[Pesan]

.

.

.

"Selama ini aku melakukan kesalahan, membiarkanmu bertarung sendiri di luar sana... Aku tahu ini sangat telat, tapi... Gomenasai, aku yang egois ini."

Setelah sedikit pertengkaran dengan ayahnya, tak lama ayahnya datang ke kamarnya untuk meminta maaf. Ucapan ayahnya yang begitu menggetarkan itu tadi pagi terus terbayang di benaknya. Untuk pertama kalinya, ayahnya menunjuk wajah sedih yang sudah lama tak pernah ia lihat semenjak kematian ibunya.

Setelah sekian lama merasa terbuang, ungkapan permintaan itu tentu menyentuh hatinya. Hinata bukanlah pendendam, ia bahkan memaklumi akan kemarahan ayahnya. Selain itu, seumur hidupnya ayahnya tak pernah memperlakukannya dengan buruk. Setelah pemikirannya semakin dewasa, disadari olehnya bahwa ayahnya bukanlah orang yang sempurna.

Ayahnya bahkan menitikkan airmata, sehingga Hinata tertular olehnya. Ia bahkan melakukan hal yang sudah lama tak pernah ia lakukan terhadap putrinya sendiri yakni memeluknya Dan akhir dari perbincangan mereka berujung pada nostalgia yang lebih berharga apapun di dunia.

"Hinata, makasih. Kau sangat hebat." bisiknya pada dirinya sendiri dengan tersenyum.

Kembali pada ponselnya, Hinata melihat isi chat yang belum terjawab oleh Sasuke. Padahal suaminya sudah membacanya, dan hal itu membuatnya rasa penasarannya selalu mengudara. Hingga makan siang berlalu, Hinata lantas berpikir kalau Sasuke tidak akan menjawab pertanyaannya.

Lagipula, bisa-bisanya Hinata mengetik demikian?!

Memikirkan isi pesannya saja ia sudah malu setengah mati. Dan meskipun dihapus pun, Sasuke sudah terlanjur membacanya.

Sejujurnya Hinata mengetik hal itu karena penasaran saja, mengingat ekspresi yang terpatri pada wajah suaminya semalam, yang terlihat sedih saat mengatakan ia akan menemani ayahnya, terus terbayang oleh Hinata pada detik ini juga. Ia sebenarnya tak yakin Sasuke sedih disebabkan oleh apa. Yang jelas, sepenangkapan oleh inderanya bahwa Sasuke terlihat bak anak anjing yang tak rela ditinggal tuannya.

Mungkin hanya ilusinya saja.

Dan tak lama, ia melihat L/INE Sasuke kembali aktif. Seketika pupil Hinata melebar saat suaminya mulai mengetik sesuatu. Dalam hatinya ia merasakan sebuah letupan yang tak bisa didefinisikan. Namun, kala ia menunggu ketikan Sasuke selesai, keningnya mengerut. Melihat gerak-gerik ketikannya, itu seakan berhenti. Pria itu seakan tak punya niat.

"Ini orang lagi ngapain sih?!" Raut Hinata berubah masam.

Semakin Hinata menunggu, pria itu membiarkannya tenggelam dalam penasaran. Hal itu cukup membuatnya kesal. Sasuke telah membuat kesalahan, ia tak seharusnya membuat seorang wanita menunggu, apalagi wanita itu adalah istrinya. Dengan langkah kaki yang mencerminkan hatinya yang berat, Hinata beranjak dari kamarnya seraya menggerutu kecil. Tak ada gunanya memikirkan orang yang membuatnya gundah, begitu pikir Hinata. Dan sebelum meninggalkan kamar, ia telah mengirim pesan lagi.

[Sasuke-san malam ini aku masih menginap.]

.

.

.

Akhirnya setelah pemikiran yang lama, Sasuke memutuskan untuk kumpul bersama teman-teman lamanya. Kini ia telah sampai di kedai ramen tempat langganan mereka kumpul hampir tiap bulannya. Dan karena sudah lama tidak kumpul bersama, ia jadi sedikit gugup.

"Oi, teme! Kami di sini!" Seru Naruto yang melambaikan tangannya.

Sasuke tersenyum tipis. Ia pun mengambil duduk di samping Naruto.

"Hari ini aku yang traktir!" seru Sasuke yang mendapatkan sorak-sorai.

Tapi, tatapan penasaran mereka cukup membuat Sasuke jadi sedikit tegang. Mereka memang tak sedekat dirinya dengan Naruto, namun mereka sudah mengenalnya sewaktu sekolah menengah atas. Setelah ini mungkin mereka akan melontarkan beberapa pertanyaan, mengingat hampir satu dekade mereka tak pernah ketemu lagi.

"Hei, Uchiha... kemana saja kau?"

"Kudengar selama ini kau tinggal di Amerika? Bagaimana di sana?"

"Amerika bagian mana?"

"Uchiha sekarang kau tinggal dimana?"

"Katanya kau sudah menikah? Wanita yang bernama Karin itu kan?"

"Karin...? Karin yang manajernya itu, bukan?"

"Kau terlihat kurus, dan kulitmu sedikit terbakar... Apa itu juga karena dari Amerika?"

"Hei, kawan... satu-satu... Kalian membuat Sasuke tak nyaman." Ujar Naruto yang menghalau orang-orang mengerubungi Sasuke.

Sementara itu, Sasuke yang sudah mempersiapkan batin atas pernyataan yang memborbardir dirinya sontak menarik napas. Mereka biasanya tak begini saat dirnya jadi publik figur.

"Jangan panggil Uchiha lagi, aku ikut marga istri setelah menikah. Panggil aku Sasuke saja!"

"HEEEE!!!???" Seru mereka bersamaan yang cukup terkejut mendengar.

Sedangkan Naruto yng duduk di sebelahnya hanya bertopang dagu. Bila menilik ke masa lalu, Naruto juga terlibat di dalamnya. Meskipun Naruto sangat marah saat Sasuke memutuskan pergi dari pernikahannya dengan Hyuuga Hinata dulu, tetap saja ia membantu pria itu kabur.

Lalu pada masa-masa di Manhattan dimana Sasuke menetap pun, Naruto tidak selalu berhubungan karena kesibukannya. Di samping itu, ia juga banyak mendengar gosip buruk tentang Sasuke dan Hinata. Karena hal itulah Naruto masih punya hutang permintaan maaf kepada Hinata.

Lalu kala kehidupan sang Uchiha berubah menjadi menyedihkan, sejak itulah Naruto tak bisa melepaskan Sasuke. Baginya, selain sebagai sahabat dekat, Sasuke adalah saudara sejati yang terjalin tanpa ikatan darah. Jadi, jika salah satu dari mereka terluka, maka mereka pun akan merasakan hal yang sama.

"Lagipula istriku bukan Karin... Hyuuga Hinata adalah istriku."

Saat Sasuke menikahi mantan tunangannya lagi, mereka tak dapat bertanya lebih. Mengingat masa lalu Sasuke, hal itu tentu membuat mereka sangat terkejut sekaligus bingung.

Begitu pun Naruto pada awalnya. Waktu itu ia berpikir kalau sahabatnya tersebut sudah hilang akal. Setelah apa yang ia lakukan pada wanita itu, si Sasuke-teme itu malah ingin kembali. Dia kira Hinata akan menolaknya, namun akhirnya iajuga menerimanya. Tapi, Sasuke sempat bercerita bahwa Hinata menolaknya mentah-mentah beberapa kali. Hingga insiden itu terjadi, situasi pun berubah jadi seratus derajat.

Naruto memang tidak terlalu mengenal Hyuuga Hinata. Tapi mungkin ada pertimbangan lain sehingga Hinata menerima Sasuke kembali sekali. Di sisi lain, setidaknya ia sekarang bersyukur bila melihat diri Sasuke, kini ia seperti menemukan jiwanya kembali.

"Aku tinggal di Manhattan. Di sana tidak buruk, tapi aku lebih nyaman di sini."

Mereka yang mendengarnya pun hanya terdiam. Seindah negara lain, tiada yang lebih nyaman selain negara sendiri. Acara perkumpulan yang biasa mereka lakukan secara rutin kini sedikit lebih ramai dari biasanya karena merayakan selamatan atas kepulangan serta pernikahan Sasuke. Hingga malam berlalu, acara perkumpulan kini selesai. Dan di kedai ramen pun tinggal Naruto yang menunggu Sasuke membayar tagihannya.

"Naruto, kau ada acara lain kan setelah ini?"

"Enggak, hari ini aku benar-benar libur!" Naruto sejenak melirik Sasuke yang menatap layar ponselnya.

Wajahnya yang murung sungguh membuat Naruto tersentil untuk bertanya, "Emangnya kenapa? Kau mau kuantar pulang?"

Sasuke sontak mengosok lehernya, ia mendesah. Hari ini sungguh melelahkan pikirnya.

"Ah, gak usah. Aku terlalu banyak merepotkanmu."

"Aisssh... Kau seperti gak kenal aku saja!? Dasar teme!"

Sasuke kembali melihat layar ponselnya.

"Kalau begitu, aku minta tolong... beri aku tumpangan sampai stasiun."

Sebelah alis Naruto menekuk. Setahu dirinya, perjalanan dari kedai sampai apartemen Sasuke, ia hanya perlu menaiki bis atau taksi.

"Tentu. Emangnya kau mau kemana?"

"Aku mau ke rumah mertua."

Kali ini wajah Sasuke memelas.

"Aku gak bisa begini... Aku kangen pada Hinata."

Melihat ini, Naruto yang masih single di kepala tiga, hanya bisa terdiam karena tak bisa berkata-kata.

.

.

.

Setelah dibangunkan oleh Hanabi, Hinata yang mendengar bahwa suaminya datang lantas bergegas ke rumah. Di belakang Hanabi turut mengekori kakaknya. Ini membuatnya bertanya-tanya, kenapa Sasuke datang setelah hampir seisi rumah sudah tertidur. Lalu sesampainya di ujung pintu, ia bisa melihat ayahnya duduk berhadapan dengan Sasuke. Dan kala Hinata memunculkan dirinya, mata Sasuke langsung terarah padanya, hal ini sontak membuatnya berdebar-debar.

"Aku tau kalian suami istri, tapi aku gak pernah mengajarkan tampil seperti itu di depan tamu, Hinata."

Hinata yang bingung lantas melirik pada Hanabi yang berdiri di belakang pintu geser.

"Nee-chan, bekas iler! Itu ada bekas iler!" seru Hanabi yang menunjukkan ujung bibirnya sendiri.

Hinata yang sontak mengetahui hal itu segera berlari ke kamar mandi setelah menundukkan malu meminta maaf. Lalu kini tinggal Hanabi menyaksikan ayahnya dan Sasuke seolah tengah melemparkan tatapan. Telah diketahui bahwa mereka berdua terus terdiam sejak awal, dan justru hal itu membuat Hanabi sedikit gugup. Setelah menguping pembicaraan ayah dan kakaknya di kamar tadi pagi, bisa di pastikan bahwa ayahnya telah menerima pernikahan kakaknya, namun melihat ekspresi ayahnya yang sekarang, ayahnya belum bisa menerima keberadaan Sasuke.

Di sisi lain, Hiashi sedari tadi hanya terdiam mengamati. Baru saja tadi keluar dari kamar, dan pelayan pun datang mengabarkan bahwa ada tamu yang datang. Awalnya Hiashi menolak kedatangan tamu tersebut karena ini sudah larut malam, namun begitu tahu siapa yang datang Hiashi mau-tak mau menyambutnya. Dan bocah itu tidak datang sendiri, ia diantar oleh seseorang yang akan menarik banyak perhatian. Kala melihat tampilannya, sepertinya bocah Uchiha itu habis makan di luar bersama orang lain. Dan kini Sasuke ditinggalkan, itu artinya bocah itu akan bermalam di kediaman Hyuuga.

"Ada apa kau kemari?" tanya Hiashi yang sudah menebak bahwa kedatangannya bukan untuk menjenguknya.

"Aku mau melihat istriku."

"Kau bisa melakukannya lewat video call..."

"Tapi aku mau melihatnya secara fisik dan menyentuhnya."

Sudut kening Hiashi berkedut, dan Hanabi yang menyaksikan hal itu mulai merasa akan ada perang dunia yang ketiga.

"Kakiku masih sakit dan gak tau akan sembuh. Kau seharusnya mengerti sedikit."

"Otou-sama punya banyak pelayan."

"Aku mau putriku yang merawatku."

"Masih ada Hanabi kan otou-sama?"

"Tapi, Hinata lebih terbiasa merawatku..."

"Hinata sudah punya suami. Seharusnya otou-sama sudah tau maksudnya."

Tak lama Hinata datang dengan tampilan yang sedikit rapih; memakai cardigan serta mengulung rambutnya. Dan saat Hinata memunculkan diri, Hiashi mengambil tongkatnya.

"Sudahlah aku lelah... Kalian menginap saja di sini beberapa hari. Aku mau istirahat dulu."

'Kalian?' pikir Hinata bingung, Berarti ayahnya mengijinkan Sasuke menginap?

"Baik, otou-sama. Selamat malam!"

"Selamat malam, otou-sama!"

"Hn."

Setelah melihat kepergian ayahnya bersama Hanabi, Hinata menyadari sekotak kue tergeletak manis di atas meja. Sepertinya hal itu akan digunakan oleh Sasuke untuk merayunya sebagai permintaan maaf tidak membalas pesannya. Sementara itu, Sasuke yang menyadari tatapan istrinya lansung berdiri menyodorkan kotak kue itu padanya.

"Ini... Cinnamon rolls kesukaanmu. Aku beli tadi sore."

Hinata lantas mendesah. Wajahnya yang bosan membuat Sasuke merasa melakukan kesalahan lagi.

"Aku lagi diet. Bulan ini aku naik 5 kilo."

Sejenak Sasuke menatap Hinata dari ujung kaki sampai kepala. Baginya tak ada yang beda pada istrinya kecuali pipinya yang tambah chubby menggemaskan. Menyadari tatapan suaminya, Hinata sontak bersedekap dada.

"Gak ada yang salah dengan diriku, tapi perutku." imbuhnya yang sedikit malu.

"Ah, gomen. Aku gak tau." Sasuke sontak kembali menaruh kotak itu ke atas meja, wajahnya muram itu membuat Hinata merasa jahat karena telah senang.

"Aku sebenarnya mau membicarakan sesuatu..."

"Apanya..."

"Soal pesanmu tadi pagi."

"Oh..." Hinata kemudian menyisir poninya, "Gak dibalas juga gak apa-apa, aku gak serius kok." tambahnya yang berusaha untuk bersikap biasa saja.

Sasuke kemudian menggenggam kedua tangannya sehingga membuat mata Hinata kembali berfokus padanya.

"Tapi bagiku... itu hal yang serius."

Semakin mereka sering kontak fisik, adakalanya Sasuke menggenggamnya tanpa ijin seperti saat ini. Tangan yang menggenggamnya itu begitu lembut, dan ketika sudah nyaman ia lantas meremasnya. Belum lagi kehangatan yang terpancarkan di sana. Di tambah pancaran sorot mata yang tidak bisa sedetik pun Hinata beralih padanya. Dan perlakuan itu justru membuat jantung sang Hyuuga berdegup kencang.

"Karena aku menyadari, aku kesepian tanpamu."

Mendengar ini Hinata meleleh. Suaranya yang berbisik itu telah menggetarkan jiwanya. Bibir ranumnya lantas bergetar.

Entah sejak kapan ia jadi mudah luluh terhadap Sasuke?

Dia juga tak ingat kalau Sasuke sekarang lebih sering berkata-kata manis padanya?

"Jadi jangan marah... Gomen kalau aku gak membalas pesanmu. Mengatakannya secara langsung padamu seperti ini rasanya lebih nyata."

Hinata menggeleng lalu memeluknya. Hampir seharian ini ia merasa terombang-ambing karena memikirkan Sasuke. Begitu pun dengan pria yang turut membalas pelukannya.

"Gak apa-apa, Sasuke-san... aku hanya sedikit marah, aku juga minta maaf."

Hinata pun melepaskan pelukannya dan mengambil kotak kue itu seraya tersenyum.

"Kita taruh ini dulu di kulkas. Tapi kau juga bantu mengabiskan kue ini ya..."

"Hn."

Setelah itu pun Hinata menggandeng tangan Sasuke, ia pun menggiring suaminya ke kamar. Dan untuk pertama kali inilah mereka sekamar selama mereka menikah.