Chapter 3

Cahaya rembulan menyusup melalui celah jendela kaca, menerangi kegelapan kamar. Sakura menyalakan lampu, masih berusaha memproses apa yang terjadi semalam. Mengapa kejadian itu begitu tiba-tiba? Kenapa ia hanya mematung saat ciuman itu terjadi? Dan yang paling parah, ia malah menyukainya? Ciuman singkat itu terus memenuhi kepalanya.

Sakura membenamkan wajah ke bantal. Hawa hangat genggaman tangan Kakashi masih terbayang di pipinya.

"Apa dia melakukannya karena mabuk?" gumamnya.

"Apa Kakashi sensei menyukaiku?"

Sakura menutupi kepalanya dengan bantal, merasa pikirannya benar-benar kacau. Kakashi Hatake, pria itu menguasai benaknya. Apa yang sedang Kakashi pikirkan setelah dia tiba-tiba pergi meninggalkannya tadi?


Keesokan paginya, Kakashi bertugas di klinik pada jam pagi. Kepalanya masih terasa berat akibat alkohol semalam, dan kini ada satu hal yang terus mengusik: kejadian di mana ia mabuk, diantar pulang oleh Sakura, lalu menciumnya begitu saja.

"Bagaimana perasaan Sakura sekarang?" gumamnya, menyesali keimpulsifannya. Apalagi, Sakura pergi setelah ciuman itu. Dia khawatir gadis itu marah.

Kakashi membuka kotak pesan, mempertimbangkan untuk mengajaknya makan siang.

"Bagaimana kabarmu? Apakah kepalamu sakit?"

Ia mengetik pesan dengan ragu, tapi tetap dikirimkan.

Tak disangka, Sakura langsung membalas:

"Aku baik-baik saja, hehe :D

Mau makan siang bersama? Temui aku di Kafe Harapan "

Seketika, rasa cemasnya memudar. Sakura masih mau bertemu dengannya.

"Baguslah kalau begitu. Sampai bertemu."

Kakashi pun tersenyum lega.


Siang itu, sebuah restoran yang nyaman dipadati orang-orang yang hendak makan siang. Udara segar mengalir masuk berkat konsep ruang terbuka. Kakashi sudah duduk di meja dekat pohon, menunggu Sakura sambil meneliti daftar menu. Tak lama, Sakura datang, wajahnya dihiasi senyum manis seperti biasanya.

"Apakah kau menunggu lama?" tanyanya sambil menghampiri Kakashi. Lelaki itu berdiri dan menarik kursi untuknya, menggeleng pelan sebagai jawaban.

Kakashi tak dapat menahan diri untuk tidak memperhatikannya. Rasanya seolah jarak di antara mereka hilang. Sakura membolak-balik menu, sesekali melirik Kakashi yang terus menatapnya.

"Ada yang salah dengan wajahku?" tanya Sakura, menata rambutnya yang sedikit berantakan.

"Tidak ada. Aku senang bisa melihatmu," jawab Kakashi sambil tersenyum.

Sakura salah tingkah. "Sudah, nih, pesan sana di kasir," katanya, lalu menyodorkan daftar pilihan makanan sambil tertawa kecil. Kakashi mengiyakan dan pergi ke kasir.

Tiba-tiba, seorang pria muncul di samping Sakura.

"Sakura?"

"Sasuke?"

Raut wajah Sakura yang tadinya cerah langsung meredup. Pria yang selama ini ia coba lupakan, kini berdiri di hadapannya. Dia diam, tubuhnya bergetar diingatkan akan masa lalu.


"Aku mencintaimu, Sasuke," bisik Sakura, menggenggam tangan lelaki itu. Namun, Sasuke melepaskannya paksa. Empat tahun hubungan mereka seolah menguap.

"Maaf, Sakura. Aku tidak bisa melanjutkan ini."

Punggung yang dulu menjadi sandaran, kini berbalik meninggalkannya. Air mata Sakura pun jatuh.

Buruknya komunikasi dan perbedaan pandangan akhirnya memisahkan mereka di ambang kedewasaan. Meski seperti cinta monyet, perasaannya dulu sangat nyata. Melupakannya butuh waktu lama, menyisakan ruang kosong yang susah diisi.


Dari kejauhan, Kakashi melihat Sakura mematung menatap lelaki itu, mata sendunya menggambarkan kepedihan. Siapa dia? Apa hubungannya dengan Sakura? Kakashi menyadari ketegangan di antara keduanya. Nalurinya langsung ingin melindungi Sakura. Dengan langkah mantap, ia menghampiri mereka.

"Sakura," panggil Kakashi lembut, tapi ada ketegasan di suaranya. Tanpa menunggu persetujuan, ia menggenggam tangan gadis itu.

"Maaf, kami harus pergi."

Sasuke menatap mereka dengan tatapan yang sulit diartikan, tapi Kakashi memilih tak menggubrisnya. Saat Kakashi menariknya, Sakura hanya menunduk—masih terguncang oleh kehadiran pria dari masa lalunya.

Begitu mereka mencapai mobil di parkiran, Kakashi membuka pintu penumpang. "Masuklah," ujarnya singkat.

Sakura, yang sejak tadi seperti kehilangan fokus, menurut begitu saja. Pandangannya menatap kosong dashboard mobil, sementara pikiran berkecamuk. Apa ini nyata? Kenapa dia harus muncul sekarang?

Kakashi menutup pintu, lalu mengambil tempat di kursi kemudi. Ia menghela napas sebelum menyalakan mesin. Di satu sisi, ia ingin bertanya banyak hal kepada Sakura, tapi melihat wajah gadis itu yang pucat, ia memutuskan diam lebih dulu.

Kakashi menginjak pedal gas, membawa mobil meninggalkan area kafe. Untuk beberapa menit, tak ada percakapan. Hanya ada deru mesin dan hiruk-pikuk lalu lintas yang mengiringi mereka. Sakura memejamkan mata sebentar, mencoba menata napas.

"Maaf," gumam Sakura akhirnya, dengan suara nyaris berbisik.

Kakashi mengerling ke arahnya, tetap fokus pada jalan. "Tidak perlu minta maaf."

Sakura menggigit bibir bawahnya. Sulit baginya menjelaskan apa yang ia rasakan—antara luka lama yang tiba-tiba mencuat dan kelegaan karena Kakashi mau melindunginya.

Lalu lintas mulai lengang. Sakura melirik ke luar jendela, melihat gedung-gedung kota yang berganti pemandangan pinggiran. Kegelapan malam belum sepenuhnya tiba, tapi matahari sudah condong ke barat. Suasana senja perlahan terlihat.

Kakashi melirik Sakura yang diam menunduk. "Kau baik-baik saja?" tanyanya, lembut namun terdengar mantap.

Sakura menelan ludah, menggenggam ujung bajunya sendiri. "Entahlah. Aku… kaget melihatnya. Sepertinya otakku masih berhenti di satu kejadian yang seharusnya sudah kulupakan."

Kakashi menyalakan lampu hazard singkat, mengurangi kecepatan. Ia ingin memastikan Sakura tidak merasa diabaikan.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi antara kalian, tapi aku tidak suka melihatmu disudutkan," ujarnya, menoleh sekilas.

"Kalau tidak nyaman membicarakannya sekarang, tak apa. Yang jelas, aku akan membawamu ke tempat yang lebih tenang."

Pernyataan Kakashi menenangkan hati Sakura, meski belum sepenuhnya memulihkan luka lamanya. Ia mengangguk kecil, menatap pria di sebelahnya. Ada keteguhan di mata Kakashi yang membuatnya merasa aman.

Sakura sesekali memejamkan mata, mencoba meredakan gejolak yang timbul saat melihat Sasuke. Tanpa banyak kata, Kakashi akhirnya memarkir mobil di area pinggir pantai yang sepi. Langit sudah mengarah ke jingga keemasan. Dari balik kaca depan, tampak garis lautan yang memukau.

"Aku berpikir, udara segar mungkin bisa membantumu," jelas Kakashi, mematikan mesin.

"Kalau kamu tidak suka, kita bisa cari tempat lain."

Sakura menatap ke luar jendela, melihat siluet ombak bergulung di kejauhan. Pikirannya pelan-pelan mulai jernih. Ia meraih gagang pintu.

"Terima kasih," ucapnya singkat, tapi sarat makna.

Begitu keluar, terpaan angin laut langsung menerpa rambut Sakura. Udara lembap bercampur aroma garam menyusup ke hidung, membuat napasnya terasa lebih ringan. Kakashi menyusul, menutup pintu mobil kemudian berjalan ke sisinya.

"Sakura…" panggilnya. Tangan Kakashi terulur, tapi kali ini ia menunggu konfirmasi. Sakura menoleh, lalu menggenggam tangan Kakashi.

"Terima kasih sudah membawaku ke sini," katanya dengan suara bergetar. Matanya masih menyiratkan kesedihan, tapi di baliknya, ada perasaan lega.

Kakashi tersenyum tipis. "Kalau kau ingin menangis atau berteriak, lakukan saja. Aku akan menemanimu."

Dalam diam, mereka melangkah ke hamparan pasir yang mulai redup oleh warna senja. Di sanalah Sakura akhirnya menumpahkan segala perasaan dan kenangan buruk yang menghantuinya sedari tadi—entah dengan teriakan atau isak tangis sesaat. Kakashi tetap tenang di sampingnya, menjadi sandaran yang siap menenangkan.

"AAAAAAAAAA!"

"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!"

Mungkin inilah caranya melepas beban. Kenangan buruk yang tadi muncul seolah terhapus di udara. Gadis itu berpaling memandang Kakashi, bersyukur atas kehadirannya. Tangan Sakura menyentuh wajah Kakashi, mendekatkan diri. Tatapan mereka bertemu, bibir saling menyatu, dan lengan Kakashi melingkar di pinggang Sakura. Ia membalas dengan melingkarkan tangannya di leher Kakashi, mempererat kedekatan mereka.

"Terima kasih," bisik Sakura saat keduanya saling melepaskan. Mereka tersenyum, berpelukan hangat. Deburan ombak kecil mengejutkan keduanya hingga tertawa, kemudian bermain percikan air.


Malamnya, mereka tiba di sebuah penginapan. Ruangan yang ditempati terbilang luas dan nyaman, dengan sofa, meja makan kecil, kasur besar, serta kamar mandi luas bertabur kelopak mawar. Balkon kamar menampilkan pemandangan laut yang menenangkan.

Sakura baru sadar waktu sudah menunjuk jam delapan malam, dan rasanya tidak mungkin kembali ke kota lewat jalur yang gelap. Mereka mau tak mau harus menginap di sini. Ia menelan ludah, tapi menenangkan diri bahwa ini hal wajar.

Tak lama, Kakashi masuk membawa tas berisi pakaian dan makanan. "Sakura, pakailah ini, lalu makanlah," ujarnya. Dia tampak canggung, menjelaskan bahwa sebenarnya memesan double bed, tapi diberi kamar single bed seperti ini.

Sakura hanya tersenyum geli. "Tidak apa-apa. Kamu duduk saja dulu," balasnya.

Setelah makan malam ringan, Sakura masuk kamar mandi untuk membersihkan diri. Kakashi menunggu di luar, gelisah karena Sakura cukup lama. Pikiran Kakashi kembali pada ciuman di pantai—semuanya terasa begitu cepat dan tepat.

Akhirnya, pintu kamar mandi terbuka. Sakura keluar mengenakan kaus longgar yang dibelikan Kakashi, membuat tubuh mungilnya tenggelam di dalam pakaian itu, tampak lucu di mata Kakashi.

"Sekarang giliranmu," ujar Sakura, menunjuk Kakashi agar gantian mandi. Kakashi pun mengangguk, segera masuk ke kamar mandi.

Sementara itu, Sakura menilai ruangan sekitar. Ia sangat lelah hari ini. Berbaring di kasur, pikirannya melayang ke momen senja bersama Kakashi. Begitu nyaman dan menenteramkan berada dalam dekapannya.

Tak lama, Kakashi selesai. Ia tampak siap untuk tidur, lalu melihat Sakura yang sudah berbaring. Tak ingin mengganggu, Kakashi menyiapkan sofa untuknya. Namun tiba-tiba, Sakura memanggil.

"Kakashi..."

Pria itu menoleh, sedikit kaget.

"Kemarilah, tidur di sampingku," ajak Sakura, melambaikan tangan tanda setuju.

Kakashi pun mengambil bantalnya dan bergabung di sisi kasur. Lampu diredupkan, keduanya berbaring sambil menatap langit-langit berukir kayu.

"Mendekatlah, nanti kamu jatuh," ujar Sakura. Jarak di antara mereka kian menipis.

Kini mereka saling berhadapan, wajah Kakashi dan Sakura hanya beberapa sentimeter. Hembusan napas masing-masing dapat dirasakan. Lama mereka terdiam, namun suasana begitu hangat.

"Terima kasih untuk semuanya," bisik Sakura. Kakashi menyingkirkan rambut yang menutupi wajah gadis itu, menyentuh pipinya dengan lembut.

Kakashi bergeser, menempatkan diri di atas Sakura. "Aku mencintaimu, Haruno Sakura." Jarak mereka pun benar-benar hilang...