"Aku … aku masih menyesal sampai sekarang."
Jangan buat wajah itu. Aku tidak suka.
"Andai saja aku tidak terlalu memikirkan ego … Vil pasti …."
Hentikan. Aku tidak suka ekspresi menyedihkanmu itu.
Hentikan ….
"… Andai ada sihir yang bisa digunakan untuk mengulang waktu, mungkin saja aku … bisa punya kesempatan, dan aku juga … tidak harus membebanimu seperti ini."
Cukup!
.
.
.
Chapter 4
.
.
.
Sudah kuduga, pasti jadi canggung. Lagi-lagi Rook melirik kursi di sampingnya. Seakan mengikuti arahan Rook, Leona sungguhan tidur begitu pesawat mereka lepas landas.
Setidaknya itu yang terlihat. Leona memang sungguhan menutup mata dan nafasnya terdengar teratur, tapi Rook tahu kalau itu dilakukannya hanya karena ia menolak untuk bicara dengan Rook. Tentu saja, mana mungkin ada orang yang bisa bersikap "biasa saja" setelah ada kesalahan fatal seperti "tidak sengaja menyebut nama mantan." Sekelas Leona Kingscholar pun menolak untuk menghadapinya, kan?
Tepat setelah kejadian itu, sang pangeran segera menyibukkan diri dengan segala persiapan yang sekiranya diperlukan selama kegiatan bulan madu mereka. Meskipun kegiatan ini hanya formalitas, mereka harus sebisa mungkin kelihatan serius agar tidak menimbulkan kecurigaan. Leona tidak bicara apa-apa lagi pada Rook, kecuali membicarakan yang perlu-perlu. Selebihnya, lelaki itu seakan menolak membahas permasalahan yang ada lebih jauh.
Rook menghela nafasnya yang kesekian kali hari itu. Pemandangan di luar jendela pesawat tidak ada apa-apa selain warna gelap dari malam. Sekali lagi ia melirik Leona, kemudian memilih untuk meringkuk menghadap jendela. Leona menolak untuk tidur menghadap ke arahnya, jadi anggap saja Rook mengikuti alur yang ada. Lagipula, pesawat ini merupakan pesawat pribadi milik kerajaan, jadi tidak ada penumpang lain di dalam selain mereka. Tidak akan ada yang curiga kalau keduanya "berjauhan" seperti ini.
"… Lagian, siapa juga yang mau berdekatan," Rook menggerutu pelan. Ia membuang beberapa pikiran menyebalkan yang sempat hinggap, lalu menutup matanya, mencoba untuk tidur.
Hal yang tidak Rook sadari malam itu ialah Leona, yang ternyata benar belum tidur, mengubah posisinya dan menghadap Rook. Seolah tidak peduli kalau-kalau si pemburu muda menyadari tatapannya, Leona terus memperhatikan punggung kecil itu untuk waktu yang cukup lama, sebelum akhirnya ia kembali mengubah posisi dan kali ini menghadap depan. Matanya terpejam lagi, tapi ia tak dapat tidur sedetik pun malam itu.
.
.
.
"Hoaaaahhhmm …."
"Oya? Masih mengantuk, Leona-kun?"
Mata Leona tetap fokus ke jalan di depan saat ia menggelengkan kepalanya. "Hanya kurang tidur."
"Apanya yang kurang tidur? Begitu masuk dan duduk di kursi pesawat, kau langsung tidur. Kupikir kau sudah tahu akan menyetir selama di sini makanya banyak tidur. Bagaimana bisa masih mengantuk?"
"Berisik." Leona tidak lagi menggubris Rook yang masih terus "bicara" padanya. Secara mengejutkan, gadis itu tampak bersemangat sejak mereka sampai di bandara tujuan tadi pagi. Sikapnya seakan menunjukkan kalau kemarin tidak terjadi apa pun.
"Aaah! Gunung!"
"…" Leona memutar bola matanya. Ia terlalu lelah bahkan untuk sekadar mendengar kekaguman Rook akan tempat yang pastinya tidak jauh berbeda dengan tempat-tempat yang pernah ia kunjungi. "Kau sudah pernah datang ke sini, kan? Untuk apa sok kagum seperti itu?"
"Berapa kali pun ke sini tidak pernah melunturkan rasa kagumku," Rook membalas santai. Cahaya pada sepasang manik hijaunya berkilauan. Sesuai yang dikatakannya, rasa kagum Rook tampaknya memang tidak bisa—dan tidak akan pernah bisa—luntur.
Leona membuang nafasnya. "Baguslah. Masih sekitar satu jam lagi sampai ke hotel, mau makan dulu?"
"Huh? Bukannya tadi kita habis sarapan?"
"Tapi sekarang sudah hampir jam makan siang."
Seketika Rook membuka layar ponselnya. "Oh, benar! Tak terasa sudah setengah sebelas saja."
Mata Leona menelusur, memperhatikan jajaran toko yang jarang-jarang ada di kanan kiri mereka. "… Kita benar-benar di pedesaan, huh."
"Ya, sesuai yang kuharapkan." Rook menunjuk sebuah toko di kiri jalan, sekitar 100 meter dari posisi mobil mereka saat ini. "Di toko itu ada rumah makan bubur. Tempat itu kesukaan ayahku. Kami sering ke sana setiap kali ke mari."
"Hmm." Leona menghentikan mobilnya tepat di depan toko yang Rook tunjuk tadi. Tempatnya kecil dan terkesan sederhana, tapi Leona langsung tahu kalau suasana sekitarnya nyaman.
"Aah, nostalgia sekali!"
"Aku yakin kau habis dari sini belum lama ini."
"Aku sudah tidak ke sini lima tahun lebih, kalau kau mau tahu."
"Hah?"
"Ayo, turun, Leona-kun! Kupastikan kau tidak akan kecewa dengan rasanya!" Tidak lagi menghiraukan Leona yang memanggil, Rook sudah turun mobil lebih dulu dan masuk ke dalam.
Leona tidak punya pilihan selain mempertahankan kesabarannya. "… Dia terlalu energik untuk gadis yang baru 'bertengkar' dengan pasangannya."
"Roi du Leooon~! Kau masih di mobil?"
Leona hanya mengangkat tangan kanannya dari dalam mobil, dan saat melihatnya, Rook kembali masuk ke toko. Kemudian Leona mengambil dompet serta ponselnya, dan juga ponsel Rook yang ternyata tertinggal di atas kursinya. Sempat menggerutu, tapi akhirnya Leona keluar dari mobil dan menyusul istrinya.
"Hei." Leona menyerahkan ponsel Rook begitu ia sampai di meja yang dipilih sang pemburu. Di sebelahnya sudah berdiri seorang wanita paruh baya yang sepertinya pemilik rumah makan. Wanita itu tersenyum ramah padanya. "… Selamat siang," sapa Leona.
"Selamat siang," balas wanita itu. "Hehe, suami Ruu-chan sungguhan pangeran, ya. Tampan sekali, seperti dalam film."
"…?"
"Ah, non! Bibi! Kenapa tiba-tiba—"
"Hahaha, tidak perlu malu." Wanita yang dipanggil Bibi itu menarik satu kursi lainnya untuk Leona, tapi langsung digantikan lelaki itu dengan hati-hati. "Wah, terima kasih, anak muda. Sudah tampan, tinggi, sopan pula. Ruu-chan pasti senang sekali."
"Bibi!"
Bibi hanya tertawa dan pamit ke belakang untuk menyiapkan pesanan yang ternyata sudah Rook buat sebelum Leona masuk tadi. Sesekali kepalanya menoleh ke arah pasangan itu, dan suara tawa geli akan terdengar setelahnya.
Leona ganti memperhatikan Bibi yang berdiri di depan kompornya selagi menunggu. "Apa dia datang ke acara minggu lalu?"
"… Tidak." Rook meminum teh yang sudah disiapkan lebih dulu, berniat menutupi rasa malu. "Bagian yang mengurus undangan sudah mengirim satu ke beliau, tapi Bibi tidak sempat datang karena cucunya sakit."
"Hmm …."
"Um, Leona-kun."
"Ya?"
Rook melirik Leona, kemudian menjatuhkan pandangannya ke cangkir teh di tangan. "A-anu … maaf soal yang tadi. Bibi sepertinya … agak bersemangat."
Oh. Sekali lagi Leona memperhatikan Bibi yang ternyata juga masih sering melihat ke arah mereka sambil tersenyum. Ia kemudian berdeham sebelum berkata, "Tak perlu dipikirkan. Bukankah itu pertanda baik karena berarti Bibi tidak tahu apa-apa?"
"…" Ah, benar juga. Pernikahan mereka bukan seperti yang orang lain kira—bukan seperti yang Bibi kira. Ada suatu kenyataan di balik kebahagiaan semu yang harus mereka tutupi.
Itu artinya … segala perlakuan Leona-kun terhadapku dan orang sekitar memang hanya untuk menjaga kenyataan itu.
Setelah mendengar itu, Rook memberi senyum kecil. Ia sudah berani melihat Leona yang sepertinya tidak tahu menahu dengan pergolakan batinnya. "Mm, ya, kau benar. Bibi tidak tahu, berarti orang lain juga tidak tahu. Itu … bagus."
Leona tidak memberi balasan. Ia hanya diam memperhatikan Rook dari ekor matanya, hingga Bibi kembali membawa dua mangkuk bubur dan beberapa snack tambahan. Rook yang sempat Leona kira sedikit down, mendadak kembali ke dirinya yang biasa. Atau itu hanya akting lainnya yang ia lakukan.
.
.
.
"Aaah, kasuuur! Akhirnya aku melihat kasuuur!"
"Mandi dan ganti baju dulu, jangan langsung tidur."
"Eh?!"
Leona menaruh barang bawaannya dan Rook di dekat pintu kamar. Satu alisnya sedikit naik ketika melihat Rook masih dengan wajah terkejutnya. "Kenapa?"
"Tadi … tadi Leona-kun bilang apa …?!"
"Hah?" Dari dalam tasnya, Leona mengeluarkan sebuah handuk dan beberapa alat mandi. Tak lupa pakaian ganti yang atasan dan bawahannya sudah dijadikan satu. "Aku bilang, kalau mau tidur, mandi dan ganti baju dulu."
"Nah, itu!" Seketika Rook bangun dari telungkupnya dan duduk di atas kasur. Jarinya menunjuk-nunjuk Leona yang sudah bersiap masuk kamar mandi. "Apa penginapan ini berhantu?! Setan apa yang merasuki Leona-kun sampai membuatnya bisa bicara seperti itu?!"
"…" Leona menepuk dahinya sendiri. "… Kau yakin tidak sedang demam atau semacamnya? Tingkahmu berlebihan sekali. Menyebalkan."
Rook melipat kedua tangannya di depan dada dan memajukan bibir. "Apa maksudnya itu? Aku hanya terkejut karena tidak biasanya Leona-kun jadi 'rajin' begini."
"Aku hanya tidak suka mengotori kasur orang lain. Ini bukan kamar kita, jadi usahakan jangan meninggalkan bau atau apa pun itu."
Alasan yang masuk akal, tapi terasa janggal di telinga Rook. Meski begitu, Rook tetap berjalan menuju tasnya. "Ya sudah, Leona-kun cepat mandinya. Nanti gantian aku."
Leona tidak menjawab dan langsung masuk. Tak perlu menunggu waktu lama sampai Rook mendengar suara shower dinyalakan dan beberapa suara lainnya yang seketika mengacaukan isi kepalanya.
Rook memegangi kedua pipinya. Panas, dan ketika ia melihat ke cermin, warnanya sudah hampir mengalahkan tomat. Ini sudah pernah mendengar Leona mandi, tapi ini baru satu minggu setelah mereka tinggal bersama, jelas kalau Rook belum terbiasa. Pikirannya pasti akan langsung ke mana-mana, termasuk membayangkan hal-hal yang tidak seharusnya dibayangkan.
"… Aku merasa kotor sekali." Rook kembali naik ke kasur dan memukuli kepalanya dengan bantal, posisinya sedang menungging. Tidak kelihatan elit, apalagi mencerminkan bangsawan. Namun Rook tidak peduli karena dirinya tengah berusaha mati-matian untuk meredam bermacam perasaan yang tidak seharusnya untuk keluar, terutama di saat seperti ini.
Mereka sedang tidak dalam suasana yang baik. Apa yang terjadi saat mereka di mansion masih mengganggu Rook. Alasan dirinya bersikap biasa dan seolah menganggap itu tidak pernah terjadi simpel: karena ia tidak mau membuat masalah lain yang mungkin bisa lebih besar, apalagi mereka sedang berada di tempat "publik."
Rook merasa sebal dengan "ketidaksengajaan" Leona karena dirinya punya perasaan spesial pada sang suami. Leona sama sekali tidak tahu soal ini, dan Rook tidak mau Leona untuk tahu. Ia sudah memutuskan untuk "membantu" Leona menyelesaikan masalahnya dengan menerima pernikahan ini. Ia sadar betul kalau Leona masih mencintai orang lain, terlebih orang itu adalah teman baiknya sendiri. Dengan semua kesadaran yang dimiliki saat mengambil kesempatan dan bertindak, tentu tidak memberi Rook hak untuk merasa harus "diperhatikan" oleh Leona. Jadi, kalau Leona sampai "kelepasan" seperti itu, sama sekali tidak menjadi tanggung jawab Leona untuk nantinya meminta maaf pada Rook.
Selain itu saat mereka makan bubur tadi. Jelas-jelas Leona mengatakan kalau ia hanya bersikap sebagaimana yang ingin orang lain lihat. Mudahnya, apa yang dilakukan Leona selama ini hanya akting agar tidak ada yang tahu tentang kawin kontrak mereka. Semuanya, termasuk pergi bulan madu ini, adalah bagian dari rencana untuk melunasi segala utang milik Leona terhadap ibunya.
Hanya itu. Rook sadar betul akan itu semua. Itulah kenapa, selama dirinya masih bisa berpikir—cukup—jernih, Rook tidak akan membiarkan dirinya terbawa perasaan hanya karena mendengar suara Leona mandi. Sulit sekali memang untuk menolak perasaan ini, tapi apa Rook punya pilihan lain?
"… Memalukan. Sepertinya aku basah."
"Apanya yang basah?"
"…!" Buru-buru Rook membetulkan posisinya. Satu kakinya turun dari tempat tidur, tapi karena gugup, ia pun jatuh tersungkur dengan wajah yang langsung menemui lantai.
"O-oi! Kau baik—"
"Ahahaha! Maaf, Leona-kun, maaf!" Rook mengambil handuk, perlengkapan mandi, serta pakaiannya yang sudah disiapkan di atas kasur sejak tadi. Dengan sedikit terseok, ia berlari menuju kamar mandi dan sedikit membanting pintu saat menutupnya. "Aku baik-baik saja! Tadi aku sempat ketiduran dan terkejut saat mendengar suaramu! Aku mandi dulu, hahaha!" serunya dari dalam kamar mandi.
Tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, Leona hanya menganggukkan kepala, walau Rook tidak akan bisa melihatnya. "… Hati-hati. Kalau memang merasa kurang enak badan, aku bisa panggilkan pelayan untuk mengantarkan obat."
"Tenang saja! Aku hanya terlalu lelah! Hanya butuh tidur!"
"… Oke."
.
.
.
Kepala Rook sudah lebih jernih sekarang. Setelah menghabiskan hampir satu jam di kamar mandi, Rook merasa jauh lebih baik. Ia tidak lagi mau mengingat apa yang sebelumnya dipikirkan, terutama apa yang dilakukannya selama di kamar mandi. Yang penting sekarang, setelah ia keluar dari sana, ia tidak lagi diganggu oleh hal-hal yang tidak diinginkan.
"Oh, pas sekali kau sudah selesai." Leona kembali ke kamar setelah beberapa saat lalu sempat berpamitan untuk membeli makanan. Ia menaruh dua kotak bekal dari kayu yang terlihat sangat unik di atas meja di depan televisi.
"Waaah! Apa ini mie belut?"
Leona tampak sedikit terkejut. "… Kau tahu?" Ia pun menghela nafas begitu Rook menganggukkan kepalanya semangat. "Ah, ya, aku lupa kau pernah ke sini."
"Ehehe! Tapi ini sudah lama sekali sejak terakhir aku makan mie belut, jadi tidak masalah." Rook menaruh handuk yang ia gunakan untuk mengeringkan rambutnya kembali ke kamar mandi. Setelah mengobrak-abrik isi tasnya beberapa saat, ia mengeluarkan pengering rambut andalannya dari sana. "Saa, Roi du Leon, waktunya kita mengeringkan rambut."
"Haah? Aku tidak usah, punyaku sudah kering." Leona sudah hampir membuka kotak makannya ketika Rook mengambil dan menyitanya. "Oi!?"
"Tidak. Makannya nanti dulu kalau rambut sudah kering." Rook memerintah Leona untuk menghadap televisi, sementara dirinya berdiri dengan kedua lututnya di belakang sang pangeran. "Yep, sudah pas. Permisi untuk menyentuh sebentar, ya."
"Kau tidak dapat izin."
Whoosh
"Terlambat!" Rook tertawa di tengah-tengah deru pengering rambut yang riuh. Sebenarnya Leona tidak bohong karena rambutnya benar—hampir—kering. Hanya saja Rook tidak mau kalau Leona harus sakit karena rambutnya yang kurang kering. Besok mereka baru akan menghabiskan waktu berkeliling, jadi jangan sampai ada satu di antara mereka yang justru harus menghabiskan waktu di dalam kamar.
"Rook …."
"Ya?" Rook mematikan pengering rambutnya tepat saat Leona memanggil namanya. Kebetulan rambut Leona juga sudah kering sepenuhnya, lalu Rook menyisirnya perlahan. "Kau memanggil, Leona-kun?"
"…" Tidak ada jawaban, yang ada malah Leona yang mengambil alih kepemilikan mesin berisik dari tangan Rook. Dengan matanya, Leona meminta Rook untuk berganti posisi dengannya. Rook sempat ingin menolak, tapi Leona memaksa sehingga gadis itu mau tak mau duduk di tempat Leona sebelumnya. Setelah Rook duduk, Leona langsung menyalakan mesin dan mengeringkan rambut pirang di depannya.
Proses pengeringan terasa lama bagi Rook dan tidak ada yang membuka pembicaraan satu pun. Leona terus sibuk mengeringkan rambut Rook yang sudah mulai bertambah panjang semenjak lulus, sementara Rook tengah mati-matian menahan perasaannya—lagi. Tak pernah satu kali pun terbayang kalau hari di mana Leona mengeringkan rambutnya akan tiba. Namun kali ini, tepat di detik ini, laki-laki itu melakukannya.
"Karena rambutmu tidak panjang, jadi cepat keringnya," komentar Leona setelah mesinnya dimatikan. Ia meraih sisir yang tadi Rook gunakan untuk menyisir surainya dan kini digunakannya untuk ganti menyisir rambut pirang Rook. "… Wangi."
Rook meremat tangannya sendiri. Jantungnya sudah bergerak tidak nyaman. Padahal saat pemberkatan, kau tidak memuji warna kukuku sama sekali, keluh Rook yang rupanya masih mengingat masalah kuku peraknya.
"… Bukannya kau tidak suka bauku," keluhan berikutnya dari Rook, tapi kali ini langsung keluar dari mulutnya.
Leona diam-diam menahan senyum. "Kapan aku bilang begitu?"
"Sering!" Rook berseru tiba-tiba. "Kau selalu mengeluh soal bauku bahkan dari aku masih di Savanaclaw dulu. Kupikir karena aku yang sering main kotor atau semacamnya, tapi saat pindah ke Pomefiore pun, kau tetap mengeluh kalau aku bau. Padahal, selama di Pomefiore, penggunaan wewangianku selalu diperhatikan langsung oleh Vil!"
Leona terkekeh mengejek, tak sanggup lagi menahan senyum. "Justru karena kau pindah, baunya jadi makin aneh."
"Aneh bagaimana?!"
"Kau tidak akan mengerti." Leona mengembalikan sisir ke atas meja televisi kemudian merapikan rambut Rook sedikit. "Sudah selesai, ayo makan," ujarnya lagi yang langsung mundur ke belakang, bersandar ke tempat tidur. Di tangannya sudah ada satu kotak yang tadi ia bawa dari luar.
Rook memperhatikan Leona yang dengan santai menyalakan televisi, sebelum akhirnya berdiri untuk mengembalikan pengering rambutnya. Gerakan tangannya sempat terhenti ketika tiba-tiba Leona berkata, "Ada yang ingin kubicarakan sambil makan."
Rook hanya membalas dengan "hm" pendek. Ia kemudian kembali dan mengambil posisi yang sama dengan Leona. Kotak miliknya sudah ia buka, tapi entah kenapa selera makannya hilang.
"… Maaf soal waktu itu."
Mungkin ini yang sering orang-orang sebut sebagai firasat perempuan karena Rook seperti tahu apa yang akan Leona bicarakan. Walau begitu, Rook memilih untuk tidak tahu dan membalas, "Waktu itu kapan? Kau pernah menyentuhku secara tidak sengaja lagi?"
"Bukan." Leona menelan mie yang sudah dikunyahnya terlebih dahulu sebelum meneruskan, "Saat kita masih di mansion ... aku sempat salah memanggil namamu."
Sudah kuduga. Rook memakan mienya dengan santai. Selera makannya belum muncul, tapi sayang kalau mienya tidak dimakan. Tidak ada percakapan di antara keduanya, sampai akhirnya Rook bicara lagi, "Tidak ada masalah. Bukankah kau bisa lihat dari sikapku padamu? Aku biasa saja."
Leona menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku tetap harus minta maaf. Kawin kontrak sekalipun, posisimu sekarang adalah istriku. Tidak sepantasnya aku menyebut nama perempuan lain—"
"Kalau begitu, kau sebut saja namanya sekarang."
"Hah?"
Rook sempat mengutuk dirinya sendiri karena mengatakan itu. Namun akhirnya ia tidak peduli dan melanjutkan, "… Toh aku sudah tahu perasaanmu padanya. Beberapa kali kau meminta saranku tentang ini dan itu. Kau juga sudah mengaku padaku secara tidak langsung—soal yang kau tidak mau Vil menjadi rivalmu."
"…" Leona tidak memberi tanggapan.
Mengetahui tidak ada balasan apa pun, Rook kembali meneruskan, "Tidak apa, tidak perlu ditutupi lagi." Ia menaruh kotak makannya yang setengah kosong ke atas meja di depannya. Memaksa makan tanpa selera memang tidak baik. "Vil itu teman baikku. Kami banyak menghabiskan waktu bersama dan aku paham kalau kau mengira aku bisa membantumu, walau pada akhirnya kau tidak menang karena sudah ada yang mendahuluimu."
Leona yang sejak tadi hanya diam, kemudian tertawa. Tawanya terdengar remeh, tapi Rook tahu kalau itu tidak ditujukan padanya sama sekali. Kalau Rook boleh menebak, tawa remeh itu ditujukan pada diri Leona sendiri.
"Selucu itu, kah, kisah cintamu?" Rook tersenyum miring, seolah menambah kesan remeh pada Leona. "Dan sekarang jadi tambah lucu karena kau menikah dengan orang yang tidak kau cintai sama sekali."
"…"
Bodoh.
Rook menggigit bibirnya sedikit. Ia menyesal membiarkan kata-kata itu lolos dari pengawasannya. Namun, ada sisi lain dirinya yang justru merasa lega karena berhasil mengeluarkannya.
Kalau dipikir-pikir lagi, sampai detik ini, Leona masih tidak memberitahu alasan kenapa ia memilih Rook. Ia sempat melupakan perkara ini karena pikirannya selalu teralihkan ke persiapan pernikahan, hingga kejadian-kejadian yang ia dapat setelah mereka sah menjadi suami istri. Dan setelah kata-katanya yang dibiarkan lolos itu tadi, membuat Rook seketika teringat kembali dengan ini.
Apa yang sebenarnya Leona pikirkan? Apa tujuannya? Kenapa ia memilih Rook? Kalau memang Leona hanya butuh seseorang untuk dijadikan pasangan sementara, bukankah siapa saja bisa? Leona tidak perlu repot-repot memilih seseorang yang tidak ia sukai hanya untuk membayar utangnya pada sang ibu, iya, kan?
Rook menarik kedua kakinya, memeluk mereka erat-erat. Kepalanya ia sandarkan di atas lutut, sedangkan wajahnya menghadap Leona yang rupanya sejak tadi hanya diam memperhatikan dirinya.
"… Kenapa? Kau bisa cerita padaku tentang Vil karena aku sudah tahu perasaanmu, kan? Ceritakan padaku dan sebut namanya sepuasmu sekarang." Rook berniat membangkitkan percakapan mereka lagi, walau apa yang dikatakannya barusan membuatnya ingin mengutuk dirinya tanpa henti.
Memberi kesempatan Leona, laki-laki yang ia cintai, untuk curhattentang perempuan yang dicintainya? Bukankah itu sama saja dengan bunuh diri?
Leona tampak ragu di awal. Beberapa kali ia melihat Rook langsung di matanya, memastikan kalau gadis di hadapannya ini serius. Namun, tak peduli seberapa intens Leona menatapnya, Rook terasa sangat jauh dan tak terbaca.
Meski begitu, Leona menerima tawaran Rook dan mulai bicara, "… Saat aku dengar gosip tentang Vil yang katanya punya pacar, di situ aku mulai goyah."
"Hm, benar juga. Aku ingat pernah lihat wajah takutmu."
"… Kau ini memang benar-benar penguntit, ya?"
"Baik, teruskan, Your Highness. I'm listening."
Leona memicingkan matanya sesaat, lalu meneruskan, "Aku merasa lemah. Aku sadar betul kalau aku harus segera melakukan tindakan, seperti mulai memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaanku. Hanya saja, seperti yang kau tahu … aku tidak berani. Egoku, harga diriku, semuanya terlalu tinggi dan menjadikanku … seorang pengecut."
Kepala Rook manggut-manggut tanda setuju. "Meskipun kau pangeran dari tanah airku, harus kuakui kalau kau itu memang pengecut."
"… Kenapa kalau aku mendengarnya darimu rasanya menyebalkan?"
"Oh, maaf, haruskah aku diam?" Rook menyembunyikan sebagian wajahnya—terutama mulutnya—di antara lutut. Matanya masih menatap Leona yang juga menatapnya sinis. "Baiklah … sepertinya aku memang harus diam. Padahal aku hanya ingin jadi komentatormu."
"Aku rasa orang yang sedang curhattidak perlu komentator, bukan begitu, Nyonya Kingscholar?"
Rook melempar bantal yang ia tarik dari kasur ke arah Leona. "Lanjutkan saja ceritanya, Monsieur."
"… Intinya seperti itu." Leona mengembuskan nafas lelah. Ia tersenyum kemudian, tetapi senyuman itu tidak menunjukkan kegembiraan atau rasa senang. "Aku tahu aku seharusnya bergerak cepat sejak itu. Urusan diterima atau ditolak, bisa belakangan. Tapi yang kulakukan hanya diam memperhatikan."
Sekali lagi, Leona membuang nafasnya. Masih dengan senyum yang sama, ia melanjutkan, "Aku … aku masih menyesal sampai sekarang."
Rook memeluk kedua kakinya kian erat. Gigi-giginya bergemelutuk, tapi sepertinya hampir tidak mengeluarkan suara karena Leona tidak menyadarinya. Bahkan Rook sendiri sempat tidak menyadari apa yang sedang ia lakukan.
"Andai saja aku tidak terlalu memikirkan ego … Vil pasti …." Leona menggelengkan kepalanya begitu ia sadar apa yang dikatakannya. "Tidak … belum tentu dia akan menerimaku. Tapi setidaknya, aku yakin dia pasti akan mendengarkan kalau aku bicara."
Tawa remeh lainnya terdengar, dan rematan di kaki Rook bertambah. Terlihat kalau gadis itu sama sekali tidak suka suasana ini, terutama ekspresi menyedihkan Leona yang menyakitkan.
Mata mereka bertemu ketika Leona bicara lagi, "… Andai ada sihir yang bisa digunakan untuk mengulang waktu, mungkin saja aku … bisa punya kesempatan, dan aku juga … tidak harus membebanimu seperti ini."
Rook memutus pandangan mereka. Ia menenggelamkan wajahnya sepenuhnya di antara kedua kakinya. Ada sesuatu yang pecah di dalam dirinya, dan suara pecahnya bisa ia dengar jelas.
Tak sanggup Rook memikirkan maksud ucapan Leona di akhir tadi. Untuk mendengar curhatan Leona saja sudah memakai banyak energinya, apalagi harus ditambah dengan kata-kata itu. Jika Leona berkata demikian, itu terdengar seolah-olah Leona memikirkan dirinya, sekalipun—mungkin—hanya sebagai teman.
"Rook?"
"…" Yang dipanggil masih tidak merespons. Benda-benda tak kasat mata yang tadi sempat pecah tengah dibenahi. Ia hanya butuh beberapa saat sampai ia kembali ke dirinya yang biasa.
Dengan satu tarikan nafas panjang, Rook mengangkat kepalanya. Ia kembali mempertemukan pandangan mereka. "Leona-kun."
"… Y-ya?"
"Kalau kau butuh teman curhat, termasuk tentang percintaan, aku siap mendengarkan." Itu semua diucapkannya setelah memantapkan hati, dan menantang maut, tentunya.
Walaupun Leona tidak begitu bisa menebak apa yang sedang Rook rasakan saat ini, ia cukup mampu untuk merasakan kalau Rook tidak yakin sepenuhnya dengan ucapannya. Itulah kenapa ia tampak ragu saat mengatakan, "Tidak perlu. Kau tidak usah—"
"Kumohon," Ada kesan menuntut dalam tatapan serta nada suaranya, "lakukan saja. Aku sungguh ingin membantumu merasa lebih baik. Terkadang ada yang tidak bisa kau pendam selamanya, dan aku ingin jadi orang yang menerima apa yang kau pendam itu."
"…"
Rook melempar senyum kecil. "Kau tidak perlu setuju sekarang. Yang penting kau tahu kalau aku siap mendengarkan, kapan pun."
"…" Leona tidak membalas. Kali ini ia yang memutus tatapan mereka dan "kabur" dengan kembali fokus pada mie belut yang bentuknya hampir serupa kotak yang menjadi wadahnya.
Hingga malam tiba pun dan mereka tidur (dengan tumpukan bantal yang memisahkan keduanya), Leona masih menolak untuk bicara banyak dengan Rook. Mungkin terdengar menyakitkan, tapi Rook merasa kalau itu wajar.
Menurutnya, Leona masih melawan pergolakan antara menghargai Rook sebagai istri sahnya saat ini, atau menganggap Rook sebagai teman sepenuhnya. Ia mungkin masih belum tahu perasaan Rook yang sebenarnya, tapi setidaknya ia tahu kalau tidak sepantasnya membicarakan perempuan lain dengan istrinya sendiri. Terlebih ia terang-terangan kalau ia menyukai perempuan lain itu.
Memikirkan itu, Rook mampu menjadi lebih tenang. Sedikit demi sedikit, ia merasa sanggup untuk menerima setiap curhatan Leona tentang Vil. Rasanya memang sakit karena selama Leona curhat untuk yang pertama kalinya saja ia sudah banyak mengganggunya—dengan menjadi komentator dadakan. Namun, sepertinya ini yang terbaik, setidaknya untuk sekarang.
Setidaknya … Rook bisa menipiskan jarak di antara mereka dan membuat Leona menganggap dirinya sebagai teman, bukan lagi gadis berisik menyebalkan yang Leona tidak suka.
.
.
.
Next: Chapter 5
