Sebelum masuk Night Raven College, Rook sempat mendengar rumor tentang pangeran kedua, Leona Kingscholar, yang bersekolah di sana. Kalau ia tidak salah ingat, usia Pangeran Leona dua tahun di atasnya. Itu berarti, jika Rook baru masuk sebagai siswa baru kelas satu, maka sang pangeran sudah kelas tiga. Meski begitu, Rook tidak pernah menemukan Leona keluar masuk gedung kelas tiga. Sebaliknya, ia justru sering menemuinya di wilayah kelas dua. Ia pernah mendengar rumor lainnya yang mengatakan kalau sang pangeran sempat tidak naik kelas, tapi ia tidak pernah menyangka kalau itu bisa jadi benar.

Rook melompat dari pohon ke pohon sambil terus memikirkan Leona. Ia begitu penasaran dengan sang pangeran, tapi tidak pernah punya kesempatan untuk bertemu langsung saat di kampung halamannya. Ia sudah sempat menyapanya yang tengah menjabat sebagai kepala asrama Savanaclaw saat penerimaan siswa baru, tapi Leona tidak menggubris dan yang bisa Rook lakukan setiap hari hanya memandang dari jauh. Namun kali ini, ia berencana untuk mencari Leona sampai dapat, lalu mencoba mengajaknya bicara sekali lagi—

Krakk

Rook tidak jadi melompat ketika ia mematahkan dahan di depannya. Itu merupakan kecerobohan pertama yang ia buat sebagai murid baru NRC. Kecerobohan itu tidak hanya membahayakannya karena bisa membuatnya terjatuh, tapi juga bisa memancing mangsa yang diincar melarikan diri.

Gadis itu memikirkan "mangsa" karena ternyata, orang yang sedari tadi dicarinya sudah ada di depan mata. Sosok singa muda yang penuh aura pemburu itu tengah tertidur di rumah kaca sekolah dengan wajah yang menghadap pohon di atasnya.

Dengan sangat perlahan, Rook menipiskan jarak di antara mereka, hingga akhirnya ia berhasil mencapai posisi yang paling aman serta menguntungkan. Terima kasih juga pada penglihatannya yang tajam karena dalam jarak yang terbilang masih cukup jauh ini pun, ia sudah mampu melihat bekas luka di mata kiri sang pangeran dengan teramat jelas.

Gadis pemburu itu duduk di tempatnya, berusaha menyamankan diri. Matanya tak lepas, barang sedetik pun, dari pemandangan indah itu.

"… Benar-benar seorang pangeran," gumamnya, nyaris tak bersuara. Senyum tersimpul, merasakan damai seperti di rumah, walaupun ini bukan tanah Sunset Savanna tercinta.

Rook tidak tahu betul nama apa yang cocok untuk perasaannya saat itu. Yang ada di kepalanya hanya ia merasa aman dan nyaman setiap kali memandangi sang pangeran singa tertidur di ruang terbuka, di bawah pohon untuk menghindari sinar matahari.

.

.

.

Chapter 6

.

.

.

Satu minggu telah berlalu sejak Rook dan Leona kembali dari bulan madu mereka. Dengan tidak adanya kegiatan untuk beberapa waktu ke depan, Rook harus memulai waktunya sebagai ibu rumah tangga. Sebenarnya tidak bisa disebut sebagai ibu rumah tangga sepenuhnya karena ia tidak membersihkan mansion sebesar itu sendirian. Bahkan dalam seminggu ini, Rook nyaris tidak pernah memegang alat bersih-bersih karena para pelayan akan langsung melarangnya untuk ikut membantu pekerjaan mereka. Walau akan ada kalanya mereka kalah "berdebat" dengan sang tuan putri dan membiarkan ia membantu mereka pada akhirnya.

"Rook-sama! Pohon cemaranya biar saya saj—"

"Tidak apa. Aku sudah lama tidak berurusan dengan tanaman."

Sama seperti yang terjadi hari ini. Lagi-lagi Rook memaksa untuk ikut bersih-bersih saat Leona sedang bekerja di istana. Kali ini yang dilakukannya adalah menata tanaman yang ada di taman belakang mansion.

Pelayan yang biasanya bertugas mengurus taman mereka hanya bisa menghela nafas. Sambil memperhatikan Rook yang dengan lihai memangkas setiap dahan yang tidak perlu, pelayan itu mengajaknya bicara, "… Maaf jika terdengar kurang sopan, tapi saya sempat berpikir Rook-sama tidak bisa mengurus tanaman."

"Hahaha! Tidak masalah. Yang berpikir seperti itu bukan hanya kau, Mademoiselle Laura," balas Rook seraya tersenyum ramah pada pelayan bernama Laura tersebut. "Ayahku pun tidak percaya kalau aku bisa merawat tanaman. Sampai dia melihatnya sendiri ketika liburan sekolah, barulah dia percaya."

"Hoo … apakah selama di NRC, Rook-sama sering berurusan dengan tanaman?"

"Ya, bisa dibilang begitu." Rook mundur sedikit, membuat Laura ikut memundurkan diri. Keduanya menatap pohon cemara yang masih dalam proses penataan. "Aku dulu ikut Klub Sains, dan kami—aku dan temanku—sering mengurus tanaman-tanaman yang nantinya juga digunakan untuk keperluan klub di rumah kaca sekolah. Awalnya memang agak sulit karena itu pertama kalinya aku banyak berurusan dengan tanaman, tapi kemudian aku menikmatinya."

Laura menatap Rook kagum, sementara yang ditatap kembali mendekat ke pohon cemara di depannya. "Itu hebat sekali! Apa Rook-sama sudah ikut Klub Sains sejak kelas satu?"

"Ya."

"Wow! Hanya dalam tiga tahun, tapi sudah sangat pandai menata cemara! Saya saja butuh belajar empat tahun lebih bersama senior-senior saya …."

"Hahaha! Kau berlebihan, Mademoiselle. Sudah dasarnya aku suka keindahan, jadi tidak hanya fokus pada reaksi-reaksi kimia, aku juga sering menata setiap tanaman di rumah kaca sampai lupa waktu."

Beberapa saat setelah menyadari kata-katanya sendiri, Rook menghentikan kegiatannya. Laura yang mengetahui itu sempat akan mengatakan sesuatu, tapi Rook langsung memotong, "Oh, benar juga. Kapan biasanya Leona-kun pulang kalau sedang ada panggilan ke istana begitu?"

"Eh? Aah …." Laura mengambil ponselnya dan mengecek jadwal yang ia tulis di note. "Antara jam tiga atau empat sore, Rook-sama. Itu pun tergantung dari seberapa banyak pekerjaan dan tugas yang diberikan Yang Mulia Falena."

"Begitu …." Jawaban Rook terdengar mengambang, pandangannya seperti menerawang sesuatu yang tak kasat mata. Gadis itu terus melanjutkan pekerjaannya tanpa suara, membuat Laura juga ikut diam dan hanya memperhatikan setiap kegiatan yang dilakukan tuan putrinya.

Mungkin terdengar aneh, tapi tiba-tiba Rook teringat dengan hari-hari saat ia masih kelas satu dulu. Saat ia belum pindah ke Pomefiore dan masih sering mengikuti Leona ke mana-mana.

Pertemuan mereka dimulai di rumah kaca itu. Siang hari yang cerah, matahari bersinar tanpa ada satu awan pun menghalangi. Cuacanya sangat panas, dan Rook merasa sejuk di dalam rumah kaca. Selain itu, keberadaan sang pangeran yang tertidur membuat udara di sekeliling bak di oasis.

Semua terasa indah dan menenangkan. Setiap kali Rook mengingat hari-hari itu, ia akan selalu merasa damai. Hatinya tentram dan rasa rindu mulai menyeruak memenuhi seluruh ingatannya. Apa pun pekerjaan yang tengah dilakukan, ia tidak akan lagi fokus. Hanya mengulang memori indah serta—

Cut …

"… Eh?"

"EEEEHHH! ROOK-SAMA, TANGAN ANDA!"

Rook terkejut bukan karena melihat darah mengalir deras dari jari tangannya, tapi justru dari bagaimana Laura yang berteriak histeris. Bahkan teriakannya itu sampai memancing pelayan lainnya dan pengawal penjaga gerbang untuk datang ke taman belakang.

"Astaga! Rook-sama terluka!"

"Darahnya! Darahnya banyak sekali!"

"Panggilkan dokter istana! Cepat!"

Segala macam keributan tak dapat dicegah. Rook sudah berusaha untuk menenangkan semuanya dan memberitahu mereka bahwa ia baik-baik saja—mungkin hanya perlu obat merah serta perban. Namun, seolah suaranya hanya bisikan angin, semua orang tetap sibuk dengan kepanikan mereka masing-masing. Rook jadi merasa bersalah karena luka ini disebabkan dirinya sendiri yang melamun.

.

.

.

"Jadi? Ada apa di sini?"

Dan ada apa kau di sini, Leona-kun?!

Rook memejamkan matanya, sudah tidak tahu lagi harus bagaimana atas apa yang terjadi hari ini. Semua orang panik mengetahui dirinya terluka, tapi ia tidak pernah menyangka kalau ada salah satu dari mereka yang sampai memberitahu Leona tentang perkara ini. Terlebih, Leona yang pulang hanya untuk melihat kondisinya adalah hal lainnya yang tidak sanggup ia pikirkan.

"Yang bersama Rook tadi siapa?" Laura, yang tengah ketakutan dengan wajah pucatnya, mengangkat tangan. Leona meminta pelayan muda itu untuk mendekat. "Kau yang bersama dengannya di taman?"

Laura membungkuk dalam. "I-iya, Leona-sama. M-maafkan saya, saya—"

"Dan kau biarkan dia memegang gunting taman?"

"Leona-kun!"

"M-maafkan saya, Yang Mulia! Sungguh, saya tidak bermaksud demikian!"

Rook mengangkat tangannya, meminta Laura untuk menghentikan ucapan maafnya. "Mademoiselle, aku mohon untuk jangan meminta maaf, oke?" Laura tampak tidak setuju, tapi Rook langsung memotong dan bicara dengan menatap tajam ke Leona, "Leona-kun, kau juga tidak boleh begitu. Mademoiselle Laura tidak salah sama sekali. Aku yang meminta gunting tamannya dan aku pula yang melamun saat sedang menata. Ini karena perbuatanku sendiri."

Leona membuang nafas. "… Aku tidak menyalahkannya."

"Tapi kau berniat begitu, ya, kan?" Rook masih terus memberikan tatapan tajam pada Leona sampai kedua telinga singa muda itu merunduk sedikit. Setelah tahu kalau Leona menyerah, Rook kembali pada Laura, "Mademoiselle, kalau aku meminta gunting taman padamu lagi kapan-kapan, tolong tetap berikan padaku, ya? Aku janji akan lebih hati-hati ke depannya. Maaf sudah membuat kekacauan hari ini."

Laura terlihat sudah hampir menangis. Ia menundukkan kepala dalam-dalam, kemudian membungkuk. Rook memintanya untuk berhenti membungkuk dan memberi perintah padanya serta yang lain untuk kembali ke kegiatan masing-masing. Ia mencoba meyakinkan mereka bahwa ia sudah baik-baik saja, apalagi sekarang sudah ada Leona di dekatnya.

Melihat itu, Laura serta beberapa pelayan langsung pergi meninggalkan mereka berdua sendiri. Rook menyempatkan diri untuk mengucapkan terima kasih pada dokter yang telah merawatnya sebelum ia benar-benar pergi, lalu fokusnya kembali pada Leona yang masih saja diam sejak tadi.

"Kau tidak duduk, Leona-kun?"

"…" Masih diam, Leona mengambil duduk di sofa yang sama dengan Rook. Hanya saja, entah kenapa singa muda itu menjaga jarak dengannya.

"… Kenapa jauh sekali?"

"…"

"Dan berhenti mendiamkanku." Rook memaksa mendekat, ia tidak membiarkan Leona untuk kabur sedikit pun. Tangan kirinya yang tidak terluka menahan tangan Leona, kemudian memaksanya untuk kembali bertatapan dengan sepasang hunter green yang berkilat itu. "Kenapa kau kembali? Bukannya kau ada pekerjaan? Bagaimana dengan Yang Mulia Raja?"

Leona melepaskan cengkeraman Rook, lalu menjawab, "… Ada yang melapor padaku, dan aku … langsung ke sini."

Rook memajukan sedikit bibirnya. "Aku senang kau mengkhawatirkanku—terima kasih, tapi lain kali tidak perlu langsung pulang begini. Lihat, lukanya sudah diobati dan jari-jariku masih lengkap."

"Jangan bicara seperti itu."

"Kenapa? Kau takut?"

"Terus kenapa kalau aku bilang iya?"

"…" Kali ini Rook yang berhasil dibuat diam. Tiba-tiba Leona memasang tampang serius dan itu membuat Rook membungkam bibirnya rapat.

Leona menghela nafas. Ia memutar tubuhnya agar Rook dan dirinya bisa saling berhadapan. Tangan kanan Rook diambilnya, lalu diperhatikannya jari telunjuk dan tengah yang diperban. Noda merah tampak menghiasi perban yang putih, tapi Leona tahu kalau itu bukan warna darah, melainkan obat yang digunakan untuk menghentikan pendarahan serta menutup lukanya.

"… Jangan lakukan ini lagi," ujarnya rendah sambil mengusap kedua jari Rook yang berada di balik perban.

Memori lainnya tiba-tiba melintas. Rook merasakan sesuatu yang sama seperti yang dirasakannya hari itu. Tangan kirinya meremat kulit sofa tanpa ia sadari.

Jadi benar, apa yang kurasakan hari itu memang apa yang kurasakan hari ini ….

"Apa sakit?"

"… E-eh?"

Mata Leona mengarah ke lukanya, kemudian kembali ke sepasang hunter green milik Rook. "Lukanya. Saat aku mengusapnya, tangan kirimu meremat sofa. Masih sakit, kah?"

Rook termenung beberapa saat, kemudian menggelengkan kepalanya cepat. Ia memberi senyum terbaiknya pada Leona. "Tidak, sudah tidak sakit lagi. Aku hanya … kepikiran sesuatu."

"Apa itu hal yang sama yang membuatmu melamun tadi sehingga melukai dirimu sendiri?"

"…!" Seketika rasa panas memenuhi wajahnya dan Rook tahu pasti kalau pipinya sudah memerah padam. Buru-buru ia mengambil bantalan sofa dan menyembunyikan wajahnya dengan itu. "Pip, pop! Tebakannya salah!"

"Haah?" Leona mencoba melepaskan bantalan dari cengkeraman Rook, tapi rupanya genggaman gadis itu jauh lebih kuat dari dugaannya. "Berhenti main-main, hei! Tunjukkan wajahmu!"

"Nooo! This face of mine is a forbidden treasure! I will not let even a prince charming like you to see it!"

"The hell with that joke?" Leona lalu menyerah dan membiarkan Rook terus-terusan menggunakan bantalan itu untuk menyembunyikan dirinya dari rasa malu. "Terserah. Aku akan kembali ke istana, tapi kau dilarang keluar kamarmu sampai aku mengizinkanmu."

"Hah?!" Leona sempat terkejut dengan Rook yang tiba-tiba melepas pertahanannya. Masih ada sedikit warna merah yang tertinggal di kedua pipinya yang lumayan chubby, tapi ekspresi gadis itu jelas-jelas tengah menahan kesal sekarang. "Jangan bilang kau mulai berpikir untuk memenjarakanku?! Bukankah itu melanggar perjanjian kita?! Aku perempuan yang bebas!"

Leona menjauhkan bantalan itu dari tangan istrinya sebelum nanti digunakan untuk bersembunyi lagi. "Tidak ada kebebasan kalau kau melanggar janjimu sendiri untuk menjaga diri dari marabahaya," balas sang pangeran santai, kemudian bangkit berdiri dan berniat kembali ke istana.

Rook menyandarkan punggungnya ke sofa, sementara kedua kakinya bergerak ke sana ke mari, layaknya anak kecil yang tidak diizinkan memakan camilannya sebelum makan siang. "Mana ada terluka akibat gunting taman dimasukkan kategori marabahayaaa?!" teriak gadis itu frustrasi.

Sayangnya, Leona enggan mendengarkan dan meninggalkan Rook yang masih berteriak serta menggerutu tidak terima sendirian di ruang tengah. Ia sempat meminta beberapa pelayan untuk memastikan Rook tetap diam di kamarnya.

"Ke kamar mandi pun tetap ikuti dia," pinta Leona yang terakhir sambil terus berjalan.

"Dimengerti, Leona-sama." Pelayan yang diminta langsung masuk ke mansion untuk menjalankan perintah yang diberikan.

Sebelum benar-benar meninggalkan mansion, Leona memperhatikan kinerja para pelayannya terlebih dahulu. Ia harus memastikan dengan mata kepala sendiri kalau mereka bekerja sesuai perintah. Begitu yakin Rook sudah dibawa mereka ke lantai dua, ia tersenyum puas. Kaki-kaki panjangnya dibawa melangkah keluar pekarangan untuk kembali ke tumpukan dokumen yang sejak pagi hampir membuatnya gila itu.

.

.

.

Cahaya hunter green miliknya mengedar ke sekeliling. Setelah yakin tidak ada gangguan apa pun, gadis itu mencoba naik ke pohon yang berada lebih dekat dengan sang raja hutan yang tertidur. Ia berniat untuk melihat singa itu lebih dekat, tapi sayang, ada sedikit salah perhitungan yang akhirnya membuatnya jatuh tersungkur ke belakang.

Tidak sanggup untuk langsung bangun, gadis itu merintih sakit ketika berusaha untuk duduk. Kepalanya pening, dan saat ia berbalik hendak bangkit dengan kedua tangannya, ia melihat ada sebercak noda merah di tanah. Sontak ia menyentuh belakang kepalanya, lalu menyadari kalau ia sedang tidak baik-baik saja.

"… Oh, tidak—"

"Sepertinya ada anak manusia yang terluka."

Masih dengan refleks yang baik, gadis pemburu itu memundurkan tubuhnya dan segera memasang kuda-kuda. Ia sempat lupa kalau dirinya sedang tidak membawa busur dan panah andalannya.

"Hei, tidak perlu tegang begitu—hm?"

Oh …. Rupanya itu sang pangeran. Karena terlalu fokus dengan luka dan kepalanya yang berputar, gadis itu sampai tidak sadar dengan kehadiran sang pangeran kedua Sunset Savanna, Leona Kingscholar.

Pangeran Leona maju satu langkah, kemudian berjongkok. Ia memperhatikan pemburu muda di hadapannya dengan seksama sebelum bicara lagi, "… Kau anak kelas satu yang menyapaku di penyambutan murid baru? Kenapa kau ada di sini?"

"…" Gadis itu terlalu kagum sampai tidak sanggup bicara. Segala sakit dan perih yang ia rasa bak disapu angin gurun yang panas. Yang tersisa kini hanya perasaan senang karena ternyata pangerannya mengingat dirinya.

"… Kepalamu yang terluka?" Suara rendah Leona menyadarkannya. Begitu ia teringat dengan lukanya, rasa sakit di kepala pun kembali. Gadis itu hampir saja jatuh dari duduknya apabila sang pangeran tidak langsung menangkapnya. "Masih bisa bangun? Biar kuantar ke ruang kesehatan."

Gadis pemburu itu mengangguk lemah. Ia mencoba berdiri dengan bantuan dari sang pangeran yang sekaligus ryocho-nya, sebelum akhirnya kembali terjatuh. Kali ini tepat ke dada lebar Leona.

"Kau yakin kau baik-baik saja?" Tidak lagi menunggu respons dari si gadis, Leona langsung membawanya dalam gendongan. Hampir saja gadis itu berteriak histeris karena kaget jika Leona tidak langsung bicara, "Maaf, aku tahu kau merasa tidak nyaman diangkat laki-laki asing seperti ini—sekalipun aku ryocho-mu, tapi darah di lukamu masih terus menetes. Kita tidak bisa lama-lama lagi di sini."

"…" Gadis itu tidak menjawab apa-apa dan masih tetap diam. Ia mencoba agar tidak menyandarkan kepalanya, bermaksud supaya tidak mengotori seragam Leona. Namun Leona justru menarik kepalanya untuk bersandar di pundaknya. Gerakannya pelan, bahkan sentuhan tangannya terasa lembut.

Tak ada percakapan lagi di antara keduanya. Yang ada hanya gadis yang berusaha mati-matian supaya tetap tersadar, serta pangeran yang menggendongnya dengan kesatria hingga ke tempat tujuan.

Di hari itu, tepat dalam dekapan hangatnya, si gadis pemburu, Rook Hunt, mulai menyadari adanya sebuah perasaan aneh yang bergumul dalam hati. Hanya saja, ia masih sibuk mencari-cari nama yang pas untuk menamainya, hingga tiba saatnya ia mengetahui harus disebut apa perasaan itu.

.

.

.

Next: Chapter 7