"Dan sekarang aku sudah punya kau, jadi aku berusaha untuk tidak memikirkannya lagi."

Mati-matian aku mempertahankan akal sehatku selama bicara dengannya. Dan saat aku mendengar itu, berulang kali kuperintahkan otakku untuk mengulangnya lagi dan lagi.

Dan aku tidak salah dengar.

Leona-kun … karena dia sudah punya aku, dia tidak ingin memikirkannya lagi? Memikirkan Vil dan perasaannya?

Yakin ini bukan mimpi?

.

.

.

Chapter 9

.

.

.

Sejak kembali dari tempat Vil "menculiknya," air muka Rook entah kenapa berubah sangat masam. Ia bahkan tidak merespons setiap perkataan Leona dengan riang seperti biasanya. Meski begitu, Leona merasa kalau ia tidak berhak untuk tahu—setidaknya untuk sekarang.

"… Daiquiri-nya masih ada?"

"Hm?" Leona menatap gelas yang ada di tangannya. "Um, ya, mereka masih sedia."

"Aku mau satu."

"Hah?" Belum sempat Leona menghentikannya, Rook berjalan cepat menghampiri meja dengan beberapa gelas daiquiri yang masih tersedia. Gadis itu mengambil satu gelas, tapi Leona dengan cekatan melepasnya. "Hei, hei. Kau tadi sudah minum, kan? Ini masih siang—"

"Memangnya kenapa kalau masih siang? Aku mau minum, ya aku minum."

"Rook." Tubuh pria itu menghalangi Rook dengan meja di depannya. Mata si gadis pemburu memicing tidak suka ke arah Leona. "… Ada apa dengan mata seram itu? Intinya kau tidak boleh minum lagi."

"Kalau di rumah boleh?"

"Tetap tidak."

"Kenapa?"

Leona mengusap wajahnya. Ia menaruh gelasnya sendiri. Daiquiri di dalamnya belum setetes pun mengenai lidah. "… Berapa umurmu sekarang?"

"Hampir dua puluh."

"Baru 19 dan kau sudah minum."

"Vil juga baru 20 dan menyajikan alkohol di pestanya. Dia tadi juga minum."

"Rook, tolonglah …." Leona menggenggam tangan gadis itu, mencoba menenangkannya. "Aku tidak tahu kau kenapa, tapi sepertinya kita harus kembali."

"Kau tidak mau bicara lagi dengan Vil?"

"Untuk apa?"

"Kau menyukainya, kan?"

"…" Lidahnya kaku. Leona hanya bisa diam, bertukar tatap dengan Rook yang masih memasang mata tajamnya. Genggamannya pada tangan Rook mengerat. "… Sudah ada laki-laki yang memilih dan dipilihnya. Vil terlihat bahagia dengan laki-laki itu, dan aku terlambat. Perasaanku di sini sudah tidak berarti apa-apa lagi." Leona membuang nafas. "Tidak ada lagi yang perlu kukatakan padanya selain 'berbahagialah.' Dan aku tadi sudah mengatakannya, jadi tidak lagi."

Ada jeda di antara keduanya. Leona pikir Rook akan mengerti, tapi tiba-tiba, gadis itu berujar lagi, "Dia baru bertunangan. Mereka bisa berpisah kapan saja."

"Rook."

"Kau masih ada kesempatan, Leona-kun. Saat kita berpisah nanti—"

"Rook!" Saat nadanya meninggi, tubuh yang lebih kecil darinya itu sempat terlonjak kaget. Leona pun ikut terkejut dan tidak percaya kalau ia sudah meninggikan suaranya. Orang-orang di sekeliling mereka sepertinya mendengar suara Leona, menjadikan mereka pusat perhatian sekali lagi.

Tanpa bicara lagi, Leona membawa Rook keluar area pesta. Beruntung posisi mereka jauh dari tempat Vil berada, sehingga perempuan itu tidak akan langsung mendengar percakapan apalagi suara tinggi Leona barusan.

Semoga.

.

.

.

Leona tidak langsung keluar ketika mobil mereka terparkir di halaman mansion. Ia mencoba membangunkan Rook yang tertidur di sebelahnya, tapi gagal.

"Apa perlu saya yang membawakan Rook-sama ke kamarnya?"

"Tidak perlu." Leona menolak penawaran supirnya. Dengan hati-hati, tubuh Rook yang ternyata cukup berat itu berpindah ke pelukannya. "Biar aku saja. Tolong bukakan pintunya."

Rook sempat mengerang ketika Leona mengeluarkan kakinya satu persatu dari mobil. Beberapa pelayan yang menyambut mereka juga sempat menawarkan diri untuk menggantikan Leona, tapi sang pangeran tetap menolak. "Dia tanggung jawabku," begitu balasannya.

Ketika Leona melewati tangga di depan mansion, ia teringat dengan kejadian pagi tadi. Rook masih jadi dirinya yang biasa, bahkan mereka bergandengan tangan sampai ke dalam mobil. Selama perjalanan pun gadis itu masih banyak bicara. Terdengar menyebalkan, tapi tidak lebih menyebalkan dari tatapan tajam dan sifat diamnya yang tiba-tiba.

Leona merasakan sakit di dada kala ingatan Rook yang menatapnya tajam melintas di kepala. Ia hampir tidak ingat kalau Rook pernah memberinya tatapan seperti itu. Dulu, ketika masih sekolah, sepertinya pernah. Tapi Leona tidak menyangka akan mendapatkannya lagi setelah sekian lama. Ia tidak tahu apakah itu karena Rook yang setengah mabuk, atau justru ada hal lain yang membuat Rook jadi begitu. Manapun yang benar, Leona tetap tidak suka.

Bibir dan hidungnya menyentuh rambut Rook ketika ia merebahkannya ke kasur. Kepala Leona masih menunduk, berusaha untuk tetap merasakan aroma tak biasa yang menguar dari helaian pirang di depannya. Ada manis, dan juga segar. Seperti buah-buahan yang tersaji di keranjang di atas meja makan.

Wangi yang sama dengan saat ia menghirupnya di gunung waktu itu. Aromanya bercampur dengan udara hangat pengering rambut. Begitu menenangkan.

Leona memberi isyarat beberapa pelayan yang mengikutinya. Mereka berniat untuk membantu Rook yang masih tertidur berganti pakaian, tapi Leona justru menyuruh mereka untuk keluar. Begitu keduanya sendiri, Leona memanfaatkannya untuk menghirup aroma yang baru saja jadi kesukaannya itu dengan puas.

"Aku tidak pernah setakut itu saat ditatap olehmu," bisiknya. Ia meraih tangan Rook, mengusap cincin pernikahan mereka yang melingkar di jari manis si gadis. "… Maaf kalau aku sampai kelepasan seperti tadi. Aku … akan mengusahakan supaya tidak ada rumor aneh yang beredar. Namamu akan tetap bersih, kau tidak perlu khawatir."

Leona masih menggenggam tangan yang lebih kecil darinya itu, merasakan setiap jari mereka bersatu. Kemudian ia memperhatikannya dalam diam. Rook memakai cat kuku berwarna hijau muda.

"Huh, kau suka cat kuku sepertinya." Perhatiannya kemudian tertuju pada kuku di jari telunjuknya. Catnya sedikit mengelupas. Leona mengerutkan dahi. Entah kenapa ia merasa tidak nyaman dengan itu. "… Padahal setiap kau pakai yang perak, catnya selalu merata sempurna. Saat pesta kelulusan, dan saat hari pernikahan kita." Leona mengingat saat-saat ia menangkap Rook memakai cat kuku peraknya.

"Hnnh …." Segera Leona kembalikan tangan Rook ke sisi tubuhnya. Ia menelusur setiap bagian wajah Rook dengan matanya, memastikan kalau gadis itu masih tertidur. Gadis itu benar-benar tidak bangun, di saat biasanya ia selalu peka dengan lingkungannya.

"… Sepertinya aku harus mengamankan setiap alkohol yang ada di rumah," ujarnya kemudian. Bibir dan hidungnya menyapu kepala Rook lagi, sebelum keluar dari kamar si pemburu dan membiarkan para pelayan yang sudah menunggu untuk menggantikan pakaiannya.

.

.

.

"Bagaimana pestanya?"

Hampir saja Leona melempar rokok di mulutnya ke sumber suara. Langkah kakinya yang terdengar berat mendekat, sebelum akhirnya berhenti di samping sang pangeran yang tengah membaca lembar demi lembar laporan di tangan. "Diam di ruanganmu sehari saja, tanpa mengikutiku, apakah kau tidak bisa?"

"Jangan begitu. Aku di sini niatnya membantu."

"Enyahlah."

Falena Kingscholar mengintip isi laporan yang tengah diperiksa adiknya. "Hoo, kerjamu cepat juga. Sudah periksa laporan ketiga di saat aku masih memperbaiki yang pertama."

"Itu karena kau tidak kompeten."

"Hei, bicaramu itu memang sering kelewatan, ya." Falena membuang nafasnya. Leona masih tidak mau menatapnya sejak kedatangannya ke mari. "Tumben kau tidak duduk di kursimu. Cuaca juga sedang tidak bagus, jadi kurasa tidak ada alasan khusus kau memeriksa laporannya di balkon." Leona sudah benar-benar akan melempar rokok di mulutnya ketika Falena menjauhkan diri. "Oh, kau sedang merokok."

"Sudah buat janji dengan dokter mata? Kalau belum, mau aku percepat?" Leona mengarahkan rokok di tangannya ke mata kanan Falena.

Melihat bahaya mendekat, Falena mengambil satu langkah lebar dan menjerit sambil melindungi mata kanannya. "Astaga! Kau benar-benar akan mengenai mataku kalau aku tidak mundur, kan?!"

"Itu tahu."

"Haaah! Kembalikan Leona-ku yang maniiis!"

"Ngimpi."

Falena masih menjaga jarak aman ketika ia bicara lagi, "Ada apa denganmu? Sekembalinya dari pesta, tiba-tiba langsung ke ruang kerja. Kau mendadak jadi rajin, dan itu aneh. Bagaimana dengan Rook-san? Kau meninggalkannya sendiri?"

"…" Mata Leona kembali fokus pada deretan kata di lembar laporan. Asap rokok terembus keluar dari mulut secara perlahan. "Dia sedang tidur."

"Tidur?"

Leona mengangguk. "Dia agak mabuk tadi. Aku tidak pernah melihatnya minum, jadi aku rasa dia tidak terlalu kuat dengan alkohol."

"Begitu."

Tidak ada percakapan lagi di antara mereka. Leona semakin menyibukkan diri dengan laporannya, sementara Falena merasa kalau ia tidak seharusnya menggali lebih dalam. Terlihat jelas kalau adik dan adik iparnya sedang ada masalah. Namun Falena rasa ini adalah kesempatan keduanya untuk semakin mengenal satu sama lain.

"… Lagipula, perjalanan kalian masih panjang."

"Hm? Bicara sesuatu?"

"Tidak ada." Falena menepuk pundak adiknya sebelum berjalan pergi. "Tinggalkan laporannya dan lanjutkan besok. Sebentar lagi makan malam, Rook-san mungkin sudah menunggu."

"…" Leona menatap punggung lebar sang kakak yang berjalan keluar ruangan. Rokoknya sudah habis dan ia tidak berniat untuk menyalakan yang lain. "… Sepertinya memang sudah waktunya pulang."

.

.

.

Rook duduk diam di pinggir kasurnya …

… merenungi semua kelakuannya yang memalukan hari ini.

"Haaah … bagaimana aku harus berhadapan dengan Leona-kun …." Rook menenggelamkan wajahnya ke bantal dalam pelukan. Kepalanya terus bergerak ke kanan dan kiri seraya mulutnya berkata, "Tidaaak, tidak, tidak! Aku mana punya muka untuk dipakai! Habis sudah!"

Rook masih ingat jelas apa yang terjadi di pesta pertunangan Vil. Ia mungkin melakukan itu semua karena alkohol, tapi bukan berarti ia tidak akan mengingat semuanya. Yang ia minum hanya sedikit. Ia tidak menghabiskan daiquiri yang Malleus berikan padanya. Ia tahu kalau ia tidak kuat dengan alkohol, tapi ia tidak pernah menyangka kalau hanya minum sedikit bisa membuatnya cukup mabuk untuk mengatakan semua itu pada Leona. Ditambah lagi, itu terdengar sangat tidak menghormati Vil yang memilih Randy sebagai laki-lakinya. Harus Rook akui, yang tadi itu adalah wujud dirinya yang terburuk.

Obrolannya dengan Vil memang membuatnya merasa lebih emosional dari biasanya. Namun tidak seharusnya ia bicara seperti itu dan seolah melampiaskan semuanya pada Leona. Apalagi sampai memintanya untuk terus berjuang dan tidak putus harapan kalau suatu saat nanti, ia bisa saja berakhir bersama Vil, perempuan yang ia cintai.

Gyut …

Itu menyakitkan. Rook merasa sakit dengan perbuatannya sendiri.

Tok, tok

"Rook-sama. Makan malam sudah siap." Seketika Rook mengangkat kepalanya. Ia mencoba menghapus jejak-jejak air mata yang sempat keluar. Baru ia ingin membalasnya, pelayan itu sudah meneruskan ucapannya, "Leona-sama sedang menunggu Anda untuk makan malam bersama."

Rook kembali menenggelamkan kepalanya ke bantal. "… Iya, aku akan segera ke sana." Kenyataannya, ia jadi tidak ingin keluar. Ia pikir Leona masih ada pekerjaan di istana dan tidak akan makan malam di mansion. Siapa kira ternyata malah sebaliknya.

"…" Nafas yang sempat ditahannya selama beberapa saat akhirnya dikeluarkan. Rook kembali mengangkat kepalanya, kedua tangannya menepuk-nepuk pipinya. "Hadapi saja, Rook. Hadapi. Anggap Leona-kun itu labu." Setelah mendapat sedikit kepercayaan dirinya kembali, Rook merapikan dirinya sesaat sebelum turun menuju ruang makan.

.

.

.

Atau tidak ….

Rook merasa ia sudah mendapat sedikit kepercayaan dirinya. Namun nyatanya, begitu ia berhadapan dengan Leona Kingscholar—yang tidak terlihat seperti labu, sedikit kepercayaan diri itu langsung lari tanpa melihat belakang. Rook merasa ditinggal sendirian dengan tubuhnya yang terasa kian berat.

"Kau tidak makan?" Sementara Leona masih bersikap santai dan seolah tidak terjadi apa-apa. Ia bahkan meminta Rook untuk duduk di sampingnya dan tidak membiarkannya untuk duduk di seberang seperti biasa.

Rook meraih garpunya dalam diam. Pasta aglio olio di depannya tampak cukup menggugah, tapi rasa lapar seolah tertutup oleh rasa malu. Daripada menggigit helai lembut pastanya, Rook justru menggigit bibirnya sendiri.

Leona menaruh garpunya saat menyadari itu. "Ada apa? Kau sedang tidak ingin pasta?"

Rook buru-buru menggelengkan kepala. "Ti-tidak … aku suka pasta."

"Atau ini karena yang tadi siang?"

"…!"

Melihat tatapan terkejut sang pemburu, Leona tanpa pikir panjang memerintahkan para pelayan untuk meninggalkan mereka sendiri. Setelah memastikan hanya mereka berdua di ruang makan, baru Leona buka suara, "Sepertinya kau mengingat semua yang kau katakan, sekalipun kau mabuk. Yah, yang kau minum juga hanya daiquiri dan tidak sampai habis, jadi aku rasa kau masih setengah sadar."

"M-maafkan aku, Leona-kun …." Rook meremat ujung roknya. Kepalanya tertunduk dalam.

"Untuk apa minta maaf?"

"Aku …." Lidahnya tidak mau bergerak, dan otak Rook terasa lumpuh sesaat. Ia tidak sanggup memberi Leona jawaban.

Leona mendengus. "Aku tidak menyalahkanmu, apalagi marah padamu. Aku tahu kau mengatakannya karena mabuk."

Tiba-tiba Leona menyentuh tangannya yang masih sibuk bermain dengan ujung rok. Garpu yang sejak tadi masih digenggam pun diambil sang pangeran dan diletakkan kembali ke atas meja. Kemudian Leona kembali fokus pada tangan Rook. Usapannya mirip dengan yang dilakukannya saat pesta tadi siang.

"… Sepertinya aku banyak melanggar hari ini."

"Eh?"

"Aku banyak menyentuhmu." Leona mempertemukan mata mereka. "Kau memang tidak menolak, tapi aku rasa tidak seharusnya aku melakukan ini tanpa seizinmu."

Rook memutus pandangan terlebih dulu. Ia memperhatikan gerakan Leona pada tangannya. "… Yang kau lakukan hanya menggenggam dan mengusap tanganku. Aku … tidak masalah dengan itu."

Mau kau cium pun aku tidak masalah sebenarnya. Tapi kau tidak akan melakukannya karena kau tidak menyukaiku. Rook mengutuk dirinya sendiri ketika pikiran nyeleneh itu mampir ke otaknya. Di saat seperti ini dan yang ia pikirkan adalah keegoisan diri? Sungguh kurang ajar. Rasa malunya kian bertambah sekarang.

Leona tidak merespons dan justru kembali ke topik sebelumnya, "Kau bilang aku masih ada kesempatan. Apa menurutmu, aku memang benar masih ada kesempatan?"

Oh, tidak.

Tidak lagi.

Rook memutar kursinya, seolah mengajak Leona untuk ikut memutar kursinya sehingga mereka bisa berhadapan dengan lebih baik. Mata mereka bertemu lagi, tapi kali ini, Rook menatap Leona dalam-dalam. "… Menurutmu?"

"…" Diam sesaat, kemudian Leona menggeleng. "Tidak ada."

"Kau berpikir begitu karena dia sudah ada yang punya, kan?"

"Itu benar."

"Jadi kau menyalahkan dirimu sendiri yang tidak pernah mengambil tindakan dan hanya bisa menerima nasib?"

"Tidak perlu dipertanyakan."

Rook mendengus. "Ya … aku rasa juga sudah tidak ada harapan lagi. Vil sudah bahagia."

"Itulah kenapa aku memutuskan untuk menyerah." Ia mengabsen jari Rook satu persatu. Matanya tidak lagi melihat cahaya hijau si pemburu. "Saat kita bulan madu, aku pernah bilang padamu, kan? Andai bisa mengulang waktu, maka aku akan mengatakan perasaanku." Gerakannya terhenti ketika ia menyentuh cincin bermodel sama dengan yang ia pakai. "… Aku mengatakan itu karena aku tahu aku tidak akan pernah bisa melakukannya. Aku sudah terlambat. Dan sekarang aku sudah punya kau, jadi aku berusaha untuk tidak memikirkannya lagi."

"…"

Apa Rook salah dengar? Tadi Leona bilang apa?

Karena Leona sudah punya Rook …?

"… Leona-kun—"

"Huh, yang terakhir membuatku terdengar seperti suamimu sungguhan." Leona memberinya senyuman … yang entah kenapa menyakiti Rook. "Tapi aku serius. Hubungan kita mungkin hanya sebatas kontrak dan kita bisa memutusnya kapan saja. Namun aku tidak mau bertindak seenaknya. Aku sadar betul kalau ini sudah waktunya move on."

Tangan yang sejak tadi menjadi "tawanan" Leona Kingscholar diangkat. Dengan amat tidak terduga, Leona menaruh tangan itu ke telinga berbulunya, mengakibatkan keterkejutan tak terkendali pada Rook yang hampir membuatnya memekik.

"Sebelumnya kau bilang kau ingin jadi teman curhatku, kan?" Rook yang masih bingung antara menjawab Leona atau fokus memanfaatkan kesempatan langka untuk bermain dengan telinga bulu itu, hanya bisa memberi tatapan bingung. Leona terkekeh melihat itu. "Daripada jadi teman curhat, lebih baik jadi teman sungguhan. Hanya saja, kau akan kuberi akses spesial; kau bisa menyentuh telinga dan ekorku sepuasmu. Bagaimana?"

Rook masih tidak bisa memahami dengan baik setiap ucapan Leona karena kepalanya tertutupi rasa bahagia. Namun ia mengangguk setuju.

Sang pemburu menerima "perjanjian damai" sang raja hutan.

Leona tertawa lepas ketika kedua tangan Rook sudah benar-benar menikmati waktunya dengan telinganya. "Jangan lupa kita masih ada makanan yang harus dihabiskan. Nanti lagi mainnya, ya?"

"Oke!" Jawaban cepat darinya kian membuat tawa Leona membesar. Mereka pun kembali ke makanan masing-masing setelah menghabiskan waktu yang cukup lama untuk bercanda. Selama makan pun keduanya masih bertukar cerita.

Rook masih mencerna setiap hal yang terjadi. Namun satu yang ia pahami, bahwa sekarang, hubungannya dengan Leona sudah berjalan ke arah yang lebih baik. Dan ia sangat berharap itu bukan hanya dugaan sesaatnya karena terbawa suasana.

.

.

.

Next: Chapter 10