hukuman sesuai prosedur," kata Reiner. "Saya berjanji tidak akan mengulangi kesalahan. Karena itu, Mr. Berner, mohon tidak memberi tahu ibu saya soal ini—"
Jean tertawa megejek. "Heh, masih takut sama mama?"
Reiner memilih mengabaikan pancingan Jean, menunggu respons Mr. Berner. Dan sialnya, Mr. Berner tidak mengabulkan permintaan tersebut. Ibunya akan tetap diberi tahu mengenai kejadian ini, yang membuat Reiner hanya bisa meringis. Ia tidak masalah dengan jenis hukuman apapun yang diberikan sekolah. Namun jika ibunya tahu ia melakukan sebuah pelanggaran besar, ia harus menghadapi konsekuensi lanjutan.
"Perkelahian di lingkungan sekolah, lima puluh poin. Hukumannya adalah skors selama tiga hari, mulai besok," ucap Mr. Berner seraya menulis beberapa patah kata di buku acara. "Jangan lupa untuk tetap mengerjakan pekerjaan sekolah dan pekerjaan rumah. Saya akan hubungi orang tua kalian nanti."
"Mr. Berner, tolong pertimbangkan kembali—" Reiner mencoba bernegosiasi, yang hanya ditanggapi Mr. Berner dengan telapak tangan tanda pembicaraan selesai.
Jean bangkit lebih dulu dari bangkunya. Kalau dihukum skors, artinya ia punya jatah libur tiga hari. Soal tugas tidak usah terlalu dipikirkan. Ada Armin Arlert atau Marco Bodt yang bisa ia palaki untuk memberikan jawaban.
Kemudian, pintu ruang konseling terbuka, menampilkan Mr. Smith dengan wajah lebih marah daripada saat pembubaran massa tadi. "Ada kerugian materiel dari perkelahian dua anak ini." Ia mengeluarkan ponsel dan menunjukkan foto sebuah mobil yang terparkir di parkiran sekolah dengan kondisi spion kanan copot dan kaca jendela bagian penumpang di sebelah sopir retak. "Mobil saya mengalami kerusakan. Bisa kalian jelaskan?"
Jean dan Reiner saling tatap penuh tanda tanya. Mereka tahu yang mana mobil Mr. Smith. Semua murid tahu yang mana mobil Mr. Smith. Dan mereka yakin tidak ada satu pun dari mereka menyentuh mobil itu selama perkelahian. Malah, seingat mereka, lokasi perkelahian bukan di dekat mobil itu.
"Anda tidak akan percaya kalau saya bilang tidak ada satu pun dari kami menyentuh mobil Anda apalagi membuatnya hancur seperti itu. Jadi, oi, Reiner, jelaskan padanya," ucap Jean.
Reiner mengangguk. "Jean benar. Kami yakin bukan kami penyebabnya."
"Cuma kalian yang berkelahi sampai babak belur dan membuat kerusuhan di parkiran pagi ini, apa saya salah?" tanya Mr. Smith retorik. "Ganti rugi materiel akan saya tagih ke orang tua kalian melalui Mr. Berner. Sekarang, hukuman tambahan—"
Tiba-tiba, telepon meja Mr. Berner berdering. Setelah melakukan gestur meminta semua orang untuk diam, ia mengangkat telepon. Wajahnya berkerut dalam, seperti mendengar kabar tidak mengenakkan. Telepon itu singkat, dan ternyata dari salah satu orang tua murid yang melaporkan bahwa di media sosial beredar video-video perkelahian di Karl Fritz Academy dan yang membuat orang tua khawatir adalah video-video tersebut akan memengaruhi reputasi sekolah di mata masyarakat dan universitas.
Mr. Smith mengetuk-ngetuk jari ke tangannya yang terlipat di depan dada. Masalah ini jadi kemana-mana.
"Woah, video yang disebar Hitch dapat engagement besar." Ucap Jean sambil menggulir halaman media sosial. "Kira-kira harus kita apakan Hitch, ya?"
"Nanti saya juga akan panggil Hitch. Bersama Ymir dan Historia." Mr. Berner berkata sambil memijat ujung hidungnya.
Jean mengangguk puas. Menjalani hukuman beramai-ramai terdengar asyik.
"Kalian berdua, pastikan anak-anak yang mengunggah video perkelahian ke internet sudah menghapus semua unggahan itu maksimal siang ini," ucap Mr. Smith pada Reiner dan Jean, mengingat dua murid tersebut punya kemampuan untuk memengaruhi murid-murid lain, dengan cara negatif. Hal itu bisa dimanfaatkan sekarang. "Hukuman kalian akan saya kurangi setengah. Semula membuat PowerPoint bahan ajar sejarah sebanyak lima bab. Sekarang tiga bab saja."
"Turunkan jadi dua bab kalau mau semua unggahan dihapus." Jean memberi tawaran. Reiner menatapnya seolah berkata 'apa kau tidak paham situasinya, idiot?'
"Akan kami laksanakan sesuai perkataan Mr. Smith," ucap Reiner buru-buru yang membuat Jean memutar-mutar bola mata. "Saya yakin para murid akan kooperatif demi nama baik sekolah."
Mr. Smith mengangguk sekali, lalu keluar lebih dulu dari ruang konseling.
"Baiklah, pertemuan selesai. Silakan penuhi hukuman dari Mr. Smith dan obati luka kalian di UKS." Mr. Berner berkata final. "Saya akan kabari orang tua kalian."
Reiner berterima kasih dengan pasrah dan segera meninggalkan ruangan. Setelah Reiner menghilang dari pintu, Jean berbalik menghadap Mr. Berner dan berbicara mengenai beberapa hal lain.
"Saya hanya ingin memberi tambahan informasi, alasan saya datang ke sekolah lebih pagi dari biasanya dan mondar-mandir di parkiran," ucap Jean dengan nada yang lebih serius. Ia menunjukkan sebuah ruang obrolan di ponselnya kepada Mr. Berner. Pesan dari nomor tidak dikenal. "Kalau tidak mau foto aib saya disebar, saya harus datang pagi-pagi sekali. Menunggu di parkiran."
.
.
Terima kasih sudah baca :D
Aku bisa ditemui di twitter (usn: cheerstein)
