Disclaimer

ハイスクール DxD - 石踏 一榮 High School DxD

Ishibumi Ichiei


Chapter 11: The Connection between the Patient and the Doctor


.

.

'Aku….?!'

Sesaat setelah denyut menyakitkan di kepalanya hilang, hal pertama yang Hel lihat adalah, lantai es yang memantulkan sosok dirinya.

Dia, tanpa disangka, sedang duduk bersimpuh di lantai. Lantas segera menoleh ke kiri dan ke kanan.

'Apa yang terjadi?!'

Kuilnya, Eljudnir baik-baik saja. Bukankah dia baru saja meluluhlantakkannya? Atau, apakah yang terjadi tadi cuma ilusi?

Tapi, bagaimana bisa?

Jika memang hanya ilusi, kenapa dirinya duduk di lantai, atau, jika memang cuma ilusi, kenapa di kedua tangannya ada dua "Pedang Mistik" yang selalu ia simpan? Dan juga, jika memang hanya sebuah ilusi, mengapa rasanya begitu melelahkan?

.

"Halo?"

——!!

Hel tersentak, seketika menatap tajam lurus ke depan.

"K-Kau….! Si orang mesum!"

Itu benar. Si orang mesum itu…. Hel hampir saja melupakan keberadaannya.

Seketika kemarahannya memuncak sekali lagi saat matanya menangkap si orang mesum sedang duduk bergaya, dengan seringai misterius, di tahta yang seharusnya adalah miliknya.

Tidak salah lagi.

Si orang mesum itu…. Dialah penyebab apa yang baru saja Hel alami.

Sang Dewi Alam Kematian segera berdiri tegak. Ia memposisikan dirinya sekali lagi, bersiap-siap untuk menghajar si orang mesum.

Namun, sebuah pemikiran tiba-tiba saja terlintas dalam benaknya, yang membuatnya menahan diri untuk tidak segera menerjang ke depan.

'Bagaimana…. Kenapa dia tampak baik-baik saja?!'

Setelah rangkaian serangan membabi-buta yang dirinya lancarkan, Hel hampir tak mempercayai apa yang dirinya lihat: Si orang mesum terlihat tidak terluka, bahkan tak tergores sedikitpun….?!

Pada titik ini, Hel mulai cemas, dan dia menjadi was-was ketika melihat pria itu tersenyum miring.

"Tak disangka kamu berhasil memecah ruang semu yang ku ciptakan. Hmm, atau bisa dibilang, kamu secara tidak sengaja mengenai "Inti" yang jadi kelemahan terbesarnya. Selamat, ya!"

Clap, Clap, Clap, Clap!!

"A-Aku tidak butuh ucapan selamat darimu!"

Hel menggeram rendah, menggertakkan giginya melihat si orang mesum bertepuk tangan dengan wajah puas.

"Ahhh, wajahmu benar-benar…. Sungguh tipeku sekali."

"B-Brengsek!"

Sebagai seorang Dewa, Hel punya kebanggaan diri yang tinggi, dia sombong dan angkuh. Kepercayaan dirinya tak perlu dipertanyakan lagi, ditambah dia juga punya keberanian yang tak tergoyahkan. Tapi, walau demikian, dia tidak lah bodoh. Dia mengerti dan memahami betul sebuah perbedaan yang begitu mendasar: Si orang mesum tidaklah sama dengan Æsir.

Dengan segala kepercayaan dan kebanggaan diri, meskipun memiliki watak sombong dan angkuh, Hel tidak akan terbutakan oleh semua itu, sehingga membuatnya akan langsung menerjang ke orang mesum itu.

Umm… sebenarnya, dia sudah melakukannya tadi. Tapi lupakan saja.

"...Sebenarnya kau siapa?!"

Pria itu terlihat seperti manusia tetapi pada saat yang sama juga bukan manusia. Sebelumnya Hel memang tidak menyadarinya, tapi sekarang dia tahu; ada perasaan tak terlukiskan berasal dari si orang mesum yang membuat dirinya merasakan sensasi terancam. Hal itu mengusik kebanggaan dirinya sebagai Dewa.

"Aku? Sudah kubilang, Deon Decimus."

"Itu lagi!"

Si Deon Desi—atau apalah itu sepertinya orang yang benar-benar berbahaya. —Seseorang yang mampu menjebak Dewa sudah pasti bukanlah keberadaan biasa.

Hel tentu ingin tahu, kenapa orang seberbahaya ini datang ke tempatnya. Tapi, mendengar jawaban si orang mesum yang terdengar asal-asalan hanya membuatnya semakin kesal.

"Ngomong-ngomong, boleh tidak aku tinggal disini untuk beberapa waktu?"

"Hah?! Apa yang kau bicarakan, bedebah! Masuk seenaknya, me-menjebakku seenaknya… sekarang seenaknya ingin tinggal di rumah orang? Kau tidak tahu malu!"

"Hei, santai, santai. Aku kan meminta baik-baik. Kau tidak harus marah-marah. Kalau tidak boleh, yah, aku akan pergi, kok."

"Shut the fuck up!"

"O-Oke. Aku diam."

"Turun dari sana!"

"Baiklah—"

"Diam, kubilang!"

"….…."

.

.


.

.

Sementara itu.

Pada saat yang sama —di Jepang.

.

"Jadi disini, ya, tempat tinggalmu selama waktu ini?"

"Aku punya banyak tempat yang bisa ditinggali. Tapi hei, kenapa kau ikut-ikutan masuk ke apartemenku."

Orang yang masuk ke tempat tinggalku dan mengabaikan keluhanku tidak lain adalah Penemue-sama.

Setelah kami selesai makan di restoran, dia dengan senang hati mengantarku, tapi serius, kukira dia akan langsung pergi ternyata dia malah ikut masuk ke apartemenku seenaknya.

"Ini benar-benar kacau, tau." dia berkomentar begitu dengan nada bermasalah setelah melihat seisi ruanganku.

Yah, sejujurnya aku sendiri pun merasa tempat tinggalku agak kacau saat ini, tapi mau gimana lagi.

"Aku punya masalah Hoarding Disorder, mungkin?"

"….…Bukannya kamu cuma terlalu malas saja?"

Urgh, tepat seperti katanya tapi kurang tepat juga. Masalahnya belakangan ini aku terlalu sibuk dengan urusanku. Semua kekacauan ini juga disebabkan oleh keperluan penting yang datang secara mendadak, sehingga aku harus mengobrak-abrik barang-barang yang biasa disimpan di suatu tempat. Maka, jadilah begini hasilnya.

"Huh, apa yang kamu lakukan?"

"Akan ku rapikan, khusus untuk kali ini saja."

"Tidak, berhenti disana."

Aku segera menghentikan Penemue-sama yang sedang memegang kertas-kertas yang berserakan di lantai, tapi dia menjadi agak keras kepala dan mengindahkan kata-kataku.

"Jika kamu merapikannya, aku akan kesulitan mencari hal-hal yang sedang aku pilah. Jadi tolong hentikan saja, oke?"

"….….…"

Untuk beberapa saat mata kami saling bertemu pandang dalam sepi.

"Baiklah…"

.….

"Baiklah…"

Penemue mengalah, memilih untuk mengikuti keinginan sang pemilik apartemen. Meskipun keinginan untuk mengetahui apa penyebab Lumiel-nya yang rapi membuat kekacauan ini harus tertahan, Ia sadar bahwa rasa ingin tahu semacam itu dapat mengakibatkan retakan hubungan diantara mereka.

"—Ini."

"Terima kasih."

Dengan kertas-kertas yang sempat Penemue kumpulkan dikembalikan kepada pemiliknya, Ia kemudian tersenyum dan hendak berjalan ke sisi kasur.

"Tunggu sebentar."

Niatnya ingin duduk di sana, namun langkah Penemue terhenti saat tangan Lumiel yang halus dan lembut memegang tangannya.

"Apa aku tidak boleh duduk di sana ju—hah?!"

Dia pikir Lumiel hendak melarangnya duduk di kasur, namun pada saat itulah Penemue sadar, kalau ruangan sebelumnya kacau yang sudah tidak ada lagi. Ruangan telah berubah menjadi rapi tanpa celah dalam sepersekian mili detik!

Bagaimana bisa?!

"Apa ini…?!"

Lumiel menyeringai tipis dan mengangkat kedua tangannya layaknya berpasrah diri.

"Aku menyebutnya Perspektif Cahaya."

"Apa… Perspektif Cahaya apa... Apa itu?"

"Lihat, tanpa kamu sadari tanganku sudah lepas dari memegangmu, kan?"

Penemue mengangkat alis heran, kemudian mengangguk membenarkan. Lumiel merogoh saku jasnya, mengambil sebuah pena. Hal itu menarik perhatian Penemue.

'Apa yang akan dia lakukan?'

"Sesaat aku menyentuhmu, saat itu jugalah aku membawamu ikut denganku ke Perspektif Cahaya. Hmm, yah, lihat saja ini."

Lumiel mengangkat pena tersebut dengan kedua jarinya, kemudian melepaskan pena itu dan….

Penemue terkejut.

"Itu mengambang—Tidak. Itu… jatuh…? Tapi…"

Dia tidak yakin.

Pena itu mungkin terlihat melayang, Penemue pun hampir saja mempercayai apa yang dia lihat. Namun, sebenarnya pena itu tidaklah "melayang" melainkan bergerak "jatuh" dalam kecepatan yang amat sangat lambat.

"Ada hal menarik yang disinggung dalam Teori Relativitas: "Jika kamu dapat bergerak secepat cahaya, alam semesta akan tampak sangat berbeda."."

Itu teori umum sains yang telah dipaparkan oleh manusia, dan tentu saja, Penemue tahu betul para Penyihir juga mendalami bidang tersebut. Memiliki pemahaman sains adalah salah satu kunci untuk menjadi penyihir yang kompeten.

Hanya saja….

"Jadi, kita sedang berada dalam ruang yang bergerak dalam kecepatan cahaya. Apakah aku benar?"

"Mungkin?"

"Dasar pelit!"

Lumiel tersenyum polos seraya mengangkat bahu acuh, yang mana hal itu menyebabkan Penemue kesal, tapi sialnya dia tidak bisa berkata apa-apa soal itu.

"Apa aku sudah boleh duduk sekarang?"

"Silakan."

Dengan demikian, atas izin sang pemiliknya, Penemue pun mendudukkan pantatnya di atas kasur. —Pada saat yang sama, suara sebuah benda jatuh terdengar: pena yang sebelumnya mengambang di udara kini tergeletak di lantai.

Penemue menatap benda kecil itu selama beberapa saat, kemudian matanya melirik ke sana-kemari. —Ruangan ini, yang sebelumnya kacau, telah bersih dari tumpukan-tumpukan barang.

"Aku mau buat kopi. Bagaimana denganmu, Penemue-sama?"

——??!

Atensinya langsung teralihkan.

Penemue pun meningkatkan ketajaman indra penglihatan, sampai-sampai saking tajamnya ia seolah mampu melihat menembus dinding.

'Sejak kapan dia di sana?!'

Dan dirinya harus terkejut ketika matanya mendapati sosok Lumiel sudah berada di ruangan sebelah, sedang memegang sebuah cangkir sambil menghadap ke arah dispenser air.

—Itu dapur. Lumiel sedang berada di dapur, entah sejak kapan.

"Aku mau es krim rasa kari!"

Penemue sudah hidup sejak lama sampai dia sendiri tidak ingat seberapa lamanya itu. Jadi, dia bisa bereaksi pada hal-hal "tidak wajar" yang mana tidak sesuai dengan apa yang ada di kepalanya.

"Air mineral, kan? Oke."

Beruntung juga lah dirinya karena tampaknya Lumiel tidak memusingkan permintaannya itu. Ngomong-ngomong, di Jepang, Es krim rasa kari itu nyata adanya, itu benar-benar dijual di berbagai tempat.

Selang beberapa saat kemudian sosok Lumiel kembali terlihat, dia masuk ke kamar sambil membawa dua gelas dengan model serupa.

"—Ini."

Penemue menerima salah satunya, dia pun langsung facepalm saat melihat isi di dalam gelas tersebut.

"Ini bukan air, lho."

"Siapa juga yang bilang batu? Itu kopi yang diseduh dengan air. —Itu sama saja air. Cuma warnanya agak hitam."

"….…."

Alis Penemue berkedut, dia harus memendam rasa sebalnya setelah ditipu. Apalagi melihat Lumiel yang menyesap kopinya dengan santai seolah tidak merasa bersalah sama sekali, dia hanya bisa mengumpat sumpah serapah jauh di dalam lubuk hatinya.

"Aku baru tahu kalau kamu menyukai hal-hal semacam ini." —katanya, lalu menyesap kopi yang dibuatkan Lumiel itu dengan perasaan benci.

Lumiel menyesap kopinya dengan khidmat, selepas itu matanya melayang ke langit-langit apartemennya. Ia kemudian bercerita dengan suasana nostalgia di sekitarnya.

"Ada salah satu pasienku yang tidak suka minum minuman pahit. Terkadang aku akan memaksanya untuk meminum kopi. Kamu tahu, sebegitu tak sukanya dia akan minuman pahit, bahkan sampai ingin kabur dari rumah sakit, lho?"

"Itu gila. Kenapa kamu memaksakan pasien menelan yang tidak dia sukai? —Tunggu! Aku bukan pasien…?! Tidak. Apa kamu benar-benar pantas disebut Dokter dengan berbuat hal ilegal begitu?!"

"Haha, berbicara dengan orang dewasa memang lebih menyenangkan."

Melihat Lumiel yang tersenyum polos, dia menyadari kalau dirinya telah dipermainkan gadis itu, Penemue pun menggerutu dibuatnya.

"Lagi-lagi aku kena jebakanmu."

Jika berhadapan dengan gadis-gadis lain, Penemue lah yang akan selalu berada di posisi yang 'mempermainkan' mereka tetapi jika bersama Lumiel dialah yang sering kali dirugikan. Bagaimanapun juga, satu-satunya orang yang Penemue tahu yang bisa menghadapi "kecerdikan" Lumiel hanyalah Azazel seorang.

Perangai mereka hampir sama persis, seperti orangtua dan anak. —Walaupun faktanya bukanlah demikian.

Omong-omong soal Azazel…. Ada satu hal penting yang baru saja dia ingat.

"Lumiel. Kamu sudah mendengar kabar tentang "Itu"?"

"….Aku bahkan tidak tahu apa "Itu" yang kamu maksud."

"Jadi, kuanggap kamu belum mendengarnya."

"Setidaknya bicarakanlah sedikit lebih jelas."

Penemue mengangguk seolah yakin. —Lumiel sweatdrop melihatnya. Kemudian, apa yang selanjutnya Penemue katakan dengan tepat sasaran telah mengenai titik kejut Lumiel.

"Seseorang dari sisi kita telah berkontak dengan sisi lain dari "Dunia Lain". Ini masih dirahasiakan tetapi informasinya secara tidak langsung telah tersebar cukup luas."

"...Apa itu benar?!"

.

.


.

.

Kembali ke Niflheim — Helheim, di dalam Eljudnir.

.

Hel —duduk di singgasananya.

Di berhasil merebutnya kembali dari tangan si pencuri tak tahu malu. Hmmmmmmm… yah, tepatnya, si pencuri menyerahkannya begitu saja saat Hel menyuruhnya untuk turun.

'Dari mana datangnya orang aneh ini?'

Tak disangka-sangka si pencuri itu akan menuruti perintah Hel tanpa menyuarakan sepatah katapun. Mengingat setelah semua yang dilakukannya, tidak salah lagi dia orang aneh.

Sekarang situasi mereka telah terbalik. Hel duduk di singgasana, dan si pencuri berdiri di depannya.

"Apa kamu punya… umm, semacam kopi?"

"Hah?! Apa katamu?!" —Hel langsung sewot. Si pencuri pun menjelaskan.

"Maksudku, itu, setelah tadi menggigitmu, mulutku masih merasakan rasa yang terlalu manis."

Blush!

"K-Kau… Kau!"

"Selama itu sesuatu yang pahit, selain kopi, karena disini cukup dingin, coklat panas juga tidak masalah buatku."

"Di-Diam kau, si orang mesum!"

Yah, si pencuri telah kembali ke asal: si orang mesum. Tidak. Sekarang Hel telah menentukannya: Orang aneh yang menerobos masuk ke tempatnya tidak salah lagi adalah 'Si orang aneh mesum pencuri tak tahu malu!'.

Maaf, lupakan…

"Aku Deon Decimus, jadi tolong berhenti memanggilku mesum."

"Khuh…!?"

Wajah cantik Hel memerah antara malu bercampur kesal. Lagi-lagi dia mempertanyakan asal muasal orang aneh plus tak tahu malu itu.

Pria itu sungguh tak tahu malu, mungkin urat malunya sudah putus atau mungkin ada sekrup yang hilang dari kepalanya. Hanya saja, kekuatan yang pria itu miliki bukanlah candaan. Meskipun bisa saja Hel melawannya dengan sungguh-sungguh, tapi jika dia melakukannya itu akan tidak bagus.

'Aku tidak ingin menarik perhatian para bedebah di Asgard.'

Pada dasarnya, Hel mungkin dianggap bermasalah oleh mereka (Asgardian), dan Hel pun mengakuinya. Akan tetapi dia benci jika ada campur tangan orang lain dalam urusannya sendiri. Maka dari itu, sekesal-kesalnya Hel dia tetap tidak akan mau menerima bantuan dari Asgard.

'Jika aku bisa memanfaatkan orang aneh ini…' dengan pemikiran seperti itu, Hel berusaha memendam rasa sebalnya sebaik mungkin.

"Sebenarnya kau siapa?"

"Ya ampun….. Kau bisa memanggilku Deon."

"(-….….…-メ)!"

Sabar, sabar….

Sejujurnya ini sangatlah sulit sebab dia orangnya mudah tersulut emosi, alias bersumbu pendek. Nah, sejak awal dia memang sudah seperti itu. Ditambah, menghadapi pria aneh ini menambah tingkat kesulitannya.

"….Apa tujuanmu datang ke tempatku?"

"Tidak ada. Aku tak punya tujuan."

"….…"

"Ini agak sedikit rumit… maksudku, ada seseorang yang melemparku ke….. maaf, apa nama gurun es di luar itu?"

Hel diam saja, enggan memberitahu. Dia terlanjur kesal. Namun, tampaknya itu tidak jadi masalah bagi pria itu.

"Ya, itu, maksudku. Aku dilemparkan di sana, beberapa ribu mil dari sini, kurasa? —Karena tempat ini menarik perhatianku jadi aku datang kemari." —jelasnya, yang sama sekali nggak menjelaskan apa-apa di mata Hel.

Pria itu, Deon, bersedekap dada dan memasang tampang berpikir, kemudian dia memberitahu Hel sesuatu yang dialaminya.

"Ngomong-ngomong, saat aku diluar sana, ada raksasa bertubuh es tiba-tiba menyerangku. Aku tidak sengaja menghancurkannya. Maaf."

Hel tersentak, setelah mendengar kata-kata pria itu dia pun jadi tertarik dan akhirnya Hel mau membuka mulutnya.

"Kau… membunuh salah satu Frost Giant?"

"Maaf, Nona. Aku tak sengaja, sungguh."

Tak ada jejak kebohongan, dan tak ada keraguan dalam kata-katanya, di samping itu tidak ada rasa bersalah sama sekali yang dapat Hel temukan dari pria itu.

'Frost Giant yang di luar itu… salah satu bedebah yang yang mengawasiku. Bedebah itu mati?'

Entah harus merasa senang atau malah sebaliknya, Hel berpikir kalau pria aneh bernama Deon ini sepertinya seseorang yang tidak boleh dianggap enteng.

Frost Giant di luar sana setidaknya kuat, cukup kuat untuk membumihanguskan sebuah kota manusia dalam satu tembakan penuh.

'Benarkah pria aneh ini membunuh itu?'

Hel sanksi, dia ragu-ragu apakah itu benar atau tidak. Karena Frost Giant di luar sana cukup kuat sehingga setidaknya jika ada pertarungan situasinya akan cukup ribut. Akan tetapi Hel tidak merasakan keributan sama sekali.

"Bagaimana dia mati?"

"Aku hanya memukulnya sekali, sayangnya dia tiba-tiba berubah menjadi debu."

Hel menyeringai lebar. Kata-kata pria itu membuatnya ngeri karena… jika itu bukanlah kebohongan, maka bisa diasumsikan kalau pria itu memang sangat kuat.

'Apa yang harus kulakukan….'

Hel ingin sekali memanfaatkan kekuatan besar yang dimiliki pria itu, tapi resikonya juga tidak kalah besar. Jika dia salah langkah, bisa-bisa dia sendiri yang akan kena imbasnya. Lagipula dia tidak tahu apa-apa tentang pria itu. Tapi tentu saja, Hel bukanlah orang yang mudah menyerah.

Mungkin, dengan "suatu cara" dia bisa memanfaatkan kekuatan pria itu. Untuk sekarang, ayo buat skenarionya terlebih dulu.

"…Kau bilang, kau mau tinggal disini untuk sementara waktu? Aku tidak keberatan selama kau mau melakukan sesuatu untukku."

"Ooohh?"

Melihat tatapan tertarik pria itu, Hel berbicara lebih jauh.

"Eljudnir tempat yang cocok untuk bersantai. Apalagi aku sengaja membuatnya agar tidak mudah ditembus oleh "Mata Mistik" orang-orang kolot di atas sana. Jika kau ingin bersembunyi dari sesuatu, disini tempat yang sangat tepat!"

"…Itu kedengarannya bagus! Aku memang tidak suka jadi terlalu mencolok."

Hel senang mendengar respon positif itu. Dia berusaha menahan diri sekuat tenaga agar tidak menyeringai licik, alhasil, untuk pertama kalinya sejak pertemuan mereka, sang Goddess of Dead tersenyum manis.

"Bagaimana, kau tertarik?"

"Hmmm. …. Sepertinya akan seru. Jadi baiklah."

'Kena kau!' —Hel akhirnya mengeluarkan seringainya yang dia tahan-tahan.

"Kalau begitu, ayo dengarkan dulu ketentuan yang kamu inginkan, Nona."

Dengan begitu, selanjutnya Hel menjelaskan tujuannya kepada pria aneh itu. Kata-katanya terdengar cukup meyakinkan, dan dia dengan mulusnya mencampurkan kebohongan di antara kebenaran. Hel tidak peduli juga, apakah akan diketahui atau tidaknya. Lagipula pria itu tidak lebih dari sekadar "Pion" belaka di matanya.

Namun Hel….

Dia tidak tahu kalau sebenarnya pria di depannya adalah seorang bajingan licik yang bahkan mampu mengelabui Lumiel, —orang yang paling diwaspadai oleh Gubernur Grigori. Kelak hal ini akan membawanya ke jalan acak yang tidak dapat dijelaskan hanya dengan satu kalimat semata.

Yah, semoga saja rencana "luar biasa"-nya tetap berakhir mulus.

.

.

—Tbc—