When Fireworks Fade

Rate: T

Disclaimer: Naruto [Masashi Kishimoto]

Genre: Romance, Friendship

Warning: Typo, gaje, masih jauh dari kata sempurna, OOC

Pairing: Uzumaki Naruto x Uchiha Satsuki

Jangan lupa Review, Follow, dan Favorite nya!

.

.

.

Salju perlahan turun, menyelimuti desa Konoha dalam lapisan putih yang lembut. Udara dingin menusuk tulang, memaksa setiap orang yang berjalan di jalanan untuk membungkus diri mereka lebih rapat. Tapi bagi Uzumaki Naruto, hawa dingin ini tak berarti apa-apa dibandingkan rasa hangat yang mengisi hatinya malam itu.

Di dalam apartemennya yang kecil dan sederhana, Naruto sibuk mondar-mandir di dapur. Meja mungil di tengah ruangan dipenuhi oleh bahan-bahan makanan yang berantakan—mie mentah, beberapa sayuran, dan satu panci besar berisi kaldu ramen yang baru saja selesai direbus. "Rasanya harus enak! Dattebayo, " gumamnya, dengan celemek kusut melingkar di pinggangnya.

Naruto tak bisa menahan senyum lebar di wajahnya. Ini adalah malam tahun baru, momen yang biasanya dia habiskan sendirian. Di masa lalu, dia akan duduk di sudut ruangan, menatap langit gelap dari jendela kecil apartemennya, mencoba menahan rasa sepi yang selalu datang tanpa diundang. Tapi tidak malam ini. Tidak tahun ini.

"Apakah dia benar-benar akan datang?" gumam Naruto lagi.

Siapa yang dimaksud "dia"?

Tidak lain adalah Uchiha Satsuki, seorang gadis yang hampir selalu membawa aura dingin ke mana pun dia pergi. Sejak kecil, Naruto selalu menganggapnya misterius dan sulit didekati. Satsuki tidak seperti Sakura yang terbuka dan ramah. Sebaliknya, dia lebih sering mengasingkan diri, menjaga jarak dengan siapa pun.

Namun, meski begitu, Naruto tahu ada sesuatu di balik dinding yang Satsuki bangun di sekeliling dirinya. Dia tahu, meski gadis itu tampak kuat dan tak terkalahkan, ada rasa kesepian yang mendalam di dalam hatinya. Kesepian yang, dalam banyak hal, mengingatkan Naruto pada dirinya sendiri.

Itulah mengapa Naruto mengundangnya malam ini. Untuk berbagi momen sederhana, untuk mencoba menghapus setidaknya sedikit dari rasa sepi yang mereka berdua rasakan. Tapi meyakinkan Satsuki untuk datang bukanlah hal mudah.

"Kenapa aku harus datang ke apartemenmu hanya untuk makan ramen?" itu adalah kalimat pertama yang keluar dari mulut Satsuki saat Naruto menyampaikan undangannya. Nada suaranya datar, hampir seperti menolak. Tapi Naruto tidak menyerah. Dengan senyum lebar dan argumen bahwa dia sudah menyiapkan semuanya sendiri, akhirnya Satsuki setuju.

"Ini hanya makan malam biasa," katanya saat itu, nada suaranya masih datar. Tapi Naruto tahu bahwa Satsuki jarang—atau mungkin tidak pernah—merayakan tahun baru dengan siapa pun, bahkan ia ragu Satsuki pernah merayakan tahun baru. Dan itu cukup baginya untuk merasa bahwa malam ini akan menjadi sesuatu yang spesial.

Naruto memeriksa jam dinding di apartemennya. Sudah hampir waktunya. Satsuki bisa datang kapan saja sekarang. Dia melirik meja kecil yang sudah dia hias dengan sepasang lilin kecil dan mangkuk ramen yang sudah siap disajikan.

Pintu apartemen sedikit berderit terkena angin dingin dari luar, membuat Naruto sadar bahwa udara dingin masih menyelinap melalui celah-celah jendela. Tapi dia tidak peduli. Apa pun yang terjadi malam ini, dia bertekad membuat malam ini berkesan.

"Ini akan jadi malam tahun baru yang tidak akan ku lupakan, dattebayo!" serunya dengan penuh semangat, meski hanya untuk dirinya sendiri.

Di luar apartemen, Satsuki melangkah pelan di atas jalan bersalju. Syal merah melilit lehernya, melindunginya dari angin dingin yang menusuk. Dia berhenti sejenak, memandang apartemen Naruto dari kejauhan. Sebuah ekspresi rumit terlintas di wajahnya, campuran antara rasa ragu dan... mungkin sedikit bingung dengan perasaannya saat ini.

"Kenapa aku menyetujui ajakan si tolol itu?" dia bergumam, suaranya hampir tenggelam oleh hembusan angin. Tapi meski begitu, dia melangkah maju.

Tok Tok

Naruto hampir tersandung kakinya sendiri saat mendengar ketukan pelan di pintu apartemennya. "Satsuki benar-benar datang!" serunya terkejut dan panik, meski tak ada orang lain di sana untuk mendengar. Dengan tangan sedikit gemetar, dia membuka pintu.

Di sana berdiri Uchiha Satsuki, mengenakan mantel hitam panjang yang hampir menyatu dengan malam. Syal merah melingkar di lehernya, menciptakan kontras yang menarik dengan kulit pucat dan rambut hitamnya yang panjang. Salju yang menempel di bahunya perlahan mencair, meninggalkan tetesan kecil di ujung mantel.

"Satsuki! Kau datang! Aku tidak percaya kau benar-benar datang!" kata Naruto sambil menyambutnya dengan senyuman lebar.

Satsuki hanya memutar bola matanya bosan, "Kau berhutang waktu kepadaku," katanya.

"Hehe, maaf. Silahkan masuk kalau begitu."

Satsuki mengangguk kecil dan melangkah masuk, sedikit menyesuaikan dirinya dengan kehangatan yang langsung menyambut dari dalam apartemen. Dia memindai ruangan dengan cepat. Apartemen Naruto kecil, dengan dinding yang mulai kusam dan perabotan yang sederhana. Tapi ada sesuatu yang membuat tempat ini terasa hangat—meja kecil di sudut ruangan yang dihias dengan lilin-lilin kecil, semangkuk ramen panas yang mengepul di tengah meja, dan aroma khas masakan rumah yang memenuhi udara.

"Tidak ada yang berubah sepertinya," kata Satsuki dengan nada netral, meskipun dia tidak bisa menahan dirinya untuk sedikit tersenyum saat melihat celemek Naruto yang terlalu besar.

"Yah, apartemenku memang seperti ini sejak kecil. Aku belum berniat untuk pindah, aku masih nyaman disini dan bagaimana pun ... ini rumahku!" jawab Naruto dengan bangga. Dia menggosok tengkuknya, sedikit malu. "Aku tahu tidak sehebat tempat tinggal mu, tapi kupikir kita bisa bersenang-senang di sini malam ini."

"Rumahku besar dan mewah, beda dengan apartemen jelek mu ini."

"Iya iya, aku tidak akan membantah hal tersebut."

Satsuki tertawa kecil melihat Naruto mengalah darinya. Dia duduk di kursi yang disediakan Naruto, mengamati meja di depannya. Lilin-lilin kecil itu berkelap-kelip, menciptakan suasana yang nyaman, hampir seperti Naruto benar-benar berusaha keras untuk menciptakan malam yang spesial.

Naruto sibuk di dapur, membawa mangkuk ramen dengan kedua tangannya. "Ini dia! Ramen spesial buatan Uzumaki Naruto!" katanya dengan bangga sambil meletakkan mangkuk itu di depan Satsuki.

Satsuki menatap mangkuk itu sejenak. Kuahnya tampak kental dan penuh aroma, dengan potongan telur, daging, serta... tomat yang diletakkan dengan rapi di atasnya. Dia mengambil sumpit dan mencicipi gigitan pertama.

"Bagaimana? Enak, kan?" Naruto bertanya dengan antusias.

Satsuki mengunyah perlahan, lalu mengangguk kecil. "Tidak buruk," katanya singkat, meski sebenarnya dia cukup terkesan. Rasanya sederhana, tapi ada kehangatan yang membuatnya merasa nyaman.

Naruto hampir melompat kegirangan. "Aku tahu kau akan menyukainya! Aku sudah latihan membuat ramen selama seminggu!"

Mereka mulai makan bersama. Awalnya, suasana terasa canggung. Naruto mencoba mengisi keheningan dengan menceritakan berbagai hal, mulai dari pengalaman saat Perang Dunia Shinobi 4 waktu itu, cerita lucu tentang misi-misinya, dan banyak hal. Dia bercerita tentang saat dia terjebak dalam jebakan genjutsu karena terlalu sibuk makan dango, atau ketika dia secara tidak sengaja menghancurkan rumah seseorang saat mencoba jutsu baru.

Satsuki, yang biasanya dingin dan pendiam, mulai merasa suasana menjadi lebih santai. Dia bahkan tersenyum kecil saat mendengar salah satu cerita Naruto yang sangat konyol.

Namun, suasana itu berubah ketika Naruto, tanpa sadar, bertanya, "Jadi, biasanya kau merayakan tahun baru dengan siapa, Satsuki? Aku penasaran—"

Pertanyaan itu menggantung di udara. Senyum kecil di wajah Satsuki menghilang. Dia meletakkan sumpitnya dengan pelan, matanya menatap mangkuk ramen di depannya.

Naruto langsung menyadari kesalahannya. "Ah, maksudku... aku tidak bermaksud... maaf, aku—"

Satsuki mengangkat tangannya, menghentikan Naruto sebelum dia semakin panik. "Tidak apa-apa," katanya pelan. "Aku hanya... tidak terbiasa dengan perayaan seperti ini."

Naruto menggigit bibirnya, merasa bersalah. Dia tahu bahwa kehidupan Satsuki penuh dengan kenangan pahit—kehilangan keluarga, beban nama Uchiha, dan semua tragedi yang menyertainya. Tapi sebelum dia sempat mengatakan apa-apa, dia teringat sesuatu.

"Ah, tunggu di sini!" Naruto bangkit dari kursinya dan berlari ke dapur. Dia kembali dengan sekotak kecil kue yang terlihat agak gosong di beberapa bagian. "Lihat! Aku membuat ini sendiri! Aku tidak tahu apakah enak, tapi... aku ingin kau mencobanya."

Satsuki memandang kue itu dengan ekspresi datar, tapi di dalam hatinya, dia merasa tersentuh. Dia mengambil satu gigitan kecil. Teksturnya keras, tapi ada rasa manis yang lembut di dalamnya.

"Tidak buruk," katanya lagi, meski kali ini dengan nada sedikit lebih lembut.

Naruto tertawa lega. "Syukurlah! Aku takut kau akan membencinya."

Satsuki menatap Naruto sejenak, matanya melembut. Untuk pertama kalinya malam itu, dia merasa bahwa mungkin dia membuat keputusan yang benar dengan datang ke tempat ini.

Setelah makan malam selesai, Naruto mengemasi mangkuk-mangkuk yang kosong sambil mengoceh seperti biasanya. Satsuki duduk diam di meja, menatap lilin yang hampir habis. Ada sesuatu dalam kesederhanaan malam itu yang membuatnya merasa... berbeda. Tidak ada kebisingan keramaian, tidak ada formalitas seperti di acara resmi. Hanya ada dia dan Naruto, di tempat kecil ini, di malam yang dingin.

Naruto kembali ke meja, menyeka tangannya dengan kain. "Oke! Sekarang bagian terbaik dari malam ini! Ayo, ikut aku!" katanya sambil menarik Satsuki berdiri.

Satsuki mengerutkan kening, merasa curiga. "Apa lagi sekarang?"

"Sudah, percaya saja padaku! Kau akan menyukainya!" jawab Naruto sambil meraih dua cangkir teh hangat yang dia siapkan sebelumnya. Dia menyerahkan salah satunya kepada Satsuki, kemudian memimpin jalan ke arah tangga yang menuju atap apartemennya.

Udara dingin segera menyambut mereka begitu mereka sampai di atas. Salju turun perlahan, menutupi atap dengan lapisan putih lembut. Satsuki menarik mantelnya lebih rapat, sementara Naruto menggigil sedikit tetapi tetap tersenyum lebar.

"Lihat ini!" Naruto berkata sambil menunjuk ke arah pemandangan kota di bawah mereka.

Dari atap, Konoha terlihat damai. Lampu-lampu dari rumah-rumah penduduk menyala seperti bintang-bintang kecil, memberikan kehangatan di tengah dinginnya malam. Asap tipis dari cerobong beberapa rumah melayang perlahan ke langit, bercampur dengan butiran salju yang berjatuhan.

"Indah, kan?" kata Naruto sambil memegang cangkirnya dengan kedua tangan.

Satsuki diam sejenak, mengamati pemandangan itu. Dia tidak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu yang menenangkan dalam keheningan malam ini. Tanpa sadar, dia mengangguk. "Ya. Ini... tenang."

Mereka merasakan suasana Konoha yang penuh kebahagiaan pada malam itu, para penduduk berbaur bersama satu sama lain menikmati setiap momen. Kedamaian yang banyak orang rindukan setelah dalam beberapa waktu yang lalu dunia Shinobi mengalami kekacauan.

Itu yang juga ingin dihadirkan Naruto untuk orang-orang, untuk dunia ini, dan juga untuk... orang disebelahnya sekarang.

Naruto, seperti biasa, tidak bisa membiarkan suasana terlalu serius. "Hei, kau mau tahu rahasiaku?" katanya dengan nada bercanda.

Satsuki mengangkat alis. "Apa lagi sekarang?"

Naruto menunjuk ke arah sudut atap, di mana sebuah selimut kecil tergeletak. "Aku menyebutnya 'zona merenung'. Itu tempatku duduk kalau aku merasa dunia terlalu sulit. Kau tahu, kadang aku berbicara sendiri di sana, mencoba mencari solusi untuk semua masalahku."

Satsuki hampir tersenyum mendengar itu. "Kau benar-benar aneh."

Naruto tertawa, tidak merasa tersinggung. "Mungkin. Tapi aneh itu bagus, kan? Kau juga aneh, kalau dipikir-pikir."

"Apa maksudmu?" Satsuki memelototinya, tapi ada nada main-main dalam suaranya.

"Yah, kau selalu bersikap dingin, tapi kau peduli. Aku tahu itu. Kau hanya tidak suka menunjukkannya. Jadi, itu membuatmu aneh. Tapi... aneh yang keren," jawab Naruto sambil menggaruk kepala, merasa sedikit malu.

Satsuki menatap Naruto untuk waktu yang lama sebelum akhirnya berkata, "Kau benar-benar tahu bagaimana menilai seseorang, Naruto."

Naruto menatapnya, terkejut dengan kejujuran dalam kata-katanya. "Yah, aku hanya melakukan yang aku bisa."

Mereka duduk di bawah selimut kecil itu, berbagi kehangatan teh dan keheningan yang nyaman. Kembang api pertama mulai terdengar di kejauhan, dan langit yang gelap mulai dipenuhi percikan warna-warni.

"Selamat tahun baru, Satsuki," kata Naruto dengan senyuman tulus.

Satsuki menoleh, melihat senyuman itu. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa malam ini membawa sesuatu yang baru—sebuah harapan kecil yang selama ini dia pikir sudah hilang.

"Selamat tahun baru, Naruto," jawabnya pelan, tapi dengan senyum kecil yang tulus di wajahnya.

.

.

.

Kembang api masih menghiasi langit Konoha, tapi Naruto tampak sedikit tenggelam dalam pikirannya. Dia duduk diam di samping Satsuki, memandang cangkir teh hangat di tangannya.

Satsuki menoleh, memperhatikan perubahan ekspresinya. "Kau tiba-tiba diam. Tidak biasanya kau begini."

Naruto tertawa kecil, tapi tanpa semangat seperti biasanya. "Hah, ya. Aku hanya... sedang berpikir."

"Kalau kau mau bicara, aku di sini," jawab Satsuki pelan.

Naruto menatapnya sejenak, kemudian mengangguk. "Kau tahu, Satsuki, kadang aku merasa aku sudah terbiasa dengan kesendirian," katanya, suaranya penuh kejujuran.

Satsuki mengangkat alis, tapi tidak berkata apa-apa, membiarkan Naruto melanjutkan.

"Sejak kecil, aku selalu sendiri. Tidak ada keluarga, tidak ada teman, tidak ada yang peduli apakah aku ada atau tidak. Aku berusaha keras untuk menarik perhatian orang, meskipun itu berarti mereka memarahiku. Lebih baik dimarahi daripada diabaikan," dia tertawa getir.

Satsuki menunduk, mendengarkan dengan serius. Dia tahu sebagian dari cerita ini, tapi mendengarnya langsung dari Naruto memberikan perasaan yang berbeda.

"Aku pikir menjadi Hokage akan mengubah semua itu," lanjut Naruto. "Kalau aku jadi Hokage, semua orang akan melihatku. Mereka akan menghormati aku. Tapi... seiring waktu, aku sadar, penghormatan itu tidak selalu berarti kehangatan. Aku masih merasa ada lubang kosong di dalam hati ini. Aku merasa... sendirian."

Satsuki menatapnya dengan sorot mata yang lebih lembut. "Naruto..."

Naruto tersenyum kecil, tapi matanya menunjukkan kerentanan yang jarang dia tunjukkan. "Tapi ada sesuatu yang berbeda malam ini. Saat kau duduk di sini bersamaku, aku merasa... aku tidak sendirian. Rasanya seperti ada seseorang yang mengerti bagaimana rasanya hidup dengan kesepian, bagaimana rasanya mencoba menemukan tempatmu di dunia ini."

Dia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam untuk mengumpulkan keberanian. "Satsuki, aku tahu ini mungkin aneh, tapi aku ingin kau tahu... kau adalah orang yang membuatku merasa seperti itu. Kau adalah orang yang membuatku merasa bahwa aku tidak harus menghadapi semuanya sendirian."

Satsuki terdiam, matanya tetap terpaku pada Naruto. Kata-kata itu menyentuh bagian terdalam hatinya—sesuatu yang tidak pernah dia akui bahkan pada dirinya sendiri.

Naruto menarik nafas dalam-dalam, membuangnya kemudian melanjutkan, kali ini dengan suara yang lebih lembut. "Aku sudah lama menyadari bahwa... aku menyukaimu, Satsuki."

Blar

Kembang api besar menabrak langit malam, mengejutkan semua orang yang menikmati karena suara serta keindahan warnanya. Namun itu tidak berlaku dengan Satsuki yang kini sedang membulatkan matanya karena ucapan Naruto barusan.

"Aku menyukaimu lebih dari seorang sahabat, Satsuki. Bukan hanya karena kau kuat atau cerdas, tapi karena aku melihat diriku dalam dirimu. Aku tahu rasanya kehilangan, aku tahu rasanya kesepian. Tapi aku juga tahu bahwa kau pantas mendapatkan seseorang yang ada di sisimu, bukan hanya untuk bertarung bersamamu, tapi untuk membuatmu merasa dicintai."

Dia menatapnya dalam-dalam, matanya dipenuhi ketulusan. "Aku ingin menjadi orang itu, Satsuki. Aku ingin menjadi seseorang yang selalu ada untukmu, tidak peduli seberapa sulit atau rumitnya hidup ini."

Satsuki masih tidak berkata apa-apa. Matanya menatap Naruto dengan ekspresi yang sulit ditebak, campuran antara keterkejutan dan sesuatu yang lebih dalam.

"Aku tahu aku mungkin bukan orang yang paling sempurna untukmu," tambah Naruto cepat, takut dia akan salah paham. "Aku berisik, ceroboh, dan kadang aku tidak tahu kapan harus berhenti bicara. Tapi aku janji, aku akan selalu berusaha menjadi orang yang pantas untukmu."

Hening.

Angin malam membawa suara kembang api yang perlahan memudar, meninggalkan hanya keheningan di antara mereka. Satsuki akhirnya membuka mulut, suaranya pelan namun tegas.

"Kau tahu, Naruto, aku juga pernah merasa seperti itu," katanya. "Sendirian, meskipun dikelilingi oleh orang-orang. Aku membangun dinding di sekitarku, berpikir bahwa itu akan melindungi ku. Tapi... dinding itu juga membuatku kehilangan banyak hal."

Dia berhenti sejenak, menatap langit yang mulai tenang. "Aku tidak pernah membayangkan ada orang yang cukup bodoh untuk mencoba melewati dinding itu. Tapi kau... kau selalu ada di sana. Tidak peduli seberapa banyak aku mendorongmu pergi."

Naruto menatapnya, hatinya berdebar kencang.

"Aku tidak tahu apakah aku bisa memberikan apa yang kau harapkan," lanjut Satsuki. "Tapi jika kau bersedia mengambil risiko, maka... aku juga bersedia mencobanya."

Naruto terdiam, mencoba memproses apa yang baru saja dia dengar. "A-Apa maksudmu, Satsuki?"

Satsuki tersenyum kecil, sebuah senyuman yang sangat langka, tapi kali ini tulus. "Aku bilang, aku akan mencoba. Kalau kau serius, aku tidak keberatan menjadi pendampingmu, Naruto."

Naruto hampir tidak bisa menahan kegembiraannya. "Benarkah?!"

Satsuki mendesah, meskipun ada nada geli di suaranya. "Jangan terlalu senang dulu. Ini bukan berarti aku akan berubah menjadi orang yang lemah lembut atau memanjakan mu."

Naruto mengangguk cepat, senyum lebarnya tidak pernah pudar. "Aku tidak peduli! Aku hanya ingin ada di sisimu, Satsuki. Itu saja cukup bagiku."

Mereka duduk bersama di bawah langit malam, kehangatan dari momen itu cukup untuk mengusir dinginnya udara. Untuk pertama kalinya, mereka berdua merasakan harapan baru—harapan bahwa mereka tidak lagi harus menghadapi dunia ini sendirian.

.

.

.

Waktu berlalu, dan suasana Konoha perlahan kembali tenang. Kembang api telah selesai, meninggalkan langit gelap yang kini hanya diterangi oleh bulan yang menggantung tinggi. Di atap apartemen kecil itu, Naruto dan Satsuki masih duduk berdampingan, menikmati kebersamaan yang hangat.

Angin dingin berembus, membawa suara-suara kecil dari desa yang mulai tertidur. Tapi di antara Naruto dan Satsuki, malam itu terasa seperti awal dari sesuatu yang baru—sebuah babak yang penuh harapan.

"Mungkin ini waktunya untuk kembali."

Setelah turun dari atap, mereka kembali ke ruang tamu yang sederhana. Naruto duduk di sofa, sementara Satsuki berdiri di dekat jendela, memandang salju yang perlahan turun di luar. Dalam keheningan, Naruto memandangi Satsuki dengan raut wajah... malu?

Dia akhirnya memecahkan keheningan. "Satsuki…"

"Hm? Apalagi sekarang?" Satsuki menoleh, menatapnya dengan alis terangkat.

Naruto mencoba terdengar serius meskipun ekspresinya tidak bisa menutupi perasaannya. "Aku hanya berpikir... karena ini malam tahun baru, dan kita sekarang... yah, kita resmi menjadi pasangan, dan?"

Satsuki memicingkan mata, sudah merasa bahwa sesuatu yang konyol akan keluar dari mulut Naruto.

"Lanjutkan."

Naruto tersenyum lebar, sedikit gugup. "Bagaimana kalau... aku mendapat ciuman kecil? Sebagai awal tahun baru kita."

Ruangan itu langsung dipenuhi keheningan yang tegang.

Satsuki menatap Naruto dengan tatapan yang sulit ditebak. Kemudian ia bergerak mendekati pemuda tersebut, sejenak membuat Naruto berpikir dia mungkin saja akan mengabulkan permintaannya.

Namun, dalam sekejap, Satsuki mengepalkan tinjunya dan—plak!—memukul kepala Naruto dengan cukup keras.

"Auww! Kenapa kau memukulku?! Aku cuma bercanda, dattebayo!" seru Naruto sambil mengusap kepalanya yang sekarang memar.

"Karena itu terlalu cepat, idiot," jawab Satsuki sambil terlihat rona memerah malu di wajahnya.

Naruto meringis kesakitan, tapi tetap tersenyum lebar. "Yah, aku akan mengingat ini sebagai malam tahun baru paling menyakitkan... tapi juga paling bahagia, dattebayo!"

Satsuki memunggungi Naruto, pipinya yang memerah menunjukkan bahwa dia sedang berjuang untuk menyembunyikan rasa malunya. Naruto memperhatikan Satsuki yang menunduk.

"Kau benar-benar..."

Satsuki tanpa peringatan, dia berbalik dengan cepat, melangkah mendekat ke arah Naruto yang masih duduk.

"Naruto," katanya pelan, suaranya rendah tapi tegas.

Naruto mendongak, mata birunya membulat. "Eh? Ada apa—"

Sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya, Satsuki membungkuk, menempelkan bibirnya dengan cepat ke pipi Naruto yang baru saja dia tampar.

Naruto membeku di tempatnya, matanya melebar seperti piring. Dia bahkan tidak bisa berkata-kata, hanya merasakan sentuhan singkat itu sebelum Satsuki menjauhkan diri.

"Dasar bodoh," gumam Satsuki pelan, wajahnya benar-benar merah sekarang. Dia segera memalingkan muka, menatap ke arah jendela seolah tidak terjadi apa-apa.

Naruto akhirnya pulih dari keterkejutannya, tangannya secara refleks menyentuh pipinya yang masih terasa hangat. "S-Satsuki... kau... kau menciumku?"

"Diam," jawab Satsuki cepat, masih memunggungi Naruto... lagi.

Senyum perlahan terbentuk di wajah Naruto, kali ini lebih hangat dan lembut. Dia tidak bisa menahan tawanya yang kecil dan bahagia. "Aku tidak percaya kau benar-benar melakukannya! Tahun baru ini jadi yang terbaik, dattebayo!"

Satsuki mendesah berat, meskipun senyum tipis terselip di bibirnya. "Jangan besar kepala. Itu hanya karena kau terlalu menyebalkan jika aku biarkan begitu saja."

Naruto tertawa kecil lagi, tapi kali ini lebih menenangkan. "Terima kasih, Satsuki," katanya pelan.

"Untuk apa?"

"Untuk membuat malam ini jadi yang paling berharga dalam hidupku."

Di luar, salju terus turun, menutupi desa dengan keheningan yang damai. Di dalam apartemen itu, dua hati yang dulu penuh luka dan kesepian perlahan menemukan kebahagiaan yang baru, dalam momen-momen kecil yang mereka bagi bersama.

Dan meskipun Satsuki tidak mengatakan apa-apa lagi, hatinya merasa lebih hangat daripada yang pernah dia rasakan sebelumnya. Untuk pertama kalinya, dia merasa tahun baru benar-benar membawa harapan.

Dalam kesederhanaan malam itu, mereka menemukan kebahagiaan yang mereka butuhkan.

END

...

Alhamdulillah, selesai satu fic ringan. Gimana kabarnya? Dah lama gak up, hehe. Writeblock terus wey. Semoga habis ini bisa rutin up terus wkwkwk sekalian meramaikan nih tempat yang makin hari makin sepi.

Karena saya suka pair Naruto Satsuki jadi nanti semoga jangan kaget ya kalok ficnya isinya Naruto Satsuki terus

Btw suka gak fic kayak gini? Tolong kritik sarannya ya guys.

Semoga bisa menghibur temen-temen,

Sampai jumpa dan selamat tahun Baru!