[Rasa, Eksistensi]
.
.
.
"Apa yang terjadi?"
Hinata yang baru saja pulang dengan wajah murung tentu menarik atensi Sasuke.
"Sasuke, otou-sama masuk rumah sakit."
"Ada apa dengan ayahmu?"
"Otou-sama jatuh dari tangga siang ini. Kata kanae ba-chan, lukanya gak parah, tapi mata kakinya retak dan harus dipakai gypsum."
Untuk beberapa saat Sasuke tampak terdiam sejenak. Wajah murung nan sedih itu menyiratkan kekhawatiran. Sasuke yang menyadari hal ini tak bisa berdiam diri. Kekhawatiran Hinat ternyata menular ke dirinya.
"Kau mau menjenguknya?"
Hinata yang bimbang hanya bisa terdiam. Tangannya kemudian meraih lengan baju Sasuke.
"Tenang saja aku yang antar."
Sejenak mata Hinata berbinar haru. Ia seperti memiliki keberanian baru.
"Baiklah aku bersiap dulu."
Di sinilah Sasuke sekarang, menatap layar laptop seperti satu-satunya hal yang paling menarik di apartemen. Semalam ia memang mengantar Hinata ke rumah sakit, tapi kini Sasuke sendirian di apartemen karena Hinata akan menemani ayah di rumah sakit. Seperti perkiraan diawal, kedatangan sang mantan Uchiha itu memang tak disambut hangat. Lebih tepatnya, mereka menyadari keberadaannya namun lebih tidak menggubris kehadirannya. Dan beruntungnya, mereka tidak melontarkan kata-kata jahat atau tatapan sinis terhadap Sasuke.
Tetapi Sasuke tak mengira, hubungan Hinata dengan ayahnya tidak terlalu buruk. Meskipun ia mendengar Hinata sempat cekcok mulut dengan ayahnya sewaktu keluar dari kediaman, Hisashi yang senantiasa berwajah kaku tampak terlihat senang dengan kedatangan putrinya tadi malam. Sasuke jadi teringat kala datang untuk mengabari pernikahan, saat pulang mereka malah dibekalin sekardus jeruk hasil dari perkebunan keluarga Hyuuga.
Ting. Satu chat masuk di L/INE.
[Sasuke, kamu udah bangun? Kami sudah keluar dari rumah sakit subuh tadi.]
Tersenyum, Sasuke sepintas melirik jam di ponselnya. Ternyata Sudah jam 07.02 pagi.
[Semalam aku begadang. Kamu udah sarapan Hinata?]
Tak lama Hinata mengirim foto dirinya yang tengah memasak sambil berpose dengan kedua jarinya yang membentuk huruf V. Sejenak senyuman tipis di bibir Sasuke mengembang. Di matanya, ia merasa istrinya begitu manis.
[Belum, aku lagi bikin bubur buat otou-sama. Emangnya Sasuke-san udah sarapan?]
Sasuke kemudian berjalan ke dapur. Ia memasukan biji kopi ke coffee grinder, dan menaruh roti ke dalam pemanggang roti. Ia pun turut membagikan fotonya yang kini menunggu kopi.
[Karena kamu gak ada, aku sarapan roti saja. Aku gak ada tenaga buat masak sarapan.]
Ada jeda dalam pengetikan Hinata yang membuat Sasuke sedikit menunggu.
[Apa Sasuke-san kesepian tanpa diriku?]
Pesan terakhir Hinata membuat Sasuke terdiam. Jantungnya sontak berdebar-debar, pupilnya pun melebar seolah-olah memastikan kalau ia tak salah baca. Sasuke lantas tenggelam dalam pikiran dan perasaannya. Dan setelah itu Sasuke meninggalkan pesan itu tanpa jawaban, yang sontak membuat orang yang menunggunya menjadi bingung.
.
.
.
"Makasih atas makanannya."
Hinata yang menatap tangannya sendiri lantas terbangun dalam lamunannya. Kelopak matanya berkedip-kedip melihat mangkuk bubur ayahnya telah habis. Seraya mengembang sedikit ujung bibirnya, ia pun lantas merapih alat bekas makan ke atas tray makanannya, namun kegiatannya terhenti saat ayahnya menanyakan keadaan Sasuke.
"Ya?" tanya Hinata sekali lagi.
"Aku dengar suamimu itu sudah bekerja?"
Hinata sontak menatap tray di tangannya seraya mengangguk pelan.
"Kerja apa dia?"
Sejenak Hinata menatap wajah kaku ayahnya, dalam hatinya ia merasa ragu menjawabnya. Pasalnya ia takut ayahnya mencemooh pekerjaan Sasuke, menghakimi, serta membandingkan dengan pekerjaannya di perusahaan. Dan jikalau ia membela Sasuke, ia takut muncul sebuah perdebatan lagi antara dirinya dengan ayahnya. Padahal suasana sekarang ini saja membuatnya canggung, dan ia tak mau jarak hubungan dirinya dengan sang ayah semakin menjauh.
"Cleaning service." sahut Hinata pelan sambil mengatupkan bibirnya
Hiashi sontak mengangguk, "Tak masalah apapun jenisnya, setidaknya dia bekerja dengan baik tanpa membuat onar."
Mendengar ini, Hinata lantas mengerucutkan bibirnya dengan sedikit kesal. Ia ingin protes akan sesuatu namun ia memilih menjaga mulutnya. Hiashi yang menyadari pun sontak terburu-buru mengatakan sesuatu supaya Hinata tidak pergi darinya.
"Belum lama ini, Uchiha-san menceritakan semua tentang keadaan Sasuke selama di Amerika."
Dada Hinata berdebar-debar kala mendengar ayahnya Sasuke menceritakan masa lalu putranya sendiri. Sebelum pernikahan mereka, Hinata dan Sasuke saling menceritakan masa lalu kelam mereka masing-masing. Hinata tak tahu sejauh mana Fugaku menceritakannya, namun ia yakin sekali kalau Fugaku tidak mengetahui kalau Sasuke pernah bunuh diri tapi gagal.
"Emangnya Uchiha-sama cerita apa saja?" tanya Hinata yang menyelisik.
"Tentang keterlibatannya dengan kasus narkoba dan kekasih gelapnya yang seorang managernya sendiri."
"Otou-sama, Karin-san bukan kekasih gelapnya... Dan soal narkoba, Sasuke-san gak pernah menginginkannya, dia terjebak!"
"Tetap saja dia mengkonsumsinya. Dan wanita yang dia ikutinya justru mati konyol, bocah Uchiha itu hanya menyiakan hidupnya."
"OTOU-SAMA!" seru Hinata yang meninggikan sedikit suaranya sehingga membuat pelayan yang lewat kamar tuannya terkejut "Bisakah otou-sama bersimpati sedikit?"
Hinata lantas terbangun dari tempatnya, seusai menarik napas panjang ia berucap,"Jangan bikin aku berdebat denganmu lagi, permisi aku balik ke kamar."
Dengan langkah pelan namun penuh penekan itu Hinata meninggalkan kamar Hiashi. Setelah kepergian putrinya Hiashi lantas mendesah. Sejak kecil Hinata adalah anak yang penurut terhadapnya, akan tetapi setelah kejadian gagal nikah itu, untuk pertama kalinya Hinata beradu mulut dengannya. Dan Sekarang Hinata tak segan menyuarakan keberatannya. Gadis kecil yang selalu dia banggakan kini sedikit berubah. ini sungguh membuatnya sedikit sedih.
Sebenarnya Hiashi tak bermaksud adu mulut dengan putrinya. Ia hanya menyuarakan kecemasannya, namun Hiashi merasa tak pantas untuk itu. Dia tak jauh bedanya dengan Fugaku, yang menelantarkan anaknya sendiri karena keegoisannya sendiri. Perbedaan Hiashi dan Fugaku adalah terletak pada Hiashi yang tak suka bicara buruk tentang anaknya sendiri di depan orang lain. Meskipun ada sikap Hinata yang kurang berkenan baginya, ia tetap tak bisa membencinya. Hinata memiliki sifat keras kepala seperti dirinya.
Kalau bukan karena perusahaannya yang hampir jatuh dulu, ia tidak mungkin punya pemikiran untuk menjodohkan Hinata dengan Sasuke. Mungkin hubungan mereka yang dulu harmonis tak jadi seperti sekarang ini. Rentetan hal buruk pada Hinata pasca kegagalan nikah tersebut juga bagian kesalahannya. Ia melepaskan Hinata begitu saja bak memutuskan tali layangan. Akan tetapi, rasa penyesalan itu mustahil mengubah masa lalu.
Sebenarnya Hiashi hanya ingin meminta maaf dengan segala hal yang terjadi dengan hubungan mereka belakangan ini. Ia menyadari telah melakukan kesalahan besar selama ini. Ia yakin istrinya di dunia lain sudah sangat kecewa dengannya. Tak mau mengulur waktu lagi, seraya menggunakan tongkatnya ia tergopoh-gopoh berjalan menyusul putrinya yang telah di kamar.
.
.
.
Pukul 12.00 siang.
Sasuke yang tertidur di kamarnya terbangun. Sejenak ia melihat ponselnya, menunjukan layar dimana pesan L/INE istrinya belum ia balas juga. Setelah semalaman tidak tidur, sehabis sarapan ia memutuskan untuk tidur. Kini begitu keluar dari kamarnya, ia mendapati dapur sama keadaannya saat ia meninggalkannnya, begitu dingin dan tak tersentuh tangan Hinata.
Hinata yang senantiasa memamerkan hasil masakannya sambil tersenyum ke arahnya.
"Sasuke-san, makanan sudah jadi... Apa mau makan sekarang?"
"Hn."
Hinata yang suka eksplor masakan baru selalu membuat dirinya menjadi kelinci percobaan.
"Aku baru mencoba resep baru, cobalah ini! Kuharap rasanya enak..."
"Apapun yang kau masak tak pernah gagal, selalu enak Hinata..."
Desahan pun lantas keluar dari mulutnya, ia pun duduk di ruang tengah seraya bertopang dagu di atas meja. Tak lama perutnya berdemo minta diisi, Sasuke pun teringat punya beberapa ramen di lemarinya. Dengan berat hati, Sasuke memutuskan untuk memasak air panas untuk ramen miliknya.
Hinata yang terkadang bicara random saat mereka tengah membaca buku bersama.
"Tadi aku beli tomat ceri,warnanya cantik banget! Rasanya gak tega memasak mereka."
"Biarkan aku yang memakannya."
Atau kebiasaan Hinata yang selalu menyanyikan penggalan lagu yang sama dari penyanyi kesukaannya saat mencuci piring. Suaranya yang indah selalu terniang di otak Sasuke.
"I know you love me, you know I love you, I know you love me yeah yeah..."
'Untung saja dia hanya orang biasa...'
Dengan memegang semangkuk ramen yang mengepul di tangannya, Sasuke melangkah kakinya ke ruang tengah. Dia memakan makanannya hati-hati seraya menatap televisi yang telah menyalakan siaran talkshow. Lalu pikirannya pun melayang di mana Hinata duduk di sampingnya minggu lalu, dia tertawa renyah mendengar lelucon dari salah satu tamu acara talkshow tersebut.
"Apa aku bisa mati kalau kebanyakan ketawa?" tanyanya memegang perut, dan menghapus airmatanya.
"Aku gak pernah mendengarnya..."
"Ternyata berlebihan itu gak bagus, ini membuatku capek."
"Hn, aku juga."
Tak lama menyelesaikan makan siangnya, Sasuke yang berniat mencuci piring menatap ponselnya. Sambil menarik napas, matanya berlari ke seisi ruangan. Hinata yang selalu melakukan kegiatan di ruang tengah ini seakan meninggalkan jejak. Suaranya yang lembut nan manis mendominasi, menggetarkan hatinya yang pernah mati suri ini. Serta gerakan tubuhnya bergerak bak kepakan angsa putih. Sasuke menyadari ia telah mabuk. Dan kini ketiadaan Hinata membuat hatinya hampa.
[Aku kesepian, bisakah kau pulang-]
Suara ketukan pintu berbunyi. Tangan yang mengetik pesan balasan tertunda. Ia menghampirinya dan mengintip dari balik lubang kecil di pintu.
"Hn, siapa?"
"Ada paket atas nama Hyuuga Hinata."
Setelah menerima paket yang tak besar itu, Sasuke lantas mengambil ponselnya kembali. Bila dilihat dari bentuknya sepertinya Hinata membeli buku lagi lewat belanja daring.
"Aku mau ke toko buku, kau mau ikut Sasuke-san?"
"Bukannya ada buku baru yang belum di buka... Emangnya kau beli buku apa lagi?"
"Kali ini novel terjemahan, katanya hari ini sudah rilis. Aku sudah lama menantikannya." Hinata kemudian menunjukkan sampul buku itu kepada Sasuke lewat penelusurannya di Internet.
"Oh... Itu buku yang belum lama aku terjemahkan."
"Eh, serius?! Bukan bohong, kan?!"
Sasuke kemudian mengambil laptop-nya, dan menunjukkan file proyek terjemahannya. Melihat ini mata Hinata sontak berbinar.
"Sugoiii... Bolehkah aku meminjamnya?"
Sasuke lantas menutup laptop-nya seraya menggeleng pelan menggundang Hinata untuk mengerucutkan bibirnnya.
"Ini rahasia perusahaan. Kalau kau mau mendukung penulisnya, belilah bukunya!"
Sasuke kembali menatap ponselnya, kemudian menyadari kalau L/INE Hinata ternyata tengah aktif. Ia kembali lagi mengetik pesannya yang tertunda, akan tetapi telepon masuk telah mengganggunya.
"Hn, Naruto."
"Hei, teme, sore kau tidak sibuk, kan? Ngumpul yuk, kebetulan anak-anak pada ngumpul semua."
Sasuke mendesah dan melirik layar ponselnya. Saat bujang dulu mungkin dia dengan mudahnya datang, namun sekarang dia telah menikah. Setelah memutuskan untuk menikah ia sudah tahu bahwa waktu untuk kesenangan saat sendiri telah berkurang, dan ia sudah merasa puas dengan kehidupannya saat ini.
"Entahlah... malam ini Hinata mungkin pulang."
"Eh, Jangan bilang Hinata mengekangmu?!"
"Jangan ngomong sembarang! Hinata hanya pulang ke rumah orangtuanya. Aku gak mau-"
"Kalian berantem?!"
"Kalau kau bicara ngawur lagi, aku matiin teleponnya, dobe!"
Sasuke mendesah ke sekian kalinya kala Naruto meminta maaf.
"Tapi kau bisa datang kan teme?"
"Lihat saja nanti, nanti aku kabarin!"
Setelah mengakhiri teleponnya Sasuke kembali pada L/INE, lalu menyadari Hinata masih aktif dan tampaknya tengah mengetik sesuatu.
Ting. Satu pesan masuk.
[Sasuke-san malam ini aku masih menginap.]
Jari yang ingin mengetik sesuatu itu terlepas. Sasuke mengedarkan pandangannya, ujung pundaknya menurun. Ia belum sempat membersihkan debu yang mengisi lantai, tetapi ia sudah tak punya semangat lagi.
