When Fireworks Fade

Rate: T

Disclaimer: Naruto [Masashi Kishimoto]

Genre: Romance, Friendship

Warning: Typo, gaje, masih jauh dari kata sempurna, OOC

Pairing: Uzumaki Naruto x Uchiha Satsuki

Jangan lupa Review, Follow, dan Favorite nya!

.

.

.

Pagi itu, suara ketukan di pintu rumah Satsuki terdengar berulang-ulang, keras dan tidak sabar. Ketukan itu cukup untuk memaksa pemilik rumah menggerutu dan menyumpahi siapapun orang tersebut. Mencoba menyeret langkahnya keluar dari kamar, dengan wajah yang masih menunjukkan tanda-tanda kantuk.

Ketika pintu terbuka, Naruto sudah berdiri di sana dengan senyum cerah khasnya, rambut pirang acak-acakan seolah dia baru saja bangun tidur juga. Tangan kanannya mengangkat kantong plastik yang tampak penuh dengan bahan makanan seadanya.

"Ohayou, Satsuki!" sapanya dengan semangat berlebihan.

Satsuki hanya menatapnya dengan mata datar, tidak berkata apa-apa. Setelah beberapa detik keheningan yang agak canggung, dia akhirnya membuka pintu lebih lebar, memberi isyarat agar Naruto masuk.

"Apa kau tidak punya jam di rumah? Apa yang kau lakukan di sini pagi buta seperti ini?" Tanyanya datar bercampur kesal sambil berjalan ke dapur.

Naruto meletakkan kantong plastiknya di meja dapur, wajahnya penuh semangat. "Aku berpikir, kau pasti belum sarapan. Jadi, aku datang untuk masak sesuatu!"

Satsuki memutar matanya. "Dan kau pikir aku ingin memakan makanan buatanmu?"

Naruto tidak mendengar sarkasmenya. Dia sudah sibuk membongkar isi kantong, mengeluarkan beberapa butir telur, seikat daun bawang, dan sekantong kecil nasi dingin dari semalam. Satsuki bersandar di pintu dapur, menyilangkan tangan sambil memperhatikan dengan ekspresi datar.

Naruto mengambil wajan dan mulai memanaskan minyak. Dalam beberapa menit, suara panci berdenting, aroma bawang putih yang terlalu cepat terbakar, dan bunyi keras spatula menghantam wajan memenuhi ruangan. Asap tipis mulai mengepul, membuat Satsuki akhirnya melangkah masuk ke dapur.

"Kau akan membakar dapurku," katanya sambil mengambil spatula dari tangan Naruto.

"Aku sudah hampir selesai!" Protes Naruto.

"Pindah," ujar Satsuki dingin. Dia mulai memasak ulang, memperbaiki kekacauan yang dibuat Naruto. Wajan yang tadinya nyaris gosong akhirnya terkendali, dan nasi goreng sederhana berhasil tersaji setelah beberapa menit.

Namun, ketika mereka duduk di meja makan, suasana sedikit lebih hening dari biasanya. Sarapan yang sederhana itu terasa lebih dari sekadar makanan. Naruto menatapnya, menunggu reaksi Satsuki, meskipun dia tahu makanan itu tidak sempurna.

Naruto langsung menyendokkan nasi goreng ke mulutnya dengan penuh semangat. Ekspresinya berubah seketika, tetapi dia berusaha tetap tersenyum. "Hmm… agak asin, sih," gumamnya, mencoba membuat suasana tetap ringan.

Satsuki mencoba mencicipi sedikit. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya mengunyah perlahan sebelum meletakkan sumpitnya. Ekspresinya datar, tetapi ada sesuatu yang berbeda di matanya—sebuah ketulusan yang tidak pernah dia tunjukkan sebelumnya.

Naruto, yang terus memandangi ekspresinya, tiba-tiba merasa sedikit cemas. "Kau tidak akan bilang 'enak,' kan?" Tanya Naruto sambil tertawa kecil, mencoba menutupi rasa gugupnya.

Satsuki menatapnya lebih lama dari biasanya, lalu akhirnya berbicara. "Kau selalu saja berusaha, meskipun hasilnya tak sempurna." Ada sedikit kelembutan di suaranya, meski dia berusaha keras untuk menutupi itu dengan nada dingin.

Naruto hanya tersenyum, meskipun dia bisa merasakan kehangatan yang tak biasa itu. Baginya, kata-kata itu sudah cukup. Meski dia tahu Satsuki tidak pernah mengungkapkan perasaannya secara langsung, Naruto merasakan bahwa dia sudah mendapatkan lebih dari sekadar kritik.

Setelah selesai makan, Satsuki berdiri lebih dulu. Dia mulai membereskan meja, tetapi sebelum pergi, dia menoleh sebentar ke arah Naruto.

"Terima kasih sudah datang," katanya singkat, nyaris tanpa emosi, tapi cukup tulus untuk menyentuh hati Naruto.

Naruto berhenti sejenak, sedikit terkejut mendengar kata-kata itu. Meskipun suaranya tetap datar, ada sesuatu yang berbeda dalam cara Satsuki mengatakannya. Sesuatu yang tidak bisa dia jelaskan. Dengan senyum lebar, Naruto mengambil piring-piring mereka dan membawanya ke wastafel.

"Besok aku akan coba lagi!" katanya penuh semangat, meskipun kali ini sedikit lebih rendah hati.

Satsuki mendesah panjang sebelum kembali ke kamarnya. Meski tidak menunjukkan ekspresi apapun, ada sedikit rasa hangat yang tertinggal di benaknya—sesuatu yang jarang dia rasakan. Mungkin, hanya mungkin, sarapan sederhana ini bukan hanya tentang makanan.

.

.

.

Setelah sarapan yang penuh kekacauan itu, Naruto mengajak Satsuki untuk keluar dari rumah, menuju pasar Konoha yang ramai. Angin siang itu cukup sejuk, dan udara segar membawa semangat baru bagi keduanya. Naruto sudah sangat bersemangat, hampir melompat-lompat karena ingin menunjukkan pada Satsuki betapa menyenangkannya pasar yang penuh dengan kehidupan itu.

Satsuki hanya mengikutinya dengan langkah tenang, matanya agak menyipit karena cahaya matahari yang menembus langit biru cerah. Sebagai orang yang lebih suka berada di tempat yang tenang, keramaian pasar bukanlah tempat yang ia nikmati. Namun, dia menahan diri untuk tidak mengeluh. Kali ini, dia akan mencoba melihat dunia dari sudut pandang Naruto.

"Ayo kesini!" seru Naruto sambil menarik tangan Satsuki ke gerobak yang menjual makanan jalanan. Beberapa pedagang menawarkan berbagai macam jajanan, dari okonomiyaki hingga dango. Naruto membeli satu tusuk dango dan menyerahkannya pada Satsuki, yang tampak ragu.

"Kau pasti suka!" Naruto meyakinkan, menunggu reaksinya dengan ekspresi antusias.

Satsuki menerima dango itu, masih dengan tatapan skeptis. Dia menggigit ujungnya perlahan, dan meskipun sedikit ragu, akhirnya dia mengangguk. "Tidak buruk," ucapnya singkat.

Naruto tersenyum lebar. "Lihat kan? Hahaha."

Satsuki hanya mengangkat alis, sedikit merasa geli, tetapi tidak mengungkapkan apapun. Sebagai pengalih perhatian, Naruto menariknya menuju sebuah permainan anak-anak di sudut pasar. Sebuah meja penuh dengan cat wajah dan anak-anak kecil yang bersenang-senang, dan tampaknya Naruto sudah tidak sabar untuk bergabung.

"Ayo coba!" ajaknya, menarik Satsuki ke arah meja tersebut.

Satsuki hampir menolaknya, tetapi sebelum dia sempat berkata apa-apa, Naruto sudah duduk di depan pelukis wajah dengan penuh semangat. Dia menghadap cermin kecil, dan beberapa detik kemudian, wajah Naruto sudah penuh dengan warna-warni.

"Hei lihat, wajahku seperti Kurama!" Naruto tertawa geli melihat dirinya sendiri, wajah yang penuh dengan cat oranye dan putih. Anak-anak yang sedang bermain di sekitar mereka juga mulai tertawa, terhibur dengan penampilan Naruto yang tiba-tiba.

Satsuki berdiri dengan tangan disilangkan, memandang dengan setengah bingung, setengah geli. Hatinya sedikit melunak melihat betapa polosnya Naruto.

Tanpa diduga, sebuah tawa kecil keluar dari bibir Satsuki. Mungkin itu hanya reaksi spontan, atau mungkin Naruto benar-benar berhasil membuatnya sedikit lebih santai di tengah keramaian.

"Kau bisa tertawa juga ternyata," kata Naruto dengan bangga, menangkap momen itu dan meliriknya dengan senyum nakal.

Satsuki segera menutup mulutnya, berusaha keras menyembunyikan senyum yang muncul begitu saja. "Jangan terlalu percaya diri," ujarnya, meskipun ada kehangatan di matanya yang sulit dia sembunyikan.

Namun, saat Naruto melanjutkan bermain dengan anak-anak, berlari-lari mengejar bola dan berinteraksi dengan mereka, Satsuki merasa ada sesuatu yang mulai berubah. Tidak ada tekanan di sana, hanya kebebasan dan keceriaan yang menular. Meskipun dia tidak sepenuhnya merasa nyaman di tengah keramaian itu, ada perasaan baru yang muncul—rasa nyaman yang sebelumnya tidak dia rasakan saat berada di tengah orang banyak.

Naruto tidak berhenti untuk mengajak Satsuki bermain, bahkan berusaha mencarikan permainan yang bisa membuatnya ikut tertawa bersama. Mereka tidak lagi terikat dengan dunia luar yang memandang mereka, hanya dua orang yang menikmati waktu bersama.

Setelah beberapa saat, mereka duduk di bangku taman, sedikit kelelahan tetapi dengan hati yang lebih ringan. Satsuki menatap langit biru, menghirup udara segar, sementara Naruto duduk di sampingnya, masih dengan senyum cerah dan wajah yang penuh dengan cat wajah.

Naruto tertawa kecil, senyum lebarnya tidak pernah pudar. "Aku bilang, kan? Dunia luar itu seru. Kalau kamu terus di rumah, kamu tidak akan pernah tahu hal seperti ini."

Satsuki tidak menjawab, tetapi ada sedikit kehangatan yang mulai tumbuh di hatinya. Mungkin, untuk pertama kalinya, dia merasa bahwa keramaian tidak selalu buruk. Kadang, orang yang tepat bisa membuat segalanya terasa lebih ringan.

.

.

.

Setelah beberapa saat, mereka duduk di bangku taman, sedikit kelelahan tetapi dengan hati yang lebih ringan. Satsuki menatap langit biru yang cerah, sementara Naruto duduk di sampingnya, senyum lebar masih terukir di wajahnya, meskipun cat wajahnya sudah mulai memudar.

"Aku rasa suasana di sini jauh lebih tenang dibandingkan di pasar," ujar Naruto, suara cerah dan penuh semangat. "Mungkin karena aku tidak perlu khawatir tentang komentar orang lain."

Satsuki menoleh sedikit ke arahnya, wajahnya tetap datar meskipun matanya mengisyaratkan ketidaksenangan. "Kau memang selalu saja merasa menjadi pusat perhatian, bukan?" jawabnya dengan nada yang sedikit sarkastik.

Naruto tertawa kecil, tidak merasa tersinggung. "Apa kau cemburu, Satsuki? Jangan khawatir, aku takkan merebut perhatianmu."

Satsuki memiringkan kepala sedikit, mengamati Naruto dengan tatapan tajam. "Aku tidak membutuhkan perhatian seperti itu," jawabnya tegas, meskipun ada sedikit kelembutan di balik kata-katanya. "Kau keliatannya sangat menikmati perhatian dari orang-orang, apalagi dengan penampilanmu yang... konyol itu."

Naruto tersenyum puas, memandang wajahnya yang penuh dengan cat dengan rasa bangga. "Tentu saja! Aku takkan membiarkan kesempatan ini berlalu begitu saja. Lihat, banyak orang yang menyukai penampilanku. Berbeda dengan dirimu yang hanya bisa berdiri diam sambil mengamati orang lain."

Satsuki tersenyum tipis, sebuah senyum yang tampaknya berusaha disembunyikan. "Aku tidak perlu melakukan apa-apa untuk mendapatkan perhatian. Aku lebih suka berada di tempat yang lebih tenang, jauh dari keramaian yang tak ada gunanya."

Naruto menggelengkan kepala, sedikit terkejut. "Jadi, kau tidak merasa sedikit pun tertarik dengan permainan ini?" tanyanya, setengah penasaran.

Satsuki mengangkat bahu, menanggapi dengan ketidakpedulian yang khas. "Aku lebih suka menikmati ketenangan tanpa harus menjadi bagian dari keramaian yang berisik itu."

Naruto tertawa ringan, berusaha merubah suasana. "Kau ini aneh, Satsuki. Kadang aku merasa, meskipun kau tidak menunjukkannya, ada sesuatu di dalam dirimu yang lebih... hidup dari yang kau perlihatkan."

Satsuki menatapnya dengan mata sedikit menyipit, seolah tidak sepenuhnya memahami kata-kata Naruto. "Aku hanya tahu bahwa hidup ini lebih tenang jika tidak terlalu berlebihan."

Naruto tersenyum lebar, merasa tidak ada yang lebih baik selain bisa sedikit membuat Satsuki terpengaruh dengan keceriaannya. "Mungkin kamu benar. Tapi, jangan terlalu serius, Satsuki. Cobalah sedikit tertawa, dunia ini takkan hancur hanya karena itu."

Satsuki mengernyitkan dahi, kemudian dengan sengaja berbalik perlahan dan memberikan pandangan tajam kepada Naruto. "Kau terlalu percaya diri, bodoh. Jangan terlalu banyak berpikir bahwa dunia ini akan selalu sejalan dengan keinginanmu."

Naruto hanya mengangkat alis, sedikit bingung namun tetap dengan senyum lebar yang tak hilang. "Jangan khawatir, Satsuki. Aku tahu dunia ini lebih baik ketika aku mencoba membuatmu tertawa—meskipun sedikit."

Satsuki berdiri dari bangku taman, menatap Naruto sejenak sebelum berkata dengan suara datar, "Jika itu yang membuatmu merasa puas, lanjutkan saja. Tapi ingat, satu-satunya yang membuatmu menarik hari ini hanyalah cat wajah itu."

Naruto menatap wajahnya yang sudah kembali normal, sedikit mengerutkan kening. "Oh, jadi menurutmu aku hanya lucu karena cat wajah ini? Kau memang tidak bisa menerima kenyataan bahwa aku memang menghibur, ya?"

Satsuki memutar matanya, meskipun di dalam hati, dia merasa ada sedikit ketenangan dalam obrolan ringan mereka. "Jika itu yang kau sebut hiburan, aku rasa aku akan merasa lebih baik jika tetap diam di sini."

"Yah, terserah kamu saja," jawab Naruto sambil berdiri, mengusap-usap wajahnya yang kini kembali normal. "Tapi, aku yakin suatu hari nanti kamu bakal mengakui kalau aku lebih seru daripada kamu kira."

Satsuki hanya mendengus kecil, namun senyum tipis masih tidak bisa disembunyikan. "Jangan terlalu percaya diri. Aku takkan pernah mengakui hal seperti itu."

Naruto tertawa ringan, meskipun ia tahu bahwa pernyataan Satsuki hanya sebuah pelarian dari kenyataan bahwa dia mulai merasa nyaman. Mereka berdua berjalan perlahan kembali menuju rumah, dengan Naruto yang masih berusaha menghibur dan Satsuki yang berusaha tetap mempertahankan ketenangannya.

.

.

.

Langit sore di atas bukit itu bercahaya dalam semburat jingga dan merah muda, kontras dengan hamparan putih salju yang menutupi tanah di sekitar mereka. Nafas Naruto dan Satsuki terlihat seperti uap tipis, menari di udara dingin. Pohon-pohon tanpa daun yang diselimuti es berdiri di kejauhan, menciptakan suasana musim dingin yang sunyi namun memikat.

"Kau benar-benar membawaku ke tempat seperti ini?" tanya Satsuki, memandang hamparan salju yang mengilap di bawah sinar matahari yang mulai tenggelam.

Naruto, yang sedang menendang-nendang salju dengan sepatu botnya, hanya tertawa kecil. "Tentu saja! Bukit ini lebih indah saat musim dingin. Salju membuat semuanya terasa damai, kan?"

Satsuki tidak langsung menjawab. Dia hanya berdiri di sana, tangannya menyelip di saku mantel, matanya tertuju pada matahari yang perlahan tenggelam. Langit jingga itu memantul di permukaan salju, menciptakan pemandangan yang tampak seperti lukisan.

Naruto berjongkok, mengambil segenggam salju, lalu membentuknya menjadi bola kecil. Dia tersenyum nakal sebelum melirik ke arah Satsuki.

"Aku punya ide!" katanya, nada cerianya menggema di udara dingin.

Satsuki meliriknya sekilas. "Jangan berpikir untuk melakukan sesuatu yang bodoh."

Namun, sebelum dia sempat berkata lebih banyak, sebuah bola salju meluncur dan mendarat tepat di bahunya. Salju itu pecah, meninggalkan bekas putih di mantel gelapnya.

"Sungguh kekanak-kanakan," komentar Satsuki, meskipun matanya sedikit menyipit, memperingatkan.

Naruto tertawa keras, dengan ekspresi penuh kemenangan. "Aku tahu kau tidak akan membalas! Kau terlalu serius untuk hal seperti ini."

Satsuki menatapnya sebentar, lalu tanpa peringatan, dia membungkuk dan mengambil segumpal salju. Dalam hitungan detik, dia melemparkan bola salju itu dengan presisi yang mengejutkan, langsung mengenai wajah Naruto.

Naruto terhuyung mundur, mencengkeram wajahnya yang kini dipenuhi salju. "Hei! Itu tidak adil!" protesnya dengan nada bercanda.

"Itu adalah pembalasan," balas Satsuki, suaranya tetap datar, tetapi sudut bibirnya terangkat sedikit, hampir seperti senyuman.

Mereka akhirnya duduk di atas selimut salju yang tebal, Naruto sibuk membersihkan wajahnya, sementara Satsuki hanya mengamati matahari yang mulai menghilang di balik cakrawala. Suasana menjadi lebih tenang, hanya suara angin dingin yang menemani.

"Kau tahu, aku selalu datang ke sini saat ingin merasa bebas," kata Naruto tiba-tiba, nadanya lebih lembut. "Waktu kecil, aku suka membayangkan kalau aku bisa terbang seperti burung. Di sini, rasanya dunia jadi lebih besar, dan masalah-masalahku terasa lebih kecil."

Satsuki menoleh ke arahnya. Ada ketulusan dalam kata-kata Naruto yang membuatnya sulit untuk tidak mendengarkan.

"Bukit ini memang indah," gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Naruto menoleh, menatapnya dengan senyum yang lebih lembut. "Aku senang kau berpikir begitu. Tapi aku tidak hanya membawamu ke sini untuk melihat pemandangan."

"Oh?" Satsuki menaikkan satu alis, menunggu penjelasan.

"Aku bawa kau ke sini karena aku ingin kau tahu… aku bisa melihat sisi lembutmu, meskipun kau selalu mencoba menyembunyikannya."

Wajah Satsuki sedikit memerah, tetapi dia tetap memalingkan pandangan ke arah cakrawala, menolak untuk menunjukkan reaksi lebih jauh. "Kau terlalu percaya diri, seperti biasa," jawabnya datar.

Naruto tertawa kecil, mengangkat kedua tangannya. "Mungkin. Tapi aku serius. Aku tahu kau punya banyak tanggung jawab, banyak hal yang harus kau pikirkan. Tapi aku juga tahu, di balik semua itu, kau ingin sesuatu yang sederhana. Sesuatu seperti… kebahagiaan."

"Kebahagiaan?" Satsuki mengulang kata itu dengan nada skeptis. "Menurutmu semudah itu?"

"Bukan, tentu tidak mudah," jawab Naruto sambil menggeleng. "Tapi bukan berarti kau tidak bisa memilikinya."

Dia tersenyum lebar, ekspresi yang hangat meski udara dingin menusuk kulit. "Kalau kau merasa sulit menemukan kebahagiaan, biarkan aku yang mengajarkanmu caranya."

Wajah Satsuki semakin memerah mendengar ucapan itu. Dia menggigit bibir, berusaha keras mempertahankan ekspresi tenangnya. Namun, panas yang merambat di wajahnya tidak bisa dia hindari.

"Ucapanmu terlalu berlebihan," gumamnya, meskipun nada tajamnya sedikit melunak.

Naruto tertawa, merasakan kemenangan kecil. "Mungkin. Tapi aku tahu kau tidak benar-benar keberatan."

Satsuki mendesah, akhirnya membiarkan kehangatan kecil itu tinggal di hatinya. Saat matahari sepenuhnya tenggelam, mereka tetap di sana, menikmati dinginnya malam musim dingin, saling terhubung tanpa perlu banyak kata lagi.

.

.

.

Hujan musim dingin turun tiba-tiba, membuat mereka berdua harus berlari mencari perlindungan. Udara dingin semakin menusuk, sementara butiran hujan membasahi salju di tanah, menciptakan suara lembut saat air bercampur dengan putihnya dunia. Naruto dan Satsuki akhirnya berhenti di bawah pohon besar yang cabang-cabangnya masih cukup lebat untuk menghalangi sebagian besar air.

Naruto menggigil sedikit, menggosok-gosokkan tangannya agar tetap hangat. "Wah, hujannya datang tidak diundang, ya!" katanya, tertawa kecil meskipun jelas udara dingin mulai meresap ke tubuhnya.

Satsuki hanya mendesah pelan, mengibaskan beberapa tetes air dari mantel panjangnya. "Seharusnya kau lebih memerhatikan ramalan cuaca sebelum mengajakku ke sini."

Naruto menoleh padanya, melihat bagaimana beberapa helaian rambut hitam Satsuki mulai lembap dan menempel di wajahnya. Tanpa pikir panjang, dia membuka jaket tebal oranyenya dan menyerahkannya ke Satsuki. "Pakai ini, kau bakal kedinginan kalau terus basah seperti itu."

Satsuki menatapnya dengan alis terangkat. "Aku tidak butuh jaketmu."

"Jangan keras kepala seperti itu!" Naruto mendesaknya. "Aku ini shinobi yang tangguh, sedikit dingin tidak akan membuatku sakit." Dia menyodorkan jaket itu lagi, kali ini lebih mendekatkan ke arah Satsuki.

Namun, alih-alih menerima, Satsuki melipat tangannya dengan ekspresi datar. "Aku punya Susanoo, kau tahu. Kalau aku benar-benar merasa perlu, aku bisa menciptakan perisai untuk menghalangi hujan." Matanya sedikit menyipit, memberikan tatapan yang jelas menunjukkan bahwa dia tidak bercanda.

Naruto terdiam sejenak, lalu tertawa keras. "Heh, ya, ya, aku lupa kalau kau itu Uchiha yang luar biasa dengan semua kekuatan hebatmu. Tapi…" Dia menunjuk dirinya sendiri, "Aku tetap tidak akan pakai ini kalau kau kedinginan. Jadi, kalau kau nggak mau pakai, kita bakal sama-sama membeku di sini."

Satsuki menghela napas, matanya bergulir ke langit, tetapi akhirnya dia menerima jaket itu, meskipun dengan gerakan yang sangat enggan. Dia memakainya dengan anggun, tubuhnya yang lebih kecil hampir tenggelam di balik ukuran besar jaket itu. Jaket Naruto yang oranye terang itu kontras dengan pakaian gelapnya, membuatnya terlihat tidak biasa.

"Lihat? Tidak susah bukan?" kata Naruto sambil tersenyum cerah.

Satsuki hanya menatapnya sekilas. "Kau benar-benar keras kepala."

Naruto menggaruk belakang kepalanya, masih tersenyum. "Mungkin. Tapi aku tidak bisa membiarkanmu sakit hanya karena gengsi."

Hujan mulai mereda setelah beberapa menit, Naruto menoleh ke arah Satsuki. "Ayo, hujannya sudah hampir berhenti. Kita bisa pulang sekarang."

Mereka berjalan menyusuri jalanan berlapis salju yang kini basah, langkah mereka diiringi suara air yang menetes dari pohon-pohon di sekitar. Ketika mereka akhirnya sampai di depan rumah Satsuki, suasana menjadi lebih sunyi. Naruto berhenti, menoleh ke arahnya dengan senyum lebar. "Baiklah, aku akan pulang sekarang. Istirahat yang cukup, ya."

Satsuki berdiri di depan pintu, masih mengenakan jaket Naruto. Ada jeda yang lama sebelum dia akhirnya berkata, dengan suara yang lebih pelan dari biasanya, "Terima kasih… Naruto." Kata-katanya terdengar tulus, meskipun wajahnya tetap berusaha terlihat tenang.

Naruto tampak terkejut sejenak, tetapi senyumnya semakin lebar setelahnya. "Kapan saja, Satsuki!" katanya dengan ceria, melambai santai sebelum berbalik pergi, berjalan menjauh menuju rumahnya.

Satsuki berdiri di sana untuk beberapa saat, menatap punggung Naruto yang semakin menjauh. Ketika dia akhirnya masuk ke rumah, senyum kecil muncul di wajahnya, sesuatu yang hangat dan hampir tidak ia sadari. Ia mengeratkan jaket Naruto ke tubuhnya, merasakan kehangatan yang timbul karenanya. Di tengah musim dingin yang membekukan, ada sesuatu yang mulai mencair di dalam hatinya.

END or TBC?

...

Alhamdulillah chapter 3 rampung, apakah ceritanya membosankan?
Enjoy! Feedbacknya pliss