Tabrakan Dunia

Summary:

Pada tahun 2025, di kota Suo, negara Neotara, kehidupan berjalan normal hingga suatu pagi yang cerah di hari Senin. Sekelompok remaja berlarian menikmati hari, ketika tiba-tiba gempa dahsyat mengguncang seluruh dunia. Gempa ini diikuti dengan munculnya keretakan spasial yang memunculkan monster-monster mengerikan dan gelombang energi kosmik yang sangat kuat. Akibatnya, sebagian manusia mulai membangkitkan kemampuan unik dan tak terbayangkan, mengubah kehidupan mereka selamanya.

Genre: Pertarungan, Kepunahan, Tragedi, Psikologis, Fantasi dan sebagainya (kalau baca nanti tahu sendiri, males nulis semua)

Disclaimer :

Semua karakter disini bukanlah punya saya dan sumbernya bisa kalian temukan di Google dengan mengetikkan nama lengkap mereka.

Chapter 4 : Masa lalu dan Arona-chan yang Imut!

Cuplikan

Chapter 4: Masa Lalu

{Eden Kingdom}, kerajaan raksasa yang pernah berdiri dengan kebanggaan dan kemegahan, kini hanya menjadi bayangan dari kejayaannya dulu. Bangunan-bangunan yang pernah menjadi simbol kemakmuran, hancur tak berdaya di bawah tangan iblis yang muncul dari portal ruang-waktu. Teknologi yang dahulu menjadi kebanggaan bangsa ini, kini tertelan dalam kehancuran.

Di pinggiran barat kota [Firdaus], sebuah kompleks bangunan yang dulunya dikenal sebagai sekolah bangsawan terkemuka, sekarang berdiri dengan megah meski sebagian besar dari itu telah hancur. Sekolah itu tidak hanya tempat bagi para anak bangsawan untuk belajar, tetapi juga tempat di mana nilai-nilai luhur dan perilaku yang mulia seharusnya ditanamkan—meskipun, kenyataannya, korupsi sering kali menyelinap di balik pintu-pintu megahnya.

Di salah satu koridor sekolah bangsawan terkemuka yang sekarang penuh dengan bau kematian dan darah, seorang perempuan muda dengan sayap putih mungil duduk dengan anggun di atas tumpukan mayat. Pedang besar bersinar di tangannya, masih meneteskan darah iblis yang baru saja dihabisinya. Meskipun sebagian besar kompleks bangunan telah runtuh dan hancur, sisa-sisa keagungan dan kemegahan tempat ini masih terasa di tengah kehancuran.

"Keadaan menjadi semakin buruk. Aku harap Gorila itu baik-baik saja," gumam gadis itu, sembari mengibaskan pedang besar yang ada di tangannya, membersihkannya dari sisa darah.

Dari belakangnya, seorang gadis lain mendekat dengan langkah ringan namun pasti. Rambut emasnya yang berkilau memantulkan cahaya redup yang masih tersisa dari siang yang telah berlalu, menambahkan aura yang hampir tidak manusiawi pada dirinya. Gadis ini, yang bernama Seia, berjalan dengan anggun menuju gadis bersayap putih, diikuti oleh serombongan gadis-gadis lainnya yang mengenakan seragam yang terlihat lebih 'sederhana' dari keduanya. Meski demikian, di balik wajah-wajah mereka yang tenang, mereka semua tahu bahwa waktu untuk bertahan hidup sudah semakin tipis.

"Jangan berbicara seperti itu, Nagisa. Bagaimanapun juga, dia adalah teman kita. Aku yakin dia akan baik-baik saja," kata Seia dengan nada suara yang lembut namun tegas.

Nagisa mendesah pelan, mengayunkan pedangnya sekali lagi untuk memastikan tidak ada setetes darah pun yang tersisa. "Aku hanya khawatir, Seia. Tidak ada orang selain kalian berdua yang kuberi panggilan khusus, kau tahu?"

Seia tersenyum tipis, matanya mengamati medan pertempuran yang dipenuhi dengan mayat dan darah di sekitarnya. "Aku tahu. Dan aku juga khawatir. Tapi kita harus tetap fokus. Tidak ada yang tahu kapan iblis berikutnya akan muncul."

Seia terdiam sejenak, lalu mengangguk kecil. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia mengangkat tangannya, memanggil kekuatan yang tersimpan dalam dirinya. Energi keemasan berkumpul di sekeliling tangannya, dan dengan gerakan lembut namun kuat, sebuah busur muncul dari cahaya yang terbentuk. Detail rumit pada busur itu terlihat jelas, dengan relief pohon dan bunga yang seolah-olah hidup dalam emas yang bersinar.

Tiba-tiba, suara geraman keras menggema di sepanjang lorong yang terbuka. Sosok besar setinggi tiga meter muncul dari bayangan, dikelilingi oleh pasukan iblis yang jumlahnya tak bisa dihitung dengan pasti. Makhluk itu memancarkan aura gelap yang menyelimuti sekitarnya, membuat udara terasa berat dan penuh dengan ketakutan.

"Bersiaplah! Kita tidak punya banyak waktu!" perintah Nagisa dengan tegas, matanya tak pernah lepas dari sosok besar itu. Dalam hitungan detik, ia telah berdiri di depan, menyiapkan pedangnya yang besar. Beberapa gadis yang berada di belakang Seia juga maju ke depan, membentuk formasi perlindungan yang solid.

Gerakan cepat terlihat dari tangan para gadis lainnya. Masing-masing mengumpulkan energi mereka, membuat senjata dengan berbagai bentuk dan ukuran muncul di tangan mereka. Senjata-senjata itu bukanlah senjata biasa; mereka terbuat dari energi murni yang diambil langsung dari esensi kehidupan, menjadikannya sangat kuat dan mematikan bagi iblis.

"ROAR!" Iblis setinggi tiga meter itu mengeluarkan teriakan keras, memerintahkan pasukannya untuk menyerang. Dalam sekejap, mereka bergerak maju, melompati puing-puing bangunan dengan kekuatan dan kecepatan yang mengerikan. Kekuatan mereka begitu besar hingga tanah bergetar setiap kali mereka melangkah, menandakan ancaman yang nyata.

Dengan ketenangan yang luar biasa, Seia menarik busur emasnya. Energi bercahaya berkumpul di sekelilingnya, membentuk anak panah yang memancarkan cahaya terang. Ia menargetkan pusat kumpulan iblis dan melepaskan anak panah itu dengan presisi yang mematikan. Panah tersebut melesat cepat, menembus udara dan meledak tepat di atas para iblis, menciptakan gelombang cahaya yang menghancurkan, membakar iblis-iblis itu dengan nyala api suci.

"Sekarang!" teriak Seia.

Tanpa ragu, Nagisa melangkah maju. Dengan satu gerakan cepat, ia mengayunkan pedangnya ke arah iblis setinggi tiga meter itu. Pedang besar itu melesat melalui udara dengan kecepatan kilat, dan dalam sekejap, kepala iblis itu terpisah dari tubuhnya. Darah hitam menyembur keluar, menciptakan lengkungan di udara sebelum jatuh ke tanah.

"Pertarungan cepat! Tujuan kita adalah mengumpulkan bahan dari gudang makanan dan bertahan hidup!" perintah Seia lagi, suaranya penuh determinasi.

"Siap!" serentak para gadis menjawab dengan semangat yang menyala-nyala.

Pertarungan dimulai dengan sengit. Nagisa dan Seia memimpin grup itu dengan kecakapan dan keterampilan yang mengesankan. Nagisa, dengan pedangnya yang besar, mengiris iblis-iblis dengan mudah, sementara Seia memberikan dukungan dari belakang dengan anak panahnya yang membombardir musuh dari jarak jauh. Para gadis lainnya juga tak kalah hebat, mereka menggunakan berbagai macam senjata energi untuk menahan serangan iblis yang tak henti-hentinya.

Di tengah-tengah pertempuran yang brutal itu, Seia tetap waspada, matanya yang jernih selalu memperhatikan sekitar. Sesekali ia melirik ke arah Nagisa, memastikan temannya itu baik-baik saja. Meski pertempuran ini sangat berbahaya, ada ketenangan dalam diri mereka, seolah-olah mereka telah terbiasa dengan kehancuran dan kematian yang mengelilingi mereka.

Namun, di balik ketenangan itu, ada ketegangan yang tak terlihat. Mereka tahu bahwa ini bukanlah sekadar pertempuran biasa. Ini adalah perjuangan untuk bertahan hidup di dunia yang telah runtuh. Dan di tengah semua itu, ada harapan yang mereka genggam erat—harapan untuk menemukan bahan makanan dan bertahan hidup di dunia yang kini telah berubah menjadi neraka.

Chapter 4: Masa Lalu dan Arona yang Imut

Hiruzen Sarutobi, seorang ahli beladiri yang dulunya dihormati di kota Suo, kini hanya merupakan bayang-bayang dari dirinya yang dulu. Di usia 34 tahun, Hiruzen telah kehilangan segalanya—istri, anak, dan ayahnya. Rasa kehilangan yang mendalam membuatnya tenggelam dalam depresi, meskipun ia berusaha menutupinya dari pandangan orang lain. Hanya satu hal yang membuatnya bertahan hidup: janji yang pernah ia buat kepada ayahnya.

Ayah Hiruzen, Sarutobi Jasuke, adalah sosok yang luar biasa. Di mata orang lain, Jasuke mungkin tampak seperti kakek tua biasa, namun bagi Hiruzen, ia adalah sosok yang penuh kekuatan dan misteri. Kenangan tentang ayahnya selalu menghantui Hiruzen, terutama satu kejadian beberapa tahun lalu yang mengubah pandangannya tentang dunia dan ilmu pengetahuan yang ia kenal sejak kecil.

Waktu itu, Hiruzen masih berduka atas kematian istri dan anaknya yang tewas akibat kecelakaan tragis—truk yang remnya blong menabrak mereka saat menuruni tanjakan. Hiruzen hanya bisa duduk di bangku depan rumahnya, menatap taman yang biasa ia rawat bersama keluarganya, sementara pikirannya dipenuhi dengan penyesalan dan kesedihan.

"Jangan bersedih terlalu lama, Nak. Kematian dan kehidupan adalah bagian dari siklus alam. Jika mereka bisa melihatmu sekarang, apakah mereka akan tenang melihatmu seperti ini?"

Suara tua yang penuh kebijaksanaan memecah keheningan, diiringi oleh suara pintu yang terbuka. Di depan Hiruzen berdiri Sarutobi Jasuke, ayahnya, dengan langkah yang masih kokoh meskipun tubuhnya terlihat rapuh, seolah-olah hanya tersisa tulang dan kulit.

Wajah Hiruzen yang sudah masam semakin bertambah buruk mendengar perkataan ayahnya. "Ayah, maafkan aku. Tapi kali ini, tolong biarkan aku sendiri. Aku merasa sangat tidak berguna. Seharusnya aku yang mengantar mereka, bukan malah pergi dengan Hendrik dan yang lain. Jika saja aku ada di sana, ini semua tidak akan terjadi!"

Hiruzen menutup wajahnya dengan telapak tangan, air mata yang selama ini ia tahan tumpah bersamaan dengan hujan yang mulai turun deras. Suara dentingan air hujan yang menghantam atap dan tanah menciptakan simfoni yang menenangkan, namun bagi Hiruzen, itu hanya mempertebal kesedihannya.

Jasuke tersenyum kecil, tapi ada kesedihan yang tersembunyi di balik matanya. "Aku tahu, Nak. Tapi aku tidak di sini untuk menghakimimu. Aku datang untuk memberitahumu sesuatu."

Tanpa peringatan, Jasuke melancarkan serangan cepat ke arah Hiruzen, memukulnya dengan kekuatan yang tidak sebanding dengan penampilan rapuhnya. Hiruzen yang tak siap hanya bisa menjadi bulan-bulanan, tubuhnya terlempar keluar rumah dan jatuh ke dalam hujan yang semakin deras.

Terkapar di atas rumput basah, Hiruzen hanya bisa menatap linglung, otaknya masih berusaha memproses apa yang baru saja terjadi. Namun, sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, tendangan keras dari ayahnya mendarat di wajahnya, membuat kepalanya berputar dan pandangannya gelap sesaat.

"Bangkit, Hiruzen!" Jasuke mendekati putranya yang masih terkapar. "Tunjukkan tinjumu dan keluarkan semua emosi yang kau pendam!"

Dengan susah payah, Hiruzen bangkit. Pandangannya berputar, tapi ia memaksa dirinya untuk fokus pada sosok ayahnya yang berdiri kokoh di depannya, meski tubuhnya sudah keriput dan kurus. Kekuatan, kecepatan, dan keseimbangan yang ditunjukkan oleh ayahnya jelas-jelas tidak normal. Bagaimana bisa tubuh setua dan serapuh itu bergerak dengan begitu cepat dan kuat?

Namun, Hiruzen tidak punya waktu untuk bertanya. Jasuke kembali menyerang, dan kali ini, Hiruzen siap. Mereka berdua terlibat dalam pertarungan sengit di tengah guyuran hujan. Serangan demi serangan, Hiruzen mulai merasakan semua emosi yang selama ini ia pendam—kesedihan, penyesalan, kemarahan—mendidih keluar dari dirinya. Setiap pukulan yang ia lancarkan semakin kuat, semakin berbahaya.

Tapi Jasuke, dengan ketenangan yang luar biasa, mampu menangkis semua serangan Hiruzen dengan mudah. Bagi Hiruzen, ini seperti bertarung melawan dinding yang tak bisa ditembus. Setiap serangannya gagal, sementara serangan Jasuke selalu mengenai sasarannya dengan telak, menghancurkan tubuh dan semangat Hiruzen sedikit demi sedikit.

Akhirnya, Hiruzen terkapar lagi, kali ini dengan wajah yang lebam dan tubuh yang penuh luka. Nafasnya tersengal, sementara hujan terus mengguyur, seolah ingin menenggelamkan semua rasa sakit yang ia rasakan.

"Aku tidak menyalahkanmu, Hiruzen," Jasuke berkata dengan suara yang lebih lembut. "Aku tidak marah padamu. Tapi kamu harus ingat, menangisi kepergian orang yang kamu cintai itu boleh, tapi jangan biarkan kesedihan itu menghancurkanmu. Jangan biarkan rasa itu berubah menjadi keinginan untuk melukai dirimu sendiri atau orang lain."

Hiruzen terdiam, kata-kata ayahnya selalu tepat sasaran. Memang benar, selain merenungi kematian istri dan anaknya, ia juga telah merencanakan balas dendam. Ia ingin menghukum orang yang dianggapnya bertanggung jawab atas kehilangan besar itu, walau dengan cara yang mungkin akan menghancurkan hidupnya sendiri.

"Aku tahu apa yang kamu pikirkan," lanjut Jasuke. "Kamu ingin membalas dendam pada supir itu karena kelalaiannya. Tapi coba pikirkan, apakah istri dan anakmu akan bahagia melihatmu seperti ini? Apakah mereka akan setuju jika kamu menghancurkan dirimu sendiri demi balas dendam yang tidak ada akhirnya?"

Hiruzen menutup matanya, membiarkan bayangan istri dan anaknya memenuhi pikirannya. Ia tahu bahwa mereka tidak akan menyetujui apa yang ia rencanakan. Mereka tidak akan senang melihatnya hancur karena amarah dan dendam.

"Kamu tahu mereka tidak akan bahagia melihatmu seperti ini. Balas dendam itu tidak akan membawa mereka kembali. Hanya akan membuatmu kehilangan segalanya—kebebasanmu, hidupmu, dan kehormatan keluargamu."

Dengan berat hati, Hiruzen akhirnya duduk, menatap ayahnya dengan mata yang masih dipenuhi kesedihan. Hujan terus turun deras, angin semakin kencang, seakan alam ikut merasakan perasaan yang berkecamuk di dalam hati Hiruzen.

"Lalu apa yang harus aku lakukan, Ayah?" suaranya lirih, hampir tak terdengar di tengah raungan angin. "Istriku dan anakku sudah tiada. Apakah aku hanya bisa duduk dan menunggu keputusan pengadilan, sementara supir itu hanya mendapat hukuman ringan?"

Jasuke menghela napas panjang. "Ini bukan masalah yang mudah, Hiruzen. Kehilangan orang yang kita cintai selalu menjadi cobaan yang paling berat. Tapi membiarkan amarah menguasai hati kita hanya akan menambah penderitaan."

Percakapan mereka berlanjut hingga hujan mulai mereda, dan beban di hati Hiruzen pun sedikit demi sedikit terangkat. Pikirannya yang dipenuhi dendam mulai jernih, walaupun rasa sakit itu masih ada.

Mereka kembali masuk ke dalam rumah, dan keesokan harinya, sebuah kejadian tragis kembali menghantam Hiruzen—ayahnya meninggal dunia secara mendadak. Di tangannya yang kaku, ditemukan secarik kertas dengan pesan terakhir. Pesan terakhirnya mengguncang dunia Hiruzen sekali lagi:

"Apa yang terjadi adalah bagian dari takdir yang telah digariskan. Keluarga kita telah dikutuk sejak lama, akibat kesalahan leluhur kita. Jika kamu ingin memahami apa yang terjadi, pergilah ke ruang bawah tanah rumah kita di desa. Jawabannya ada di sana."

Setelah pemakaman ayahnya, Hiruzen segera menuju desa tempat rumah keluarganya berada. Pintu menuju ruang bawah tanah yang dulu ia takuti kini terbuka lebar di hadapannya. Tanpa ragu, ia melangkah masuk, menuruni tangga merah yang seakan mengantarnya ke dalam kegelapan.

Di dalam ruangan yang kosong, rasa sakit kepala tiba-tiba menyerangnya. Hiruzen jatuh ke lantai, tubuhnya terasa berat dan penglihatannya mulai mengabur. Namun, sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya, ia melihat sekilas tulisan Sanskrit yang rumit muncul di dinding ruang bawah tanah, hanya untuk menghilang dalam hitungan detik.

Ketika Hiruzen sadar, ia tidak lagi berada di dunia yang ia kenal. Di dalam kesadaran itu, Jasuke muncul, menjelaskan bahwa klan Sarutobi sebenarnya berasal dari dimensi yang berbeda. Mereka adalah klan yang ambisius, ingin merebut kekuasaan dengan memanggil makhluk luar dimensi. Namun, makhluk itu tidak bisa dikendalikan, menghancurkan dunia mereka, dan membuat mereka terpaksa melarikan diri.

Sebuah sosok misterius datang membantu mereka, dengan syarat bahwa keturunan terakhir mereka harus merawat seorang anak yang akan datang kepadanya. Anak itu adalah kunci untuk membebaskan jiwa mereka dari kutukan mengerikan akibat kesalahan mereka memanggil makhluk luar dimensi.

Hiruzen terbangun dari lamunannya, asap rokok masih mengepul dari bibirnya. Pikirannya kembali ke janji yang ia buat, janji yang menjadi satu-satunya alasan ia terus hidup.

"Tapi sampai kapan aku harus menunggu?" keluhnya dalam hati, suaranya penuh kebingungan dan keputusasaan.

Tiba-tiba, telinganya menangkap suara tangisan bayi yang keras, memecah keheningan malam itu. Wajah tua Hiruzen membeku sejenak, matanya melebar dalam keterkejutan.

Apakah ini saatnya?

Masa lalunya, takdir keluarganya, semua misteri yang menyelimuti hidupnya kini mulai menampakkan jawabannya di depan mata.

….

Chapter 4: Masa Lalu dan Arona yang Imut!

Naruto merasakan kepalanya berat dan tubuhnya tertekan oleh sesuatu yang sangat kuat, seolah-olah seluruh dunia berada di atasnya. Tekanan ini terasa familiar, mengingatkannya pada masa kecilnya, ketika ia pernah hampir tenggelam di laut yang dalam dan gelap. Namun, kali ini, sensasinya jauh lebih menakutkan.

Saat membuka matanya, Naruto menyadari bahwa ia memang sedang tenggelam di bawah permukaan air yang gelap dan dingin. Kepanikannya membuncah.

"Ghah!"

Dengan sekuat tenaga, Naruto menggerakkan tubuhnya, merasakan perlawanan dari air yang mencekiknya, tapi tekadnya untuk bertahan hidup memaksanya terus berenang ke atas. Saat ia mencapai permukaan, ia menghirup udara dalam-dalam, tapi tak ada waktu untuk heran atau terkejut dengan situasi ini. Nalurinya memberitahu bahwa jika ia tenggelam kembali, bukan kematian yang akan ia hadapi, melainkan sesuatu yang jauh lebih buruk—sesuatu yang bisa menghancurkan jiwanya.

"Apa-apaan ini?!"

Naruto terkejut ketika ia melihat sekeliling setelah muncul ke permukaan. Bayangan-bayangan raksasa terlihat saling bertarung dengan dahsyat di kejauhan. Meski sulit untuk melihat dengan jelas, pertarungan mereka menimbulkan gelombang air besar, dan salah satu gelombang itu melaju dengan cepat menuju Naruto.

Sebelum ia sempat melakukan apapun, ombak besar itu menghantamnya, membuat tubuhnya hanyut dan terombang-ambing tanpa kendali.

'Aku tidak bisa bergerak?'

Naruto tiba-tiba merasakan tubuhnya kaku, tidak bisa digerakkan. Namun, di luar kehendaknya, tubuhnya mulai bergerak sendiri. Seperti seorang penonton dalam tubuhnya sendiri, Naruto hanya bisa menyaksikan ketika tangannya mengayun, dan secara ajaib, gelombang air besar yang mengancam itu terbelah menjadi dua, seolah-olah lautan tunduk pada perintahnya.

Sama seperti kisah Nabi yang membelah lautan.

Rasa takjub hanya sesaat sebelum tubuhnya melesat ke udara dengan kecepatan yang tak bisa dijelaskan. Dalam sekejap, ia berada di langit, menatap ke bawah ke lautan yang kini terbentang jauh di bawahnya. Namun, belum sempat ia memahami apa yang terjadi, sosok manusia diselimuti api merah muncul di depannya, melesat dengan kecepatan luar biasa dan meninju dengan kekuatan yang mengerikan.

Darr!

Ledakan udara dan energi menyebar ke segala arah ketika tinju yang diselimuti api menghantam perisai energi yang tiba-tiba muncul di depan Naruto. Meski tidak mengendalikan tubuhnya sendiri, Naruto merasa nama muncul di pikirannya, seolah-olah ia sudah mengenal sosok berapi ini sejak lama.

"Banaspati..."

Nama itu muncul di kepalanya tanpa alasan yang jelas. Sosok berapi itu, Banaspati, tampaknya memiliki niat mematikan. Sementara tubuh Naruto bergerak sendiri, pikirannya mencoba mengurai apa yang sedang terjadi.

Di mana ini? Bagaimana dia bisa ada di sini? Siapa makhluk di depannya? Dan yang paling penting, apa yang terjadi pada tubuhnya? Kenapa dia tidak bisa mengendalikannya? Bagaimana mungkin dia bisa memiliki kemampuan seperti ini?

Namun, sebelum Naruto bisa memahami lebih jauh, Banaspati menyerang lagi. Kali ini, tinjunya menghancurkan perisai energi dengan mudah, terus melaju menuju wajah Naruto dengan kekuatan destruktif. Tetapi, tepat sebelum pukulan itu mengenai, sebuah laser merah menyala muncul dari atas, menghantam Banaspati dan menyeretnya turun ke bawah, menghantam permukaan air dengan keras hingga akhirnya meledak dengan dahsyat.

Tapi ini belum berakhir. Dari pusat ledakan, Banaspati muncul kembali, kali ini dengan tubuh raksasa yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Ia mengaum keras ke arah Naruto, suaranya menggetarkan seluruh dimensi ini. Secara misterius, para makhluk raksasa yang sebelumnya saling bertarung di sekitar mereka tiba-tiba berhenti dan mulai bergerak menuju Banaspati, satu per satu menyatu dengan tubuhnya. Tekanan yang dihasilkan dari penggabungan mereka semakin kuat, menerpa segala arah dengan Banaspati sebagai pusatnya.

Di atas Banaspati, distorsi ruang tiba-tiba muncul, dan dari sana, sebuah bola merah aneh perlahan-lahan terbentuk. Naruto bisa merasakan jiwa dan pikirannya bergetar hebat saat menatap bola itu, seolah-olah itu adalah musuh alami dan terbesarnya. Namun, getaran itu bukanlah rasa takut, melainkan dorongan untuk bertarung sampai mati.

Tubuh Naruto yang masih tidak bisa ia kendalikan mulai bergerak lagi. Tangan kanannya terentang ke samping, dan dari mulutnya, sebuah kata keluar tanpa sadar.

"Binah."

Rrrrrrr!

Suara menggelegar terdengar di udara, seperti benturan antara ratusan besi dan roda gigi. Di belakang Naruto, sebuah robot ular raksasa muncul, tubuhnya berkilauan dengan aura emas yang memancarkan kekuatan tak tergoyahkan. Di atas kepalanya, sebuah halo berwarna kuning bersinar terang, memancarkan cahaya ilahi yang tak bisa dihujat. Pada dahinya, tertulis satu kata: [Binah].

Binah, salah satu raksasa yang bertarung sejak awal, kini berdiri tegak di belakang Naruto. Dilihat dari sini, jelas bahwa setengah dari makhluk-makhluk raksasa yang bertarung tadi adalah milik Banaspati, sementara sisanya adalah milik Naruto

Tubuh Binah terbuat dari bahan logam yang tidak dikenal, berkilau seperti permata di bawah cahaya bintang. Di dahinya, tertulis [Binah, sebuah nama yang terpancar dengan sinar misterius. Di belakang Naruto, Binah berdiri tegak, siap melawan Banaspati yang kini terlihat semakin marah.

Banaspati mengaum keras, dan lingkaran sihir rumit muncul berlapis-lapis di depannya. Energi kehancuran terkonsentrasi dalam lingkaran tersebut, lalu ditembakkan ke arah Naruto dengan kekuatan yang cukup untuk menghapus realitas.

Binah membuka mulutnya dan energi emas terkumpul, tapi itu masih belum cukup. Tubuh Naruto yang tidak bisa dikendalikan berdiri diatas kepala Binah dan dibawah pijakan kakinya muncul pola biru layaknya sirkuit pada peralatan elektronik.

Aura Binah berubah semakin kuat dan kumpulan energi dimulutnya langsung ditembakkan. Sebelum kedua kekuatan penghancur itu bertabrakkan, pikiran Naruto menjadi kosong dan dipenuhi informasi yang tidak diketahui.

wush

Kedua energi raksasa itu bertabrakan di udara tanpa mengeluarkan suara yang berarti, tapi tabrakan keduanya menciptakan ledakan dahsyat yang mengguncang seluruh dimensi. Dampak dari ledakan itu menciptakan bencana yang dahsyat dan cukup kuat untuk menghancurkan sebuah planet.

Di tengah kekacauan itu, kesadaran Naruto mulai memudar, tertelan oleh aliran informasi aneh yang tiba-tiba muncul dikepalanya.

...

"Ma...ster..."

Sebuah suara sayup terdengar di kejauhan. Naruto merasakan dirinya perlahan-lahan kembali ke dunia nyata, suara itu semakin jelas.

"Master!"

Dengan erangan pelan, Naruto membuka matanya. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah seorang gadis kecil berambut biru yang tersenyum ke arahnya. Matanya yang besar dan jernih menatap Naruto dengan penuh perhatian.

"Syukurlah Anda bisa melewatinya, Master," kata gadis itu sambil tertawa kecil, suaranya ceria dan menenangkan. Sebelum Naruto sempat mengucapkan sepatah kata pun, gadis itu melanjutkan dengan penuh semangat.

"Watashi no namae wa Arona desu. Jangan meremehkan saya hanya karena badan saya kecil, ya! Saya akan selalu berada di samping Anda dan melindungi Anda, Master!"

Naruto hanya bisa menatap gadis itu dengan kebingungan, mencoba memahami situasi yang baru saja ia alami. Siapa gadis ini? Apa yang terjadi barusan? Dan mengapa ia memanggilnya "Master"?

Di tengah semua pertanyaan yang berputar di kepalanya, Naruto merasakan sesuatu yang hangat—perasaan aman dan terlindungi, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya bahkan dari almarhum kakek tua itu.

TBC

Ok, saya tahu saya salah karena lama update. Biasalah udah dewasa banyak kesibukan didunia kerja.

Terimakasih buat kalian yang sudah sudi meluangkan waktu membaca story saya. Saya harap kita bisa selalu berkomunikasi secara tidak langsung seperti ini. Ok, sekarang tanpa basa-basi, sesi Review dari chapter 1 sampai sekarang:

Username : moulanasaktialmag chapter 1 . Aug 12

Next cuyyyh.

Dan entah kenapa yatim Naruto itu dua hal yg tidak bisa di pisahkan:v

Kebanyakan cerita yg w baca nartoh selalu dibikin ytm jirr:v

Jawaban : Mau gimana lagi bang? Soalnya lebih mudah membuat karakter tersebut berkembang kalau seperti ini dan gak usah repot menjelaskan keluarganya dan segala macam hehehehe.

moulanasaktialmag chapter 2 . Aug 14

Boleh boleh nih. Semangat nulisnya. Jangan terlalu lama up nya keburu lumutan:v

Jawaban: Udah lumutan gak bang nunggu chapter kali ini? Wkwkwkwk.

Nothingthanme chapter 1 . Aug 21

Sejujurnya gua belum baca sih, soalnya gua masih bete gara gara elu ngeend mad gamer... tapi yaudahlah ntar gua baca fic ini, intinya gua nantikan user lama kayak anda yang balik lagi dengan membawa cerita baru yang membangkitkan kembali FFN

Jawaban: Sorry bang. Bukannya saya mau menghentikan story itu, hanya saja stuck di otak saya da nada kendala di dunia nyata juga. Jadi saya menyerah melanjutkannya. Tapi semoga story ini bisa memulihkan minat anda membaca cerita saya. Semoga anda membacanya sampai akhir terutama yang ini ya bang :).

moulanasaktialmag chapter 3 . Aug 23

Boleh~

Jawab: Makasih bang.

Fandhi-kun chapter 3 . Aug 25

alur cerita yg fresh ditambah dgn penggambaran karakter yg baik, sangat menarik untuk dibaca dan semoga fic ini lanjut sampai tamat ... semangat buat lanjutkan ceritanya min!

Jawab: Makasih bang. Saya akan berusaha terus mengupdate cerita ini sampai tamat. Selamat membaca dan semoga terhibur -.

Cukup disini saja. Akhir kata dari saya.

Sehat selalu dan sampai jumpa di Chapter selanjutnya.