Chapter 2

Sore itu terasa cukup ramai di pusat kota. Sakura memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang di sekitarnya. Terkadang, ia bertanya-tanya apa yang mereka rasakan dan pikirkan setiap hari. Setiap orang memiliki kesibukan dan masalah masing-masing.

"Nona, ini pakaiannya."

Seorang wanita paruh baya membuyarkan lamunan Sakura. Ia mengambil pesanan itu sambil tersenyum hangat.

"Terima kasih, Obasan!" balas Sakura, lalu meninggalkan toko.

Sambil memandangi bingkisan di tangannya, Sakura masih bimbang kapan sebaiknya mengembalikan jaket yang Kakashi pinjamkan kemarin. Ia merasa tidak enak jika menunda lebih lama lagi. Maka, ia pun mengeluarkan ponselnya.

"Kakashi sensei, jaketnya sudah selesai kucuci.

Akan kukembalikan hari ini. Bisa bertemu nanti malam? "

Jantungnya berdegup setelah menekan "kirim." Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.

Tak lama, balasan Kakashi muncul:

"Baiklah, saya akan datang ke swalayan."

Sakura tersenyum. Ia pun segera bergegas menuju tempat kerjanya.


Malam itu, toko minimarket tempat Sakura bekerja tidak terlalu ramai. Sesekali hanya ada pelanggan yang datang membeli camilan. Dari kejauhan, ia melihat Kakashi melangkah masuk. Seketika rasa canggung menyergap, seolah seluruh ruangan mendadak menciut. Di sana hanya ada Sakura dan rekan kerjanya, Ino.

"Aku ingin membeli ini," ucap Kakashi, menyodorkan beberapa minuman yang diambilnya dari rak dekat kasir.

Sakura hanya mampu menatap wajah Kakashi tanpa bergerak. Melihat itu, Ino langsung maju untuk menyelesaikan pembayaran.

"Hey, Sakura!" panggil Ino, mencoba menyadarkan temannya. Sakura pun cepat-cepat mengambil tas berisi jaket, lalu berjalan keluar. Ia menarik lengan Kakashi, mengajaknya bicara di luar, sementara Ino hanya mengernyit heran.

Sakura menyodorkan tas itu. "Ini jaketnya, Kakashi sensei! Maaf kalau aromanya jadi tercampur parfumku—"

Belum sempat ia menyelesaikan kalimat, Kakashi menempelkan telapak tangannya di dahi Sakura.

"Kamu sakit?" tanyanya lembut.

'sial, pasti wajahku memerah,' pikir Sakura.

"Ah, tidak! Hehe... terima kasih banyak, Sensei," jawab Sakura, sambil melangkah mundur dan membungkuk sopan. Rasa malu jelas menghiasi wajahnya, membuat Kakashi tertawa kecil.

"Kemarin kamu pulang jam berapa? Apa busnya terlambat lagi?" tanya Kakashi, memulai obrolan. Sakura sempat terkejut. Pria dewasa di hadapannya ini terasa jauh berbeda dari lelaki lain yang ia kenal—pertanyaannya ringan tapi terdengar tulus dan peduli.

"Aman... busnya datang tepat waktu," balas Sakura, masih mengalihkan pandangan. Kakashi terlihat lega.

"Saya harus kembali ke klinik. Jika butuh sesuatu, kabari saja," ujarnya, lalu berlalu pergi. Sakura mengangguk paham dan kembali masuk.

Ino menunggu di dalam dengan senyum menggoda. "Siapa tuh? Katanya nggak mau pacaran," godanya.

"Dia dokter gigi yang pernah kuceritakan," sahut Sakura singkat, berusaha mengalihkan fokus. Ino mengangguk, tapi tatapannya masih nakal.


Di sisi lain, Kakashi menatap tas berisi jaketnya. Ia meneliti gambar stroberi mungil di sana selama hampir lima belas menit, lalu meraba ke dalamnya. Ada secarik notes kecil berisi ucapan terima kasih serta gambar imut. Kakashi terkekeh pelan. 'Benar-benar seperti Sakura,' batinnya.

Ia mengambil jaket itu dan lagi-lagi mencium aroma khas yang mengingatkannya pada gadis itu. Keinginan bertemu lagi menyeruak. Mendadak, ia mendapat ide lalu mengeluarkan ponselnya.

"Apakah akhir pekan ini kamu sibuk? Saya ingin mengajak Anda keluar."

'Terlalu cepatkah?' pikirnya. Tapi sudah terlanjur terkirim. Tak lama kemudian, balasan masuk:

"Tidak sibuk sih :D

Mari kita makan ayam goreng dan minum bir di kedai dekat sini!

Bertemu di kedai roti dekat swalayan ya? :D"

Senyum lebar menghiasi wajahnya. Ia segera membalas:

"Baiklah, sampai nanti."

Sejak saat itu, suasana hatinya kian membaik. Mungkin semesta benar-benar mendukungnya. Pertemuan ini seperti mimpi indah di siang hari.


Malam pun tiba. Jalanan ramai, orang-orang berlalu-lalang. Hembusan angin hangat menerpa pria berambut perak yang menunggu di depan toko roti. Tak seperti biasanya yang formal, kali ini Kakashi tampil kasual dengan sweater abu-abu dan celana hitam. Lengan sweaternya dinaikkan sedikit, memberi kesan dewasa sekaligus santai.

Dari kejauhan, sosok gadis berambut merah muda mendekat. Seketika, Kakashi tak mampu mengalihkan pandangannya. Sakura memakai gaun putih selutut, sepatu flat hitam, dan kalung mutiara yang menghiasi leher jenjangnya. Rambutnya terurai, hanya dijepit sedikit di samping, dan riasan tipis menambah pesonanya.

Sakura sudah berdiri tepat di depannya, melambaikan tangan di depan wajah Kakashi yang masih terkesima.

"Cantik," gumam Kakashi spontan. Sakura pun tersipu.

"Ayo, Sensei, kutunjukkan tempatnya," kata Sakura, berjalan lebih dulu.

Kakashi mengikuti, tak lepas dari rasa kagum. Sakura tampak begitu lepas dan bahagia. Entah dari mana datangnya sikap optimistis gadis itu. Apa dia sama sekali tak punya beban hidup?

"Ini tempatnya! Mari masuk." Sakura memperlihatkan sebuah kedai kecil yang sederhana tetapi nyaman. Angin malam masuk melalui jendela terbuka, menyejukkan suasana. Pelayan di sana juga tampak ramah.

Mereka memilih duduk di pojok dekat jendela besar, menghadap ke riuhnya jalanan kota. Setelah bolak-balik melihat menu, Sakura akhirnya memesan ayam goreng dan dua botol bir. Begitu pesanan datang, Sakura antusias membuka botol pertama dan menuangkannya ke gelas Kakashi.

"Inilah tempat minum terbaik di kota ini," ujarnya semangat, menyodorkan gelas kecil ke Kakashi.

"Sekarang, ayo main 'truth or drink'," tantang Sakura.

Kakashi mengernyit penasaran. "Kau harus menjawab jujur atau minum," lanjut Sakura sambil tersenyum lebar.

"Baiklah," balas Kakashi, ikut tersenyum. Ia memutar botol bir di meja, dan berhenti menghadap Sakura.

"Pertanyaan pertama, Sakura..." Kakashi mendorong segelas bir ke arahnya. "Apa yang membuatmu selalu tersenyum seperti itu?"

Sakura tertawa kecil. "Aku senang bisa hidup nyaman setiap hari, Pak Tua." Kakashi menanggapi dengan senyum tipis.

"Sekarang giliranmu," kata Sakura, mendorong gelas. "Kenapa memilih jadi dokter gigi?"

Kakashi bukannya menjawab, malah menenggak minumannya. Sakura kesal, tapi tertawa kecil melihat tingkah Kakashi yang enggan berbagi alasannya.

Seiring beberapa ronde, wajah Sakura mulai memanas, sementara pipi Kakashi juga bersemu merah. "Pertanyaan selanjutnya, Kakashi," ujar Sakura, terkikik.

Kakashi menuangkan lebih banyak bir ke gelas Sakura. "Baiklah, sekarang giliranku. Apa yang paling kamu takutkan dari sebuah hubungan?"

Sakura terdiam. Sorot lampu temaram di kedai membuat ekspresi Kakashi terlihat serius. "Aku... lebih baik minum," jawabnya cepat, lantas meneguk isi gelas. Meski tak menjawab, Kakashi menyadari ada luka di balik senyum Sakura.

"Baiklah, satu pertanyaan lagi, Dokter Gigi," kata Sakura, menatap dengan senyum nakal. "Dari semua pasien yang pernah kau tangani... mana yang paling membuat jantungmu berdebar?"

Kakashi menahan napas, pandangannya lurus ke mata Sakura. "Kamu."

Sesaat, hening menyelimuti. Pipi Sakura memanas, dan Kakashi meneguk birnya dengan tangan sedikit gemetar.

"Sepertinya... cukup sampai di sini," ujar Sakura pelan.

Kakashi tampak makin tak sadar. Pipi dan matanya menunjukkan tanda-tanda mabuk berat. Sakura berpindah duduk di sebelahnya, mencoba membangunkannya, tetapi Kakashi justru menyandarkan kepala di pundaknya.

"Wah, gimana ini?" gumam Sakura, menahan senyum geli. Bisa-bisanya pria itu yang tumbang duluan.


Dengan susah payah, Sakura sukses mengantar Kakashi pulang. Ia menidurkan Kakashi di sofa ruang tamunya, lalu memandang sekeliling. Rumahnya mewah, berdesain menawan, tapi kesan dingin dan kosong amat terasa. Sakura menghela napas, kemudian melepas sweater dan sepatu Kakashi, mengganjal kepalanya dengan bantal, dan mencari selimut.

"Dia seperti bayi," celetuknya, menatap wajah Kakashi yang terlelap. Sakura menyibakkan helai rambut yang menutupi sebagian kening Kakashi. Perlahan, mata Kakashi terbuka. Masih setengah sadar, ia berusaha mengenali sosok di depannya.

Mata mereka bertemu sekali lagi, napas sama-sama hangat karena alkohol. Kakashi mengangkat tangannya, menyentuh lembut pipi Sakura. Jarak di antara mereka makin menipis.

Cupp!

Kecupan singkat itu cukup membuat Sakura tersentak mundur. "A-aku harus pulang," katanya, gugup, lalu beranjak berdiri.

"Tetaplah di sini..."