Disclaimer: Shingeki no Kyojin milik Isayama Hajime-sensei [saya tidak mengambil keuntungan dalam bentuk apa pun. cerita ini dibuat hanya sebagai penyalur rasa cinta kepada OTP dan terapi menulis]

Warning: au, miss typo(s), and other stuffs.

Terima kasih yang sudah mampir. Selamat membaca!


.

.

interim

[sementara / sementara waktu]

a LeviHan fanfiction, written by Rou

.

.


[i]

Dari sekian banyak hal dalam hidupnya, Levi memahami satu kepastian bahwa pada akhirnya kita semua akan ditinggalkan, juga meninggalkan. Dunia berubah dan berputar dengan cara paling rahasia. Mengganti musim ke musim, mengubah warna langit dari biru menjadi kelabu, dan menjadikan ingatan sebagai jalan pulang yang kian memudar dari waktu ke waktu.

Levi pikir, manusia lebih banyak tinggal di dalam kepalanya daripada di luar batok kepalanya itu. Karena seringnya mendiami sesuatu yang terlampau jauh di masa lalu. Harusnya tidak ada yang stagnan di dunia ini, kecuali keinginan manusia kembali kepada masa kanak-kanak yang terdengar mustahil dan tidak akan pernah terjadi—sesuatu yang pernah menjadi keinginan Levi juga, sebelum ia mengenal perempuan itu.

Levi tidak pernah salah mengingat jika itu tentang Hanji. Seragam putih abu-abu, teman di meja yang sama, dan pandangan Hanji. Mata karamel gadis itu terlihat berbeda dengan yang lain. Ia telah banyak melihat mata, namun Levi seolah tenggelam ke dalam mata Hanji. Tidak ada mata yang seperti Hanji bagi Levi. Dan sejak saat itu Levi melupakan jalan pulang.

"Levi, kau siap?"

"Butuh berapa jam lagi untuk memegang tanganmu, Mata Empat? Melelahkan."

"Tunggulah, Levi. Erwin akan segera datang. Aku merasa sangat gugup sampai-sampai tidak bisa bernapas."

"Hmm, aku tahu."

Karena Levi pun sedang berusaha meingat-ingat bagaimana cara bernapas dengan benar. Dadanya terasa sesak dan menyakitkan. Seolah tidak ada udara yang terpompa ke dalam bilik jantungnya.

Hanji Zoe adalah perempuan pertama yang menyulut benci dalam dada Levi sekaligus memecah dinding beku di sekelilingnya. Mengenal perempuan itu, Levi seperti melihat bara yang memercik dari kembang api di malam pergantian tahun, terang dan berpendar. Semakin lama Levi berada di sampingnya, semakin hangat gelombang kehidupan yang Levi inginkan. Semakin serakah ia untuk terus bernapas. Tetapi itu mustahil.

"Levi, kau akan bernyanyi hari ini, bukan? Kau sudah berjanji padaku."

"Sebaiknya kau tutup mulutmu dan tetaplah melangkah ke depan, Hanji. Para undangan sedang menatapmu."

"Aku tidak akan jatuh kan, Levi?"

"Aku memegangmu. Kau tidak akan jatuh."

"Baiklah. Aku percaya."

Semakin lama ia hidup, semakin Levi mengetahui bahwa kenyatannya tidak ada manusia yang tidak menyakiti. Setiap manusia pernah terluka dan saling melukai, entah disadari atau tidak. Begitu pun dirinya. Harapan akan hidup yang terus tumbuh dalam dirinya berbanding terbalik dengan kemampuan tubuhnya yang terbatas. Levi sekarat, tetapi ia telah memilih untuk jatuh cinta kepada Hanji—dalam, serius, tanpa ampun.

Sialnya, hari ini Hanji akan menjadi milik Erwin, selamanya. Pernikahan mereka digelar mewah dan meriah. Levi yang menolak kembali ke masa kanak-kanak itu kini sendirian, di dalam tubuhnya yang sakit.


[ii]

Undangan pernikahan itu tiba di atas meja Levi saat pelayarannya berlabuh di kota Paradise. Levi yakin ia telah berada di belahan terjauh bumi, tetapi Hanji Zoe masih bisa menemukannya. Seakan jangkauan tangan Hanji lebih luas dari dunia ini. Levi berharap itu sepucuk surat, namun harapannya menguap tertelan angin laut ketika ia membukanya.

"Kapten, surat untukmu sudah aku letakkan di ruangan, ya!" Jean menjelaskan kepada Levi seakan Jean lah yang akhirnya mendapatkan surat setelah delapan bulan mengarungi samudera. Pemuda itu nampak begitu semangat ketika keluar dari ruangannya. "aku tidak percaya ada seseorang yang menunggu kepulanganmu!"

"Berhenti mengoceh dan lanjutkan pekerjaanmu, Bocah. Kita hanya berlabuh enam hari."

"Kau yakin tidak ingin pulang, Kapten?"

Levi tidak mengatakan apa-apa, seperti halnya ia yang tak memiliki jawaban atas dirinya sendiri.

Tetapi—tetapi, enam hari menjadi begitu singkat ketika tanpa Levi sadari pikirannya lebih dulu hidup untuk memesan tiket kereta tercepat, membungkus pakaian terbaiknya ke dalam kopor, dan menyeret dirinya yang sekarat untuk datang ke hadapan Hanji—memenuhi undangan pernikahan perempuan itu.

Datanglah, Levi. Aku telah bersumpah jika pernikahan ini hanya akan berlangsung jika kau hadir. Hanji tidak pernah gagal mengendalikan diri Levi seutuhnya, sepenuhnya. Dan apabila itu Hanji, maka tidak ada yang lain.


[iii]

Hanji Zoe dalam balutan gaun putih nampak seperti bunga yang mekar di bawah cahaya rembulan. Terang, bersinar, dan memabukkan. Tidak, Hanji lebih menawan dari bunga di mata Levi. Hanji lebih harum dari embun pagi saat fajar, dan setingkat lebih cerah dari langit yang menaungi angkasa. Perempuan itu adalah matahari yang menyoroti hidup Levi hingga menyentuh cahaya.

Jika Levi seorang petualang, maka Hanji adalah peta yang memberi arah ke mana Levi harus melangkah. Jika Levi seorang pendaki, maka Hanji adalah sebuah kompas bagi perjalanannya yang jauh. Jika Levi seorang pelupa, maka Hanji adalah ingatan-ingatan akan jalan pulang ke rumah. Seperti itulah perempuan itu di matanya, kepulangan yang utuh.

Andai pun Levi sebongkah luka, maka Hanji adalah selembar kasa—lembut, mengikat, dan menyembuhkan.

"Terima kasih, Levi, sudah bersedia menjadi saksi utama pernikahanku dan Erwin. Ingatlah untuk berlabuh kembali di kota ini. Sampai jumpa."

Levi tidak lagi menoleh ke belakang. Ia tidak lagi melihat Hanji yang tersenyum. Seluruh ingatannya telah merekam keseluruhan Hanji. Tidak ada jalan pulang untuk melupakan. Sebab itu Levi memilih sembunyi. Di malam ke tiga kapalnya bertolak dari kota Hanji, Levi membiarkan tubuhnya disembunyikan laut, yang luas, dingin, dan tidak bertepi.

Levi telah membiarkan tubuhnya melayang ke dalam laut jauh hingga ke dasar, mengombak, hingga kemudian berhenti bernapas.


(end)

[13 Desember 2024]