CHAPTER 1
Suara bising orang yang berlalu-lalang mulai terdengar di penjuru kota. Sinar mentari perlahan menghilang dari sudut jendela, menyisakan cahaya remang yang menerangi wajah seorang gadis berambut pink lembut. Ia masih saja berkutat dengan laptop di hadapannya. Sudah sekitar lima jam berlalu, dan ia tetap terduduk diam di sana, menuntaskan pekerjaannya.
Ting!
Suara ponsel berdering, menyadarkannya dari lamunannya. Terlihat ia tersenyum, lalu menyudahi kegiatannya. Ia segera bersiap untuk pergi, mengenakan pakaian kasual yang biasa dipakai sehari-hari. Tak lupa menyemprot parfum dan menambahkan sedikit riasan di wajah. Sudah siap! Gadis itu tampak bersemangat meninggalkan kamar aparteme meter yang telah ia tinggali hampir dua tahun. Hidup gadis muda itu terbilang nyaman, dengan suasana tenang. Apalagi yang kurang? Bekerja sebagai penulis novel mingguan dan pekerja paruh waktu untuk mengisi waktu luang bukanlah hal buruk, bukan?
Gemerlap bintang menerangi kota malam itu. Angin berembus pelan, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke sudut-sudut kota. Di antara kerumunan orang yang berlalu-lalang, tampak seorang pria berpenampilan rapi berjalan perlahan. Kemeja putih dengan kerah sedikit terbuka membalut tubuhnya, sementara jas putih ia selempangkan di lengan kiri, ditemani tas hitam yang tampak elegan. Rambut perak (silver)-nya berkilau, berpadu sempurna dengan wajah tampannya.
Cling...
"Selamat datang, silakan," sapa penjaga toko dengan ramah ketika pria itu melangkah masuk. Ia menyusuri lorong berisi deretan makanan dan minuman, lalu meraih sebotol minuman dingin. Malam ini cukup sejuk, pikirnya, waktu yang tepat untuk menenangkan diri setelah hari yang panjang.
Hidupnya tampak sempurna di mata banyak orang—seorang dokter gigi sukses di klinik ternama—tetapi ada kehampaan yang bersarang di dalam hatinya. Terlalu fokus pada karier hingga menginjak usia kepala tiga mungkin bukanlah hal buruk, namun entah mengapa hidupnya terasa begitu monoton.
"Terima kasih, silakan belanja kembali," ujar kasir saat pria itu selesai membayar. Ia keluar dari toko, mendorong pintu bersamaan dengan masuknya seorang gadis. Tatapan mata mereka beradu dalam sekejap, namun terasa begitu nyata.
Deg!
Seketika ada yang aneh. Pria itu tertegun, menatap gadis yang baru saja lewat di depannya. Wajah ceria dengan senyum manis, rambut pink lembut yang mengingatkannya pada permen kapas, mata hijau jernih yang terasa mampu menawan siapa saja, plus aroma segar dan manis yang seketika membuatnya terpaku.
"Terima kasih," ucap si gadis lembut, lalu melanjutkan langkahnya. Pria itu masih memandangi punggungnya yang perlahan menjauh. Perasaan apa ini? Mengapa seseorang yang baru saja ditemuinya bisa membuatnya begitu tertarik? Selama tiga dekade hidupnya, belum pernah ia merasakan hal semacam ini. Banyak wanita yang ia jumpai, tapi semuanya hanya tertarik pada harta atau sekadar memuaskan hasrat semata.
Dari kejauhan, gadis itu tertawa ceria, menyapa teman-temannya di dalam toko. Pria itu menghela napas panjang, berusaha meredakan detak jantung yang tak biasa.
"Hei, Sakura, lagi lihat apa sih dari tadi?" tanya salah satu temannya, membuyarkan lamunan sang gadis.
"Ah, nggak kok," jawab Sakura gugup, menggeleng pelan, lalu kembali fokus pada pekerjaannya sebagai kasir paruh waktu di toko swalayan itu.
"Temanku ada yang ingin kenalan sama kamu, Sakura," ujar temannya sambil memperlihatkan foto seorang pria muda yang cukup tampan di layar ponselnya. Sakura, yang sedang fokus mencatat daftar barang yang baru datang, mencoba mengabaikan obrolan temannya.
"Seumuran kita, lho," tambah temannya, berusaha meyakinkan Sakura agar sedikit tertarik dengan 'calon kenalan' itu.
Sakura menepis layar ponsel temannya perlahan sambil mengembuskan napas. "Ino, sahabatku yang paling cantik, aku nggak tertarik pacaran dulu," jawabnya tegas, memberikan kejelasan pada sahabatnya itu.
Ino menghela napas panjang, berusaha memahami apa yang dirasakan sahabatnya. Sakura memang tampak memiliki kehidupan yang damai dan tenang. Tapi soal komitmen dan hubungan? Nol besar. Baginya, hubungan serius tak lebih dari omong kosong belaka. Bahkan hubungan yang dibangun bertahun-tahun pun bisa kandas dalam sehari.
Cinta? Takdir?
Kamu percaya akan hal itu? Bahwa semesta mungkin mempertemukan dua orang asing secara kebetulan, seolah semuanya telah dirancang sejak awal? Kalau memang cinta itu ada, mengapa masih banyak orang yang sakit hati?
Ruangan praktik yang sunyi hanya ditemani denting jam yang menunjukkan pukul 19.45. Kakashi meregangkan tubuhnya yang penat setelah melayani lima pasien sejak siang. Rasa lelah menjalari tubuhnya, namun masih tersisa satu pasien sebelum ia bisa pulang. Ia sempat berpikir untuk mampir ke toko swalayan malam itu—toko tempat ia bertemu dengan gadis bermusim semi—berharap bisa menemuinya kembali. Gadis yang tak lepas dari pikirannya hingga kini.
Kakashi merapikan jas putih yang tergantung di sandaran kursi ketika pintu ruang praktik terbuka perlahan.
"Permisi, Dok…"
Suara lembut itu. Kakashi terdiam. Aroma yang familiar menguar bersama embusan angin. Gadis itu! Gadis berambut pink yang ia temui malam lalu. Seketika ia menoleh untuk memastikan, dan benar saja. Gadis yang membuatnya berdebar kini berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan senyuman tulus.
"Silakan duduk," ucap Kakashi dengan nada tenang, meski hatinya bergetar hebat. Pandangannya tak bisa lepas dari wajah gadis itu—kulit putih bersih, bibir mungil ranum yang memesona.
Gadis itu sedikit memiringkan kepala, menatapnya dengan bingung. "Ada yang salah dengan saya, Dok?"
Kakashi tersentak. "Ah, tidak. Saya hanya merasa seperti pernah melihat Anda sebelumnya."
Sakura mengangguk pelan. "Saya bekerja di toko swalayan dekat sini. Mungkin Dokter pernah ke sana?"
Kakashi membalas dengan anggukan, tersenyum tipis. Syukurlah, gadis itu tak menganggapnya aneh.
"Saya Sakura Haruno, senang bertemu dengan Dokter. Mohon bantuannya, Kakashi Sensei," ucapnya ramah sambil membaca nama di jas putih pria itu.
Kakashi mempersilakan Sakura duduk di kursi dental. "Silakan duduk dengan nyaman, ya."
Ia memasangkan bib clip dengan hati-hati. Jarak mereka kini begitu dekat. Sakura menyibakkan rambut pinknya agar Kakashi lebih leluasa melakukan pemeriksaan. Hembusan napas mereka terasa jelas, dan jantung Kakashi berdegup kian kencang. Namun, ia tetap berusaha fokus.
"Saya mulai pemeriksaannya, ya," ucapnya lembut sambil menurunkan kursi. Tangan besarnya terasa saat perlahan menopang dagu Sakura yang mungil, membuka bibirnya dengan hati-hati. Tiba-tiba saja timbul perasaan aneh di tubuhnya. Sakura, tanpa sadar, menatap pria itu, memperhatikan setiap garis wajahnya yang begitu sempurna. Detak jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.
"Tidak usah tegang," ujar Kakashi, menyadari raut gugup di wajah si gadis. Sakura hanya mengangguk, meski wajahnya memanas. Pemeriksaan pun selesai. Kakashi mengembalikan kursi ke posisi semula dan membantu melepaskan perlengkapan yang dipasang pada Sakura.
"Sudah selesai. Silakan kembali ke meja saya untuk hasilnya," ujarnya ramah, berusaha menjaga ketenangan meski hati bergejolak. Sakura melangkah keluar dari ruangan itu dengan pikiran bercampur aduk. Atmosfer apa yang tadi ia rasakan? Mengapa jantungnya berdegup begitu kencang hanya karena tatapan dokter itu?
Lampu jalan menerangi sudut trotoar, menemani seorang wanita yang duduk di halte. Sudah hampir satu jam berlalu, namun bus yang ia tunggu belum juga datang. Pikiran tentang pria berambut perak itu masih memenuhi kepalanya. Jalanan kota semakin lengang. Perasaannya mulai waswas. Sekarang bukan hanya soal pria itu, tetapi juga soal bus yang tak kunjung tiba. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul 22.00.
Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depannya. Perlahan kaca mobil itu turun, memperlihatkan sosok di dalamnya.
Kakashi Sensei? batinnya.
Kakashi membuka pintu mobil, lalu menghampiri Sakura. "Kenapa kamu masih di sini, Sakura?"
Sakura berdiri mendekati Kakashi. "Eh iya, Bus yang biasa saya tumpangi sepertinya terlambat datang hari ini."
"Ayo, saya antar," ujar Kakashi, meyakinkan Sakura. Gadis itu sempat kebingungan—merasa canggung jika menerima tawaran Kakashi—tetapi ia tak tahu harus menunggu sampai kapan lagi. Akhirnya, ia mengangguk setuju dan melangkah menuju mobil pria itu. Kakashi membukakan pintu dan mempersilakannya masuk.
Suasana di dalam mobil terasa cukup canggung. Sakura berusaha mencairkan suasana dengan melihat-lihat sekeliling. Mobilnya rapi, tak seperti milik kebanyakan pria yang pernah ia kenal. Terlihat beberapa pakaian di kursi belakang, mungkin pakaian ganti setelah pulang praktik. Di kaca spion tengah, tergantung sebuah liontin perak berbentuk tetesan air. Terlihat sangat indah.
"Sakura?" panggil Kakashi, menyadarkan Sakura dari lamunannya. Gadis itu menoleh kaget, melihat Kakashi tertawa kecil.
"Kamu belum memberi tahu alamatmu," ujarnya.
Sakura baru sadar kalau ia asal saja naik mobil tanpa memberi tahu tujuan. "Maaf, Dok, rumahku di Jalan Bunga Frizia Nomor 5." Ia terkekeh pelan. Kakashi melihat tingkah gadis di sebelahnya itu—manis sekali, pikirnya. Tak disangka-sangka, ia bisa sedekat ini dengan gadis musim semi-nya. Tingkah Sakura membuat Kakashi terus tersenyum. Sesekali ia melirik gadis mungil itu yang tampak asyik memandangi langit melalui jendela. Kenapa pakaiannya pendek sekali? pikirnya, berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran aneh. Ia pun mengambil jaket di kursi belakang dan menyodorkannya.
"Pakailah ini," ujarnya. Sakura mengangguk dan menurut. Baru kali ini ia diperlakukan seperti itu. Jaket tersebut terlihat sangat kebesaran saat membalut tubuh mungil Sakura, maklum saja karena Kakashi memiliki tinggi 185 cm. Melihat Sakura yang tampak menggemaskan saat mengenakan jaketnya, Kakashi kembali tersenyum.
"Sudah sampai."
"Terima kasih banyak, Kakashi Sensei! Jaketnya akan kucuci dulu, ya," kata Sakura sambil menunduk sopan, lalu segera keluar dari mobil. Ia berjalan kecil menuju gerbang rumah. Dari dalam mobil, Kakashi melihat Sakura melambaikan tangan sebelum akhirnya hilang di balik gerbang. Ia masih belum percaya apa yang baru saja terjadi. Aroma gadis itu masih terasa di kursi sebelahnya, membuatnya sulit berkonsentrasi. Kakashi menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri.
Rumah mewah yang Kakashi masuki terasa megah namun kosong. Bangunan ini ia beli dari hasil bekerja keras hampir sepuluh tahun. Terlahir di keluarga terpandang dan berpendidikan telah membuatnya selalu dituntut sukses. Namun, mengapa baginya mencari pasangan hidup terasa begitu sulit?
Crshhh
Gemercik air shower membasahi helaian rambut peraknya. Ia kembali memikirkan apa yang terjadi hari ini. Potongan-potongan ingatan tentang Sakura melintas di benaknya—senyuman manis, mata hijaunya yang menawan, hembusan napas, bahkan degup jantungnya saat diperiksa tadi. Apakah ia sudah gila? Mengapa gadis itu tak bisa hilang dari pikirannya?
Selesai mandi, Kakashi berjalan menuju kasur king size-nya, lalu meraih ponsel. Ada pesan masuk.
"Kakashi Sensei, ini Sakura. Saya ingin mengucapkan terima kasih untuk hari ini."
"Jaketnya akan saya cuci terlebih dahulu, ya !"
"Oh iya, saya dapat nomor telepon dari kartu nama klinik."
"Terima kasih sekali lagi!"
Manis sekali, gumam Kakashi, tersenyum tipis. Tak disangka ia bisa semabuk ini oleh perasaan. Ia menaruh ponsel di meja sebelah lampu tidur, lalu membaringkan tubuhnya, berusaha memejamkan mata.
'Ahh…'
'Sakura…'
Tangan yang saling bertaut. Desahan memecah sunyi, tubuh yang dibasahi keringat, berpelukan erat saling bergerak seirama. Hanya terdengar hembusan napas dan lirihan di telinga.
'Aku mencintaimu, Sakura…'
KRING!
Suara alarm ponsel meraung nyaring, membuat Sakura terbangun dari tidurnya. Ia terduduk dengan napas tersengal. Kenapa ia bisa-bisanya bermimpi seperti itu? Semua berawal setelah ia bertemu dengan dokter bermata sendu itu. Sakura menepuk jidatnya sendiri. "Kamu pasti sudah gila, Sakura."
