Chapter 3

.

.

.

"Selamat datang di keluarga kami, Mademoiselle Rook. Saya harap Anda bisa nyaman selama di sini."

Rook melirik Leona, sedikit meminta bantuan karena kakaknya—Sang Raja—yang tiba-tiba bersikap sopan. Namun, tentu saja Leona tidak akan menggubris dan tetap diam seolah tidak tahu apa-apa.

Berusaha menahan sebal, Rook memberikan senyuman terbaiknya—untuk hari itu. "Uh … terima kasih banyak atas sambutannya, Yang Mulia Raja, dan saya kira … Anda tidak perlu bicara seperti itu—"

"Ada apa? Apakah Anda merasa sungkan?"

Jelas sungkan! Rook tak kuasa menahan jeritan dalam hati. Ia tetap mencoba mempertahankan senyumannya saat mengatakan, "Yah, maksud saya … y-yang sepantasnya untuk bicara dan berlaku sopan itu saya—"

"Percuma, Rook. Dia tidak akan pernah mau mendengarkan." Potongan dari Leona lantas mengundang tawa ringan Falena. Raja dari Sunset Savanna itu meraih cangkir teh yang sudah disiapkan di atas meja, menawari Rook untuk ikut minum, sebelum akhirnya ia meminumnya sendiri. "Jadi, Aniki, mengenai lamanya kawin kontrak ini, kami sepakat akan berlangsung selama enam bulan."

"Huh? Enam bulan?!" Kedua mata Falena terbuka lebar. "Apa itu tidak terlalu cepat?"

"Kami punya kehidupan masing-masing," Leona kembali bicara. "Aniki sudah dengar sendiri dari pihak keluarga Hunt, terutama ayahnya, kan? Setelah lulus dari NRC, Rook rencananya akan melanjutkan studi. Tapi dia justru 'terjebak' dalam kondisi ini. Jadi, aku rasa tidak perlu lama-lama, toh utangku dengan Hahaue sudah lunas."

Rook tahu tidak seharusnya merasakan ini sekarang, tapi tak bisa dipungkiri kalau ia merasa tersentuh dengan perkataan Leona barusan. Tak peduli "sebenci" apa Leona padanya, rupanya sang pangeran masih melihatnya sebagai seorang perempuan dengan kehormatan. Ia tidak ingin mengekangnya dan berencana membiarkan Rook bebas secepat mungkin.

Namun, Leona, bukan itu yang Rook inginkan. Andai Rook bisa egois, maka ia akan memintamu untuk membuat waktunya menjadi sedikit lebih lama. Bahkan, kalau masih bisa diizinkan untuk menjadi lebih egois lagi, maka ia mau agar tidak perlu ada batas waktu sama sekali.

Yah, sayangnya itu tidak akan pernah terjadi. Leona yang ada di sampingnya ini tetaplah Leona yang biasanya; Leona yang tidak suka padanya, Leona yang "membencinya," serta Leona yang sering "lupa" kalau Rook adalah perempuan sehingga seringkali berani meninggikan suaranya.

"Hmm, alasanmu memang ada benarnya." Begitu Falena membuka suaranya, Rook tertarik untuk kembali fokus pada diskusi yang tengah terjadi. "Tapi, Leona, apa pernah kau memikirkan pandangan publik?"

"Hah?"

"…!"

"Oh, tampaknya Rook-san sudah bisa menebak maksudnya ke mana."

Leona mendecakkan lidah mendengar kata-kata Falena. "Hei, jangan kira aku juga tidak tahu. Maksudmu adalah bagaimana tanggapan publik apabila dalam enam bulan kemudian, aku dan Rook berpisah, begitu, kan?"

"Ya." Falena menganggukkan kepalanya tegas. "Menikah di usia muda saja mungkin sudah memunculkan tanda tanya, walaupun sudah jelas alasannya karena permintaan mendiang Ratu. Belum lagi pasangan yang kau pilih adalah Rook-san dari keluarga Hunt. Nama ini sama sekali tidak kecil, jadi jelas kalau satu negeri akan langsung geger."

Itu benar. Apabila Leona memilih seseorang dari rakyat biasa pun tidak akan mengubah apa-apa—tetap akan jadi bahan omongan di sana sini. Namun, fakta bahwa Rook yang berasal dari keluarga Hunt tak kan bisa dielakkan. Keluarganya termasuk keluarga besar dan hampir tidak ada yang tidak mengenal Hunt di seluruh negeri ini.

Pernikahan di usia muda dengan alasan "wasiat dari Sang Ratu," kemudian memilih seseorang dari "kalangan atas" untuk dijadikan pasangan. Dua faktor ini saja sudah lebih dari cukup untuk membuat nama Leona Kingscholar dan Rook Hunt kian dikenal. Apabila pernikahan mereka harus kandas dalam waktu kurang dari setahun, maka sudah jelas apa yang akan terjadi selanjutnya.

"… Akan semakin banyak orang yang membicarakan kebenaran hubungan kami, bahkan kemungkinan besar akan menimbulkan gosip-gosip yang tidak diinginkan."

"Benar sekali, Rook-san." Falena mengembalikan cangkir tehnya ke atas meja. "Dugaan kawin kontrak juga pasti akan muncul dalam benak publik. Tapi aku tidak peduli, mau seperti apa bentuk gosipnya, aku tidak ingin kalian harus menanggung beban yang terlalu berat bahkan setelah kalian berpisah. Sebenarnya aku juga sempat bicara dengan kepala keluarga Hunt tentang rencana waktu kontraknya. Beliau tidak masalah apabila putrinya dipinjam untuk waktu yang mungkin tidak dihitung dalam bulan. Selama Rook-san sendiri tidak masalah, maka beliau akan setuju."

Leona menggaruk rambutnya kasar, menandakan kalau dirinya sudah tidak nyaman dengan pembicaraan ini. Meski begitu, ia berkata, "… Jadi, pada intinya, kami harus bertahan sedikit lebih lama. Setidaknya sampai saat kami berpisah, publik tidak akan terlalu lama membicarakan perpisahan kami dan 'bekas' yang ditinggalkan tidak terlalu banyak."

Falena kembali menganggukkan kepala. "Aku akan serahkan kembali pada kalian mengenai batas waktu. Yang terpenting kalian sama-sama sepakat dan sama-sama paham dengan setiap konsekuensi yang ada."

Mata ramah Falena terfokus pada Rook, yang saat menerima tatapan itu, seketika bergerak tidak nyaman di duduknya. "Saya juga mengkhawatirkan masa depan Rook-san. Anda tidak seharusnya terlibat dalam urusan ini, tapi pada akhirnya justru harus ikut terjun ke dalamnya. Sungguh, andai saya bisa menghentikan ibu saya sendiri untuk tidak membuat wasiat itu—"

"Aniki." Leona tiba-tiba berdiri, tubuhnya sedikit membungkuk sehingga menghalangi pandangan Falena ke Rook. "Masa lalu biarlah berlalu. Dan apa yang terjadi sekarang sudah terjadi. Kita tidak bisa berbuat apa-apa selain tetap menjalani yang ada dengan semampu kita."

Falena diam, seolah tidak mampu membalas kata-kata adiknya sendiri. Mengetahui itu, Leona tersenyum miring. "Itu yang pernah dikatakan Chichiue. Aku hanya menirunya."

"Leona!"

"Maaf, Aniki, tapi kami harus segera bersiap untuk bulan madu." Leona berjalan menjauh dari meja tamu, memberi isyarat pada Rook untuk mengikutinya. Rook yang sudah kebingungan karena merasa seperti berada di tengah-tengah, pada akhirnya memilih untuk ikut bangun dan mengekor di belakang Leona yang terus berjalan ke arah pintu.

Saat Rook membungkukkan badan untuk berpamitan pada Falena, raja yang sekaligus ayah dari satu anak itu tampak ingin mengatakan sesuatu lagi. Namun, karena Leona yang sudah ingin cepat-cepat pergi, membuat Falena hanya bisa melempar senyum sebagai balasan untuk Rook.

"Tingkah kalian sudah seperti kolega di kantor saja." Sesaat setelah Rook keluar dan menutup pintu ruang kerja Falena, Leona seperti langsung kembali ke dirinya yang biasa. Yah, sejak di dalam tadi sebenarnya Leona tidak berubah sedikit pun.

Rook tidak langsung membalas dan menyusul Leona yang memelankan langkahnya. "… Aku gugup," ujar Rook.

"Kau sudah pernah bertemu dengannya. Keluargamu bahkan ada bersamamu."

"Tetap saja, beliau itu Rajaku, jadi … seperti ada perintah otomatis dalam otak yang memintaku untuk berlaku sesopan mungkin di hadapannya."

"Heh, lucu sekali." Leona mengangkat tangannya, memberi salam pada beberapa pelayan yang membungkukkan tubuh mereka saat melihat mereka melintas. Rook berniat untuk membungkuk juga, tapi Leona langsung memberi punggungnya dorongan pelan dari samping supaya terus berjalan.

"Tapi—"

"Cukup angkat tanganmu atau tersenyum, tidak perlu banyak membungkuk," Leona menjelaskan. "Posisimu sekarang sudah lebih tinggi dari mereka. Terlalu sering merendah juga tidak baik. Biasakan diri sebelum nantinya kita bertemu lebih banyak orang."

Rook diam. Ia tampak kurang setuju di awal, tapi kemudian mempraktekkan apa yang sudah dijelaskan Leona barusan saat mereka berpapasan dengan pelayan dan pengawal istana lainnya selama perjalanan menuju mansion mereka sendiri.

"… Maaf aku tadi menyentuhmu."

"Eh?" Rook melirik tangan Leona begitu sadar maksud perkataannya tadi. Ia sampai tidak sadar kalau tangan Leona sudah tidak berada di punggungnya.

Rook mencubit tangannya sendiri ketika merasakan wajahnya yang memanas, kemudian menggelengkan kepalanya cepat. "T-tidak apa. Leona-kun … tidak sepenuhnya menyentuhku juga."

"Tetap saja," Dari ujung matanya, Rook memperhatikan tangan kanan Leona yang sedikit mengepal, "aku tidak seharusnya menyentuhmu tanpa izin."

Padahal aku benar tidak apa-apa, pikir Rook yang memilih melupakan apa yang Leona katakan. Sekalipun "dilarang menyentuh tanpa izin" merupakan salah satu perjanjian tak tertulis yang sempat mereka berdua bicarakan sebelum menikah, Rook tidak pernah mempermasalahkan itu. Memang tidak seharusnya Rook mudah percaya pada orang lain, tapi baginya, Leona bukan laki-laki yang akan dengan seenaknya menyentuh perempuan, apa pun alasannya. Jadi, tanpa perjanjian itu pun, Rook yakin Leona tidak akan pernah menyentuhnya tanpa seizinnya.

Hanya memikirkan itu semua, sudah cukup membuat wajah Rook kian memanas. Ia tahu kalau Leona adalah pangeran terhormat, tapi ini semua terasa hampir tidak nyata. Terlebih, semua yang Leona lakukan ditujukan padanya. Hatinya yang lemah sepertinya tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi dari ini.

"Haaah, akhirnya sampai juga. Aku masih bingung dari dulu, kenapa pula lokasinya harus sejauh ini?"

Ah, rupanya mereka sudah sampai. Rook bahkan tidak ingat kapan mereka melalui bukit belakang istana, tiba-tiba mansion yang disiapkan khusus untuk mereka berdua sudah berdiri gagah di hadapan.

"… Jadi kita benar-benar tinggal jauh dari istana, ya."

"Aah. Aku, sih, masih tidak setuju dengan ide ini sebenarnya," Leona tiba-tiba mencurahkan isi hatinya. "Tapi, yah, apa boleh buat? Yang dikatakan Aniki benar juga; untuk mencegah ada yang tahu kalau kita pisah kamar. Kalau hanya pelayan dan pengawal, sih, tidak masalah karena mereka sama-sama tahu kondisi kita. Tapi kalau untuk tamu dari luar—"

"—itu jelas lain cerita." Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Rook menghela nafas panjang dan kedengaran teramat lelah. "Aku harap tidak banyak pertemuan atau apa pun itu yang mengharuskan kita langsung ke istana. Kita memang punya sapu terbang, tapi rasanya akan tetap merepotkan kalau harus bolak-balik setiap saat."

"Tumben aku sepakat denganmu," balas Leona yang begitu masuk langsung menjatuhkan diri ke atas sofa di ruang tengah. Di beberapa sudut ruangan masih ada sedikit debu yang tertinggal karena memang mansion ini sudah lama tidak dipakai. Terakhir dipakai oleh raja sebelumnya, ayah dari Falena dan Leona, untuk menyatukan kedua putranya setiap kali mereka bertengkar. Bisa dibilang tempat ini adalah tempat hukuman bagi Falena dan Leona muda yang cukup sering berbeda pendapat.

Rook tersadar setelah dirinya sempat terjebak dalam pikirannya sendiri selama beberapa saat. Ia melihat Leona yang hampir tertidur dan menghampirinya. Kedua tangannya berada di pinggang begitu dirinya sudah berada di samping raja hutan.

"Leona-kun? Katanya mau siap-siap berangkat?" Rook mencoba memanggil namanya dan mengingatkan tujuan mereka pulang ke mari. "Sebentar lagi sore dan pesawat kita malam, kan?"

"Hmmm, berisik."

"Berisik bagaimana?" Rook menarik nafas perlahan, kemudian ia membungkuk. Wajahnya tepat berada di depan sang singa yang masih memejamkan mata. "Hei, aku sebenarnya tidak mau memaksamu, tapi kita benar-benar harus berangkat. Nanti kau bisa tidur di pesawat. Ya?"

"…" Tak ada jawaban dan Leona tetap memejamkan katanya. Meski begitu, Rook tidak menyerah dan tetap diam di posisinya. Ia tahu kalau Leona hanya berpura-pura—karena tadi singa itu jelas-jelas membalas ucapannya, jadi Rook berpikir, dengan dirinya tetap berdiam saja seperti ini, lama-lama Leona pasti akan merasa terganggu.

Dan benar. Kurang dari lima menit kemudian, Leona membuka matanya dan ekspresinya sudah sangat masam. "… Kenapa kau tidak berubah?" protesnya.

Rook memamerkan senyum kemenangan. "Karena aku tetap Rook Hunt yang sama. Ayo, kita tidak punya banyak waktu."

Pada akhirnya Rook berdiri dan hendak kembali ke kamarnya untuk bersiap-siap. "Kau siapkan barang-barangmu sendiri, Leona-kun," pemburu itu mengingatkan. "Aku tidak mau terima protesan ini itu kalau sampai ada yang salah."

"Aaaahhh, iya, iya. Kau bawel sekali, Vil."

"…"

.

.

.

"… Ah, maaf."

Hanya itu. Hanya itu.

Setelah beberapa saat lalu aku mengucapkan namaku di hadapannya, dia dengan tiba-tiba malah memanggilku dengan nama perempuan lain. Apalagi perempuan itu harus teman baikku sendiri. Dan setelah melakukan kesalahan itu, yang dia lakukan hanya mengucap "maaf" dengan tanpa melihat ke arahku.

Kenapa kau langsung pergi begitu? Kenapa kau menunjukkan punggungmu padaku? Kenapa kau buru-buru sekali menaiki tangga, di saat tadi kau berlagak malas untuk pergi?

Aku tahu aku tidak sepantasnya merasa begini. Aku tahu persis siapa yang sebenarnya ada di hatimu, yang ada di pikiranmu, yang ada di setiap mimpimu. Aku tahu aku tidak ada kesempatan untuk bisa mendapat sedikit tempat di hatimu.

Tapi ini menyebalkan.

Tidak bisakah, setidaknya, untuk kali ini saja … aku merasa bahagia atas perlakuan baikmu dan "bulan madu" kita?

.

.

.

Next: Chapter 4