Berkat perlakuan Leona Kingscholar hari itu, Rook Hunt menjadi semakin berani untuk "menempeli" sang pangeran. Bahkan setelah ia pindah ke Pomefiore dalam misi mencari "kecantikan" pun, Rook tetap berusaha menyisihkan waktu supaya bisa sekadar menengok Leona yang tidur di rumah kaca sekolah. Ia sampai memberanikan diri untuk ikut Klub Sains dan belajar membaur dengan tanaman untuk pertama kalinya demi bisa menghabiskan waktu lebih banyak di rumah kaca.

Mengenal Leona lebih jauh jelas membawa banyak perubahan dalam hidupnya. Rook yang tadinya tidak terlalu peduli pada penampilan, jadi lebih perhatian dengan apa yang dikenakannya dan perawatan apa yang harus dilakukan. Ini semua memang berkat omelan terus menerus dari Vil yang berperan dalam perubahannya. Walau begitu, perasaan ingin diperhatikan oleh Leona juga lah yang menjadi faktor penting lainnya.

Rook juga tidak merasa takut atau ragu-ragu lagi untuk menyapa bahkan mengajak Leona "mengobrol." Ia merasa setelah Leona memperhatikannya untuk pertama kali di rumah kaca waktu itu, kesempatannya untuk mengenal sang raja hutan semakin besar. Tanpa disadarinya, ia berharap bahwa suatu saat nanti, Rook bisa menjadi lebih dekat dengan Leona dan Leona akan membalas setiap perhatiannya.

Harapannya itu seakan didengar oleh para dewa. Ketika naik kelas tiga, rupanya Rook satu kelas dengan Leona Kingscholar, dan tampaknya sang pangeran "senang" akan kehadirannya. Rook melihat itu sebagai sebuah peluang dan ia tidak boleh menyia-nyiakannya.

Namun, di saat Rook merasa saat itulah kesempatannya, ia justru mendapat pukulan dan ujian yang mungkin bisa dikategorikan cukup berat. Sebab, bukannya perhatian lebih yang Leona berikan, pemuda itu justru memberinya beberapa pertanyaan yang menyangkut teman baiknya, seperti:

"Kudengar kau jadi wakilnya Vil Schoenheit? Apa kau dekat dengannya?"

Awalnya pertanyaan itu terdengar normal. Vil dan Leona sama-sama memegang posisi sebagai ketua asrama. Bahkan keduanya dikenal kuat dan sanggup saling mengimbangi kekuatan masing-masing. Rook pikir kalau ini memang murni pertanyaan sebagai sesama ketua asrama sekaligus rival. Hanya saja dirinya terlalu naif. Bisa-bisanya menganggap itu hanya sebatas hubungan "ketua asrama" dan "rival."

"… Sejujurnya, aku berharap dia tidak lagi menganggapku sebagai rival setelah ini."

Dan saat Leona mengatakan itu, barulah Rook sadar kalau selama ini dirinya terlalu positif. Ia terlambat menyadari itu dan perasaannya sudah terlanjur dalam saat sudah mengetahuinya.

Rook tidak punya pilihan selain menerima kenyataan, kemudian dengan bodohnya justru menerima lamarannya yang jelas-jelas tidak didasarkan cinta.

.

.

.

Chapter 7

.

.

.

"…"

Leona menatap tanpa minat tampilan layar ponselnya. Sayangnya ini bukan dokumen yang dikirim kakaknya atau hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan lainnya. Yang dilihatnya kali ini ialah salinan sebuah undangan dengan desain apik dan mengeluarkan aura "menyenangkan." Jika dibandingkan dengan miliknya dan Rook beberapa waktu lalu, desain dari undangan yang tengah dilihatnya kini memang terkesan jauh lebih simpel. Hanya saja, nama yang tertera di sana jelas-jelas mengganggu kualitas mood-nya hari itu.

Vil Schoenheit.

Akhirnya perempuan muda yang penuh talenta itu telah resmi mengumumkan pertunangannya dengan seorang pria yang tak Leona kenal. Ia juga sudah mengirimkan salinan undangan—sama seperti yang dikirimkan pada Leona—ke teman-teman "dekatnya" yang lain. Hal itu bisa diketahui dari beberapa pesan lain yang masuk ke ponselnya yang dikirim dari sesama alumni NRC yang ia dan Vil kenal.

Leona memijat pelipisnya dan memejamkan mata sejenak. Entah sudah helaan nafas yang ke berapa ia keluarkan hari itu. Tidak hanya pekerjaan, tapi juga masalah lain yang mengguncang batin memperburuk keadaan.

Jari tangannya mengetuk-ketuk pegangan kursi. Kepalanya tengah berpikir keras. "… Inikah saatnya? Mendadak aku tidak yakin."

Tok, tok

"Halo, Leona."

Kening sang pangeran kedua seketika mengerut. "Aku belum menjawab, jangan asal masuk begitu, Yang Mulia."

"Ahaha! Aku hanya tidak sabar ingin segera melihat paras tampan adik kecilku."

"Tidak usah banyak basa-basi, Pak Tua. Cepat katakan maksud dan tujuanmu ke ruanganku."

"Suka yang cepat-cepat seperti biasa, eh. Baiklah, kalau itu maumu." Yang Mulia Raja, Falena Kingscholar, masuk ke ruangan yang diklaim menjadi ruang kerja adik semata wayangnya. Setelah menutup pintu di belakangnya, ia berjalan masuk dengan penuh wibawa dan membawa dirinya duduk di kursi yang berseberangan dengan meja kerja sang adik. "Jadi, aku rasa kau sudah dapat undangannya."

Leona melihat sekilas layar ponselnya lagi. "Hm, dia mengirimnya padamu juga?"

"Tidak." Leona menaikkan satu alisnya, tapi kemudian Falena sudah meneruskan sebelum Leona sempat melontarkan pertanyaan lain, "Rook-san yang bilang. Tadi dia ke mari dan memintaku untuk meyampaikan ini padamu—kalau kau belum melihatnya. Tapi sepertinya sudah, dilihat dari ekspresi kakumu."

"…"

Sebuah kejadian langka tiba-tiba menimpa Leona. Ketika dirinya tidak biasa mendapat rematan aneh di dada kiri setelah cinta pertamanya dengan Vil, kali ini ia mendapatkannya lagi kala mendengar nama istrinya. Leona tidak bisa menyebutnya sama persis dengan yang dirasakannya bersama Vil, tapi yang ini jelas berbeda, bahkan jika dibandingkan dengan rematan di dada yang ia rasakan saat sebelum dan sesudah overblot dulu. Leona benar-benar tidak bisa mendeskripsikan perasaan sakit dan sesak yang dirasakannya saat ini.

Ia yang sempat menahan nafas, kemudian melepaskannya perlahan. Leona memperhatikan undangan di ponselnya sekali lagi, sebelum bangkit berdiri. "Apa Rook sudah pulang?"

"Hm? Aku rasa dia masih bermain dengan Cheka."

Mendengar itu, Leona segera meninggalkan ruangan tanpa banyak bicara lagi. Seruan Falena dianggapnya bak serangga yang numpang lewat. Apa yang ada di kepalanya sekarang lebih penting untuk direalisasikan ketimbang mendengar celotehan kakaknya yang kemungkinan tidak penting di saat seperti ini.

.

.

.

"Hap! Tertangkap dengan mudah lagi, Cheka-kun!"

"Aaaarrrgghhh!" Singa muda bersurai oranye itu menarik-narik ujung bajunya sendiri, menahan kesal. "Kenapa bisa?! Padahal aku sudah melempar piringannya sangat, sangat kuat! Persis dengan yang dilakukan Leona Oji-san!"

"Aah, benarkah itu?" Dengan santai, Rook melempar piringan Magical Shift menggunakan sihir yang langsung masuk goal dengan mudahnya. "Apa maksudmu yang seperti itu?"

"AAH?! Kenapa jadi Rook-san yang bisa?!"

Rook tertawa lepas melihat aksi Cheka yang kian kuat menarik-narik bajunya. Ia turun dari sapu terbangnya untuk menghampiri Cheka yang sepertinya sudah hampir menangis di tanah. Pangeran muda itu sampai menolak menaiki sapu terbangnya sendiri saking kewalahan menahan emosi.

"Hei, aku penasaran. Cheka-kun suka apa?" Rook mencoba mengalihkan perhatian sang pangeran muda.

"… Oji-san."

"Haha! Ya, dia memang sosok yang sangat Cheka-kun kagumi. Tapi, ada tidak hal yang lain?"

Cheka, seolah lupa dengan emosinya beberapa saat lalu, memasang pose berpikir. "Hmm … aku suka anjing! Anak anjing, lebih tepatnya!"

"Huh? Anak anjing?" Rook melipat kakinya, duduk bersila di hadapan Cheka yang kemudian mengikutinya untuk melakukan hal yang sama. "Anak anjing yang seperti apa itu?"

"Yang bulunya panjang-panjang dan lembut! Mirip Jack-san!"

"Eh? Jack-san … maksudnya Jack Howl-kun?"

"Benar sekali!"

Kali ini giliran Rook yang memasang gaya berpikir. "Tapi … selama ini aku mengenal Jack-kun sebagai serigala. Terlebih, dia sudah besar. Sudah bukan anak-anak lagi."

"Dia bukan anjing?"

"Dan bukan anak-anak."

"Heeeh?! Masa, sih?! Tapi aku pernah lihat dia jadi anak anjing kecil!"

"Heeh?! Benarkah?!" Tiba-tiba Rook jadi tertarik bahkan tanpa memikirkan kemungkinan Cheka yang berbohong. "Kapan Cheka-kun melihatnya?! Di mana?!"

"Di—"

"Di masa bodoh karena tidak pernah terjadi."

Begitu mendengar suara yang begitu familier, seketika Cheka meloncat ke belakang dan berhambur ke pamannya yang baru saja tiba. Tingginya yang sudah semakin bertambah, kini sanggup membuat wajahnya bertemu langsung dengan perut sang paman.

"… Sudah selesai kerjanya?" Rook bertanya setelah memberinya senyum.

Leona mengangguk kecil, lalu menjauhkan Cheka darinya. "Bukannya kau ada kelas? Kenapa main di sini?" tanyanya pada sang keponakan kemudian.

"Kelasnya sudah selesai."

"Bohong." Tidak peduli dengan wajah cemberut Cheka, Leona langsung memanggil seorang pelayan yang kebetulan sedang berada dekat dengan mereka. Namun, sebelum pelayan itu datang, Cheka sudah lebih dulu melarikan diri. Leona mengangguk pada pelayan yang kebingungan, sebagai tanda kalau ia harus segera mengejar si penerus kerajaan dan membawanya kembali ke tempat seharusnya ia berada.

"Benar-benar tidak mau membiarkan Cheka-kun main, ya. Ayahnya saja memberi izin tadi."

"Jangan ikuti Aniki, dia sesat."

"Heh, padahal kau sendiri juga sesat. Sering bolos pelajaran, jarang masuk kelas."

"Diam." Leona mengulurkan tangannya yang langsung diterima Rook dengan senang hati. Sambil berjalan ke bangku taman terdekat, Leona kembali bicara, "… Sudah pasti kau dapat undangan juga."

"Begitulah." Rook duduk lebih dulu ketika mereka sudah sampai. Leona ikut duduk di sebelahnya setelahnya. "Justru sepertinya aku 'teman' pertama yang mendapatkannya. Vil sempat bercanda ingin cepat menyusul kita saat dia mengirimkannya padaku."

Leona tidak membalas dan hanya memberi "hm" kecil. Ia sadar kalau Rook tengah memperhatikan setiap gerak-geriknya, dan sesungguhnya ia tidak ingin terlihat "lemah" seperti ini di hadapannya. Namun sepertinya Leona memang tidak bisa menyembunyikan setiap perasaannya dengan baik sekarang, terutama saat berada di dekat Rook.

"… Aku sempat berpikir kalau kita tidak perlu datang bersama."

Kening Leona mengerut. "Maksudmu?"

"Aku saja yang datang, sebagai perwakilan." Rook kembali memberinya senyum. "Akan kupastikan Vil menerima setiap pesan yang kau titipkan. Kau tidak perlu khawatir, Leona-kun."

Sang pangeran paham betul maksud perkataan Rook barusan. Ia pasti memikirkan bagaimana Leona yang bisa saja akan emosional ketika bertemu Vil dengan tunangannya nanti. Boro-boro bersalaman, melihat mereka bersama dari jauh saja sepertinya akan berat baginya.

Namun mana mungkin ia akan membiarkan Rook pergi sendirian dan membawa setiap pesannya? Kalau ia punya hal yang ingin dikatakan, maka ia akan mengatakannya sendiri. Harga dirinya sebagai seorang pangeran dari Sunset Savanna, dan seorang laki-laki, juga suami, harus dipertahankan.

"Ide yang bagus karena aku jadi punya waktu istirahat lebih banyak," Leona membalas senyuman Rook, "tapi aku tidak akan memberimu izin untuk pergi sendirian, Tuan Putri. Aku ikut."

Jantung Leona sempat berdetak aneh ketika melihat pipi Rook memerah. Ekspresinya yang membeku serta bibirnya yang terbuka sedikit menambah daya tariknya dan membuat Leona tidak ingin mengalihkan pandangan.

"Uhum!" Saat Rook sengaja terbatuk itulah Leona baru kembali ke bumi yang dipijak. Keduanya sama-sama memutus tatapan, dibarengi dengan Rook yang bangun dari duduknya. "Kalau begitu … kita harus benar-benar berakting sebagai suami dan istri, sekaligus pangeran dan putri yang baik, kah. Sepertinya … aku akan butuh waktu untuk terbiasa dengan ini semua."

Leona menganggukkan kepalanya. "Yah, kurang lebihnya …. Dan aku rasa kau tidak perlu waktu terlalu banyak untuk cepat terbiasa. Semua ini akan terasa terlalu mudah bagimu."

"Huh, kalau kau pikir Hunt itu setara bangsawan, maka kau salah." Rook berkacak pinggang. Ia sudah kembali ke dirinya yang biasa. "Keluargaku memang terkenal dan aku memang diajarkan beberapa tata krama, tapi kami ini keluarga yang bebas. Apalagi kami jarang sekali berurusan dengan kerajaan dan pemerintahan, jadi semua peraturan ini dan itu yang ada di Kingscholar cukup membuatku terbebani."

"Begitu, kah? Maaf kalau memang ini memberatkanmu." Nada bicara Leona terdengar bercanda. "Tapi, kau tahu? Rook Hunt yang kukenal adalah orang yang pantang menyerah. Walau fokusmu seringkali teralihkan karena ada hal lain yang menarik perhatianmu, kau tetap memastikan tujuan awalmu tercapai pada akhirnya. Itulah kenapa aku yakin kau bisa terbiasa dalam waktu dekat."

"…" Keheningan yang kembali tercipta membuat Leona menyadari kata-katanya barusan. Ia mengatakan itu semua seakan ia mengenal Rook. Padahal Leona yakin kalau ia dan Rook tidak terlalu dekat, tapi kenapa ia bisa seyakin itu?

"… Kau mempercayaiku, ya. Syukurlah." Suara Rook menarik Leona kembali dari alam pikirnya. Dengan senyum manisnya yang sudah kembali, Rook berkata, "Kalau begitu aku akan berusaha. Aku tidak ingin mengecewakan Leona-kun."

"…" Entah apa yang merasukinya, tapi Leona tidak sanggup berkata-kata lagi. Ia ikut berdiri dan berjalan mendahului Rook. Suara langkah kecil yang mencoba menyamai kecepatan kakinya terdengar jelas dari belakang, meyakinkan Leona kalau Rook akan mengikutinya ke manapun ia pergi. Dengan itu, Leona memutuskan untuk langsung kembali ke mansion mereka tanpa peduli adanya pekerjaan-pekerjaan tambahan yang bisa saja muncul kalau ia kembali ke ruang kerja.

"… Gaunmu nanti aku yang siapkan."

"Eh?" Rook berhasil berjalan bersisian dengan Leona ketika lelaki itu memelankan langkahnya. "Apa ini ketentuan dari kerajaan atau semacamnya kalau hendak menghadiri pesta di luar?"

"Bisa disebut begitu." Leona berdeham sejenak, lalu meneruskan, "Hanya saja yang ini akan seragam denganku. Tidak usah dipikirkan, itu jadi urusanku dengan penjahit istana."

"… Begitu?" Rook tertawa kecil, suaranya terdengar malu-malu. "Aku akan menantikannya."

"…" Leona sungguh tidak paham dengan apa yang ia rasakan seharian ini. Saat ia menerima undangannya, ia merasakan berbagai macam hal negatif menghantui kepalanya. Cemburu, kesal, sesal, semua bercampur jadi satu. Wanita bernama Vil Schoenheit sempat membuat hatinya "penuh" akan perasaan-perasaan itu. Hingga kemudian ia bertemu dengan Rook, ia sanggup melupakan semua itu dalam sekejap. Bahkan, yang kini memenuhi pikirannya justru bagaimana penampilan Rook saat memakai gaun yang akan seragam dengan setelannya nanti.

.

.

.

Next: Chapter 8