Chapter 5

.

.

.

Ponsel. Dompet. Kamera. Topi. Sarung tangan. Tas tenteng.

Rook mengabsen satu persatu perlengkapannya. Tak kan ia biarkan ada yang terlewat. Setelah pemeriksaan yang ketiga kali, akhirnya ia yakin kalau semua yang ingin ia bawa sudah siap.

"Mau berangkat sekarang?" Suara Leona yang baru selesai berganti pakaian di kamar mandi terdengar. Ia terlihat "tebal" dengan pakaian musim dinginnya. "… Apa? Ada yang kurang dariku?"

"Justru aku rasa kau berlebihan, Leona-kun," balas Rook tanpa ragu. "Kita tidak akan sampai puncak hari ini dan udaranya tidak terlalu dingin. Baru kali ini aku lihat ada pendaki yang memakai pakaian seperti akan pergi ke Antartika."

Leona memasang tampang lelah. "Kau ada masalah dengan aku yang tidak tahan dingin?"

Rook terkekeh mendengar itu. "Kau bicara jujur, itu nilai plus. Baiklah, akan kubiarkan kau memakai pakaian itu."

"…" Ketika Rook pikir Leona akan tetap memakainya karena sudah "diizinkan," pria itu tiba-tiba melepas mantel bulunya, kemudian blazer yang menutupi kaos lengan panjang yang ada di sebaliknya.

"Loh? Dilepas?"

"… Sepertinya memang terlalu tebal."

Rook terkekeh lagi dan ia berjalan mendekat. Ia memeriksa setiap helai kain yang dipakai Leona, kemudian mengambil jaket lain yang sedikit lebih tipis. "Kita bisa simpan yang tebal untuk hari terakhir saat kita ke puncak. Hari ini pakai yang lebih tipis dulu." Ia membantu Leona untuk memakai jaketnya.

"… Mm." Rook menggigit bibirnya, menahan gemas melihat Leona yang secara mengejutkan mendengarkan kata-katanya. "Kenapa kau senyum-senyum begitu?" tegur Leona kemudian.

"Enggaaak." Selesai membantu Leona berbenah diri, Rook mengembalikan mantel bulu Leona ke dalam kopernya. "Rencananya, kita turun sekitar jam dua siang, yang berarti makan siang akan dilakukan di atas." Rook melihat jam yang menempel di dinding. "Sekarang baru jam delapan, berarti kemungkinan jam sembilan sampai sebelas, kita masih mendaki. Kalau kau merasa dingin, bilang saja. Aku akan bawa blazer-mu untuk jaga-jaga."

"Haah? Kenapa kau yang bawa?"

"Aku bawa tas dan kau tidak." Leona memperhatikan dirinya sendiri setelah Rook berkata demikian. Rook melipat blazer yang tadi dilepaskan Leona dan memasukkannya ke dalam tas tenteng yang ia bawa. "Tasku ini cukup besar, kok, dan masih muat untuk satu blazer. Beratnya juga tidak bertambah banyak, aku masih bisa baw—eh, Leona-kun?!"

Tiba-tiba Leona mengangkat tasnya dan menentengnya sampai keluar kamar. Rook langsung mengambil ponselnya yang masih di atas kasur, memastikan tidak ada yang tertinggal sekali lagi, kemudian mengunci pintu kamar sebelum berlari menyusul Leona yang sudah berdiri di depan lift.

"Roi du Leon! Jangan tiba-tiba keluar begitu! Dan lagi," Rook menarik tasnya, memintanya dikembalikan, "ini tasku, jadi aku yang bawa."

"Jangan bercanda." Leona menarik kembali tasnya, berganti menggunakan tangan kiri untuk memegangnya, bermaksud menjauhkannya dari Rook. "Apanya yang tidak berat? Biar aku saja yang bawa."

Bibir Rook maju, ia jadi sedikit mirip bebek sekarang. "Mencoba jadi suami yang baik, atau kau justru menganggap aku lemah hanya karena aku ini perempuan?"

"…" Leona memilih untuk diam hingga lift mereka tiba. Keduanya masuk dengan Leona yang masih enggan buka suara dan Rook yang seperti tidak ada niatan untuk berhenti berceloteh.

.

.

.

"Fuuuuuuu, aaaaaaahhhh! Gunung!"

"Iya, gunung, jadi hentikan. Kau menarik perhatian." Perlahan Leona menarik tangan Rook supaya gadis itu turun dari pijakan semen di dekat pagar pembatas.

Rook turun dari tempatnya dalam sekali lompat. Senyumnya begitu lebar dan ia terlihat bahagia. "Kau tidak akan paham betapa aku rindu ke sini, Leona-kun." Tangan kirinya terangkat, jarinya menunjuk ke puncak gunung yang ditutupi kabut tebal. "Di atas sana ada banyak burung langka. Setelah kau melihatnya, aku yakin insting berburumu akan langsung bangkit. Aaahh! Bahkan membayangkannya saja darahku sudah mengalir deras!"

Leona memperhatikan sekeliling dengan awas. Para pendaki lainnya benar-benar menjadikan mereka sebagai bahan tontonan. Rencana mereka untuk menikmati bulan madu dengan mendaki gunung hanya berdua tanpa ada gangguan orang lain, tampaknya akan segera berantakan apabila Rook terus seperti ini.

"Sudah selesai?"

"Hm?"

Leona menghela nafas. "Sepulang dari sini, kita sungguhan akan masuk koran dan majalah. Percaya padaku."

Rook memasang tampang polos. Ia lalu mengintip sekeliling dari balik tubuh Leona. "Wah, kau benar. Semuanya memperhatikan kita."

"Haaah …." Leona hanya bisa menepuk dahinya, tak habis pikir. "Jadi? Mau langsung mendaki, atau kau ingin mengadakan 'konser' gratis di sini?"

"Hehe, langsung mendaki." Tanpa menunggu, Rook berjalan lebih dulu ke jalan setapak yang akan menjadi awal perjalanan mereka. Leona memilih untuk berjalan di belakangnya, selain karena mereka bukan pasangan yang sesungguhnya, Leona masih belum hafal daerah sini. Ini sungguhan yang pertama untuknya datang ke mari.

"Nee, Leona-kun."

"Hm?"

"Terima kasih."

Alis Leona menukik satu. "Untuk apa?"

Rook yang sedari tadi berjalan sambil melompat-lompat kecil, berhenti sejenak. Ia berbalik, memperlihatkan senyum manisnya hanya pada Leona. "Kau setuju untuk datang ke sini. Aku tahu kau tidak mau ke tempat-tempat yang melelahkan, apalagi mendaki seperti ini. Tapi kau menerima dan mengabulkan keinginanku."

Leona membuang pandangannya, berdeham kecil. "… Berterima kasih pada Aniki, jangan padaku. Dia yang memintaku untuk setuju dengan permintaanmu."

"Menurutku ini tetap saja keputusanmu," sergah Rook. "Kau bukan tipe yang senang mendengarkan perintah, terutama kakakmu. Tapi kau mau mendengarkannya, dan juga aku. Sebenarnya … aku tidak masalah ke mana saja, toh bulan madu ini hanya formalitas. Aku sempat menyebut gunung ini pun hanya karena spontan, teringat dengan kenangan saat aku ke sini bersama ayahku."

Rook melebarkan senyumnya, dan di sepersekian detik itu, jantung Leona sempat berhenti berdetak. "Terima kasih sudah mengabulkannya, Leona-kun. Aku senang sekali, dan aku tidak akan pernah melupakannya," ucapnya yang terdengar amat tulus, bahkan seorang Leona pun bisa merasakannya.

"…"

"… Leona-kun?"

"Ayo jalan lagi."

"Eh?" Tiba-tiba saja Leona melanjutkan perjalanan, dan kali ini, ia mendahului Rook. Ia berjalan seolah lupa kalau ia baru pertama kali ke tempat ini. Meski begitu, langkahnya tidak terlalu cepat sehingga Rook masih bisa mengikuti dengan jarak yang tidak terlalu jauh.

Sambil terus berjalan dalam diam, Rook melihat punggung lebar nan kokoh di depannya. Perasaannya kembali tumpah, tapi kali ini ia tidak berniat untuk menahannya. Lagipula, Leona tidak mengetahuinya, jadi ia berpikir untuk memanfaatkan setiap detik yang ada … karena ini semua akan jadi kenangan berharga.

.

.

.

Empat hari berlalu dengan Leona dan Rook yang menghabiskan waktu bulan madu mereka seperti "darmawisata." Besok siang, pesawat mereka akan mendarat di bandara untuk menjemput mereka kembali ke Sunset Savanna. Benar kata orang-orang yang bilang kalau waktu akan terasa cepat berlalu apabila dijalani dengan gembira. Dan kira-kira begitulah yang juga dirasakan, setidaknya bagi Rook.

Di malam terakhir mereka di sini, Rook sudah merencanakan akan menghabiskannya di puncak gunung. Mereka akan turun begitu matahari terbit, sehingga bisa sampai di hotel sebelum siang. Ia ingin sekali menunjukkan bintang-bintang di langit malam yang bisa terlihat jelas dari puncak pada Leona, tapi sepertinya, hanya Rook yang merasa antusias.

"Leona-kun …?" Yang dipanggil hanya berdeham. Matanya masih fokus melihat langit berbintang tanpa tersenyum.

Rook menggigit bibir, mendadak ragu untuk menyuarakan diri. Namun kemudian ia memaksakan diri dan keluarlah kata-kata, "Apa … kau sungguhan tidak suka pergi ke puncak?"

"…" Lagi-lagi tidak menjawab dan ini sungguh menambah perasaan tidak nyaman dalam diri Rook. Ia tahu kalau rasanya pasti berat sekali melalui hari-hari yang harusnya dihabiskan bersama orang yang dicintai, tapi justru bersama orang yang dianggap mengganggu. Awalnya Rook mengira kalau Leona akan lebih tahan untuk menghadapi setiap ujian yang ada, tapi kelihatannya sekarang hanya Rook yang berusaha sendiri.

Rook menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Aku tidak boleh berpikir berlebihan, sama sekali tidak profesional, ia mencoba menampar dirinya sendiri dengan kata-kata itu.

Mata Rook memejam, hanya beberapa menit, sebelum akhirnya ia membukanya lagi sambil berkata, "Leona-kun, kalau kau ingin curhat lagi, aku mau dengarkan."

Leona masih tidak memberi respons apa-apa, tapi kepalanya sudah berhasil dibuat menoleh ke arah Rook. Tatapannya terasa dingin, mengalahkan udara malam di puncak gunung yang sebenarnya bisa menusuk sampai lapisan tulang terdalam.

Rook menelan liurnya sendiri, lalu berkata lagi, "… Aku sudah bilang sebelumnya kalau aku siap mendengarkan, kan? Perkataanku mungkin terdengar spesifik di percintaan karena kita habis membicarakan itu, tapi kalau mau bicarakan yang lain, aku akan dengarkan. Apa pun yang mengganggu pikiranmu, tumpahkan saja tidak apa."

Karena aku juga ingin berguna untukmu—untuk orang yang kusayang.

Leona memutus kontak mata mereka. Meski begitu, Rook bisa melihat kalau ketegangan yang sempat menghantui pundaknya memudar, sedikit demi sedikit.

"… Aku tidak tahu."

Kepala Rook manggut-manggut. "Ya, santai saja. Pelan-pelan, kita punya waktu semalaman."

Leona membuang tawa remeh. "Aku bahkan berpikiran ingin turun sekarang. Di sini terlalu dingin."

"Eh?! Begitu, kah?!" Rook mengambil tasnya dan mengeluarkan blazer milik Leona yang tidak pernah meninggalkan tasnya barang sedetik. "Kau mau pakai blazer-mu? Rasanya memang semakin dingin, kalau kau—"

"Tidak, aku baik." Leona mendorong sodoran blazer di depannya pelan, kembali ke Rook. "… Sepertinya kau lebih butuh. Hidungmu merah."

"Eh?" Kali ini giliran ponselnya yang dikeluarkan dari tas, lalu Rook melihat pantulan dirinya dari kamera depan ponsel. "Aaah! Padahal aku tidak merasa dingin sedikit pun! Inilah kenapa aku kurang suka kulit yang terang …."

"Kau ingin punya kulit gelap?"

"Betul sekali!" Ponsel dan blazer dikembalikan ke dalam tas. Rook kembali bertatapan dengan Leona. "Tone seperti Leona-kun itu bagus sekali. Kadang aku iri melihatnya. Tapi, tidak peduli sesering dan selama apa aku memanggang diri di bawah matahari, kulitku tidak pernah menggelap. Palingan hanya bertahan satu minggu, lalu kembali ke warna semula."

"Tentu saja karena pada dasarnya kulitmu itu putih, jadi pasti kembali," Leona membalas, acuh tak acuh.

Rook menggembungkan pipinya. Di mata Leona itu terlihat lucu sekali karena warna merah di hidungnya seperti menyebar sampai ke kedua pipinya. "Haaah, aku tahu aku tidak seharusnya mengeluh seperti ini—karena kesannya aku seperti tidak bersyukur, tapi kadang aku memang tidak bisa membuang pemikiran yang begini."

Leona menaik-turunkan kedua pundaknya. "Bukannya itu wajar? Setiap makhluk hidup di dunia ini pasti punya positif dan negatif masing-masing. Kau tidak akan selamanya 'suci,' jadi 'bernoda' beberapa kali itu sah-sah saja."

"Oooh?"

"… Apa?"

Satu alis Rook terangkat. "Ucapanmu tadi itu dalam juga, Leona-kun. Aku tidak pernah menyangka kau bisa mengatakan yang seperti itu."

"Diam." Leona mencoba mencubit pinggang Rook, tapi gadis itu berhasil menjauh sebelum cubitan menyakitkan benar-benar mendarat.

"Hei, hei! Kau tidak kuizinkan untuk mencubit!"

Leona tersenyum miring. "Lalu? Bagaimana aku harus menghukummu?"

Wajah Rook bertambah merah dan sekarang kedua telinganya ikut menjadi korban. "Ap—kenapa aku dihukum?! Apa salahku?!"

"Karena kau selalu mengeksposku."

"Tunggu—maksudmu kau malu? Tapi, tidak! Aku tidak terima dihukum!" Rook bangun dari duduknya dan semakin menjaga jarak dari Leona yang sepertinya masih berniat menghukumnya. Melihat Leona juga berdiri, Rook semakin histeris, "Hei, Leona-kun! Roi du Leon! Hentikan!"

Hanya dalam sekali gerak, ia berhasil menangkap Rook dan memerangkapnya dalam pelukan. Gadis dalam pelukannya tidak berkutik, hanya sanggup menganga dan membelalakkan mata.

"Aku kedinginan."

"Kalau begitu pakai blazer-mu! Lagipula, bukannya tadi kau berniat menghukumku?!"

"Hukumannya ganti dengan pelukan, boleh, kan?"

Mana bisa begitu?! Ditambah, bukannya memeluk sama dengan menyentuh?! Meski begitu, Rook tidak menyuarakan isi kepalanya. Bukannya menolak dengan tindakan, yang dilakukannya justru memeluk balik Leona dan menyembunyikan wajahnya di dada bidang lelaki itu.

Semuanya terasa tidak nyata, tapi Rook benar-benar mencium aroma singa muda yang kuat. Tidak lagi dari tumpukan pakaian yang ia lipat, tapi langsung dari si empunya aroma.

.

.

.

Kenapa …? Kenapa dia harus seperti ini? Untuk apa pelukan ini? Apa maksudnya?

Apa yang diinginkannya?

Leona-kun, asal kau tahu, aku selalu berusaha menahan segala macam perasaan pribadiku agar tidak terlalu tumpah. Ini semua bukan hanya demi kelancaran "kontrak," tapi juga untuk menjaga hatiku supaya tidak mendapat rasa sakit yang berlebihan apabila kita berpisah suatu hari nanti.

Namun, kenapa? Padahal kita sudah berjanji untuk mengurangi sentuhan jika tidak diperlukan. Aku selalu menurutinya, menepatinya, serta menjalankannya dengan baik. Aku mengabaikan segala impianku yang ingin sekali memeluk dan mengusap kepalamu penuh cinta.

Lalu kau justru meruntuhkan setiap pertahanan yang ada. Demi Tuhan, ini bahkan belum ada sebulan setelah resepsi. Kita baru menghabiskan dua minggu sebagai pasangan suami istri. Kita masih punya sekitar 23 bulan dua minggu lagi sebelum berpisah.

Ini … ini bukan sebagai tanda kalau kita akan berpisah dalam waktu singkat, kan? Kau tidak mungkin sudah tidak memikirkan reputasi dan segala macam konsekuensinya lagi sehingga berpikir kalau ini sudah saatnya untuk menceraikanku, kan?

Tidak … aku tahu kalau pikiranku berlebihan. Leona-kun tidak mungkin sesembrono itu; memilih untuk menyerah dan membuang setiap perjuangannya—perjuangan kami—begitu saja. Hanya saja, apa dia yakin kalau ini benar untuk dilakukan?

Aku tahu Leona-kun memperlakukanku dengan baik. Saat dia mengunjungi keluargaku dan meminta izin untuk "meminjamku," sikapnya sangat amat mencerminkan seorang bangsawan terhormat. Dia benar-benar menghargai setiap orang yang bersedia membantunya, termasuk aku yang sekarang berperan sebagai istrinya.

Leona-kun selalu baik, jadi mungkin pelukannya sekarang pun bisa dikategorikan sebagai "hadiah." Ditambah, kami sedang bulan madu. Walaupun ini termasuk dari rencana dan hanya sebagai formalitas, entah kenapa aku berpikiran kalau, bisa saja, Leona-kun merasa butuh memperlakukanku dengan baik. Tadi aku juga sempat bertanya apa mungkin dia tidak suka dengan perjalanan ini, lalu dia merasa bersalah yang kemudian membuatnya berpikir kalau kesalahannya bisa dibayar dengan pelukan.

Jika benar begitu, maka aku senang. Aku sangat menghargai kebaikan hati dan perhatiannya. Namun, aku rasa dia tidak seharusnya melakukan ini?

Apa dia tidak takut dengan kemungkinan aku yang bisa saja jatuh cinta padanya? Dia tidak tahu apa-apa tentang perasaanku, jadi kenapa dia bisa seyakin ini dalam bertindak?

Grit …

Tolong, Leona-kun … aku mohon ….

Berhenti membuatku mencintaimu lebih dari ini ….

.

.

.

Next: Chapter 6