ASSASSIN'S CREED : BLOODLINE IN THE SHADOWS

DISCLAIMER : Masashi Kishimoto and Ubisoft

GENRE : Menyesuaikan

WARNING : TYPO, GAK JELAS.

.

.

.

.

.

.

.

1455, JEPANG FEODAL

Di desa Uzushio, udara laut yang asin bercampur dengan aroma tanah yang basah setelah hujan. Desa kecil ini dikenal damai, terlindung oleh tebing-tebing tinggi dan laut yang membentang di tiga sisinya. Rumah-rumah kayu dengan atap jerami berjajar rapi, menciptakan kesan tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota besar.

Di tengah desa, Minato Namikaze duduk di tangga depan rumahnya yang menghadap ke arah bukit hijau. Jubah luarnya yang berwarna cokelat samar-samar berkibar tertiup angin laut. Tatapannya mengarah ke cakrawala yang mulai berubah keemasan, tetapi pikirannya jauh melayang, melampaui laut dan gunung yang menjadi pelindung desa mereka.

"Lihat, Ayah!" Suara ceria terdengar dari sampingnya. Naruto Namikaze, anak laki-lakinya yang baru berusia sepuluh tahun, melompat dari pagar kayu. Dia memegang ikan kecil yang masih lompat-lompat di tangannya. "Aku menangkap ini sendiri!"

Minato tersenyum, menahan tawa kecil. "Kau hebat sekali, Naruto. Mungkin sebentar lagi, kau akan menggantikan pekerjaan pemancing di desa ini."

Naruto cemberut. "Aku tidak ingin menjadi pemancing! Aku ingin menjadi seperti Ayah!"

Mendengar itu, senyum Minato sedikit memudar. Namun, dia menyembunyikannya dengan mengacak rambut pirang Naruto. "Seperti ku? Apa kau mau menjadi kepala desa?"

"Ya. Semua orang bilang Ayah adalah kepala desa yang hebat. Aku ingin menjadi kepala desa juga, melindungi desa ini menggantikan Ayah," jawab Naruto polos, sambil memandang ayahnya dengan kekaguman tulus.

"Aku akan menantikan saat hari itu tiba, Naruto."

Dari dalam rumah, Kushina Uzumaki mengamati percakapan itu melalui jendela kecil. Dia seorang wanita dengan rambut merah panjang yang berkilau seperti matahari terbenam, dan mata cokelat yang selalu terlihat hangat. Meski ia bukan wanita dengan kekuatan seperti suaminya, Kushina adalah pilar utama keluarga mereka, seseorang yang selalu menjaga keutuhan rumah tangga mereka di tengah kesibukan Minato.

Kushina tahu siapa Minato sebenernya, apa yang ia lakukan dalam bayang-bayang malam. Tapi ia memilih untuk tidak terlibat. Baginya, Minato sudah memberikan dunia yang cukup dengan berada di sisinya dan menjadi ayah yang baik bagi Naruto.

"Sudah malam, Minato," panggil Kushina lembut, membawa keranjang kecil berisi pakaian yang baru selesai ia cuci. "Naruto, ayo masuk. Mandi dulu sebelum makan malam."

Naruto cemberut lagi, tetapi tidak membantah.

"Baik, Bu," jawabnya singkat sambil berlari masuk ke dalam rumah.

Kushina menatap Minato, dan mereka bertukar pandang tanpa kata-kata. Dalam matanya, Kushina bisa melihat tatapan kosong suaminya. Namun seperti biasa, Minato dengan cepat merubah tatapannya dan tersenyum kecil.

"Kamu melamun lagi," kata Kushina yang menyadari perubahan Minato. "Kamu harus berhenti membawa pekerjaanmu ke rumah." Lanjutnya.

"Maaf, Kushina. Aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja," jawab Minato perlahan. Suaranya tenang, tetapi ada sesuatu di dalamnya yang membuat Kushina merasa sedikit gelisah.

"Kalau begitu, setidaknya biarkan aku membantu-" Kushina berhenti sejenak, memperhatikan bagaimana ekspresi suaminya berubah menjadi tegas. Ia tahu kalimat itu tidak akan mendapat jawaban yang berbeda.

"Kau sudah membantu, Kushina," Kata Minato akhirnya dengan senyum penuh kelembutan. "Dengan menjaga Naruto, menjaga rumah ini. Itulah alasan aku bisa bertahan selama ini."

Kushina menghela nafas pelan, kemudian mendekatinya. Ia menyentuh bahu Minato dengan lembut, mencoba menyampaikan perasaannya. "Jangan mati. Itu cukup untukku."

"Janji," jawab Minato dengan tenang. Tetapi jauh di dalam hatinya, ia tahu janji itu mungkin tidak akan bisa ia tepati.

Di malam harinya, keluarga Namikaze berkumpul di depan tungku kecil. Naruto duduk di pangkuan ibunya sambil memainkan potongan kayu yang ia pahat menjadi miniatur kapal. Kushina sibuk mengikat kimononya, sedangkan Minato duduk menyendiri, memperhatikan keadaan luar dari balik jendela.

Di luar, angin malam bertiup kencang, membawa aroma laut ke setiap sudut desa. Desa Uzushio terlihat tenang, tetapi di balik keheningan itu, Minato tahu ada beberapa orang misterius yang memperhatikan rumahnya.

"Ini akan menjadi malam yang panjang." Pikir Minato, memandangi Naruto yang tertawa ceria bersama Kushina. Dalam hati, ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan melindungi senyuman mereka berdua, bahkan jika itu mengorbankan nyawanya sendiri.

.

.

.

.

Malam semakin larut. Di luar rumah keluarga Namikaze, angin dingin mulai menyelinap masuk melalui celah-celah dinding kayu. Di dalam, Kushina sudah mengantar Naruto ke tempat tidur, menyelimuti tubuh kecilnya yang terlelap. Anak itu tersenyum dalam tidur, memegang erat miniatur kapal yang ia buat sebelumnya.

Kushina berdiri di ambang pintu kamar, memperhatikan Naruto untuk beberapa saat. Senyumnya samar, namun matanya menyimpan harapan. Bagi Kushina, kehidupan ini sudah cukup. Ia tidak meminta apa-apa lagi, tidak kekayaan, tidak kekuatan. Cukup bagi Naruto untuk tumbuh dengan aman di dunia ini.

Minato duduk di ruang utama, di depan meja kecil yang penuh dengan gulungan kertas tua dan tinta. Di bawah cahaya lentera, bayangannya terpantul di dinding, memperlihatkan postur pria yang terbebani. Sesekali, ia mencatat sesuatu di salah-satu gulungan dengan tangan yang tampak mantap, namun ada sedikit getaran di ujung jemarinya.

Kushina mendekat, membawa secangkir teh hangat. Ia menaruhnya di meja tanpa mengatakan apapun, tetapi Minato menangkap gerakan itu dan mendongak.

"Teh untuk pahlawan kita." Kata Kushina sambil tersenyum tipis.

Minato tersenyum samar, lalu menyesap tehnya. Keheningan meliputi mereka sesaat, tetapi Kushina merasa ada sesuatu yang berbeda malam ini.

"Ada sesuatu yang kamu pikirkan?" Tanya Kushina pada akhirnya.

Minato meletakan cangkirnya, menatap Kushina lembut. "Tidak ada apa-apa." Jawabnya.

Kushina terdiam, tetapi ia sudah terbiasa dengan kalimat itu. Minato sering mengatakan kalimat itu ketika hendak membuat keputusan yang akan membahayakan nyawanya. Ia tahu apa pekerjaan sebenarnya Minato, meskipun ia tidak pernah terlibat dalam tugas-tugas tersebut.

Kushina memeluk Minato erat, ia tak kuasa menahan tangisnya. Perasaan sedih menyelimuti dirinya. Dalam pelukannya, Kushina berharap waktu bisa berhenti, meski hanya sekejap.

Jari-jarinya yang ramping tampak gemetar. Ia menatap wajah suaminya, mencari jawaban yang mungkin tidak akan ia sukai.

"Minato..." Suaranya terdengar lirih, hampir seperti bisikan. "Apa kamu bisa meninggalkan ordo Assassins demi keluarga kita?"

Keheningan menggantung diantara mereka. Minato tidak langsung menjawab, hanya menatap wajah istrinya dalam cahaya lentera yang redup. Mata birunya yang biasanya hangat kini dipenuhi pertimbangan yang sulit.

Kushina menundukkan kepalanya, mengeratkan genggamannya. "Aku tahu kamu selalu mengatakan bahwa ini adalah kewajibanmu, bahwa kamu harus melindungi sesuatu yang lebih besar. Tapi aku..., aku hanya ingin kamu tetap di sini. Bersamaku. Bersama Naruto."

Minato menarik nafas dalam. Ia mengangkat tangannya dan menyentuh pipi Kushina, ibu jarinya mengusap lembut kulitnya yang basah karena air mata.

"Kushina," suaranya lembut namun penuh ketegasan, "kalau aku bisa memilih, aku ingin tetap di sini, bersamamu dan Naruto. Aku ingin melihatnya tumbuh, ingin melihatnya bahagia lebih baik dari hari ini." Ia tersenyum kecil, seolah mencoba meringankan suasana.

"Tapi kau tahu," lanjutnya, kali ini lebih serius.

"Apa yang aku lakukan bukan hanya tentang ordo. Aku telah melihat apa yang terjadi jika mereka yang berkuasa tidak di awasi. Aku tahu bagaimana kejamnya dunia ini, bagaimana orang-orang sepertimu..., orang-orang yang hanya ingin hidup damai, dapat dihancurkan oleh mereka yang tamak."

Matanya menatap jauh, seperti melihat sesuatu yang tidak bisa Kushina lihat. "Aku tidak bisa berpura-pura bahwa semua itu tidak ada."

Kushina menghela nafas panjang. Ia sudah menduga jawaban itu, namun tetap saja hatinya sakit mendengarnya. Ia menatap Minato, berusaha memahami, berusaha menerima.

"Tapi, Minato..." Suaranya hampir bergetar, "janji satu hal padaku."

"Apa?"

Kushina menelan ludah, mencoba menguatkan dirinya. "Jika suatu saat kamu harus memilih antara assassin dan keluarga kita... Tolong, pilihlah kami."

Minato terdiam. Permintaan itu sederhana, namun berat.

Setelah beberapa saat terdiam, Minato tersenyum, meski ada keraguan yang terselip di dalamnya. Ia menarik Kushina kedalam pelukannya, mencium lembut puncak kepalanya.

"Aku akan melakukan yang terbaik." Jawabnya.

Kushina tahu Minato masih memiliki keraguan untuk permintaan Kushina. Tapi untuk saat ini, itu sudah cukup.

Di luar rumah keluarga Namikaze, kesunyian mulai terasa aneh. Biasanya, suara ombak dan nyanyian jangkrik menjadi latar alami bagi desa Uzushio, tetapi malam ini, semuanya terasa sangat sepi.

Minato yang masih memeluk Kushina menyadari perubahan itu lebih cepat dari siapapun. Ia membuka matanya perlahan, instingnya segera bekerja. Dalam sekejap, kehangatan dalam pelukan itu berubah menjadi waspada.

Minato dapat mendengar suara langkah kaki yang mengitari rumahnya. Langkah itu nyaris tidak terdengar jika tidak memiliki pendengaran yang tajam.

"Ada apa?" Tanya Kushina, merasakan perubahan sikap Minato.

Minato tidak menjawab. Ia hanya melepaskan pelukannya dan berdiri, mendekati jendela. Matanya menyapu halaman depan yang hanya diterangi cahaya rembulan. Angin laut masih bertiup, tetapi kali ini terasa lebih dingin, lebih menusuk.

Lalu, ia melihatnya.

Bayangan. Bukan satu, bukan dua. Tapi banyak. Bergerak dengan senyap diantara pepohonan, mengitari rumahnya seperti serigala lapar yang mengincar mangsanya.

Mereka bukanlah bandit, mereka terlihat seperti pasukan elite terlatih.

Minato mengepalkan tangannya erat. Mereka mengincarnya.

"Kushina," ucapnya dengan suara rendah. "Bangunkan Naruto. Bawa dia ke ruang bawah tanah."

Kushina menegang, tetapi ia tidak bertanya. Ia tahu kapan harus mempercayai naluri Minato. Tanpa suara, ia berbalik dan berjalan cepat ke kamar Naruto.

Minato mengambil nafas dalam, lalu beranjak ke sudut ruangan. Di sana, di balik rak kayu yang tampak biasa, ia menarik sebuah tuas kecil yang tersembunyi. Dengan suara halus, sebuah panel kayu terbuka, memperlihatkan ruang rahasia tempat ia menyimpan perlengkapan yang selama ini disembunyikannya dari dunia.

Sebuah jubah putih dengan garis merah tergantung rapi, bersama dengan sarung tangan kulit, beberapa pisau lempar, dan yang paling khas—sepasang bilah tersembunyi.

Minato menatap perlengkapannya sejenak, sebelum akhirnya meraih semuanya dengan gerakan terlatih. Tidak ada waktu untuk ragu.

Saat ia bersiap, suara Kushina terdengar dari belakang.

"Dia tidak mau bangun."

Minato menoleh dan melihat istrinya berdiri di ambang pintu kamar, matanya penuh kecemasan.

"Naruto terlalu lelap. Aku tidak bisa membangunkannya," lanjut Kushina dengan suara bergetar. "Minato, aku takut."

Minato mendekat, meletakkan kedua tangannya di bahu Kushina. Ia menatap mata istrinya, mencoba menyalurkan keyakinannya melalui genggamannya.

"Dengar," katanya lembut, "apa pun yang terjadi, kau harus membawa Naruto keluar dari sini. Pergi ke hutan utara, temui Jiraiya. Dia akan melindungimu."

Kushina menggeleng, matanya mulai basah. "Dan kau?"

Minato tersenyum kecil, meskipun ada kepahitan di baliknya. "Aku akan menyusul kalian."

Tiba-tiba—

Crash!

Sebuah suara keras terdengar dari depan rumah. Jendela pecah berhamburan, kayu-kayu pintu bergetar hebat. Seseorang telah memaksa masuk.

Mata Minato menyipit. Tidak ada waktu lagi.

"Kushina, sekarang!"

Tanpa menunggu jawaban, Minato berbalik dan menarik bilah tersembunyinya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah menuju kegelapan, menuju mereka yang datang untuk merenggut segalanya darinya.

Minato melangkah keluar dari rumahnya, jubah putihnya berkibar pelan tertiup angin laut yang dingin. Cahaya bulan memantulkan siluetnya di tanah, memperlihatkan sosok yang tenang namun penuh kewaspadaan.

Di hadapannya, belasan pria berbalut pakaian gelap berdiri dalam barisan, sebagian membawa pedang, sementara yang lain menggenggam busur dengan anak panah yang siap dilepaskan. Mata mereka penuh dengan niat membunuh.

Seorang pria bertubuh tegap melangkah ke depan, wajahnya tertutup setengah kain hitam.

"Minato Namikaze," suaranya terdengar datar, tetapi ada nada penghormatan aneh didalamnya. "Kau dan ordomu telah melangkah terlalu jauh mencampuri urusan kami. Malam ini, semuanya akan diakhiri."

Minato tidak menjawab. Ia hanya memiringkan kepalanya sedikit, menilai lawannya. Lalu, ia menghela nafas, mengangkat tangannya. Lalu dalam sekejap, bilah tersembunyinya keluar dengan suara mekanisme yang halus.

"Datanglah padaku dan cepatlah menyerang." Jawabnya dingin.

Tiga musuh pertama menyerbu sekaligus. Minato melangkah ke samping dengan gesit, menghindari tebasan pertama, lalu dengan cekatan menusukkan bilahnya ke leher lawan terdekat. Tanpa membiarkan tubuhnya terhenti, ia berputar, meraih pergelangan tangan pria kedua yang mencoba menebasnya, dan dengan satu gerakan cepat, ia membalikan pedang itu dan menusukkan ke pemilik nya sendiri.

Pria ketiga mencoba menyerangnya dari belakang, tapi sebelum pedangnya menyentuh Minato, sebuah pisau lempar sudah menancap tepat dimatanya. Ia terjatuh tanpa suara.

Tetapi musuh lainnya tidak gentar. Mereka sudah memperkirakan bahwa Minato bukan lawan yang mudah ditangani.

"Cepat serang dia!" Teriak pemimpin mereka.

Anak panah melesat. Minato menunduk, tapi satu di antaranya mengenai bahunya. Ia menggertakkan gigi, menahan rasa sakit lalu mencabutnya tanpa ragu. Darah mengalir, tetapi ia tidak bisa berhenti.

Sementara itu di dalam rumah...

Kushina mengigit bibirnya, menahan isakkannya saat ia berusaha membangunkan Naruto. Anak itu tertidur lelap, seakan tidak mendengar kekacauan yang terjadi di luar.

"Naruto bangun," bisiknya, mengguncang tubuh kecil itu. "Kita harus pergi."

Tiba-tiba-

BRAK!

Pintu belakang rumah hancur, dan seorang pria berbaju gelap masuk dengan pedang terhunus. Mata Kushina membelalak. Tanpa pikir panjang, ia meraih pisau dapur yang ada di meja dan berdiri di depan tempat tidur Naruto, mengangkat senjatanya dengan tangan gemetar.

Pria itu tersenyum jahat. "Menyerahlah, wanita. Kami hanya akan menggunakanmu agar pria itu menyerah."

Kushina tidak menjawab. Ia hanya menggenggam pisaunya lebih erat.

Pria itu melangkah maju, tetapi sebelum ia sempat melakukan apapun, kepala pria itu terjatuh ke tanah diikuti tubuhnya.

Kushina menoleh ke arah pintu dan melihat Minato berdiri di sana, hawa membunuh yang sangat pekat dapat dirasakan bahkan bagi orang biasa seperti Kushina. Darah menetes dari bahunya, tetapi matanya memancarkan kemarahan.

"Kushina. Bawa Naruto pergi. Sekarang!" Tidak ada nada kelembutan seperti biasanya dari Minato.

Ia ingin menolak, ingin mengatakan bahwa mereka bisa bertahan bersama, tetapi saat ia melihat darah yang membasahi jubah suaminya, ia tahu waktu mereka tidak banyak.

Dengan air mata yang hampir tumpah, ia mengangkat Naruto kedalam gendongannya dan berlari keluar dari rumah, menuju hutan utara.

Sesaat setelah kepergian Kushina, Minato berdiri sendiri. Tubuhnya penuh luka, nafasnya berat. Tetapi ia tetap berdiri tegak, menghadapi sisa musuhnya.

Dua anak panah menerjangnya sekaligus, Minato berusaha menghindar dengan susah payah. Namun ketika ia berbalik, pemimpin musuh berhasil memutuskan tangan kanannya.

Tanpa memperdulikan tangannya, Minato menyerang kembali, bergerak cepat seperti angin, menerjang musuhnya dengan kecepatan. Tetapi luka-lukanya mulai memperlambatnya, dan jumlah mereka semakin banyak.

Pedang menebas, bilah tajam menusuk. Darah mengalir.

Minato Namikaze, seorang assassins terbaik di negri ini tewas dengan keadaan yang mengenaskan. Kedua lengannya hancur, tubuhnya dibakar, dan kepalanya yang terpenggal digantung di atas menara desa sebagai ancaman untuk ordo assassins agar tidak mencampuri urusan mereka lagi.

Di kejauhan, di balik hutan, Kushina menoleh kebelakang dan melihat rumah mereka terbakar.

Jantungnya mencelos, ia tahu apa artinya itu.

Ia tidak boleh berhenti, ia harus terus berlari, membawa Naruto menjauh dari tempat itu.

Air matanya mengalir tanpa henti.

Dimalam yang dingin itu, ordo assassin kehilangan prajurit terbaiknya.

Dan seorang anak, yang masih tertidur lelap dalam gendongan ibunya, kehilangan sosok ayah dan pahlawannya untuk selamanya.

-TO BE CONTINUED-

Sebenernya prolog uda perna di up di akun yang lain dengan judul yang sama.